![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEguDr2x6BaWfPVUwMfMLO9R9xBPabP5fxBYsbYtDVrLYI_K9RorBb3zC68_SP3DAJ463L2iNzuvuwUdveiEz2XaCaYV3x6WbAd8g1CTMDqis7XvejOgbjYSZCtX1-VtKWU7eREmCcDi52W9/s1600/MV5BMTM4ODg0MzM0MV5BMl5BanBnXkFtZTcwNDY2MTc3Nw@@._V1_SY317_CR1,0,214,317_.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJzqoko98YU9vfJw2-A-_eaxTgmPFkPGkd_dJpckn74_1JDxh4MWC5CKa6gmQ8PiulSyXRZdN4il2JbS3hiRbasFCeZYpWV-lj2oO2_qGelhHrh9_WPKYNTPOXdj3p2E8eJyQhp1FykyGc/s320/paperman-e1359743749773.jpg)
Film pendek ini sangat membekas dalam diri saya untuk waktu yang lama setelah selesai menontonnya. John Kahrs - sang sutradara - telah menyajikan satu gambaran yang sangat tepat tentang kehampaan hidup masyarakat perkotaan. Meski dari gambar stasiun di mana George dan Meg bertemu penonton dapat menangkap bahwa cerita ini berlatar sekitar tahun '50-an, namun kehidupan masyarakat perkotaan belum banyak berubah hingga masa kini. Masyarakat perkotaan adalah sekumpulan orang yang terjebak dalam rutinitas tak berujung, memerangkap mereka menjadi kumpulan orang-orang dengan karakter individualis, dan pada akhirnya mereka harus mengaku dan menyerah pada diri masing-masing bahwa mereka bukanlah siapa-siapa melainkan manusia-manusia yang menjalani kehidupan hampa. Ya, kehidupan masyarakat perkotaan bersifat abadi dan akan selalu berwajah sama. Ia adalah tipe kehidupan yang tidak dapat disandingkan dengan waktu.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjgsN_wj-n4otYFUP07X1d0lnJRTSTqZJ4K3v9Z0upkWDWu9NEirzvkygFl0zgkH83IsF_p3gFKxb_h1Ab5uFPe5gZekIirqKZ-GXe8V5IOPV0agpNUUYrhehlr1tY0D4q2md3yAttAhZok/s320/Paperman3.jpg)
Kehidupan perkotaan yang ironis karena banyak orang merasa kesepian di tengah keramaian itulah yang membuat Paperman terasa begitu dekat, personal, dan emosional bagi para penontonnya. Semua orang merasa terhubung, bahkan sebagian dari mereka ada yang seperti bercermin dengan sang tokoh utama. George, seorang pemuda kesepian yang tinggal di kota besar merasa ekspresinya kembali menyala hanya karena sebercak bekas lipstik. Ia pun berimajinasi apakah kehidupan sepinya itu akan berakhir dengan hadirnya wanita yang dengan bercak bibir merahnya saja sudah dapat membuatnya hidup kembali. Ketika Meg pergi secepat ia memasuki hati dan imajinasi George, pria itu merasa kosong dan sakit seperti baru saja dilambungkan tetapi kemudian dijatuhkan dari ketinggian secara tiba-tiba.
Seakan merasa belum puas jika hanya menggambarkan kehidupan masyarakat kota, Kahrs semakin menusuk penonton tepat di jantung dengan ide cerita tentang kemauan dan perjuangan. Dalam Paperman, George memiliki keberanian menerabas segala rintangan untuk mendapatkan Meg, melawan mereka yang berupaya menghalangi niatnya, bahkan mempertaruhkan apa yang ia miliki. Padahal ia sendiri belum kenal siapa Meg sebenarnya, belum mengetahui seperti apa wanita itu dalam kesehariannya, dan apakah ia menyukai George sedalam yang ia rasakan. Ia tidak tahu apakah perjuangannya itu akan berhasil. Bahkan jika Meg mau berkenalan dengannya, George juga tidak tahu apakah hubungan mereka akan terus berlanjut dan berjalan lancar seperti impiannya. Ia hanya mengikuti hati dan intuisinya yang berkata,"Ya! Dialah gadis yang selama ini kucari!" Ia hanya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan kedua yang datang padanya ketika melihat Meg di seberang jalan. George merasa bahwa Meg adalah belahan jiwanya, pelengkap dirinya, obat mujarab bagi kehidupannya yang hampa. Singkatnya, George tahu bahwa the world was built for two, dunia ini diciptakan berpasang-pasangan dan ia tengah dalam upaya mencari salah satunya. Dari keberanian George tersebut, Kahrs ingin membangkitkan semangat juang dan kemauan yang sejatinya dimiliki setiap orang, bahkan yang kesepian sekalipun. Kahrs mengajak penonton untuk berani menggali dan mencari letak dua potensi itu dalam diri masing-masing. Sekalipun kita sama sekali tidak tahu apakah usaha kita akan berbuah manis, yang terpenting adalah jangan pernah membuang kesempatan karena ia sangat sulit ditemukan. Hasil adalah akibat dari proses, dan proses itu termasuk keberanian mengambil kesempatan. Jadi ini semua bukan perkara hasil, tetapi bagaimana memanfaatkan kesempatan dengan baik.
Membicarakan Paperman belum lengkap jika tidak membahas aspek visualisasinya yang menawan. Saat menyaksikan film ini saya merasa sangat nyaman menyaksikan gerakan-gerakan yang dilakukan setiap objek yang tampak di layar, baik itu berupa makhluk hidup maupun benda mati. Saya bukan ahli desain grafis, tetapi entah mengapa saya tahu ada sesuatu yang berbeda dari tampilan film pendek ini, sesuatu yang tidak pernah saya lihat sebelumnya dalam film-film animasi lain. Ternyata rahasia dari tampilan memukau Paperman ada pada teknik pembuatan animasi yang baru saja ditemukan oleh Kahrs, yaitu menggabungkan animasi dua dimensi dengan tiga dimensi. Pantas saja saya merasa nyaman melihat gerakan objek-objek di layar, karena film pendek ini menyuguhkan dua sensasi berbeda di saat yang bersamaan. Gambar tubuh George dan Meg dibuat langsung dengan tangan-angan imajinatif dan kreatif para animator. Untuk itu tidak heran jika saat menonton film pendek ini kita dapat merasakan ekspresi yang hidup dari stiap garis-garis dan bentuk-bentuk tubuh dan gerakannya. Gambar dua dimensi tersebut menghadirkan desain indah yang terkesan sangat organik, maksud saya gambar menjadi begitu hidup, lentur, dan tampak alami. Di saat yang sama, penonton juga dapat merasakan kemegahan pemandangan tiga dimensi yang dibuat dengan CG. Pemandangan tersebut terlihat sangat stabil, imajinatif berkat bentuk tiga dimensinya, dan entah mengapa terlihat sangat kokoh. Bagi saya menyaksikan hibridasi teknik pembuatan animasi tersebut di layar merupakan suatu kehormatan untuk mencicipi hasil kreativitas para animator sekaligus mendapatkan pengalaman visual yang sangat membekas di benak. Satu lagi yang paling menonjol terlihat dari film pendek ini adalah warna hitam-putih dengan sedikit sentuhan merah di sepanjang cerita. Warna hitam dan putih tersebut tidak hanya sukses menghadirkan nuansa klasik dan retro dari latar cerita ini, tetapi juga berhasil mewujudkan metafora perasaan terkurung, keterasingan, kesepian, dan kehampaan hidup George di kota besar.
Paperman adalah sebuah persembahan Disney yang sangat menarik. Bukan hanya karena ia telah memberikan secercah harapan baru pada masa depan animasi dua dimensi (seperti kita tahu rumah produksi yang melahirkan Mickey Mouse ini terakhir kali merilis animasi dua dimensi pada The Princess and The Frog (2009)), tetapi juga karena keberhasilannya menemukan kembali makna pilihan hidup, bahwa terkadang menggabungkan dua unsur berlawanan adalah hal yang pantas dicoba. Dengan durasi hanya sekitar 6 menit 30 detik, Paperman telah memperlihatkan pada penonton bahwa kesempatan adalah barang langka yang harus diperjuangkan, tidak peduli bagaimanapun hasil akhirnya. George pun telah membuktikan hal itu. Mungkin alur dan akhir cerita film pendek ini sepintas terlihat klise (dan saya tidak bisa mengatakan tidak), tetapi setidaknya ia mengusung pemahaman yang kita semua sepakati, bahwa tidak ada yang dapat melawan takdir. Saat ia datang menghampiri manusia, maka terjadilah ketentuan takdir itu, seberapapun kita pesimis terhadapnya. Well, terkadang sajian nikmat yang penuh makna tidak harus selalu berasal dari karya seni berdurasi dua-tiga jam. Terkadang 6 menit 30 detik sudah dapat membuat hati kita tersenyum selama berhari-hari. It's great, 5 of 5 stars. Ada yang punya komentar?
![](https://signatures.mylivesignature.com/54487/133/65C55CBF6C687BCF35E213A7B5FDEAE9.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar