Saya selalu menaruh rasa curiga pada penyederhanaan dalam memahami suatu film. Saya takut penyederhanaan semacam itu dapat merendahkan suatu film. Ide cerita dalam sebuah film belum tentu dapat diserap seutuhnya hanya dengan melihat apa yang disajikan di layar. Seringkali suatu film justru menggaungkan suara kerasnya ke kepala penonton melalui provokasi untuk berpikir lebih dalam, memberikan stimulasi untuk mengamati gambaran yang lebih besar, dan mendulang makna yang lebih luas dari cerita tersebut. Salah satu contoh sempurna dari jenis film seperti itu adalah Brokeback Mountain (2005). Pada saat film tersebut naik layar bioskop di berbagai belahan dunia, banyak orang hanya menganggapnya sebagai gay cowboy movie. Siapa saja yang sudah menonton dan mencernanya tentu akan menolak mentah-mentah cap tersebut. Akan tetapi, dengan berbagai pujian dari hampir semua kritikus dan penikmat film, ternyata masih lebih banyak lagi orang yang bahkan tidak mau menonton film tersebut karena berbagai hal. Lebih menyakitkan lagi adalah ketika ajang penghargaan sekelas Oscar jelas memandang sebelah mata film ini dalam pemilihan Best Picture. Semua pujian dan kontroversi itu menunjukkan bahwa film tersebut lebih dari sekedar sebuah tragedi, melainkan mampu membuka ruang diskusi publik. Meski demikian, memang harus diakui bahwa ada jenis film lain, yaitu film yang ingin memberikan pengalaman menonton selintas waktu dan kemudian mengingatnya hanya dengan sebuah penyederhanaan. Salah satu film yang termasuk jenis itu menurut saya adalah The Shape of Water (2017), atau seperti yang disebut salah satu pemerannya, Richard Jenkins dalam sebuah acara talkshaw, a woman sleeps with a fish.
The Shape of Water merupakan sebuah film yang dapat memuaskan fantasi pencinta dongeng. Dalang yang bertanggung jawab atas pertunjukan ini adalah sineas asal Meksiko Guillermo del Toro (Pan's Labyrinth, Mimic) yang memang sudah terkenal dengan sensitivitas imajinasinya dalam mengolah cerita fantasi. Sebagaimana banyak ditunjukkan pada karya-karya sebelumnya, del Toro kali ini juga menciptakan karakter bukan manusia yang mampu mengorek isi hati manusia dan memiliki hati lebih manusiawi dibanding beberapa jenis manusia itu sendiri. Kali ini tampaknya del Toro lebih banyak menyerap inspirasi dari berbagai dongeng atau cerita lain. Penonton mungkin akan mendapati ide cerita, tampilan tokoh-tokoh, atau tata adegan di film ini mirip dengan film atau cerita dongeng lain. Hal itu wajar saja karena del Toro sendiri mengakui ada beberapa film yang menstimulasi ide serta proses pengerjaan film ini.
Diceritakan selayaknya sebuah dongeng, The Shape of Water dibuka dengan suara seorang narator yang menyebutkan beberapa kemungkinan penyebutan sang tokoh utama yang kisah hidupnya akan segera dimulai. Tokoh utama tersebut muncul dalam wujud seorang wanita bisu bernama Elisa Esposito (Sally Hawkins). Ia adalah wanita kesepian yang tinggal di apartemen sederhana di atas sebuah bioskop. Ia hanya punya dua sahabat, yang satu adalah tetangganya Giles (Jenkins) yang tenggelam dalam dunia pertunjukan musikal klasik dan yang lainnya adalah rekan kerjanya yang banyak bicara, Zelda (Octavia Spencer). Pada malam hari, ia bekerja sebagai petugas kebersihan sebuah fasilitas penelitian luar angkasa rahasia milik pemerintah AS di masa perang dingin. Suatu malam, ia dan Zelda menjadi saksi ditemukannya makhluk misterius sejenis manusia amfibi yang ditangkap dari Amerika Selatan. Orang yang berhasil menangkap makhluk misterius itu adalah Richard Strickland (Michael Shannon), anggota elit militer dengan perangai sadis. Ia memperlakukan makhluk tersebut layaknya tawanan perang yang pantas didera siksaan. Padahal makhluk tersebut awalnya ditangkap untuk dijadikan objek penelitian bagi Dr. Robert Hoffstetler (Michael Stuhlbarg). Merasa sama-sama menjadi makhluk terabaikan di dunia ini, Elisa tidak dapat mengelak kedekatan hatinya dengan makhluk dua alam itu. Namun dunia tetap melaksanakan tugasnya sebagai pembawa perkara pelik, bahkan di saat Elisa mulai merasakan kebahagiaan sejati. Elisa pun tidak ingin tinggal diam seperti yang selama ini ia lakukan. Maka terukirlah kisah kasih dua makhluk berbeda spesies.
The Shape of Water adalah sebuah dongeng dalam arti yang paling harfiah. Naskah dan film ini sendiri pun tidak menghindar dari definisi tersebut, dan bahkan dengan bangga merangkul semua aspek yang ada dalam sebuah dongeng ke dalam penuturan ceritanya. Semua tokoh dalam film ini dapat dibelah bagai Laut Merah di zaman Nabi Musa: mereka yang antagonis dan protagonis. Selain itu film ini tentunya memiliki nilai-nilai moral yang coba diusung ke hadapan penonton. Film ini juga dibagi menjadi tiga babak yang mulus melaju hingga penutup yang semakin menyemarakkan dongeng ini. Namun, itu justru menjadi kelemahan pertama The Shape of Water: semuanya telah tersusun rapi pada tempatnya sehingga meniadakan ruang bagi kejutan dan inovasi jalan cerita. Alur cerita film ini terkontrol dengan sangat baik dari awal hingga akhir. Penonton memahami karakter-karakter dalam film ini dengan baik, menangkap nilai-nilai moral yang diselipkan di sepanjang cerita, mengapresiasi semua hiasan visualnya yang memang sangat indah, dan menikmati lantunan musik dengan segala tariannya. Tanpa diragukan lagi film ini jelas telah memenuhi semua checklist kriteria film bagus. Tetapi itu semua tidak cukup meninggalkan jejak di hati karena tidak ada satu adegan pun yang benar-benar menyentuh. Di sepanjang durasi film, tidak ada satu momen pun yang saya nantikan kedatangannya. Semuanya berjalan pada lajur yang paling normatif, yang tentu saja sangat disayangkan.
Sekarang saya pasti banyak dikecam para penggemar film ini. Tapi jangan salah, meski saya mengatakan film ini tidak menyentuh, itu bukan berarti film ini tidak menarik atau cacat dari segi kualitas, karena seperti yang saya katakan: semuanya telah tersusun rapi pada tempatnya. Mari kita mulai dari naskah yang ditulis oleh del Toro yang berduet dengan Vanessa Taylor, dedengkot di balik serial Game of Thrones. Naskah The Shape of Water menyajikan karakterisasi yang sederhana namun cukup menyentil. Sebagian besar dari karakter yang diciptakan del Toro dan Taylor adalah perwakilan kelompok yang terbuang dan dianggap sebagai warga kelas dua oleh masyarakat. Mulai dari tokoh utamanya Elisa dan kekasihnya si makhluk asing yang mencerminkan kekurangan fisik dan simbol dari keburukan dan ketidakberuntungan. Kedua tokoh utama ini memang berbeda spesies, namun yang pasti penonton sadari adalah bahwa mereka memiliki banyak persamaan, utamanya yang berhubungan dengan kesedihan. Mereka sama-sama tidak dapat mengekspresikan diri melalui kata-kata yang dipahami khalayak ramai; mereka menempati posisi terendah di stratifikasi masyarakat: yang satu karena cacat fisik, sedangkan yang lain tentu karena dianggap bukan bagian dari manusia; mereka juga sama-sama kesepian dalam hidupnya masing-masing. Maka, tatkala takdir mempertemukan mereka tidak ada yang dapat menghalangi hubungan kedekatan dan simpati yang mereka jalin, sekalipun mereka tidak mengerti bahasa satu sama lain. Pada akhirnya mereka merupakan perwujudan kutub positif dalam peta hubungan kemanusiaan. Mereka adalah orang terzalimi yang akan selalu mendapat berkah di akhir cerita.
Lain halnya dengan karakter antagonis dalam film ini, yaitu Strickland. Ia adalah cerminan jenis manusia paling busuk di tengah masyarakat, tetapi tidak pernah benar-benar dapat disalahkan. Dalam pandangan anak dan istrinya, ia adalah kepala rumah tangga yang berhasil menciptakan dan memimpin sebuah keluarga paling ideal: sukses, mapan, jantan, dan kuat. Di pekerjaannya ia adalah anggota elit militer yang dipercaya memegang tanggung jawab besar. Ia selalu siap menjalankan tugasnya dan siap pula menyingkirkan mereka yang merintanginya dalam menggugurkan tanggung jawab pekerjaan. Di sinilah letak kebiadabannya. Ia tidak puas hanya dengan melakukan pekerjaannya, tetapi ia juga mempunyai gaya tersendiri dalam bekerja. Ia akan memengaruhi semua orang termasuk atasannya untuk menjadi otoritas yang berkuasa. Ya, ia haus dengan kekuasaan, ia tamak, dan tentunya ia ingin menjadi simbol kesuksesan sejati. Ia adalah pewujudan kutub negatif dalam peta hubungan kemanusiaan. Ia adalah tokoh penjahat yang akan selalu mendapat azab di akhir cerita.
Tokoh-tokoh utama dalam The Shape of Water, baik antagonis dan protagonis semuanya memiliki kepribadian linier (bukan gradasi), di mana masing-masing tokoh menempati titik ekstrim positif dan negatif. Sangat klasik bukan? Oleh karena itu seandainya saya semata-mata ditawari menonton kehidupan tokoh utamanya saja, maka jujur harus saya katakan saya akan mati kebosanan. Anda boleh mengatakan hati saya sekeras batu bila tidak tersentuh dengan cerita dua tokoh protagonisnya yang sama-sama menderita dalam hidupnya. Tetapi saya akan bergeming karena saya tidak akan mampu menjual hati kepada penjaja kisah menyedihkan macam itu. Untunglah film ini juga menawarkan warna kehidupan lain selain tokoh utama antagonis dan protagonisnya. Mereka adalah sepasukan tokoh pendukung yang secara mengejutkan menyimpan cerita yang lebih menarik. Saya dapat merasakan del Toro dan Taylor tidak hanya sekedar menempelkan peran pendukung dalam kisah romantis ini, tetapi mereka juga menaruh minat pada dimensi kehidupan tokoh-tokoh sekunder tersebut. Ambil contoh Giles, tetangga Elisa yang hidupnya penuh dengan angan-angan mendapatkan kehangatan seorang lelaki yang lebih muda darinya. Ia kehilangan pekerjaan akibat keputusasaannya dan tidak akan pernah tahu apakah dapat kembali merebut kariernya. Ada pula kisah Zelda yang meski di hampir dua pertiga cerita hanya wara-wiri di layar (dalam arti sesungguhnya) tetapi menyimpan konflik rumah tangga yang telah dibiarkan menjadi bubur. Belum lagi jika berbicara posisinya sebagai wanita kulit hitam di AS tahun 60-an. Bahkan dalam perannya sebagai karikatur sempurna era perang dingin, Dr. Hoffstetler pun memiliki daya pikat tersendiri melalui posisinya yang terombang-ambing antara idealisme sebagai ilmuwan dan pragmatisme sebagai warga negara sekaligus mata-mata. Saya merasa bahwa tokoh-tokoh pendukung tersebut ditulis del Toro dan Taylor jauh lebih baik ketimbang tokoh-tokoh utamanya. Sebagian mungkin karena mereka tidak terikat pada suatu takdir yang sudah diketahui di akhir cerita sebagaimana para tokoh utama. Sebagian lagi mungkin karena merekalah yang membuat suasana menjadi lebih realistis di sepanjang jalan cerita, kontras dengan yang terjadi pada tokoh utamanya yang hidup di negeri dongeng. Mereka semua menjaga penonton tetap membumi dan menyadari bahwa tokoh-tokoh tersebut hidup di dunia nyata terlepas dari kisah ajaib yang tersaji di layar.
Sayangnya, semua tokoh pendukung itu meski telah memiliki latar belakang yang dibangun dengan begitu baik ternyata hanya difungsikan sebagai bidak bagi tokoh utamanya dalam mencapai keinginan mereka. Alhasil, penggunaan tokoh pendukung tersebut pun terkesan hanya dibuat-buat dan terasa palsu. Giles dan Zelda, tokoh yang telah diciptakan dengan mantap sebagai sahabat Elisa harus dicampakkan martabatnya demi mendukung alur cerita "Ocean Eleven" (baca: pencurian). Mereka berbagi tugas, merubah pikiran dengan cara yang sangat mencolok, dan menjadi karakter tanpa pendirian teguh. Begitu pula Dr. Hoffstetler yang harus menerima nasib semata-mata hanya sebagai seorang pengkhianat. Padahal ia memiliki motif dan latar cerita yang cukup untuk dapat dikembangkan menjadi sesuatu yang lebih menarik.
Berlanjut ke pengembangan cerita, naskah del Toro dan Taylor sebenarnya menyentuh cukup banyak isu nyata. Satu yang paling kentara tentu saja hubungan antara Elisa dan si manusia amfibi yang menjadi simbol cinta tanpa batas dan penerimaan akan segala bentuk perbedaan (bahkan yang paling ekstrim sekalipun). Penonton juga dapat menangkap bahwa selama ada keyakinan yang kuat, maka berbagai halangan dapat diatasi. Naskah del Toro dan Taylor juga mencoba menggoyahkan persepsi umum bahwa segala sesuatu yang dicap monster pasti beriringan dengan sifat-sifat buruk, begitu pun sebaliknya. Terkadang kita sebagai manusia dapat melakukan perbuatan yang lebih keji daripada gambaran monster yang ada dalam dongeng. Pada akhirnya kita tidak dapat memberikan penilaian negatif kepada siapapun sebelum benar-benar mengenalnya dengan baik. Berprasangka buruk kepada orang lain (atau makhluk lain?) sama saja dengan menjadi seorang xenophobe. Akan tetapi sebagaimana dalam karakterisasi, pengembangan cerita The Shape of Water juga dibuat serbatanggung. Del Toro dan Taylor sempat menyinggung isu-isu seperti seksualitas wanita, kesepian, homoseksualitas, nilai-nilai machismo yang berlebihan, dan pelecehan seksual. Malangnya semua isu tersebut hanya sebagai dekorasi saja, tempelan-tempelan yang mungkin mereka pikir akan dapat menambah lapisan cerita. Namun tentu saja lapisan cerita tidak dapat terbentuk hanya dengan menyelipkan beberapa adegan atau dialog dangkal dan diperlakukan hanya sepintas lalu saja.
Naskah del Toro dan Taylor bahkan menurut saya kurang mengeksplorasi romansa antara Elisa dan sang manusia amfibi. Seperti telah disebut di atas kita semua tahu bahwa hubungan mereka dibangun atas dasar persamaan nasib. Namun satu hal yang mengganjal dari hubungan mereka adalah ketidakseimbangan emosi antara dua makhluk tersebut. Elisa diperlihatkan hampir mendapatkan semua yang ia inginkan selama ini: sosok yang memahami kesendiriannya, pemuas kebutuhan biologis, hingga memberikan harapan akan adanya cinta untuk dirinya yang nestapa. Tetapi bagaimana dengan si manusia amfibi? Apa yang ia dapatkan dari Elisa? Selain perlindungan dari perlakuan kejam Strickland, kita tidak tahu keadaan emosinya. Bahkan pada saat-saat bersama Elisa pun penonton tidak memahami apakah ia memiliki perasaan yang sama terhadap Elisa? Menurut saya di sinilah letak perbedaan monster yang diciptakan del Toro dan Taylor dengan monster-monster di film lain yang mungkin menginspirasinya. Beberapa referensi paling kentara yang diambil film ini adalah Beauty and the Beast (1991), E.T. the Extra-Terrestrial (1982), atau Edward Scissorhands (1990). Namun kesemua film itu menunjukkan adanya dinamika emosi yang terlihat dari sosok yang dianggap "monster". Sementara manusia amfibi dalam The Shape of Water bukan hanya bisu tetapi sudah mengarah ke sosok hewan semata yang akan kesakitan ketika disiksa dan membantu majikan yang ia kenali sebagai sosok yang telah membantunya.
Meski demikian, saya rasa kekuatan utama The Shape of Water ada pada tampilan visualnya. Tiga hal yang sangat mengagumkan dari visual film ini adalah pergerakan kamera, permainan warna, dan pencahayaan setiap adegan. Penata gambar Dan Laustsen yang sebelumnya pernah dua kali menjalin kerja sama dengan del Toro menelurkan kinerja luar biasa dalam hal pergerakan kamera. Ia telah memperkuat air sebagai elemen terpenting dalam narasi film ini sekaligus menekankan metafora air yang memiliki sifat selalu mengalir bebas. Semua adegan dalam film ini diambil dengan kamera yang selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, memperlihatkan berbagai situasi dalam satu adegan. Pada adegan-adegan di bawah air, penonton akan merasa kamera benar-benar mengambang di sekeliling aktor. Sementara pada adegan-adegan lain pun kamera tidak pernah terasa diam dan selalu bergerak mengikuti para aktornya atau berpindah dari sudut ke sudut lain saat ada adegan statis. Pergerakan kamera seperti itu memperkaya imajinasi penonton serta mampu mempertahankan intensitas jalan cerita di sepanjang durasi film.
Kecakapan Laustsen berikutnya adalah permainan warna. Hijau dan biru menjadi warna utama di sepanjang film dengan beberapa variasi merah, oranye, dan hitam-putih di beberapa adegan. Saya tidak dapat menghitung berapa jumlah adegan yang menjadi favorit saya karena unsur-unsur warnanya yang bersatu begitu indah. Salah satu adegan yang tidak dapat saya lupakan adalah di mana Elisa duduk menunggu bis di samping seorang pria yang memegang balon berwarna hijau, biru, dan kuning. Saya langsung berdecak kagum melihat perpaduan warna dalam satu bingkai yang sangat menonjolkan suasana gelap, dingin dan sepi. Suasana seperti itu terasa di hampir separuh durasi film namun perlahan digantikan dengan suasana yang lebih hangat dan bahagia seiring dengan berseminya hubungan Elisa dan manusia amfibi. Salah satu latar yang jelas memperlihatkan perubahan suasana itu adalah kamar mandi Elisa yang disorot dengan warna keemasan melalui cahaya matahari dari jendela saat ia berhasil memboyong sang pujaan hati. Sebelumnya ia selalu digambarkan sendiri dalam kamar mandi yang didominasi warna hijau temaram.
Aspek visual terpuji lainnya adalah pencahayaan. Sebagian besar gambar dalam film ini terkesan gelap dan kelam yang dihasilkan dari permainan warna dingin dan kaku serta teknik pencahayaan yang tampak berasal dari satu sumber dan kemudian secara remang-remang menerangi tokoh yang tampil di layar. Hasil dari pencahayaan ini menunjukkan gambar-gambar seperti dalam mimpi di mana semuanya tampak kabur dan berjalan secara lambat. Uniknya kesan dingin dan kaku tersebut akan berubah mengikuti karakter masing-masing tokoh film ini jika kita melihat dari dekat wajah mereka. Laustsen menggunakan sarana bayangan untuk menciptakan efek tersebut. Elisa dalam gambar sorot dekat akan tampil sebagai sosok lemah yang butuh pertolongan. Sebaliknya Strickland akan tampak seperti iblis yang berkeliaran mencari mangsa. Semuanya terasa pas dan mendukung karakterisasi tokoh-tokoh film ini.
Musik latar juga menjadi nilai lebih dari The Shape of Water. Penggubah musik film Alexandre Desplat berhasil menciptakan berbagai sensasi seperti kehangatan, kesepian, kehidupan dalam mimpi, kejutan misterius, sekaligus ketegangan. Sama seperti pergerakan kamera Laustsen yang bekerja mengikuti kodrat air, begitu pula musik latar Desplat. Musik dalam film ini terasa merambat secara perlahan dan menyesuaikan suasananya mengikuti setiap alur cerita yang tampil di layar. Musik Desplat tidak terasa menonjol dalam arti tidak mengganggu fokus penonton, ia terasa transparan seperti air, dan justru semakin memperkuat citra tokoh-tokoh dalam film ini. Terkadang musik latar Desplat terdengar memainkan serangkaian nada yang semakin lama semakin tinggi dan kemudian bergulung turun perlahan-lahan, persis seperti gelombang di laut. Salah satu musik latar favorit saya (selain tentunya di adegan pembuka) ada dalam adegan di mana Elisa dan manusia amfibi memadu kasih di dalam kamar mandi yang dibanjiri air. Musik dalam adegan tersebut terasa bahagia, jauh dari kesan kesepian seperti yang selama ini dirasakan Elisa. Tanpa diragukan lagi, musik latar Desplat memang bekerja sesuai dengan prinsip air: ia mengikuti bentuk sesuai dengan wadahnya, mengisi adegan sesuai dengan nuansa yang terpancar di layar.
Dari segi aktor dan aktris, The Shape of Water adalah salah satu film yang tahu benar akan kemampuan serta portofolio para pemerannya. Dua pemeran yang sudah berkali-kali memainkan karakter serupa dalam film ini adalah Shannon dan Spencer. Shannon tentu saja melalui karakter-karakter seperti Richard Kuklinski dalam The Iceman (2012) dan General Zod dalam Man of Steel (2013) mampu menjadi penjahat supersadis dengan dekorasi kehidupan ironis keluarganya. Ia tampil sebagai manusia tanpa hati ketika di tempat kerja namun sediam patung ketika di rumahnya yang hangat. Sementara Spencer sudah tidak asing dengan peran pendukung yang banyak bicara. Menurut saya ia bisa melakukannya dengan mudah bahkan dalam tidurnya. Ia menunjukkan penampilan yang sangat baik di sini, namun saya merasa bahwa nominasi Oscar untuknya tidak pas. Spencer masih dapat melakukan peran-peran yang lebih menarik lagi daripada yang ia mainkan di film ini. Satu pemeran pendukung yang benar-benar berhasil mencuri perhatian adalah Jenkins. Selain naskah del Toro dan Taylor yang memang memberikannya karakter menarik, Jenkins menghidupkan karakter tersebut dengan kepolosan dan keputusasaan yang tiada tara. Di satu waktu ia grogi menghadapi pria pujaannya, kemudian ia bahagia menyaksikan acara musikal di televisi bersama Elisa, dan di waktu lain ia memelas kepada mantan rekan kerjanya untuk diberikan kesempatan sekali lagi. Semuanya itu membuat karakternya terasa sangat hidup. Namun tentu saja film ini sepenuhnya memberikan panggung tertinggi pada Hawkins. Dengan hampir tanpa dialog, Hawkins berhasil menggaungkan emosi yang lebih kuat dari sekedar kata-kata. Di awal cerita, Hawkins sukses menyuntikkan aura kesendirian, kesepian, dan kehilangan sesuatu yang membuat hidup Elisa tidak lengkap. Ia tampak sering termenung. Namun Hawkins tidak serta-merta memainkan sosok Elisa sebagai pemelas. Ia menikmati musik, yang mungkin merupakan renjana (passion) terbesar dalam hidupnya. Sementara di akhir cerita Hawkins semakin menunjukkan giginya dengan memainkan Elisa sebagai sosok yang penuh kepercayaan diri, berani, namun tetap sadar ia akan kehilangan sesuatu berharga yang dinantinya selama ini. Sebuah penampilan memukau, klasik, dan terbaik dalam karier sang aktris.
Saya ingin menutup ulasan ini dengan mengatakan bahwa The Shape of Water sebenarnya telah melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai sebuah dongeng. Kita selalu mengingat dongeng-dongeng masa kecil melalui penyederhanaan inti ceritanya. Putri tidur yang merindukan ciuman dari cinta sejati dalam Sleeping Beauty, wanita cantik yang terlibat romansa dengan mahluk ganas dalam Beauty and the Beast, atau kisah anak durhaka pada ibu dalam Malin Kundang adalah beberapa contohnya. Maka sesungguhnya film ini pun hanya akan diingat sebagai film di mana a woman sleeps with a fish. Sebuah penyederhanaan efektif bukan? Meskipun begitu harus diakui pencapaian terbesar film ini ada pada penyutradaraan, desain visual, serta musik yang telah menaikkan standar film fantasi. Setelah film ini, sineas di masa mendatang harus berpikir dua kali dalam merancang tampilan film fantasi mereka, karena penonton ingin mendapatkan sensasi yang tidak kurang seperti saat menyaksikan The Shape of Water. Sungguh sebuah pemanja mata, namun lewat begitu saja di hati. Saya memberinya 3.5 bintang. Ada yang punya komentar?
Watch this if you liked:
Pan's Labyrinth (2006)
Director: Guillermo del Toro
Stars: Ivana Baquero, Ariadna Gil, Sergi López
Genre: Drama, Fantasy, War
Runtime: 118 minutes
Amélie (2001)
Director: Jean-Pierre Jeunet
Stars: Audrey Tautou, Mathieu Kossovitz, Rufus
Genre: Comedy, Romance
Runtime: 122 minutes
Diceritakan selayaknya sebuah dongeng, The Shape of Water dibuka dengan suara seorang narator yang menyebutkan beberapa kemungkinan penyebutan sang tokoh utama yang kisah hidupnya akan segera dimulai. Tokoh utama tersebut muncul dalam wujud seorang wanita bisu bernama Elisa Esposito (Sally Hawkins). Ia adalah wanita kesepian yang tinggal di apartemen sederhana di atas sebuah bioskop. Ia hanya punya dua sahabat, yang satu adalah tetangganya Giles (Jenkins) yang tenggelam dalam dunia pertunjukan musikal klasik dan yang lainnya adalah rekan kerjanya yang banyak bicara, Zelda (Octavia Spencer). Pada malam hari, ia bekerja sebagai petugas kebersihan sebuah fasilitas penelitian luar angkasa rahasia milik pemerintah AS di masa perang dingin. Suatu malam, ia dan Zelda menjadi saksi ditemukannya makhluk misterius sejenis manusia amfibi yang ditangkap dari Amerika Selatan. Orang yang berhasil menangkap makhluk misterius itu adalah Richard Strickland (Michael Shannon), anggota elit militer dengan perangai sadis. Ia memperlakukan makhluk tersebut layaknya tawanan perang yang pantas didera siksaan. Padahal makhluk tersebut awalnya ditangkap untuk dijadikan objek penelitian bagi Dr. Robert Hoffstetler (Michael Stuhlbarg). Merasa sama-sama menjadi makhluk terabaikan di dunia ini, Elisa tidak dapat mengelak kedekatan hatinya dengan makhluk dua alam itu. Namun dunia tetap melaksanakan tugasnya sebagai pembawa perkara pelik, bahkan di saat Elisa mulai merasakan kebahagiaan sejati. Elisa pun tidak ingin tinggal diam seperti yang selama ini ia lakukan. Maka terukirlah kisah kasih dua makhluk berbeda spesies.
The Shape of Water adalah sebuah dongeng dalam arti yang paling harfiah. Naskah dan film ini sendiri pun tidak menghindar dari definisi tersebut, dan bahkan dengan bangga merangkul semua aspek yang ada dalam sebuah dongeng ke dalam penuturan ceritanya. Semua tokoh dalam film ini dapat dibelah bagai Laut Merah di zaman Nabi Musa: mereka yang antagonis dan protagonis. Selain itu film ini tentunya memiliki nilai-nilai moral yang coba diusung ke hadapan penonton. Film ini juga dibagi menjadi tiga babak yang mulus melaju hingga penutup yang semakin menyemarakkan dongeng ini. Namun, itu justru menjadi kelemahan pertama The Shape of Water: semuanya telah tersusun rapi pada tempatnya sehingga meniadakan ruang bagi kejutan dan inovasi jalan cerita. Alur cerita film ini terkontrol dengan sangat baik dari awal hingga akhir. Penonton memahami karakter-karakter dalam film ini dengan baik, menangkap nilai-nilai moral yang diselipkan di sepanjang cerita, mengapresiasi semua hiasan visualnya yang memang sangat indah, dan menikmati lantunan musik dengan segala tariannya. Tanpa diragukan lagi film ini jelas telah memenuhi semua checklist kriteria film bagus. Tetapi itu semua tidak cukup meninggalkan jejak di hati karena tidak ada satu adegan pun yang benar-benar menyentuh. Di sepanjang durasi film, tidak ada satu momen pun yang saya nantikan kedatangannya. Semuanya berjalan pada lajur yang paling normatif, yang tentu saja sangat disayangkan.
Sekarang saya pasti banyak dikecam para penggemar film ini. Tapi jangan salah, meski saya mengatakan film ini tidak menyentuh, itu bukan berarti film ini tidak menarik atau cacat dari segi kualitas, karena seperti yang saya katakan: semuanya telah tersusun rapi pada tempatnya. Mari kita mulai dari naskah yang ditulis oleh del Toro yang berduet dengan Vanessa Taylor, dedengkot di balik serial Game of Thrones. Naskah The Shape of Water menyajikan karakterisasi yang sederhana namun cukup menyentil. Sebagian besar dari karakter yang diciptakan del Toro dan Taylor adalah perwakilan kelompok yang terbuang dan dianggap sebagai warga kelas dua oleh masyarakat. Mulai dari tokoh utamanya Elisa dan kekasihnya si makhluk asing yang mencerminkan kekurangan fisik dan simbol dari keburukan dan ketidakberuntungan. Kedua tokoh utama ini memang berbeda spesies, namun yang pasti penonton sadari adalah bahwa mereka memiliki banyak persamaan, utamanya yang berhubungan dengan kesedihan. Mereka sama-sama tidak dapat mengekspresikan diri melalui kata-kata yang dipahami khalayak ramai; mereka menempati posisi terendah di stratifikasi masyarakat: yang satu karena cacat fisik, sedangkan yang lain tentu karena dianggap bukan bagian dari manusia; mereka juga sama-sama kesepian dalam hidupnya masing-masing. Maka, tatkala takdir mempertemukan mereka tidak ada yang dapat menghalangi hubungan kedekatan dan simpati yang mereka jalin, sekalipun mereka tidak mengerti bahasa satu sama lain. Pada akhirnya mereka merupakan perwujudan kutub positif dalam peta hubungan kemanusiaan. Mereka adalah orang terzalimi yang akan selalu mendapat berkah di akhir cerita.
Lain halnya dengan karakter antagonis dalam film ini, yaitu Strickland. Ia adalah cerminan jenis manusia paling busuk di tengah masyarakat, tetapi tidak pernah benar-benar dapat disalahkan. Dalam pandangan anak dan istrinya, ia adalah kepala rumah tangga yang berhasil menciptakan dan memimpin sebuah keluarga paling ideal: sukses, mapan, jantan, dan kuat. Di pekerjaannya ia adalah anggota elit militer yang dipercaya memegang tanggung jawab besar. Ia selalu siap menjalankan tugasnya dan siap pula menyingkirkan mereka yang merintanginya dalam menggugurkan tanggung jawab pekerjaan. Di sinilah letak kebiadabannya. Ia tidak puas hanya dengan melakukan pekerjaannya, tetapi ia juga mempunyai gaya tersendiri dalam bekerja. Ia akan memengaruhi semua orang termasuk atasannya untuk menjadi otoritas yang berkuasa. Ya, ia haus dengan kekuasaan, ia tamak, dan tentunya ia ingin menjadi simbol kesuksesan sejati. Ia adalah pewujudan kutub negatif dalam peta hubungan kemanusiaan. Ia adalah tokoh penjahat yang akan selalu mendapat azab di akhir cerita.
Tokoh-tokoh utama dalam The Shape of Water, baik antagonis dan protagonis semuanya memiliki kepribadian linier (bukan gradasi), di mana masing-masing tokoh menempati titik ekstrim positif dan negatif. Sangat klasik bukan? Oleh karena itu seandainya saya semata-mata ditawari menonton kehidupan tokoh utamanya saja, maka jujur harus saya katakan saya akan mati kebosanan. Anda boleh mengatakan hati saya sekeras batu bila tidak tersentuh dengan cerita dua tokoh protagonisnya yang sama-sama menderita dalam hidupnya. Tetapi saya akan bergeming karena saya tidak akan mampu menjual hati kepada penjaja kisah menyedihkan macam itu. Untunglah film ini juga menawarkan warna kehidupan lain selain tokoh utama antagonis dan protagonisnya. Mereka adalah sepasukan tokoh pendukung yang secara mengejutkan menyimpan cerita yang lebih menarik. Saya dapat merasakan del Toro dan Taylor tidak hanya sekedar menempelkan peran pendukung dalam kisah romantis ini, tetapi mereka juga menaruh minat pada dimensi kehidupan tokoh-tokoh sekunder tersebut. Ambil contoh Giles, tetangga Elisa yang hidupnya penuh dengan angan-angan mendapatkan kehangatan seorang lelaki yang lebih muda darinya. Ia kehilangan pekerjaan akibat keputusasaannya dan tidak akan pernah tahu apakah dapat kembali merebut kariernya. Ada pula kisah Zelda yang meski di hampir dua pertiga cerita hanya wara-wiri di layar (dalam arti sesungguhnya) tetapi menyimpan konflik rumah tangga yang telah dibiarkan menjadi bubur. Belum lagi jika berbicara posisinya sebagai wanita kulit hitam di AS tahun 60-an. Bahkan dalam perannya sebagai karikatur sempurna era perang dingin, Dr. Hoffstetler pun memiliki daya pikat tersendiri melalui posisinya yang terombang-ambing antara idealisme sebagai ilmuwan dan pragmatisme sebagai warga negara sekaligus mata-mata. Saya merasa bahwa tokoh-tokoh pendukung tersebut ditulis del Toro dan Taylor jauh lebih baik ketimbang tokoh-tokoh utamanya. Sebagian mungkin karena mereka tidak terikat pada suatu takdir yang sudah diketahui di akhir cerita sebagaimana para tokoh utama. Sebagian lagi mungkin karena merekalah yang membuat suasana menjadi lebih realistis di sepanjang jalan cerita, kontras dengan yang terjadi pada tokoh utamanya yang hidup di negeri dongeng. Mereka semua menjaga penonton tetap membumi dan menyadari bahwa tokoh-tokoh tersebut hidup di dunia nyata terlepas dari kisah ajaib yang tersaji di layar.
Sayangnya, semua tokoh pendukung itu meski telah memiliki latar belakang yang dibangun dengan begitu baik ternyata hanya difungsikan sebagai bidak bagi tokoh utamanya dalam mencapai keinginan mereka. Alhasil, penggunaan tokoh pendukung tersebut pun terkesan hanya dibuat-buat dan terasa palsu. Giles dan Zelda, tokoh yang telah diciptakan dengan mantap sebagai sahabat Elisa harus dicampakkan martabatnya demi mendukung alur cerita "Ocean Eleven" (baca: pencurian). Mereka berbagi tugas, merubah pikiran dengan cara yang sangat mencolok, dan menjadi karakter tanpa pendirian teguh. Begitu pula Dr. Hoffstetler yang harus menerima nasib semata-mata hanya sebagai seorang pengkhianat. Padahal ia memiliki motif dan latar cerita yang cukup untuk dapat dikembangkan menjadi sesuatu yang lebih menarik.
Berlanjut ke pengembangan cerita, naskah del Toro dan Taylor sebenarnya menyentuh cukup banyak isu nyata. Satu yang paling kentara tentu saja hubungan antara Elisa dan si manusia amfibi yang menjadi simbol cinta tanpa batas dan penerimaan akan segala bentuk perbedaan (bahkan yang paling ekstrim sekalipun). Penonton juga dapat menangkap bahwa selama ada keyakinan yang kuat, maka berbagai halangan dapat diatasi. Naskah del Toro dan Taylor juga mencoba menggoyahkan persepsi umum bahwa segala sesuatu yang dicap monster pasti beriringan dengan sifat-sifat buruk, begitu pun sebaliknya. Terkadang kita sebagai manusia dapat melakukan perbuatan yang lebih keji daripada gambaran monster yang ada dalam dongeng. Pada akhirnya kita tidak dapat memberikan penilaian negatif kepada siapapun sebelum benar-benar mengenalnya dengan baik. Berprasangka buruk kepada orang lain (atau makhluk lain?) sama saja dengan menjadi seorang xenophobe. Akan tetapi sebagaimana dalam karakterisasi, pengembangan cerita The Shape of Water juga dibuat serbatanggung. Del Toro dan Taylor sempat menyinggung isu-isu seperti seksualitas wanita, kesepian, homoseksualitas, nilai-nilai machismo yang berlebihan, dan pelecehan seksual. Malangnya semua isu tersebut hanya sebagai dekorasi saja, tempelan-tempelan yang mungkin mereka pikir akan dapat menambah lapisan cerita. Namun tentu saja lapisan cerita tidak dapat terbentuk hanya dengan menyelipkan beberapa adegan atau dialog dangkal dan diperlakukan hanya sepintas lalu saja.
Naskah del Toro dan Taylor bahkan menurut saya kurang mengeksplorasi romansa antara Elisa dan sang manusia amfibi. Seperti telah disebut di atas kita semua tahu bahwa hubungan mereka dibangun atas dasar persamaan nasib. Namun satu hal yang mengganjal dari hubungan mereka adalah ketidakseimbangan emosi antara dua makhluk tersebut. Elisa diperlihatkan hampir mendapatkan semua yang ia inginkan selama ini: sosok yang memahami kesendiriannya, pemuas kebutuhan biologis, hingga memberikan harapan akan adanya cinta untuk dirinya yang nestapa. Tetapi bagaimana dengan si manusia amfibi? Apa yang ia dapatkan dari Elisa? Selain perlindungan dari perlakuan kejam Strickland, kita tidak tahu keadaan emosinya. Bahkan pada saat-saat bersama Elisa pun penonton tidak memahami apakah ia memiliki perasaan yang sama terhadap Elisa? Menurut saya di sinilah letak perbedaan monster yang diciptakan del Toro dan Taylor dengan monster-monster di film lain yang mungkin menginspirasinya. Beberapa referensi paling kentara yang diambil film ini adalah Beauty and the Beast (1991), E.T. the Extra-Terrestrial (1982), atau Edward Scissorhands (1990). Namun kesemua film itu menunjukkan adanya dinamika emosi yang terlihat dari sosok yang dianggap "monster". Sementara manusia amfibi dalam The Shape of Water bukan hanya bisu tetapi sudah mengarah ke sosok hewan semata yang akan kesakitan ketika disiksa dan membantu majikan yang ia kenali sebagai sosok yang telah membantunya.
Meski demikian, saya rasa kekuatan utama The Shape of Water ada pada tampilan visualnya. Tiga hal yang sangat mengagumkan dari visual film ini adalah pergerakan kamera, permainan warna, dan pencahayaan setiap adegan. Penata gambar Dan Laustsen yang sebelumnya pernah dua kali menjalin kerja sama dengan del Toro menelurkan kinerja luar biasa dalam hal pergerakan kamera. Ia telah memperkuat air sebagai elemen terpenting dalam narasi film ini sekaligus menekankan metafora air yang memiliki sifat selalu mengalir bebas. Semua adegan dalam film ini diambil dengan kamera yang selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, memperlihatkan berbagai situasi dalam satu adegan. Pada adegan-adegan di bawah air, penonton akan merasa kamera benar-benar mengambang di sekeliling aktor. Sementara pada adegan-adegan lain pun kamera tidak pernah terasa diam dan selalu bergerak mengikuti para aktornya atau berpindah dari sudut ke sudut lain saat ada adegan statis. Pergerakan kamera seperti itu memperkaya imajinasi penonton serta mampu mempertahankan intensitas jalan cerita di sepanjang durasi film.
Kecakapan Laustsen berikutnya adalah permainan warna. Hijau dan biru menjadi warna utama di sepanjang film dengan beberapa variasi merah, oranye, dan hitam-putih di beberapa adegan. Saya tidak dapat menghitung berapa jumlah adegan yang menjadi favorit saya karena unsur-unsur warnanya yang bersatu begitu indah. Salah satu adegan yang tidak dapat saya lupakan adalah di mana Elisa duduk menunggu bis di samping seorang pria yang memegang balon berwarna hijau, biru, dan kuning. Saya langsung berdecak kagum melihat perpaduan warna dalam satu bingkai yang sangat menonjolkan suasana gelap, dingin dan sepi. Suasana seperti itu terasa di hampir separuh durasi film namun perlahan digantikan dengan suasana yang lebih hangat dan bahagia seiring dengan berseminya hubungan Elisa dan manusia amfibi. Salah satu latar yang jelas memperlihatkan perubahan suasana itu adalah kamar mandi Elisa yang disorot dengan warna keemasan melalui cahaya matahari dari jendela saat ia berhasil memboyong sang pujaan hati. Sebelumnya ia selalu digambarkan sendiri dalam kamar mandi yang didominasi warna hijau temaram.
Aspek visual terpuji lainnya adalah pencahayaan. Sebagian besar gambar dalam film ini terkesan gelap dan kelam yang dihasilkan dari permainan warna dingin dan kaku serta teknik pencahayaan yang tampak berasal dari satu sumber dan kemudian secara remang-remang menerangi tokoh yang tampil di layar. Hasil dari pencahayaan ini menunjukkan gambar-gambar seperti dalam mimpi di mana semuanya tampak kabur dan berjalan secara lambat. Uniknya kesan dingin dan kaku tersebut akan berubah mengikuti karakter masing-masing tokoh film ini jika kita melihat dari dekat wajah mereka. Laustsen menggunakan sarana bayangan untuk menciptakan efek tersebut. Elisa dalam gambar sorot dekat akan tampil sebagai sosok lemah yang butuh pertolongan. Sebaliknya Strickland akan tampak seperti iblis yang berkeliaran mencari mangsa. Semuanya terasa pas dan mendukung karakterisasi tokoh-tokoh film ini.
Musik latar juga menjadi nilai lebih dari The Shape of Water. Penggubah musik film Alexandre Desplat berhasil menciptakan berbagai sensasi seperti kehangatan, kesepian, kehidupan dalam mimpi, kejutan misterius, sekaligus ketegangan. Sama seperti pergerakan kamera Laustsen yang bekerja mengikuti kodrat air, begitu pula musik latar Desplat. Musik dalam film ini terasa merambat secara perlahan dan menyesuaikan suasananya mengikuti setiap alur cerita yang tampil di layar. Musik Desplat tidak terasa menonjol dalam arti tidak mengganggu fokus penonton, ia terasa transparan seperti air, dan justru semakin memperkuat citra tokoh-tokoh dalam film ini. Terkadang musik latar Desplat terdengar memainkan serangkaian nada yang semakin lama semakin tinggi dan kemudian bergulung turun perlahan-lahan, persis seperti gelombang di laut. Salah satu musik latar favorit saya (selain tentunya di adegan pembuka) ada dalam adegan di mana Elisa dan manusia amfibi memadu kasih di dalam kamar mandi yang dibanjiri air. Musik dalam adegan tersebut terasa bahagia, jauh dari kesan kesepian seperti yang selama ini dirasakan Elisa. Tanpa diragukan lagi, musik latar Desplat memang bekerja sesuai dengan prinsip air: ia mengikuti bentuk sesuai dengan wadahnya, mengisi adegan sesuai dengan nuansa yang terpancar di layar.
Dari segi aktor dan aktris, The Shape of Water adalah salah satu film yang tahu benar akan kemampuan serta portofolio para pemerannya. Dua pemeran yang sudah berkali-kali memainkan karakter serupa dalam film ini adalah Shannon dan Spencer. Shannon tentu saja melalui karakter-karakter seperti Richard Kuklinski dalam The Iceman (2012) dan General Zod dalam Man of Steel (2013) mampu menjadi penjahat supersadis dengan dekorasi kehidupan ironis keluarganya. Ia tampil sebagai manusia tanpa hati ketika di tempat kerja namun sediam patung ketika di rumahnya yang hangat. Sementara Spencer sudah tidak asing dengan peran pendukung yang banyak bicara. Menurut saya ia bisa melakukannya dengan mudah bahkan dalam tidurnya. Ia menunjukkan penampilan yang sangat baik di sini, namun saya merasa bahwa nominasi Oscar untuknya tidak pas. Spencer masih dapat melakukan peran-peran yang lebih menarik lagi daripada yang ia mainkan di film ini. Satu pemeran pendukung yang benar-benar berhasil mencuri perhatian adalah Jenkins. Selain naskah del Toro dan Taylor yang memang memberikannya karakter menarik, Jenkins menghidupkan karakter tersebut dengan kepolosan dan keputusasaan yang tiada tara. Di satu waktu ia grogi menghadapi pria pujaannya, kemudian ia bahagia menyaksikan acara musikal di televisi bersama Elisa, dan di waktu lain ia memelas kepada mantan rekan kerjanya untuk diberikan kesempatan sekali lagi. Semuanya itu membuat karakternya terasa sangat hidup. Namun tentu saja film ini sepenuhnya memberikan panggung tertinggi pada Hawkins. Dengan hampir tanpa dialog, Hawkins berhasil menggaungkan emosi yang lebih kuat dari sekedar kata-kata. Di awal cerita, Hawkins sukses menyuntikkan aura kesendirian, kesepian, dan kehilangan sesuatu yang membuat hidup Elisa tidak lengkap. Ia tampak sering termenung. Namun Hawkins tidak serta-merta memainkan sosok Elisa sebagai pemelas. Ia menikmati musik, yang mungkin merupakan renjana (passion) terbesar dalam hidupnya. Sementara di akhir cerita Hawkins semakin menunjukkan giginya dengan memainkan Elisa sebagai sosok yang penuh kepercayaan diri, berani, namun tetap sadar ia akan kehilangan sesuatu berharga yang dinantinya selama ini. Sebuah penampilan memukau, klasik, dan terbaik dalam karier sang aktris.
Saya ingin menutup ulasan ini dengan mengatakan bahwa The Shape of Water sebenarnya telah melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai sebuah dongeng. Kita selalu mengingat dongeng-dongeng masa kecil melalui penyederhanaan inti ceritanya. Putri tidur yang merindukan ciuman dari cinta sejati dalam Sleeping Beauty, wanita cantik yang terlibat romansa dengan mahluk ganas dalam Beauty and the Beast, atau kisah anak durhaka pada ibu dalam Malin Kundang adalah beberapa contohnya. Maka sesungguhnya film ini pun hanya akan diingat sebagai film di mana a woman sleeps with a fish. Sebuah penyederhanaan efektif bukan? Meskipun begitu harus diakui pencapaian terbesar film ini ada pada penyutradaraan, desain visual, serta musik yang telah menaikkan standar film fantasi. Setelah film ini, sineas di masa mendatang harus berpikir dua kali dalam merancang tampilan film fantasi mereka, karena penonton ingin mendapatkan sensasi yang tidak kurang seperti saat menyaksikan The Shape of Water. Sungguh sebuah pemanja mata, namun lewat begitu saja di hati. Saya memberinya 3.5 bintang. Ada yang punya komentar?
Watch this if you liked:
Pan's Labyrinth (2006)
Director: Guillermo del Toro
Stars: Ivana Baquero, Ariadna Gil, Sergi López
Genre: Drama, Fantasy, War
Runtime: 118 minutes
Amélie (2001)
Director: Jean-Pierre Jeunet
Stars: Audrey Tautou, Mathieu Kossovitz, Rufus
Genre: Comedy, Romance
Runtime: 122 minutes