Minggu, 04 Maret 2018

The Shape of Water: Deep in the Water but not in Heart

Saya selalu menaruh rasa curiga pada penyederhanaan dalam memahami suatu film. Saya takut penyederhanaan semacam itu dapat merendahkan suatu film. Ide cerita dalam sebuah film belum tentu dapat diserap seutuhnya hanya dengan melihat apa yang disajikan di layar. Seringkali suatu film justru menggaungkan suara kerasnya ke kepala penonton melalui provokasi untuk berpikir lebih dalam, memberikan stimulasi untuk mengamati gambaran yang lebih besar, dan mendulang makna yang lebih luas dari cerita tersebut. Salah satu contoh sempurna dari jenis film seperti itu adalah Brokeback Mountain (2005). Pada saat film tersebut naik layar bioskop di berbagai belahan dunia, banyak orang hanya menganggapnya sebagai gay cowboy movie. Siapa saja yang sudah menonton dan mencernanya tentu akan menolak mentah-mentah cap tersebut. Akan tetapi, dengan berbagai pujian dari hampir semua kritikus dan penikmat film, ternyata masih lebih banyak lagi orang yang bahkan tidak mau menonton film tersebut karena berbagai hal. Lebih menyakitkan lagi adalah ketika ajang penghargaan sekelas Oscar jelas memandang sebelah mata film ini dalam pemilihan Best Picture. Semua pujian dan kontroversi itu menunjukkan bahwa film tersebut lebih dari sekedar sebuah tragedi, melainkan mampu membuka ruang diskusi publik. Meski demikian, memang harus diakui bahwa ada jenis film lain, yaitu film yang ingin memberikan pengalaman menonton selintas waktu dan kemudian mengingatnya hanya dengan sebuah penyederhanaan. Salah satu film yang termasuk jenis itu menurut saya adalah The Shape of Water (2017), atau seperti yang disebut salah satu pemerannya, Richard Jenkins dalam sebuah acara talkshaw, a woman sleeps with a fish.

The Shape of Water merupakan sebuah film yang dapat memuaskan fantasi pencinta dongeng. Dalang yang bertanggung jawab atas pertunjukan ini adalah sineas asal Meksiko Guillermo del Toro (Pan's Labyrinth, Mimic) yang memang sudah terkenal dengan sensitivitas imajinasinya dalam mengolah cerita fantasi. Sebagaimana banyak ditunjukkan pada karya-karya sebelumnya, del Toro kali ini juga menciptakan karakter bukan manusia yang mampu mengorek isi hati manusia dan memiliki hati lebih manusiawi dibanding beberapa jenis manusia itu sendiri. Kali ini tampaknya del Toro lebih banyak menyerap inspirasi dari berbagai dongeng atau cerita lain. Penonton mungkin akan mendapati ide cerita, tampilan tokoh-tokoh, atau tata adegan di film ini mirip dengan film atau cerita dongeng lain. Hal itu wajar saja karena del Toro sendiri mengakui ada beberapa film yang menstimulasi ide serta proses pengerjaan film ini.

Diceritakan selayaknya sebuah dongeng, The Shape of Water dibuka dengan suara seorang narator yang menyebutkan beberapa kemungkinan penyebutan sang tokoh utama yang kisah hidupnya akan segera dimulai. Tokoh utama tersebut muncul dalam wujud seorang wanita bisu bernama Elisa Esposito (Sally Hawkins). Ia adalah wanita kesepian yang tinggal di apartemen sederhana di atas sebuah bioskop. Ia hanya punya dua sahabat, yang satu adalah tetangganya Giles (Jenkins) yang tenggelam dalam dunia pertunjukan musikal klasik dan yang lainnya adalah rekan kerjanya yang banyak bicara, Zelda (Octavia Spencer). Pada malam hari, ia bekerja sebagai petugas kebersihan sebuah fasilitas penelitian luar angkasa rahasia milik pemerintah AS di masa perang dingin. Suatu malam, ia dan Zelda menjadi saksi ditemukannya makhluk misterius sejenis manusia amfibi yang ditangkap dari Amerika Selatan. Orang yang berhasil menangkap makhluk misterius itu adalah Richard Strickland (Michael Shannon), anggota elit militer dengan perangai sadis. Ia memperlakukan makhluk tersebut layaknya tawanan perang yang pantas didera siksaan. Padahal makhluk tersebut awalnya ditangkap untuk dijadikan objek penelitian bagi Dr. Robert Hoffstetler (Michael Stuhlbarg). Merasa sama-sama menjadi makhluk terabaikan di dunia ini, Elisa tidak dapat mengelak kedekatan hatinya dengan makhluk dua alam itu. Namun dunia tetap melaksanakan tugasnya sebagai pembawa perkara pelik, bahkan di saat Elisa mulai merasakan kebahagiaan sejati. Elisa pun tidak ingin tinggal diam seperti yang selama ini ia lakukan. Maka terukirlah kisah kasih dua makhluk berbeda spesies.

The Shape of Water adalah sebuah dongeng dalam arti yang paling harfiah. Naskah dan film ini sendiri pun tidak menghindar dari definisi tersebut, dan bahkan dengan bangga merangkul semua aspek yang ada dalam sebuah dongeng ke dalam penuturan ceritanya. Semua tokoh dalam film ini dapat dibelah bagai Laut Merah di zaman Nabi Musa: mereka yang antagonis dan protagonis. Selain itu film ini tentunya memiliki nilai-nilai moral yang coba diusung ke hadapan penonton. Film ini juga dibagi menjadi tiga babak yang mulus melaju hingga penutup yang semakin menyemarakkan dongeng ini. Namun, itu justru menjadi kelemahan pertama The Shape of Water: semuanya telah tersusun rapi pada tempatnya sehingga meniadakan ruang bagi kejutan dan inovasi jalan cerita. Alur cerita film ini terkontrol dengan sangat baik dari awal hingga akhir. Penonton memahami karakter-karakter dalam film ini dengan baik, menangkap nilai-nilai moral yang diselipkan di sepanjang cerita, mengapresiasi semua hiasan visualnya yang memang sangat indah, dan menikmati lantunan musik dengan segala tariannya. Tanpa diragukan lagi film ini jelas telah memenuhi semua checklist kriteria film bagus. Tetapi itu semua tidak cukup meninggalkan jejak di hati karena tidak ada satu adegan pun yang benar-benar menyentuh. Di sepanjang durasi film, tidak ada satu momen pun yang saya nantikan kedatangannya. Semuanya berjalan pada lajur yang paling normatif, yang tentu saja sangat disayangkan.

Sekarang saya pasti banyak dikecam para penggemar film ini. Tapi jangan salah, meski saya mengatakan film ini tidak menyentuh, itu bukan berarti film ini tidak menarik atau cacat dari segi kualitas, karena seperti yang saya katakan: semuanya telah tersusun rapi pada tempatnya. Mari kita mulai dari naskah yang ditulis oleh del Toro yang berduet dengan Vanessa Taylor, dedengkot di balik serial Game of Thrones. Naskah The Shape of Water menyajikan karakterisasi yang sederhana namun cukup menyentil. Sebagian besar dari karakter yang diciptakan del Toro dan Taylor adalah perwakilan kelompok yang terbuang dan dianggap sebagai warga kelas dua oleh masyarakat. Mulai dari tokoh utamanya Elisa dan kekasihnya si makhluk asing yang mencerminkan kekurangan fisik dan simbol dari keburukan dan ketidakberuntungan. Kedua tokoh utama ini memang berbeda spesies, namun yang pasti penonton sadari adalah bahwa mereka memiliki banyak persamaan, utamanya yang berhubungan dengan kesedihan. Mereka sama-sama tidak dapat mengekspresikan diri melalui kata-kata yang dipahami khalayak ramai; mereka menempati posisi terendah di stratifikasi masyarakat: yang satu karena cacat fisik, sedangkan yang lain tentu karena dianggap bukan bagian dari manusia; mereka juga sama-sama kesepian dalam hidupnya masing-masing. Maka, tatkala takdir mempertemukan mereka tidak ada yang dapat menghalangi hubungan kedekatan dan simpati yang mereka jalin, sekalipun mereka tidak mengerti bahasa satu sama lain. Pada akhirnya mereka merupakan perwujudan kutub positif dalam peta hubungan kemanusiaan. Mereka adalah orang terzalimi yang akan selalu mendapat berkah di akhir cerita.

Lain halnya dengan karakter antagonis dalam film ini, yaitu Strickland. Ia adalah cerminan jenis manusia paling busuk di tengah masyarakat, tetapi tidak pernah benar-benar dapat disalahkan. Dalam pandangan anak dan istrinya, ia adalah kepala rumah tangga yang berhasil menciptakan dan memimpin sebuah keluarga paling ideal: sukses, mapan, jantan, dan kuat. Di pekerjaannya ia adalah anggota elit militer yang dipercaya memegang tanggung jawab besar. Ia selalu siap menjalankan tugasnya dan siap pula menyingkirkan mereka yang merintanginya dalam menggugurkan tanggung jawab pekerjaan. Di sinilah letak kebiadabannya. Ia tidak puas hanya dengan melakukan pekerjaannya, tetapi ia juga mempunyai gaya tersendiri dalam bekerja. Ia akan memengaruhi semua orang termasuk atasannya untuk menjadi otoritas yang berkuasa. Ya, ia haus dengan kekuasaan, ia tamak, dan tentunya ia ingin menjadi simbol kesuksesan sejati. Ia adalah pewujudan kutub negatif dalam peta hubungan kemanusiaan. Ia adalah tokoh penjahat yang akan selalu mendapat azab di akhir cerita.

Tokoh-tokoh utama dalam The Shape of Water, baik antagonis dan protagonis semuanya memiliki kepribadian linier (bukan gradasi), di mana masing-masing tokoh menempati titik ekstrim positif dan negatif. Sangat klasik bukan? Oleh karena itu seandainya saya semata-mata ditawari menonton kehidupan tokoh utamanya saja, maka jujur harus saya katakan saya akan mati kebosanan. Anda boleh mengatakan hati saya sekeras batu bila tidak tersentuh dengan cerita dua tokoh protagonisnya yang sama-sama menderita dalam hidupnya. Tetapi saya akan bergeming karena saya tidak akan mampu menjual hati kepada penjaja kisah menyedihkan macam itu. Untunglah film ini juga menawarkan warna kehidupan lain selain tokoh utama antagonis dan protagonisnya. Mereka adalah sepasukan tokoh pendukung yang secara mengejutkan menyimpan cerita yang lebih menarik. Saya dapat merasakan del Toro dan Taylor tidak hanya sekedar menempelkan peran pendukung dalam kisah romantis ini, tetapi mereka juga menaruh minat pada dimensi kehidupan tokoh-tokoh sekunder tersebut. Ambil contoh Giles, tetangga Elisa yang hidupnya penuh dengan angan-angan mendapatkan kehangatan seorang lelaki yang lebih muda darinya. Ia kehilangan pekerjaan akibat keputusasaannya dan tidak akan pernah tahu apakah dapat kembali merebut kariernya. Ada pula kisah Zelda yang meski di hampir dua pertiga cerita hanya wara-wiri di layar (dalam arti sesungguhnya) tetapi menyimpan konflik rumah tangga yang telah dibiarkan menjadi bubur. Belum lagi jika berbicara posisinya sebagai wanita kulit hitam di AS tahun 60-an. Bahkan dalam perannya sebagai karikatur sempurna era perang dingin, Dr. Hoffstetler pun memiliki daya pikat tersendiri melalui posisinya yang terombang-ambing antara idealisme sebagai ilmuwan dan pragmatisme sebagai warga negara sekaligus mata-mata. Saya merasa bahwa tokoh-tokoh pendukung tersebut ditulis del Toro dan Taylor jauh lebih baik ketimbang tokoh-tokoh utamanya. Sebagian mungkin karena mereka tidak terikat pada suatu takdir yang sudah diketahui di akhir cerita sebagaimana para tokoh utama. Sebagian lagi mungkin karena merekalah yang membuat suasana menjadi lebih realistis di sepanjang jalan cerita, kontras dengan yang terjadi pada tokoh utamanya yang hidup di negeri dongeng. Mereka semua menjaga penonton tetap membumi dan menyadari bahwa tokoh-tokoh tersebut hidup di dunia nyata terlepas dari kisah ajaib yang tersaji di layar.

Sayangnya, semua tokoh pendukung itu meski telah memiliki latar belakang yang dibangun dengan begitu baik ternyata hanya difungsikan sebagai bidak bagi tokoh utamanya dalam mencapai keinginan mereka. Alhasil, penggunaan tokoh pendukung tersebut pun terkesan hanya dibuat-buat dan terasa palsu. Giles dan Zelda, tokoh yang telah diciptakan dengan mantap sebagai sahabat Elisa harus dicampakkan martabatnya demi mendukung alur cerita "Ocean Eleven" (baca: pencurian). Mereka berbagi tugas, merubah pikiran dengan cara yang sangat mencolok, dan menjadi karakter tanpa pendirian teguh. Begitu pula Dr. Hoffstetler yang harus menerima nasib semata-mata hanya sebagai seorang pengkhianat. Padahal ia memiliki motif dan latar cerita yang cukup untuk dapat dikembangkan menjadi sesuatu yang lebih menarik.

Berlanjut ke pengembangan cerita, naskah del Toro dan Taylor sebenarnya menyentuh cukup banyak isu nyata. Satu yang paling kentara tentu saja hubungan antara Elisa dan si manusia amfibi yang menjadi simbol cinta tanpa batas dan penerimaan akan segala bentuk perbedaan (bahkan yang paling ekstrim sekalipun). Penonton juga dapat menangkap bahwa selama ada keyakinan yang kuat, maka berbagai halangan dapat diatasi. Naskah del Toro dan Taylor juga mencoba menggoyahkan persepsi umum bahwa segala sesuatu yang dicap monster pasti beriringan dengan sifat-sifat buruk, begitu pun sebaliknya. Terkadang kita sebagai manusia dapat melakukan perbuatan yang lebih keji daripada gambaran monster yang ada dalam dongeng. Pada akhirnya kita tidak dapat memberikan penilaian negatif kepada siapapun sebelum benar-benar mengenalnya dengan baik. Berprasangka buruk kepada orang lain (atau makhluk lain?) sama saja dengan menjadi seorang xenophobe. Akan tetapi sebagaimana dalam karakterisasi, pengembangan cerita The Shape of Water juga dibuat serbatanggung. Del Toro dan Taylor sempat menyinggung isu-isu seperti seksualitas wanita, kesepian, homoseksualitas, nilai-nilai machismo yang berlebihan, dan pelecehan seksual. Malangnya semua isu tersebut hanya sebagai dekorasi saja, tempelan-tempelan yang mungkin mereka pikir akan dapat menambah lapisan cerita. Namun tentu saja lapisan cerita tidak dapat terbentuk hanya dengan menyelipkan beberapa adegan atau dialog dangkal dan diperlakukan hanya sepintas lalu saja.

Naskah del Toro dan Taylor bahkan menurut saya kurang mengeksplorasi romansa antara Elisa dan sang manusia amfibi. Seperti telah disebut di atas kita semua tahu bahwa hubungan mereka dibangun atas dasar persamaan nasib. Namun satu hal yang mengganjal dari hubungan mereka adalah ketidakseimbangan emosi antara dua makhluk tersebut. Elisa diperlihatkan hampir mendapatkan semua yang ia inginkan selama ini: sosok yang memahami kesendiriannya, pemuas kebutuhan biologis, hingga memberikan harapan akan adanya cinta untuk dirinya yang nestapa. Tetapi bagaimana dengan si manusia amfibi? Apa yang ia dapatkan dari Elisa? Selain perlindungan dari perlakuan kejam Strickland, kita tidak tahu keadaan emosinya. Bahkan pada saat-saat bersama Elisa pun penonton tidak memahami apakah ia memiliki perasaan yang sama terhadap Elisa? Menurut saya di sinilah letak perbedaan monster yang diciptakan del Toro dan Taylor dengan monster-monster di film lain yang mungkin menginspirasinya. Beberapa referensi paling kentara yang diambil film ini adalah Beauty and the Beast (1991), E.T. the Extra-Terrestrial (1982), atau Edward Scissorhands (1990). Namun kesemua film itu menunjukkan adanya dinamika emosi yang terlihat dari sosok yang dianggap "monster". Sementara manusia amfibi dalam The Shape of Water bukan hanya bisu tetapi sudah mengarah ke sosok hewan semata yang akan kesakitan ketika disiksa dan membantu majikan yang ia kenali sebagai sosok yang telah membantunya.

Meski demikian, saya rasa kekuatan utama The Shape of Water ada pada tampilan visualnya. Tiga hal yang sangat mengagumkan dari visual film ini adalah pergerakan kamera, permainan warna, dan pencahayaan setiap adegan. Penata gambar Dan Laustsen yang sebelumnya pernah dua kali menjalin kerja sama dengan del Toro menelurkan kinerja luar biasa dalam hal pergerakan kamera. Ia telah memperkuat air sebagai elemen terpenting dalam narasi film ini sekaligus menekankan metafora air yang memiliki sifat selalu mengalir bebas. Semua adegan dalam film ini diambil dengan kamera yang selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, memperlihatkan berbagai situasi dalam satu adegan. Pada adegan-adegan di bawah air, penonton akan merasa kamera benar-benar mengambang di sekeliling aktor. Sementara pada adegan-adegan lain pun kamera tidak pernah terasa diam dan selalu bergerak mengikuti para aktornya atau berpindah dari sudut ke sudut lain saat ada adegan statis. Pergerakan kamera seperti itu memperkaya imajinasi penonton serta mampu mempertahankan intensitas jalan cerita di sepanjang durasi film.

Kecakapan Laustsen berikutnya adalah permainan warna. Hijau dan biru menjadi warna utama di sepanjang film dengan beberapa variasi merah, oranye, dan hitam-putih di beberapa adegan. Saya tidak dapat menghitung berapa jumlah adegan yang menjadi favorit saya karena unsur-unsur warnanya yang bersatu begitu indah. Salah satu adegan yang tidak dapat saya lupakan adalah di mana Elisa duduk menunggu bis di samping seorang pria yang memegang balon berwarna hijau, biru, dan kuning. Saya langsung berdecak kagum melihat perpaduan warna dalam satu bingkai yang sangat menonjolkan suasana gelap, dingin dan sepi. Suasana seperti itu terasa di hampir separuh durasi film namun perlahan digantikan dengan suasana yang lebih hangat dan bahagia seiring dengan berseminya hubungan Elisa dan manusia amfibi. Salah satu latar yang jelas memperlihatkan perubahan suasana itu adalah kamar mandi Elisa yang disorot dengan warna keemasan melalui cahaya matahari dari jendela saat ia berhasil memboyong sang pujaan hati. Sebelumnya ia selalu digambarkan sendiri dalam kamar mandi yang didominasi warna hijau temaram.

Aspek visual terpuji lainnya adalah pencahayaan. Sebagian besar gambar dalam film ini terkesan gelap dan kelam yang dihasilkan dari permainan warna dingin dan kaku serta teknik pencahayaan yang tampak berasal dari satu sumber dan kemudian secara remang-remang menerangi tokoh yang tampil di layar. Hasil dari pencahayaan ini menunjukkan gambar-gambar seperti dalam mimpi di mana semuanya tampak kabur dan berjalan secara lambat. Uniknya kesan dingin dan kaku tersebut akan berubah mengikuti karakter masing-masing tokoh film ini jika kita melihat dari dekat wajah mereka. Laustsen menggunakan sarana bayangan untuk menciptakan efek tersebut. Elisa dalam gambar sorot dekat akan tampil sebagai sosok lemah yang butuh pertolongan. Sebaliknya Strickland  akan tampak seperti iblis yang berkeliaran mencari mangsa. Semuanya terasa pas dan mendukung karakterisasi tokoh-tokoh film ini.

Musik latar juga menjadi nilai lebih dari The Shape of Water. Penggubah musik film Alexandre Desplat berhasil menciptakan berbagai sensasi seperti kehangatan, kesepian, kehidupan dalam mimpi, kejutan misterius, sekaligus ketegangan. Sama seperti pergerakan kamera Laustsen yang bekerja mengikuti kodrat air, begitu pula musik latar Desplat. Musik dalam film ini terasa merambat secara perlahan dan menyesuaikan suasananya mengikuti setiap alur cerita yang tampil di layar. Musik Desplat tidak terasa menonjol dalam arti tidak mengganggu fokus penonton, ia terasa transparan seperti air, dan  justru semakin memperkuat citra tokoh-tokoh dalam film ini. Terkadang musik latar Desplat terdengar memainkan serangkaian nada yang semakin lama semakin tinggi dan kemudian bergulung turun perlahan-lahan, persis seperti gelombang di laut. Salah satu musik latar favorit saya (selain tentunya di adegan pembuka) ada dalam adegan di mana Elisa dan manusia amfibi memadu kasih di dalam kamar mandi yang dibanjiri air. Musik dalam adegan tersebut terasa bahagia, jauh dari kesan kesepian seperti yang selama ini dirasakan Elisa. Tanpa diragukan lagi, musik latar Desplat memang bekerja sesuai dengan prinsip air: ia mengikuti bentuk sesuai dengan wadahnya, mengisi adegan sesuai dengan nuansa yang terpancar di layar.

Dari segi aktor dan aktris, The Shape of Water adalah salah satu film yang tahu benar akan kemampuan serta portofolio para pemerannya. Dua pemeran yang sudah berkali-kali memainkan karakter serupa dalam film ini adalah Shannon dan Spencer. Shannon tentu saja melalui karakter-karakter seperti Richard Kuklinski dalam The Iceman (2012) dan General Zod dalam Man of Steel (2013) mampu menjadi penjahat supersadis dengan dekorasi kehidupan ironis keluarganya. Ia tampil sebagai manusia tanpa hati ketika di tempat kerja namun sediam patung ketika di rumahnya yang hangat. Sementara Spencer sudah tidak asing dengan peran pendukung yang banyak bicara. Menurut saya ia bisa melakukannya dengan mudah bahkan dalam tidurnya. Ia menunjukkan penampilan yang sangat baik di sini, namun saya merasa bahwa nominasi Oscar untuknya tidak pas. Spencer masih dapat melakukan peran-peran yang lebih menarik lagi daripada yang ia mainkan di film ini. Satu pemeran pendukung yang benar-benar berhasil mencuri perhatian adalah Jenkins. Selain naskah del Toro dan Taylor yang memang memberikannya karakter menarik, Jenkins menghidupkan karakter tersebut dengan kepolosan dan keputusasaan yang tiada tara. Di satu waktu ia grogi menghadapi pria pujaannya, kemudian ia bahagia menyaksikan acara musikal di televisi bersama Elisa, dan di waktu lain ia memelas kepada mantan rekan kerjanya untuk diberikan kesempatan sekali lagi. Semuanya itu membuat karakternya terasa sangat hidup. Namun tentu saja film ini sepenuhnya memberikan panggung tertinggi pada Hawkins. Dengan hampir tanpa dialog, Hawkins berhasil menggaungkan emosi yang lebih kuat dari sekedar kata-kata. Di awal cerita, Hawkins sukses menyuntikkan aura kesendirian, kesepian, dan kehilangan sesuatu yang membuat hidup Elisa tidak lengkap. Ia tampak sering termenung. Namun Hawkins tidak serta-merta memainkan sosok Elisa sebagai pemelas. Ia menikmati musik, yang mungkin merupakan renjana (passion) terbesar dalam hidupnya. Sementara di akhir cerita Hawkins semakin menunjukkan giginya dengan memainkan Elisa sebagai sosok yang penuh kepercayaan diri, berani, namun tetap sadar ia akan kehilangan sesuatu berharga yang dinantinya selama ini. Sebuah penampilan memukau, klasik, dan terbaik dalam karier sang aktris.

Saya ingin menutup ulasan ini dengan mengatakan bahwa The Shape of Water sebenarnya telah melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai sebuah dongeng. Kita selalu mengingat dongeng-dongeng masa kecil melalui penyederhanaan inti ceritanya. Putri tidur yang merindukan ciuman dari cinta sejati dalam Sleeping Beauty, wanita cantik yang terlibat romansa dengan mahluk ganas dalam Beauty and the Beast, atau kisah anak durhaka pada ibu dalam Malin Kundang adalah beberapa contohnya. Maka sesungguhnya film ini pun hanya akan diingat sebagai film di mana a woman sleeps with a fish. Sebuah penyederhanaan efektif bukan? Meskipun begitu harus diakui pencapaian terbesar film ini ada pada penyutradaraan, desain visual, serta musik yang telah menaikkan standar film fantasi. Setelah film ini, sineas di masa mendatang harus berpikir dua kali dalam merancang tampilan film fantasi mereka, karena penonton ingin mendapatkan sensasi yang tidak kurang seperti saat menyaksikan The Shape of Water. Sungguh sebuah pemanja mata, namun lewat begitu saja di hati. Saya memberinya 3.5 bintang. Ada yang punya komentar?


Watch this if you liked:

Pan's Labyrinth (2006)

Director: Guillermo del Toro
Stars: Ivana Baquero, Ariadna Gil, Sergi López
Genre: Drama, Fantasy, War
Runtime: 118 minutes














Amélie (2001)

Director: Jean-Pierre Jeunet
Stars: Audrey Tautou, Mathieu Kossovitz, Rufus
Genre: Comedy, Romance
Runtime: 122 minutes

Selasa, 27 Februari 2018

Lady Bird: A Timeless Look at An Adolescent Life

Pada suatu dini hari tahun 1999, seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun terlihat sibuk menulis. Di tengah ruang temaram, pulpen di tangannya terus menari-nari. Jarum jam menunjukkan pukul dua pagi dan sesekali wanita tersebut menguap, menandakan tubuh yang mulai letih. Hanya detak jam dinding yang menemaninya bekerja. Di samping meja tempatnya menulis, tertidur seorang anak laki-laki. Udara malam itu cukup panas sehingga membuat si anak gelisah dalam tidurnya. Dalam pendar matanya, si anak melihat ibunya duduk dengan tekun sambil menulis. Empat jam kemudian, si anak dibangunkan untuk berangkat sekolah. Sang ibu membimbingnya ke kamar mandi, menyiapkan seragam untuknya, dan tidak lupa menghidangkan sarapan. Semua itu dilakukan sang ibu tanpa tidur sedetik pun malam sebelumnya. Tidak memedulikan rasa lelahnya, tak lama kemudian ia mengantar anaknya ke sekolah. Sesampainya di sekolah, si anak menemukan buku pelajaran usang yang penuh dengan tulisan tangan sang ibu di hampir seluruh halamannya yang berjumlah ratusan. Melihat bukunya berbeda dengan milik teman-temannya, ia merasa malu dan memilih ikut bergabung dengan teman satu mejanya yang sedang membuka buku pelajaran baru yang masih kaku dan bagus. Sepulang sekolah, ia membuang buku dengan tulisan tangan ibunya dan mengaku buku tersebut hanyut ke sungai di perjalanan pulang. Itulah sekelumit masa lalu saya yang sama sekali tidak dapat dibanggakan. Saya tidak pernah mengatakannya selama ini: saya merasa berdosa pada ibu. Kini saya mengungkapkan perasaan dengan hati yang benar-benar sesak. Damn! Saya baru saja merasa ditampar oleh sebuah film, Lady Bird (2017).

Lady Bird merupakan karya penyutradaraan solo pertama Greta Gerwig. Sebelumnya ia juga berpengalaman berbagi kursi sutradara dengan Joe Swanberg melalui Nights and Weekends (2008) serta pernah menjadi rekan penulis naskah di beberapa film seperti Frances Ha (2012) dan Mistress America (2015). Untuk debutnya ini, Gerwig memilih tema yang sudah sangat biasa diangkat ke layar lebar, yaitu kehidupan remaja. Namun jangan pernah mengira dengan tema yang cukup usang ini penonton akan dihadapkan pada film yang membosankan. Sebaliknya, dalam film ini Gerwig menunjukkan kejelian mata dan batinnya dalam mengobservasi kehidupan remaja biasa beserta seperangkat hubungannya dengan lingkungan sekitar. Penonton akan diseret mengikuti roller coaster kehidupan sehari-hari tokoh utamanya.

Perkenalkan Christine "Lady Bird" McPherson (Saoirse Ronan), siswi tahun terakhir sebuah sekolah SMA katolik di Sacramento. Lady Bird merupakan julukan yang ia ciptakan sendiri dan secara sukarela membubuhkannya sebagai nama tengah. Ia dibesarkan di keluarga yang dapat dikatakan cukup harmonis, meski diterpa kemelut ekonomi. Ayahnya Larry (Tracy Letts) adalah seorang pria paruh baya nan lemah lembut yang baru saja kehilangan pekerjaan. Sementara kakak angkatnya Miguel (Jordan Rodrigues) adalah lulusan Berkeley yang terpaksa bekerja di pasar swalayan lokal. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, sang ibu Marion (Laurie Metcalf) yang berwatak keras harus bekerja dua shift sebagai perawat di sebuah rumah sakit. Alasan ekonomi pulalah yang menumbuhkan niat Marion untuk mendaftarkan Lady Bird ke perguruan tinggi kota. Niat Marion itu mengganjal impian Lady Bird yang ingin pergi ke kota besar seperti New York, kota yang menurutnya "di mana kebudayaan berada". Lady Bird memang dengan sepenuh hati mendeklarasikan kebenciannya pada Sacramento. Padahal pada kenyataannya di kota inilah seluruh kehidupannya terpusat, termasuk detik-detik menjelang kelulusannya dari SMA. Pada masa itu, Lady Bird mulai mengumpulkan keberanian untuk mendobrak berbagai rintangan demi mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun ia tidak mengira bahwa jauh di lubuk hatinya yang terdalam, ia sadar bahwa berhasil mewujudkan cita-cita tidak akan berarti tanpa untaian doa restu dan cinta orang-orang di sekelilingnya.

Dengan tema yang sudah cukup berkarat, membicarakan Lady Bird sebaiknya tidak memberikan fokus pada jalan cerita, karena sejujurnya tidak ada kejutan (twist) istimewa di sini. Lady Bird bukanlah jenis film yang melalui sinopsisnya dapat menarik penonton. Kata-kata dalam sinopsis terlalu basi sehingga tidak akan mujarab menggugah hati calon penonton, apalagi di zaman gempuran franchise besar seperti sekarang. Dengan dana tak terbatas, mereka dapat dengan mudah mengundang orang memelototi film yang miskin ide cerita. Begitu pula jika kita berpikir tentang sebuah konflik tunggal yang digunakan sebagai momentum perubahan kehidupan seorang remaja seperti dalam film coming of age lain, kita juga tidak akan mendapatkannya di film ini. Jualan utama Lady Bird sesungguhnya adalah pengalaman menonton keseharian seorang remaja dari jarak yang sangat dekat dan relevan. Tokoh-tokoh utama dalam Lady Bird bukanlah karangan dengan berbagai dekorasi perilaku dan pemikiran yang dibuat-buat. Mereka adalah hasil pengamatan mendalam seorang penulis naskah yang kemudian mengarahkannya menjadi sebuah film.

Pengamatan pertama Gerwig yang luar biasa orisinil ada pada hubungan antara ibu dan anak. Ia menciptakan karakter ibu dan anak dalam film ini dengan sangat jujur dan asli (genuine). Lady Bird dan Marion - yang seperti saya sebutkan di atas hidup dalam keluarga harmonis - memiliki kedekatan yang tidak dapat dijelaskan secara sederhana. Mereka memiliki banyak persamaan selera mulai dari karya sastra, gaun, hingga kegemaran melihat interior menawan. Namun itu bukan berarti mereka tidak pernah berbeda pendapat. Sebagai remaja, Lady Bird cenderung berbuat mengikuti kemauannya sendiri dan berharap semesta alam mendukungnya. Tapi harapan hanyalah harapan. Ketika orang terdekat dengannya, orang yang memiliki banyak persamaan selera dengannya, yang kebetulan adalah ibunya berseberangan pendapat, ia pun tidak ragu "menyerangnya" lewat serangkaian keluhan, dusta, dan kenakalan remaja. Sebagai penonton, kita menikmati dinamika hubungan Lady Bird dan Marion. Lebih dari itu, kita pun memahami memahami sudut pandang masing-masing tokoh.

Mari kita buat jajak pendapat sederhana: di masa remaja dulu apakah kita dapat dengan mudah menerima nasihat, kritik, atau omelan orang tua? Saya yakin mayoritas akan menjawab tidak. Itulah yang terasa dalam naskah yang ditulis Gerwig. Meski terlihat bodoh setengah mati, kita dapat memahami angan-angan Lady Bird, sehingga tidak akan kaget melihat tingkah lakunya atau perkataan yang meluncur dari mulutnya. Begitu pula dari sudut pandang Marion. Siapa orang tua di dunia ini yang tidak menginginkan yang terbaik untuk anaknya? Meski terkadang Marion terlihat sangat ingin memegang kendali kehidupan Lady Bird, kita tahu bahwa ia telah berkorban begitu banyak untuk anaknya itu dan menjadi wajar jika ia mengharapkan sedikit kepatuhan sebagai balasannya. Gerwig seperti telah memasang kamera dengan sudut pandang 360 derajat di mata penonton. Sehingga meskipun kedua tersebut berbuat atau mengatakan sesuatu yang menyakitkan, Gerwig seakan menahan penonton untuk terburu-buru mengambil kesimpulan. Kecerdasan naskah Lady Bird berpangkal dari  pemahaman Gerwig bahwa ibu dan anak bisa saja beradu pendapat dengan sangat sengit dan saling menyakiti hati satu sama lain tetapi bukan karena mereka membenci. Reaksi mereka lebih disebabkan kebiasaan untuk saling jujur dan keinginan untuk memberikan yang terbaik satu sama lain, meskipun dalam kasus Lady Bird dan Marion sering kali kejujuran dan keinginan menolong itu seringkali tidak dapat dibedakan dengan amarah dan kritik yang menjatuhkan. Sebagai contoh, saya berani bertaruh tidak ada seorang pun ibu di dunia nyata yang sanggup menolak kata-kata dingin yang keluar dari mulut Marion dalam adegan di mana ia berdebat dengan Lady Bird yang baru saja diskors dari sekolah. Dalam adegan itu, penonton dapat dengan jelas merasakan rasa lelah, kesal, dan kebingungan seorang ibu bercampur aduk dan memuncak di saat bersamaan. Tidak pernah rasanya saya menemukan hubungan ibu dan anak yang dibuat begitu alami. Adegan itu pun menjadi adegan favorit saya di film ini.

Hasil pengamatan saksama Gerwig akan hubungan ibu dan anak  tidak berhenti pada gambar di layar. Jauh di belakang layar, kita sebagai penonton tahu bahwa ada sesuatu yang harus dibenahi dari gaya komunikasi Lady Bird dan Marion. Lady Bird melalui serangkaian tindakan dan keputusannya yang dapat membuat penonton mengelus dada jelas butuh peran orang tua yang dapat menunjukkan hal-hal yang ada di depan mata tetapi tidak dilihatnya. Adegan di mana Suster Sarah Joan (Lois Smith) menemukan bahwa Lady Bird memendam cinta pada Sacramento karena ia memperhatikan (pay attention) kota itu  sungguh menyentuh. Ada pula adegan lucu tapi mengena saat Lady Bird meniru perkataan kekasih Miguel, Shelly (Marielle Scott) bahwa ibunya memiliki hati yang besar. Di sisi lain Marion harus bekerja keras untuk belajar mengungkapkan keinginannya secara eksplisit pada putri kesayangannya. Di sepanjang durasi film, permasalahan ekonomi keluarga Lady Bird terpampang nyata. Itu pula yang berulang kali diungkapkan Marion dalam berbagai kesempatan adu mulutnya dengan Lady Bird. Namun, ia tidak pernah berani mengungkapkan bahwa lebih dari sekedar alasan ekonomi, ia belum sanggup menerima kenyataan bahwa membesarkan seorang anak berarti harus siap melepasnya terbang bebas. Dalam sebuah dialog bahkan Marion dengan lugas mengatakan "money isn't life report card" (meski sesaat kemudian tertunduk lemas mengakui bahwa suami tercintanya Larry jatuh pada kuadran orang yang tidak memiliki uang, tidak sukses, dan tidak bahagia). Marion memalingkan wajahnya dari kemungkinan bahwa ia sudah melihat the very best version dari putrinya dan menggunakan permasalahan ekonomi sebagai tameng pelindungnya. Ia tahu bahwa mengakui hal tersebut sama saja dengan mengakui seluruh keinginan putrinya untuk hidup mandiri di kota besar. Marion mengubur dalam-dalam air mata batinnya yang terluka itu dan baru terlihat merembes ke luar di adegan penutup film yang sangat mengguncang emosi. Semua itu menunjukkan betapa Gerwig telah "meniupkan roh" manusia nyata pada kedua tokoh utamanya.

Selain kejujuran dan keasliannya, naskah Gerwig juga unggul dalam hal pemahaman karakter. Gerwig sangat mengenal pola pikir remaja tanggung seperti Lady Bird yang labil dan cenderung dikendalikan nafsu liar sesaat. Berulang kali Gerwig memperlihatkan Lady Bird sebagai seseorang yang berani mengambil risiko hanya untuk menjatuhkannya di posisi bersalah yang kemudian segera ia perbaiki. Ambil contoh pada saat ia bersenang-senang tanpa batas dengan Kyle (Timothée Chalamet). Atau saat ia memilih berteman dengan Jenna (Odeya Rush) dan melupakan sahabat sejatinya Julie (Beanie Feldstein). Atau yang menurut saya paling menyakitkan, saat ia meminta Larry menghentikan mobilnya jauh sebelum sampai di sekolah. Semua itu dilalui Lady Bird bukan tanpa memetik hikmah. Di usianya yang begitu muda, ia telah tercabik-cabik dengan keputusannya sendiri namun berupaya sekuat tenaga menambal semua kesalahannya. Di sinilah titik menarik naskah Gerwig. Ia tidak hanya dengan cekatan merangkai "borok" Lady Bird tetapi juga menunjukkan bahwa seorang remaja dapat mencapai pencerahan dari dalam dirinya sendiri tanpa harus digurui. Gerwig memahami bahwa ceramah orang lain tidak banyak berguna bagi remaja yang senang mencoba berbagai hal baru. Motivasi terbesar seorang remaja untuk berubah menjadi lebih baik adalah pemahaman akan sebab-akibat dari tindakannya yang tidak hanya berpengaruh pada dirinya tetapi juga pada orang-orang di sekelilingnya. Dengan tutur cerita seperti ini, Gerwig secara perlahan menuntun penonton menikmati proses pendewasaan Lady Bird tanpa harus menyajikan satu momentum khusus seperti lazimnya drama coming of age lain. Hal ini menambah kehalusan naskah Gerwig sekaligus meluluskan pendapat orang banyak bahwa kita akan mendapati diri menjadi dewasa bahkan sebelum kita menyadarinya.

Dalam naskah Lady Bird, Gerwig juga sempat menyisipkan pandangannya tentang hubungan remaja dengan uang dan kekayaan. Kita semua setuju bahwa Lady Bird adalah seorang social climber amatir yang berdiri di depan garis keras. Di hampir setiap kesempatannya bersosialisasi, ia berupaya sekuat tenaga menolak fakta bahwa keluarganya hidup di atas tarikan gravitasi kesederhanaan yang begitu kuat. Ia tahu bahwa uang dan kekayaan dapat membawa kebebasan. Namun, yang tidak disadarinya adalah bahwa sedikit demi sedikit ia telah meniti tebing terjal citra sosial kelas menengah ke atas yang berbahaya. Pada tahap awal, Lady Bird bersama Julie senang membayangkan tinggal di rumah mewah yang mereka temui di sepanjang jalan menuju sekolah. Kemudian, mulai muncul sarkasme dalam pemikiran Lady Bird. Simak saja celotehannya pada Danny (Lucas Hedges) tentang tempat tinggalnya yang berada "at the wrong side of the tracks". Terakhir, dan merupakan versi yang lebih ekstrim dari perjuangannya menapaki tebing citra sosial dapat ditemukan dalam adegan menohok antara dirinya dan Jenna. Menariknya, Gerwig justru membumikan orang-orang yang secara nyata berada di golongan berkecukupan. Mulai dari Danny yang digambarkan sebagai anak sopan dari keluarga katolik Irlandia yang justru lebih mengeluhkan sulitnya mencari wanita untuk dijadikan pacar selain sepupunya, Kyle si serigala berbulu domba yang dengan naif mengatakan tidak ingin terlibat dalam kegiatan ekonomi meski jelas-jelas tinggal nyaman di rumah mewah, hingga Jenna yang tidak dapat memahami mengapa Lady Bird berdusta padanya. Gerwig menggunakan ironi dengan efektif dalam narasinya sehingga memperkuat kesan Lady Bird sebagai remaja yang ingin mewujudkan ilusinya dengan cara yang paling praktis. Ironi tersebut membuat penonton bercermin kembali sejauh mana upaya kita untuk mendapatkan kebebasan. Apakah melalui uang? Apakah semua perjuangan itu patut dilakukan? Bagi saya pribadi, ironi Gerwig berhasil membuat saya pilu karena terhujam dengan memori yang saya tulis di paragraf awal tulisan ini.

Satu hal yang menurut saya kurang dari narasi Lady Bird adalah motivasi sang remaja membenci tempatnya dibesarkan. Untuk ukuran sebuah isu yang muncul di sepanjang durasi film, kita tidak pernah diberikan kesempatan memahami isi kepala Lady Bird ketika membicarakan Sacramento. Hilangnya informasi seputar kebencian Lady Bird dalam naskah Gerwig juga berpengaruh pada gaya pemotongan adegan dalam film ini. Awalnya saya tidak menyadari bahwa Gerwig seperti menghindari pengembangan isu tersebut dan mengira bahwa ia tidak ingin fokus pada penyebab mengapa Lady Bird begitu ingin pergi dari Sacramento. Namun lama kelamaan Lady Bird sangat sering meninggalkan jejak kebenciannya di banyak adegan yang kemudian dipotong dengan tanggung ketika mulai menyentuh topik tersebut. Sebagai contoh di pembuka film, hanya diawali dengan sebaris kalimat abstrak "I wish I could live through something" ia meluapkan emosinya pada kota itu. Gerwig lebih memilih Lady Bird mereferensikan kota lain yang diimpikannya ketimbang menjelaskan faktor-faktor yang tidak disukainya dari Sacramento. Di lain kesempatan, ia juga mengatakan bahwa kota itu adalah "midwest of California". Tapi di sini pun tetap tidak ada penjelasan lebih lanjut. Begitu juga dalam adegan "pay attention" antara Lady Bird dan Suster Sarah Joan. Gerwig sebenarnya sempat dengan cerdas menggelitik pendirian Lady Bird melalui tokoh Jenna yang secara mengejutkan menguji sikap keras tokoh utama itu dengan mengatakan "isn't there a thing like think globally, act locally?". Namun, adegan tersebut seperti mati di tengah jalan karena sekali lagi Lady Bird tidak diberi ruang untuk menjelaskan dengan cara apapun mengapa ia benci Sacramento. Ditambah lagi, di sepanjang film penonton yang tidak begitu mengenal Sacramento justru akan mendapati kota itu indah dan terlihat damai. Mulai dari pemukiman warga elit yang terjajar rapi, jembatan dengan matahari terbenam eksotis, hingga orang-orangnya yang menawarkan kombinasi ramah sekaligus realistis (bahkan faktanya film ini tidak memiliki tokoh antagonis). Pada akhir film, kita tahu bahwa kebencian Lady Bird pada Sacramento justru menunjukkan hal sebaliknya, namun sebagai penonton kita berhak mendapatkan informasi yang cukup atas apa yang terjadi pada tokoh utama film ini hingga akhirnya ia memiliki pandangan yang begitu tak tergoyahkan.

Tetapi saya tidak akan membiarkan kekurangan tersebut membuat Lady Bird tampak kurang menarik. Gaya penyutradaraan Gerwig berhasil mengemas film ini hingga terlihat hampir tanpa cacat. Hal pertama yang patut diapresiasi dari karya Gerwig adalah pergantian adegan dengan ritme yang cepat. Penonton akan menyadari bahwa seringkali Gerwig dan editor Nick Houy menempatkan suara dialog sebelum mengganti adegan di layar. Gerwig seolah ingin menunjukkan bahwa kejadian demi kejadian berlalu dengan cepat bagi seorang remaja seperti Lady Bird. Dalam berbagai kejadian itu Lady Bird menumpahkan semua perasaannya, melakukan tindakan konyol, dan diperlakukan tidak sesuai dengan keinginannya. Namun itu semua dilaluinya tanpa disadari. Waktu berjalan dan kenangan yang tidak dapat diubah terus tercetak tatkala Lady Bird melakukan itu semua. Ia tidak banyak berkontemplasi dalam kehidupan sehari-harinya. Sampai akhirnya ia melihat akibat dari tindakannya pada diri dan orang-orang di sekelilingnya. Sampai ia membayangkan berada di posisi orang yang lebih tidak beruntung dibanding dirinya. Sampai ia merasa kehilangan sesuatu yang selama ini terima begitu saja tanpa melihat betapa berharganya yang ia miliki. Tidak hanya bagi Lady Bird, teknik Gerwig dan Houy itu juga berhasil menciptakan suasana akhir masa SMA yang serbacepat dan menyudutkan tokoh-tokoh remaja ke persimpangan jalan seperti halnya pada kehidupan nyata. Ada satu adegan favorit saya di mana Lady Bird dan Julie saling mengungkapkan rencana masa depan mereka setelah bersenang-senang di pesta dansa sekolah. Saya trenyuh mendengar rencana Julie. Kondisi Julie mengingatkan saya pada teman-teman SMA saya yang pada akhir masa sekolah saling berpisah jalan, dan sebagian dari mereka ada yang menempuh jalan yang saya tahu tidak akan mudah dilalui. Julie wets my eyes in this scene.

Permainan ritme yang cepat tidak hanya ada pada pergantian adegan, tetapi juga pada penyusuan sahut-menyahut dialog dalam film ini. Lady Bird dan Marion kerap beradu mulut dalam tensi yang tinggi dan perkataan yang bisa dibilang menyakitkan. Penyusunan dialog dalam tempo cepat di adegan-adegan adu mulut itu semakin menggambarkan hubungan mereka, yang seperti saya singgung di atas, terbiasa dengan kejujuran sehingga apa yang keluar dari mulut mereka terkadang tidak diproses terlebih dulu di otak.

Satu lagi kepiawaian Gerwig sebagai sutradara adalah kecermatannya dalam memperhatikan latar waktu. Sedari awal film ini dimulai, sang tokoh utama dalam dialognya jelas menginformasikan ia hidup di tahun 2002. Maka, serangkaian detail yang berhubungan dengan tahun 2002 pun bertaburan di sepanjang cerita. Mulai dari musik (the legit Dave Matthews Band's "Crash"), suasana pascakejadian terorisme 11 September, suasana sebelum invasi AS ke Irak, desain busana, hingga keseluruhan desain produksi memang sangat mencerminkan tahun tersebut. Masa-masa duka AS setelah terorisme dan tekad invasi ke Irak bahkan dijadikan bagian integral dari kuatnya pendirian Marion untuk mengekang Lady Bird pergi dari sisinya.

Dari jajaran pemain, hampir semuanya menunjukkan penampilan memukau. Ronan sebagai Lady Bird berhasil menarik perhatian penonton, baik dalam arti positif maupun negatif. Ia mampu memunculkan karakter remaja yang labil sekaligus mengibakan. Ronan dengan lincah memainkan ekspresi wajah serta intonasi yang menguatkan jati dirinya yang masih dihantui oleh kerapuhan, keraguan dan ketakutan ketika mencoba hal-hal baru bersama teman-temannya namun begitu berani, yakin, dan tidak ingin dikalahkan ketika berhadapan dengan anggota keluarganya sendiri. Para pemain pembantu juga menghadirkan penampilan yang tidak kalah bersinar. Feldstein sebagai Julie diam-diam ikut merebut hati penonton sebagaimana karakternya yang hampir sempurna namun tidak beruntung. Dengan jalan cerita tersendiri yang diberikan Gerwig untuk karakternya, Feldstein sukses menjelma sebagai representasi dari orang-orang yang cemerlang yang terpaksa harus dikalahkan uang. Ia sadar bahwa Julie tidak hadir hanya sebagai karakter yang menempel pada Lady Bird, sehingga aura kepolosan dan kesedihannya dapat memperkuat kehidupan remaja selain sang tokoh utama dan pada akhirnya menambah suasana genting menjelang berakhirnya masa SMA. Pemain pembantu lain seperti Lois, Chalamet, dan Rush juga berhasil memanfaatkan durasi tayang mereka dengan baik. Di sisi lain, saya sangat menyayangkan tidak optimalnya eksplorasi untuk karakter Larry. Gerwig membuat karakternya dapat dengan mudah dihilangkan karena Larry tidak memiliki peran yang cukup signifikan dalam menentukan kehidupan Lady Bird.

Namun, di antara semua pemain saya harus mengakui yang paling mengkilap adalah penampilan Metcalf. Tidak dapat diragukan lagi semua adegan yang ia lakoni sanggup menggetarkan hati penonton. Metcalf telah melesatkan karakter Marion dari seorang ibu rumah tangga biasa menjadi sosok orang tua dan sahabat yang luar biasa. Kita sebagai penonton dapat merasakan keaslian (authenticity) seorang ibu di dunia nyata lewat penampilan Metcalf baik pada saat ia tertawa bersama Lady Bird, beradu pendapat, berduka lara, marah, dan kecewa. Metcalf memperlihatkan akrobat gerak tubuh, intonasi, dan ekspresi wajah dengan sangat lentur dari adegan ke adegan. Semua itu dilakukannya tanpa membelokkan sedikit pun persepsi penonton bahwa ia sejatinya adalah ibu yang tentu saja sangat mencintai anaknya sepenuh hati, apapun yang dilakukannya. Satu adegan yang kentara menampilkan kemampuan Metcalf tersebut adalah pada saat Lady Bird mencoba gaun untuk pesta dansanya. Adegan itu berakhir dengan Lady Bird yang mempertanyakan perasaan sang ibu terhadap dirinya, dan dibalas oleh sang ibu hanya dengan tatapan yang sanggup mengalahkan dialog apapun.

Secara keseluruhan, Lady Bird merupakan film kecil yang dengan lembut sanggup menyalakan pelita dalam hati setiap anak untuk mengakui bahwa ibu adalah salah satu sosok yang paling penting dalam hidup. Dinamika hubungan ibu dan anak yang disajikan dalam film ini begitu nyata, dekat, dan relevan. Walau dengan latar waktu yang sangat spesifik, nyatanya film ini sukses mempersembahkan sebuah tema yang sangat universal dan tidak lekang oleh waktu. Jika kita menyaksikan film ini puluhan tahun yang akan datang, Lady Bird dan Marion akan tetap menggaungkan suara yang sama kuatnya seperti sekarang, because this is a timeless look at an adolescent life. It's superb. 4 out of 5 stars. Ada yang punya komentar?


Watch this if you liked:

Boyhood (2014)

Director: Richard Linklater
Stars: Ellar Coltrane, Patricia Arquette, Ethan Hawke
Genre: Drama
Runtime: 165 minutes











The Mirror Has Two Faces (1996)

Director: Barbra Streisand
Stars: Barbra Streisand, Jeff Bridges, Lauren Bacall
Genre: Comedy, Drama, Romance
Runtime: 126 minutes

Kamis, 22 Februari 2018

The Commuter: Residivis dalam Aksi

Sebuah survey yang diselenggarakan oleh yayasan amal British Heart Foundation (BHF) pada tahun 2017 menunjukkan bahwa banyak warga Inggris terperangkap jerat rutinitas keseharian. Lebih dari separuh responden survey tersebut atau tepatnya 55% mengaku memiliki sederet aktivitas yang tak pernah berubah. Sementara itu 34% responden menyatakan tidak pernah bertindak impulsif serta sebanyak 31% tidak dapat mengingat kapan terakhir kali mereka keluar dari zona nyaman. Survey tersebut paling tidak memberikan sedikit gambaran bahwa kehidupan manusia modern memang semakin monoton karena hanya terdiri dari serangkaian pengulangan. Fenomena lumrah yang mengikuti tren ini adalah keluhan akan stress menghadapi rutinitas harian serta rasa takut kehilangan kesempatan mencoba hal baru. Survey BHF itu sendiri mengungkap 45% warga Inggris takut mereka akan menyesal di kemudian hari karena tidak berani berpetualang dengan hal baru.

Akan tetapi, apakah rutinitas seburuk itu? Ternyata tidak juga. Meg Selig, seorang konselor profesional menulis di laman Psychology Today bahwa rutinitas memiliki nilai-nilai baik seperti menghemat pikiran, waktu dan tenaga kita untuk hal-hal yang lebih penting, melindungi dari tindakan yang merugikan diri sendiri, dan tentu saja membawa keteraturan yang pada akhirnya memudahkan kita untuk memprediksi masa depan. Ia pun menekankan bahwa menjalani rutinitas bukan berarti menghentikan kreativitas. Setiap waktu, kita tetap harus bisa mengizinkan ide kreatif mengubah rutinitas melalui apa yang disebutnya sebagai break the old routine sehingga memungkinkan untuk menyusun rutinitas baru. Namun bagaimana jika rutinitas harian kita diubah secara mendadak dengan cara yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya? Kisahnya tidak bisa diceritakan oleh seorang konselor, tetapi dapat disaksikan dalam The Commuter (2018).

Hidup Michael "Mike" MacCauley (Liam Neeson) adalah sebuah pengulangan kegiatan sehari-hari yang jauh dari kesan mewah. Hal itu dapat dilihat dari kebiasaannya yang tidak banyak berbeda dari masyarakat kelas menengah lain. Di usianya yang sudah kepala enam, Ia masih menanggung cicilan rumah yang terletak di pinggir kota, harus berhemat demi mengirim putranya ke universitas, dan memilih transportasi umum sebagai moda angkutan utamanya pergi dan pulang bekerja. Tanpa terasa, ia telah menjadi penumpang setia kereta komuter selama 10 tahun, waktu yang sama dengan pengabdiannya sebagai penjaja polis asuransi. Suatu hari, tanpa diduga ia diberhentikan dari pekerjannya. Tidak memiliki cukup nyali untuk langsung memberitahukan nasib sial itu kepada istrinya, ia pun pulang naik kereta komuter dengan pandangan nyalang. Di tengah perjalanannya, ia bertemu seorang wanita bernama Joanna (Vera Farmiga) yang setelah berbasa-basi menawarkan imbalan sebesar 100.000 dolar AS untuk menemukan seorang penumpang non-reguler yang membawa sebuah tas di kereta itu dan menyisipkan alat pelacak alias GPS ke tasnya. Tanpa disadarinya, Mike masuk ke arena permainan teka-teki yang akan mengubah rutinitas hariannya selama 10 tahun terakhir.

Image associéeMari kita jujur di sini. Saya rasa semua orang sudah tahu dengan pasti apa yang diharapkan dan akan didapat ketika berniat menonton film laga Neeson. Ya, tepat sekali: sensasi ketegangan yang menggerus isi perut serta adegan laga yang dikoreografikan cukup apik. Sejak kemunculannya dalam kuda hitam box office Taken (2008), Neeson memang sering dianggap sebagai jelmaan Charles Bronson masa kini. Film laga menegangkan telah memasarkan ulang nama Neeson sebagai sosok lelaki tangguh dan cerdas meski tak lagi muda. Ia bahkan menjadi langganan sutradara Jaume Collet-Serra (The Shallows, Non-Stop) untuk berlaga di film-film aksi serupa. Maka ketika mereka bekerja sama untuk yang keempat kalinya dan menawarkan The Commuter, pasangan sutradara dan aktor ini bagai dua residivis yang kembali beraksi. Mereka membawa sebuah sajian hiburan dengan kemasan baru tetapi isinya tetap sama: film laga menegangkan. Penulis naskah Byron Willinger, Philip de Blasi, dan Ryan Engle bahkan menurut saya seperti dengan terang-terangan melanjutkan kisah kepahlawanan Neeson dalam Non-Stop (2014), sehingga film ini lebih cocok diberi judul semacam Non-Stop 2. Selain itu, entah kebetulan atau tidak, Collet-Serra selalu mendapat proyek untuk mengarahkan film dengan jalan cerita bermasalah dari segi logikanya, tak terkecuali The Commuter ini. Penonton dapat dengan mudah mendeteksi lubang-lubang kelemahan ceritanya. Ingat saja bagaimana para penulis naskah merancang teori konspirasi di tubuh kepolisian di awal cerita. Seiring dengan berjalannya durasi film, penonton akan mempertanyakan tindakan beberapa polisi yang tidak sejalan dengan teori konspirasi tersebut. Tidak lupa juga adegan-adegan akhir film yang membuat kening mengernyit akibat kontradiksi dengan keterangan yang diberikan pada adegan sebelumnya.

Namun, trio penulis naskah film ini sebenarnya sempat menaburkan bumbu yang jarang ditemui dalam ramuan film laga: kritik sosial. Di film ini, para penulis naskah menyematkan dekorasi yang lebih semarak sebagai latar belakang karakter Mike jika dibanding karakter di film-film laga Neeson lain. Ia adalah seorang ayah, suami, pekerja kelas menengah, korban selamat krisis keuangan 2008, dan juga seorang teladan (menggunakan cincin pernikahan sebagai senjatanya dari bermain mata dengan wanita lain, ramah dengan penumpang kereta lain, dan seorang mantan polisi yang menutup karirnya dengan pekerjaan yang dapat dikatakan cukup biasa-biasa saja). Dengan latar belakangnya tersebut, dialog Mike dalam film ini menyerempet kritik terhadap pejabat-pejabat polisi yang korup, institusi kepolisian yang semakin tidak dapat dipercaya, hingga memberikan jari tengah kepada kaum "borjuis". Namun, karakterisasi dan dialog tersebut tidak diolah hingga menjadi warna cerita yang kuat membalut motif perilaku dan sifat Mike, karena pada adegan-adegan selanjutnya, ia hanya terlihat sibuk menerima telepon bernada mengancam, melayangkan tinjunya atau bergelantungan di bawah lantai kereta.

Satu hal yang saya apresiasi dari karya ketiga penulis naskah film ini adalah mereka dengan efektif menggunakan dilema moral untuk memantik konflik. Mereka mengajak penonton untuk simpati pada karakter Mike. Mike yang kini pengangguran ditawarkan uang dalam jumlah besar oleh orang asing hanya untuk melakukan hal "kecil". Walau tidak jelas untuk apa orang asing itu meminta pertolongannya, sebenarnya sah-sah saja jika ia hanya fokus pada uang yang dapat digunakan untuk membiayai kuliah putranya, mengepulkan dapur rumahnya selama ia tidak bekerja, atau membayar cicilan rumah. Namun, sebagaimana pada film laga umumnya, tentu penulis naskah ingin menciptakan tokoh pahlawan yang seratus persen bersih dari cacat moral. Ditambah lagi penulis naskah memadukan alur Taken dalam film ini dengan mencekoki Mike pada ancaman keselamatan keluarganya. Sehingga kita tidak akan terkejut jika mendapati jalan cerita selanjutnya seperti dalam sebuah film berjudul Non-Taken, di mana Mike akan lulus "tes moral" dan berjuang (baca: beradu jotos di dalam kereta) untuk membela kebenaran. Naskah The Commuter yang menggunakan dilema seperti ini membuat penonton terserap ke sudut pandang Mike, namun di saat bersamaan juga tahu persis bahwa pada akhirnya tokoh tersebut pasti akan disanjung karena aksi positifnya.

Image associéeDari sisi penyutradaraan, saya rasa saya harus menyebut Collet-Serra memberikan sentuhan berbeda di sini. Jujur saja, saya tidak mempersiapkan diri untuk menyaksikan adegan-adegan pembuka film yang dapat dikatakan cukup sentimental. Rutinitas Mike dan keluarganya dipampang dalam tampilan gambar yang hampir seperti mimpi, dan penonton diposisikan seolah-olah mengintip dari lubang kunci pintu. Hari-hari berlalu dengan kegiatan yang sama tetapi dengan berbagai detail komunikasi antarkeluarga yang berbeda: terkadang ceria, marah, sedih, atau jenaka. Entah saya yang terlalu sensitif atau memang ada yang mengalami hal serupa, saya bahkan hampir merasa ada aura Mr. Frederikson dari adegan supersedih Up (2009) di sini, tetapi dengan nuansa yang lebih duniawi (mundane). Adegan pembuka tersebut menjadi satu-satunya hal yang saya bawa pulang dari bioskop dalam kepala saya.

Pada adegan-adegan selanjutnya, disadari atau tidak Collet-Serra telah membuai penonton dengan nuansa seperti dalam novel Agatha Christie Murder on the Orient Express. Para penumpang kereta memiliki cerita masing-masing dan dibuat sedemikian rupa hingga terkesan menyimpan rahasia. Namun sebagaimana halnya dengan kritik sosial yang tidak pernah benar-benar dikembangkan, teka-teki para penumpang tersebut juga dibuat serbatanggung. Ini tentu saja berakar dari naskah film yang ingin menjamah banyak tema tetapi sadar bahwa yang menjadi inti cerita adalah aksi pendekar kawakan melawan penjahat. Sehingga tidak bisa disalahkan sepenuhnya bila ruang gerak Collet-Serra untuk menciptakan suasana penuh teka-teki dari para penunmpang kereta menjadi terasa dibuat-buat. Setiap penumpang yang dicurigai oleh Mike tidak memiliki cukup dimensi untuk meyakinkan penonton mereka pantas dicurigai lebih lanjut.

Lain lagi dengan sentuhan  Hitchcock yang ditata cukup rapi di film ini. Bersumber dari naskah yang memanfaatkan dilema moral sebagai pemicu konflik, Collet-Serra cukup berhasil mengeksekusi narasi tersebut menjadi serangkaian paranoia. Sejak adegan "tes moral" dimulai, Collet-Serra dengan apik menyusun adegan-adegan lanjutan yang menonjolkan keresahan. Mike diperlihatkan berpindah dari satu gerbong ke gerbong lain sambil meneliti dan berpikir apa yang dapat ia lakukan atau gunakan sebagai petunjuk memecahkan teka-teki. Penonton seolah hadir di dalam kereta dan mengikuti langkah takut dan cemas Mike dalam menghadapi situasi yang membahayakan. Penerapan gaya Hitchcock oleh Collet-Serra juga didukung dengan adanya beberapa metafora. Misalnya tokoh misterius Joanna tampak sebagai perwujudan dari mimpi siang bolong Mike. Setelah dipecat secara tiba-tiba, tawaran mematikan Joanna adalah fatamorgana di mata Mike. Mengikuti fatamorgana sama saja bunuh diri karena akan menghabiskan banyak tenaga secara sia-sia, tetapi fatamorgana juga menjadi motivasi besar bagi orang yang sedang tersesat. Tempelan poster bertuliskan slogan-slogan ironis seperti "you could be home right now" dan "see something, say something" juga memperkuat kesan metafora mimpi tersebut.

Meski demikian, keahlian terbesar Collet-Serra ada pada eskalasi ketegangan. Melalui keahliannya tersebut, ia dapat membuat penonton setidaknya mempertimbangkan untuk memaafkan naskah yang sejelas kristal memiliki masalah dari segi logikanya. Dalam The Commuter, bersama dengan editor Nicholas de Toth, Collet-Serra sedikit demi sedikit menyusun adegan yang menaikkan tensi cerita. Dari mulai adegan perkelahian antara Mike dengan seorang agen FBI di ruang sempit nan mencekam, peluru-peluru terpental ke sana kemari, hingga pukulan-pukulan dengan beragam benda yang jauh dari kata senjata seperti palu dan gitar. Collet-Serra memiliki kemampuan untuk menjelajah batas-batas ruang sempit dan memanfaatkannya sebagai arena perkelahian. Hasilnya, penonton akan dibuat menahan nafas membayangkan gencatan, tekanan, dan jarak yang begitu dekat dengan musuh. Belum lagi ketika berbicara aksi berbahaya di luar gerbong yang dilakukan tokoh Mike. Collet-Serra seakan tidak puas jika menggunakan atap kereta yang lazim digunakan sebagai sasana laga. Maka, jadilah sambungan gerbong, tingkap mesin di bawah lantai, hingga badan samping kereta sebagai gelanggang akrobat sang tokoh pahlawan. Ketegangan juga berhasil diciptakan dari adegan kereta yang anjlok dari relnya. Meskipun untuk yang satu ini kita harus mafhum dengan efek visual jauh dari meyakinkan. Setidaknya dengan film laga berdana terbatas seperti kebanyakan karya Collet-Serra lainnya, kita sudah cukup puas dengan kengerian yang ditimbulkan di adegan-adegan sebelumnya. Dibantu dengan penata gambar Paul Cameron (I ADORE his work on Collateral), Collet-Serra juga dengan elok menambah kaya unsur emosi dalam film laga ini. Adegan pembuka sentimental yang saya sebut di atas misalnya, adalah kreasi cerdas penggabungan keping-keping kehidupan Mike dan keluarganya yang dibuat secara acak namun menunjukkan rutinitas yang sama di waktu yang sama. Permainan suara pun semakin membuat adegan pembuka tersebut sulit dilupakan.

Untuk urusan pemeran, saya rasa The Commuter telah membuat kesalahan dengan menggunakan aktor besar hanya untuk peran kecil yang durasinya tak sampai 15 menit di layar. Karakter Sam Neill, Farmiga, Elizabeth McGovern dapat diberikan pada aktor manapun yang bayarannya di bawah mereka. Dengan demikian film ini dapat menyisihkan lebih banyak dana untuk meningkatkan kualitas efek visualnya yang cukup menyedihkan. Sementara itu Neeson memberikan penampilan seperti biasa pada film laganya: berkharisma dengan dialog yang diucapkan sekaku Arnold Schwarzenegger di kehidupan nyata.

Sebagai penutup, saya harus mengatakan bahwa jika Neeson serius dengan perkataannya dalam sebuah wawancara bahwa ia akan gantung sepatu dari lapangan film laga, maka The Commuter adalah perhentian terakhir yang cukup bagus. Maksud bagus saya di sini adalah kolaborasi keempat Neeson dan Collet-Serra ini telah menjalankan tugasnya dengan baik: menjadi pemuas adrenaline junkies (seperti saya), menuntaskan ritual tahunan merilis film laga Neeson, dan bahkan sempat menaikkan tingkat permainan film laga Neeson dengan sentuhan sentimental yang segar dan pas. Namun, saya rasa inilah saatnya Neeson kembali ke akarnya sebagai aktor drama, dan siapa tahu Collet-Serra pun tertarik menjamah genre satu itu. Saya rasa ini pula saat saya berhenti berkata-kata karena tugas seorang penonton The Commuter adalah duduk di kursi bioskop, menikmati ketegangan laga selama 105 menit, dan menjadi lupa dengan jalan ceritanya yang begitu mirip dengan lusinan film laga lain, bahkan di antara karya sang sutradara sendiri. It's for sure entertaining, 3 out of 5 stars. Ada yang punya komentar?


Watch this if you liked:
Non-Stop (2014)

Director: Jaume Collet-Serra
Stars: Liam Neeson, Julianne Moore, Scoot McNairy
Genre: Action, Mystery, Thriller
Runtime: 106 minutes











The Taking of Pelham 123 (2009)

Director: Tony Scott
Stars: Denzel Washington, John Travolta, Luis Guzmán
Genre: Action, Crime, Thriller
Runtime: 106 minutes


 

Selasa, 20 Februari 2018

The Mountain Between Us: Berjuang Keluar dari Bencana Sesungguhnya

Lonceng musim penghargaan industri hiburan telah dibunyikan sejak beberapa waktu lalu. Diawali dengan Golden Globes, sederet judul film keluaran tahun 2017 menyapa telinga masyarakat umum. Di ajang yang diselenggarakan oleh asosiasi wartawan asing Hollywood itu sendiri, film dengan nominasi terbanyak adalah The Shape of Water (2017) dengan tujuh kategori, disusul The Post (2017) dan Three Billboards outside Ebbing, Missouri (2017) yang sama-sama meraih enam kategori nominasi, dan di posisi ketiga ada Lady Bird (2017) dengan empat kategori nominasi. Judul-judul tersebut juga melenggang di pagelaran penghargaan lainnya seperti SAG Awards, BAFTA, dan Academy Awards. Memang sudah menjadi hal yang lumrah bila masyarakat umum baru mendengar rangkaian judul film-film yang digadang-gadang terbaik di ajang penghargaan, bukan di papan pengumuman bioskop. Hal ini tidak lain disebabkan tradisi lawas masyarakat umum yang mendasarkan pilihan tontonannya dari judul-judul yang karib di telinga saja. Pepatah lama don't judge a book by its cover tampaknya memang sudah tidak berlaku di industri perfilman. Jika kita menyimak data-data pendapatan penjualan tiket bioskop dari IMDb.com, fenomena ini pun dapat terlihat jelas. Di dekade 2010 hingga sekarang misalnya, lebih dari 90% judul film yang merajai puncak tangga box office merupakan sequel, prequel, remake, atau adaptasi cerita dari sumber yang sebelumnya telah dipublikasikan seperti komik atau novel. 

Peta industri perfilman yang demikian menimbulkan pertanyaan yang kini sudah seperti pertanyaan usang: apakah dunia perfilman, khususnya Hollywood telah menjadi begitu malas menggali ide cerita baru? Meski usang, pertanyaan ini tidak dapat dengan mudah dijawab. Majalah GQ pada tahun 2011 dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Mark Harris dengan penuh renjana (passion) pernah mencoba mengulasnya. Ada begitu banyak faktor yang memengaruhi pergeseran perilaku penonton film menjadi hanya memilih judul yang sudah diketahui saja. Salah satunya adalah teknik pemasaran Hollywood yang menekankan bahwa film, lebih dari sekedar esensinya sebagai seni bertutur cerita adalah juga merk atau cap yang harus laris di pasaran. Alhasil, kesegaran ide cerita mulai dikesampingkan dan dimulailah pencarian sumber-sumber cerita yang sebelumnya sudah terbukti mujur menggembungkan pundi-pundi pembuatnya. Maka komik atau novel dengan embel-embel bestseller pun mulai banyak merayapi layar lebar, salah satunya adalah The Mountain Between Us (2017).

Diadaptasi dari novel dengan judul sama karangan Charles Martin, The Mountain Between Us tampak digarap serius oleh Twentieth Century Fox. Bagaimana tidak serius jika melihat jajaran produser, pemain, serta sutradara yang sudah memiliki nama besar, belum lagi jika kita berbicara berbagai penghargaan yang pernah mereka dapatkan sebelumnya. Tiga dari empat produser proyek ini adalah kandidat peraih Oscar kategori film terbaik, yaitu Fred Berger untuk La La Land (2016) serta Peter Chernin dan Jenno Topping yang sama-sama membawahi Hidden Figures (2016). Duduk di kursi sutradara adalah Hany Abu-Assad, pria yang bertanggungjawab atas dua nominasi Oscar kategori film berbahasa asing terbaik untuk Palestina, yaitu Paradise Now (2006) dan Omar (2013). Untuk urusan pemain pun tidak main-main. Memasang dua bintang besar Idris Elba dan Kate Winslet, tidak salah jika film ini terlihat seperti proyek yang tidak hanya bernama besar tetapi juga memiliki harapan besar untuk sukses.

Cerita yang diusung The Mountain Between Us cukup sederhana. Ben Bass (Elba) dan Alex Martin (Winslet) adalah dua dari sekian banyak penumpang di bandara Boise yang masygul lantaran penerbangan mereka ditunda akibat cuaca buruk. Ben yang berprofesi sebagai dokter bedah mencoba meyakinkan petugas bandara bahwa ia harus segera mengoperasi seorang bocah kecil. Sayang usahanya tersebut gagal. Berada di posisi serupa, Alex (Winslet) tidak menyerah begitu saja pada keadaan. Melalui sambungan telepon, ia pun berhasil membuat kesepakatan dengan seorang pilot pesawat carter bernama Walter (Beau Bridges). Mencuri dengar percakapan Ben dan petugas bandara sebelumnya, Alex menawarinya alternatif tersebut yang kemudian diterimanya. Manusia berkehendak, namun takdir ada di tangan Tuhan. Tak lama setelah lepas landas, Walter mengalami serangan stroke dan pesawat yang mereka tumpangi jatuh di belantara pegunungan berselimutkan salju. Maka, dimulailah perjuangan Ben dan Alex, dua insan yang sama sekali asing satu sama lain namun disatukan oleh kuasa alam untuk keluar dari bencana tersebut. Mereka tidak tahu kapan dan di mana perjuangan mereka akan berakhir, mereka hanya tahu bahwa mereka memiliki satu sama lain.

Harus diakui bahwa hikayat tentang ikhtiar manusia bertahan hidup di tengah situasi paling mengerikan memang masih memikat. Salah satu penyebabnya tentu saja kita ingin mengetahui sejauh mana daya tahan manusia menghadapi cobaan berat. Menikmati sajian fiksi permainan bertahan hidup, apalagi yang berlatar alam liar dapat membangkitkan imajinasi yang sulit dihadirkan di tengah hiruk pikuk kehidupan manusia yang sangat duniawi. Melalui kisah fiksi tersebut, tidak heran jika menemukan diri kita asyik bergumul dengan kekejaman alam atau manusia lain serta ikut merasakan dan membayangkan potensi tersembunyi yang tanpa disadari ada di dalam diri setiap manusia. Apa yang akan saya lakukan jika saya ada di posisi seperti itu? Apa yang akan terjadi jika tidak ada harapan lagi untuk hidup? Bagaimana melindungi diri dari berbagai serangan yang tiba-tiba? Barangkali pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang menyembul di benak kita. Sebagai organisme sosial yang notabene selalu dalam keadaan aman sentosa, menjadi wajar jika kisah-kisah perjuangan macam itu menjadi semacam latihan mental untuk keluar dari zona nyaman. Tidak ada yang salah dengan hal itu, apalagi jika ceritanya dibuat menarik.

Namun, tema pertahanan hidup manusia sudah cukup uzur di dunia kreatif. Maka untuk mempertahankan animo penikmat fiksi, tema ini banyak dipadupadankan dengan tema lain seperti kriminal, budaya, sejarah, politik, atau percintaan. The Mountain Between Us karya Charles Martin ini memilih yang disebut terakhir. Sebagai bukan pembaca novelnya, tentu saja saya tidak tahu dan tidak dapat mengomentari karya Martin tersebut. Hanya saja ketika disadur menjadi naskah, saya merasakan keabsurdan luar biasa dari cerita Ben dan Alex ini. Karakter kedua tokoh tersebut seolah-olah dibangun atas dasar kebutuhan mempertemukan mereka dalam sebuah bencana semata. Mereka tidak punya latar kehidupan yang memancing penonton bersimpati. Penulis naskah Chris Weitz dan J. Mills Goodloe jelas memiliki fantasi percintaan (dan seks) di alam liar yang dahsyat namun tidak peduli dengan kedalaman karakter Ben dan Alex.

Ben, yang di pembuka film tampil sebagai pria Inggris yang kaku hanya diceritakan memiliki sejarah asmara menyedihkan. Titik. So what? Haruskah kita kasihan pada dirinya? Tidak, karena toh dia tidak pernah digambarkan sebagai pria yang depresi akibat cinta. Tidak ada tanda-tanda kehilangan cintanya itu menghambat kehidupan sosialnya, sampai Alex dengan kurang ajar mengutil barang pribadinya. Ketika kita tahu penyebab sejarah asmara menyedihkan itu, adakah perubahan-perubahan signifikan dari perilakunya selama mengarungi pegunungan bersalju? Negatif. Pertanyaan yang tepat dilontarkan adalah: apakah Ben memerlukan obat penenang untuk mengarungi pegunungan bersalju? Jawabannya ya, dan dapat diteruskan dengan penjelasan: berupa aktivitas fisik hewaniah di habitat yang juga paling alamiah. Dimensi karakter Alex lebih menyedihkan dari kisah picisan masa lalu Ben. Alex yang tampak sering bergaul dengan pilot-pilot uzur dan penyakitan itu digambarkan hidup dengan etiket happy go lucky. Jika ditambah dengan keterangan bahwa ia akan menikah dengan pria yang berwujud Dermot Mulroney, maka sempurnalah hidup Alex. Again, so what? Di sepanjang pertarungannya dengan hawa dingin dan tebing terjal pun Alex tampak tidak banyak berubah, tidak ada yang mencurigakan dari dirinya, dan tidak pula ada tanda-tanda ia kekurangan sesuatu, selain tumpahan benih pria asing yang kebetulan memang goooooorgeooous... Karakter Ben dan Alex setipis kertas pembersih minyak wajah.

Sebagai penonton, saya mungkin akan maklum jika kisah perjuangan manusia bertahan hidup memang agak datar dan ada pakem-pakem khas yang biasa dihadirkan seperti tokoh-tokoh asing berusaha mengenal satu sama lain, keadaan gawat yang terjadi pada salah satu tokoh dibanding yang lain, atau ancaman hewan-hewan buas yang namanya pantas dimasukkan di kredit akhir karena jasanya sebagai pemeran pendukung. Namun, saya tidak mengira bahwa kedua penulis naskah benar-benar mengucilkan aspek perjuangan manusia di film bertema pertahanan hidup ini demi memperlihatkan semara yang mulai tumbuh di antara dua orang asing. Penonton akan sangat menyadari betapa "nyamannya" menjadi Ben dan Alex yang terlantar di pegunungan salju tanpa manusia lain tetapi dengan relatif mudah mendapatkan semua kebutuhan untuk bertahan hidup. Coba ingat kembali bagaimana Ben menyalakan api, mendapatkan makanan, hingga tempat berteduh. Berbagai ujian memang menerpa Ben dan Alex, namun yang tergambar hanya rasa takut yang dangkal. Selebihnya kepala mereka hanya diisi bayangan semu untuk saling bersedekap melawan suhu di bawah nol derajat, menikmati kehangatan tubuh satu sama lain, dan khusus untuk Alex, ia juga memiliki kesibukan menggerayangi barang orang lain sambil berspekulasi tentang jari Ben yang dilingkari cincin namun tak pernah menceritakan sepatah kata pun mengenai istrinya. Kedua penulis naskah berupaya meramu hubungan dua orang asing dengan angan-angan mereka akan menjadi pasangan sempurna. Sayang seribu sayang hal itu dilakukan tanpa memberi ruang pada sisi individual dari pasangan tersebut. Kedua penulis naskah seolah hanya percaya bahwa kekuatan dan inti cerita ada pada penyatuan kedua tokoh utama film ini, padahal itu sama saja dengan mencela masing-masing karakter yang mereka tulis sendiri.

Namun tidak ada yang dapat menandingi bencana yang terjadi di lima belas menit terakhir film ini. Setelah sama-sama bermandikan salju pegunungan dan berpeluh ria di pondok seronok, kedua penulis naskah semakin jelas tidak dapat membendung syahwat. Tanpa malu-malu mereka menyetel gigi romantis secepat kilat dan mendeklarasikan love conquers all. Mereka tidak menatap ke seberang layar untuk melihat penonton yang berekspektasi sajian pemacu adrenalin justru menjadi dongkol bukain main. Penggemar film percintaan pun dihadapkan pada cerita dan pasangan yang sama sekali tidak meyakinkan. Dengan jalan cerita dan pengembangan karakter yang buruk, kisah romantis pun tidak tumbuh secara natural. Ditambah lagi, Elba dan Winslet pantas mendapat rapor merah untuk chemistry di sini.

Pada akhirnya, film ini memunculkan pertanyaan di hati saya mengapa mereka peduli untuk memfilmkan cerita ini? Adakah pesan khusus yang ingin mereka sampaikan? Apa yang mereka anggap menjadi pembeda film ini dengan film romantis lainnya? Well, mungkin jawabannya akan kembali ke pembicaraan kita di atas, bahwa Twentieth Century Fox kadung percaya novel dengan predikat bestseller seharusnya menjanjikan keuntungan. Tampaknya Hollywood masih harus berjuang keluar dari bencana yang sesungguhnya: memudarnya keberanian mengambil risiko untuk mengembangkan ide cerita asli. Pada titik inilah saya teringat salah satu adegan di film ini di mana Ben dan Alex berdebat apakah akan menunggu pertolongan atau mengambil risiko menempuh perjalanan yang berbahaya. Mereka pun memilih yang kedua. Keputusan itu membuat saya sedih bukan main. Seharusnya nama-nama produser, sutradara, dan pemain yang nama beserta karya suksesnya saya sebutkan di atas tetap tinggal di pegunungan bersalju nan terpencil tersebut, masuk bersama-sama ke sebuah gua dengan perapian yang hangat, sambil bertanya kepada diri masing-masing: mengapa saya melibatkan diri dalam proyek ini?

Dengan senang hati saya memberikan satu bintang pada film ini. Ada yang punya komentar?


Watch this if you liked:
The Way Back (2010)

Director: Peter Weir
Stars: Jim Sturgess, Ed Harris, Colin Farrell
Genre: Adventure, Drama, History
Runtime: 133 minutes













The Grey (2011)


Director: Joe Carnahan
Stars: Liam Neeson, Dermot Mulroney, Frank Grillo
Genre: Action, Adventure, Drama
Runtime: 117 minutes

John Ottway adalah seorang pemburu ulung yang disewa sebuah perusahaan minyak di Alaska. Suatu ketika, pesawat yang Ottway serta para pekerja kilang minyak lainnya tumpangi mengalami kecelakaan terkena terpaan badai dan jatuh di tengah-tengah padang salju mahaluas tak berpenghuni. Setelah berusaha beradaptasi dengan gelap dan dinginnya kutub utara, mereka pun menemukan satu masalah besar: kawanan serigala yang mengancam nyawa mereka...