Selasa, 02 Oktober 2012

Kuliah Seribu Sentilan Pak Dirjen

Beberapa waktu lalu, kampus saya kedatangan satu tamu istimewa, yaitu Fuad Rahmany yang saat ini menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak. Kedatangannya menjadi istimewa sebab inilah kunjungan pertamanya ke Departemen Ilmu Admnistrasi FISIP UI, khususnya program studi Ilmu Administrasi Fiskal sejak ia dilantik pada 1 Januari 2011 silam. Pelantikannya diwarnai sejumlah isu yang siap menunggu untuk diselesaikan seperti masalah Gayus Tambunan, banyaknya area abu-abu dalam peraturan perpajakan, dan yang paling baru adalah ketika para ulama Nahdlatul Ulama (NU) mengancam akan memboikot pembayaran pajak bila hasil pajak masih terus dikorupsi. Maka, ketika beliau pertama kali berbicara mengenai kerinduannya akan mengajar di kampus, saya percaya bahwa hal itu tidak sepenuhnya benar. Kedatangan Pak Dirjen tentu juga akan menyinggung sedikit (atau banyak?) isu-isu tersebut dan memberikan klarifikasi dan pencitraan diri. Tentu saja melakukan hal tersebut bukanlah sesuatu yang haram, bahkan diperlukan bila memang selama ini masyarakat salah menanggapi isu-isu yang beredar.

Ketika mendapatkan selebaran informasi akan diadakan kuliah umum (studium generale) dari Dirjen Pajak, yang pertama kali menarik mata saya di selebaran itu adalah tema kuliahnya. Bukan karena dahsyat atau menggugahnya tema itu, sebaliknya tema tersebut saya rasa sangat umum, bahkan hampir seperti bahan sosialisasi dari petugas pajak kepada masyarakat awam tentang pajak, sebab temanya adalah "Peran Pajak dalam Pembangunan". Tentu kita semua tahu bahwa secara teoritis pajak memang memainkan peran dalam pembangunan sebuah negara. Hanya saja, dalam tataran implementasi, peran tersebut masih jauh dari yang diharapkan karena banyaknya "lubang" yang menghambat suksesnya pajak menjadi tunlang punggung pembangunan negara.

Namun, beruntunglah semua peserta kuliah umum itu sebab sebelum Pak Dirjen memberikan kuliah, tentu sebagaimana acara formal lainnya ada kata sambutan (keynote speech) yang saat itu disampaikan oleh Prof. dr. Irfan Ridwan Maksum. Dalam sambutannya itu, Prof. Irfan menyinggung berbagai problema yang dihadapi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dan berharap agar Pak Dirjen mau berbagi pengalamannya dalam menghadapi berbagai masalah pelik yang menyangkut lingkup kerjanya. Nah, saya pikir klop lah harapan saya dengan sambutan Prof. Irfan ini, semoga Pak Dirjen tidak hanya membahas berbagai pengetahuan dasar perpajakan saja, tetapi juga membahas masalah-masalah yang ditemukan di lapangan.

Ketika kuliah berlangsung, efek sambutan Prof. Irfan mulai terasa. Pak Dirjen hanya sedikit menjelaskan beberapa bahan kuliah yang dituangkan dalam bentuk presentasi dan lebih banyak mengeluarkan jurus "seribu sentilan" saat beliau menceritakan pengalamannya menjadi Dirjen Pajak hingga saat ini. Saya menyebutnya jurus seribu sentilan karena dalam menceritakan pengalamannya, Pak Dirjen senantiasa berusaha membuat peserta kuliah yakin akan performa bagus dari DJP dengan sedikit mengubah sudut pandang berpikir kita selama ini. Selain itu, ada cukup banyak pihak yang disentil Pak Dirjen dalam kuliahnya pagi itu.

Pertama, Pak Dirjen menyinggung masalah kepatuhan membayar pajak dari masyarakat menengah ke atas. Beliau bercerita bahwa ada banyak masyarakat berkecukupan (bahkan lebih) yang tidak mau membayar pajak dengan berbagai alasan yang "konyol" seperti jalan di depan rumah yang belum dibuat. Menurut saya, mungkin ada benarnya apa kata Pak Dirjen ini yang menyatakan bahwa masyarakat menegah ke atas kurang patuh dalam membayar pajak, tetapi tentu saja alasannya bisa beragam. Mungkin saja mereka tidak yakin akan transparansi administrasi pajak, apalagi muncul kasus-kasus pegawai pajak yang nakal yang tidak sepenuhnya dipahami masyarakat. Selain itu, Pak Dirjen juga mengeluhkan tindakan masyarakat mampu yang ikut mengonsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, sedangkan BBM itu disubsidi dari pajak, dan itu tadi, masyarakat menengah ke atas seperti ogah-ogahan membayar pajak. Hasilnya, kata Pak Dirjen, tax ratio Indonesia masih jauh di bawah negara-negara lain, termasuk negara tetangga kita, Singapura yang berhasil mendongkrak tax ratio hingga level 18%.

Kemudian Pak Dirjen juga menanggapi isu NU yang mengancam akan memboikot bayar pajak bila masih ada pajak yang dikorupsi. Menurutnya, ancaman itu sangat tidak berdasar, sebab apajak adalah kesepakatan bersama antara negara dengan rakyat yang dutangkan dalam bentuk Undang-Undang (UU). Pembuatan UU itu melibatkan rakyat juga, yaitu perwakilan-perwakilan (representation) yang dianggap dapat mengakomodasi aspirasi rakyat. Jadi ketika ada yang mengancam memboikot bayar pajak tentu saja itu berarti melanggar kesepakatan bersama. Selain itu, Pak Dirjen mengatakan bahwa bila tak ada pajak, maka penyelenggaraan negara tidak dapat dilakukan karena tidak ada sumber pendanaannya. Secara ekstrem dapat dikatakan jika tidak ada pajak, maka tidak akan ada negara.

Isu batalnya kenaikan harga BBM juga disinggung Pak Dirjen. Kali ini, beliau menyentil mahasiswa yang beberapa waktu lalu gencar melakukan kasi demo di jalan untuk menentang naiknya harga BBM. Menurut Pak Dirjen, akibat batalnya kenaikan BBM tersebut, negara terpaksa harus menanggung beban sibsidi yang dirasa amat berat, sehingga membuat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Untuk menutupi defisit itu, negara melakukan pinjaman (utang) yang tentunya menambah jumalh utang negara.

Pak Dirjen juga mengecam banyaknya perusahaan fiktif yang beredar luas di masyarakat. Menurut beliau, banyak di antara perusahaan fiktif itu mengajukan permohonan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dengan menjadi PKP, tentu saja mereka dapat dengan bebas mengkreditkan beban Pajak Pertambahan Nilai (PPN), padahal perusahaan mereka adalah perusahaan fiktif yang tidak memiliki kegiatan bisnis. Selain masalah perusahaan fiktif, saat ini bayak pula terjadi kasus pembuatan faktur pajak palsu. Dengan bayaknya faktur pajak palsu, banyak pengusaha yang mendapatkan Pajak Masukan (PM) yang lebih besar, dan ujung-ujungnya meminta restitusi. Jika sudah begitu, tindakan itu dapat digolongkan sebagai pencurian uang negara.

Semakin siang, sentilan Pak Dirjen semakin seru. Masyarakat umum pun tak lepas dari sentilan Pak Dirjen. Menurutnya, selama ini masyarakat Indonesia sering terbawa media yang lebih banyak memberikan hal-hal buruk seputar DJP. Padahal, adanya kasus seperti Gayus itu menurut Pak Dirjen adalah pertanda bagus, dalam artian bahwa oknum-oknum seperti itu mulai ketahuan dan ditindak, tidak seperti dulu di mana proses hukumnya mandul. Tetapi menurut saya, tentu tidak tepat mengatakan bahwa adanya kasus itu menjadi bagus, sebab hal itu justru menunjukkan kelemahan DJP dalam membina organisasi dan stafnya. Untuk mereka yang termakan isu pemboikotan bayar pajak, Pak Dirjen mengatakan bahwa pada akhirnya yang diuntungkan adalah para pengusaha besar, padahal merekalah yang menempati porsi terbesar pembayar pajak di Indonesia. Sehingga, menurut Pak Dirjen sebenarnya "Gayus-gayus" itu lebih banyak ada di masyarakat, termasuk mereka yang memengaruhi orang untuk tidak membayar pajak. Sedikit rasa tersinggung terbersit dalam hati saya. Kesalahan ada di tubuh DJP lantas mengapa masyarakat yang disalahkan? Jalan terbaik tentunya adalah introspeksi diri dari masing-masing pihak.

Dalam kuliahnya Pak Dirjen juga memberikan wejangan kepada kami semua, peserta kuliah yang mungkin di masa depan akan menjdai fiskus. Pak Dirjen menyampaikan bahwa saat ini di DJP sedang digalakkan program pengawasan horizontal atau sesama staf agar tidak lagi terjadi kasus seperti Gayus. Pak Dirjen bercerita bahwa ada seorang teman Gayus yang ikut dihukum karena ia mengetahui tindak-tanduk Gayus, tetapi tidak melaporkan ke atasannya meskipun ia menolak bekerja sama. Setelah memberikan wejangan ini, tak lama kemudia kuliah ditutup dengan pemberian kenang-kenangan. Pada akhirnya, saya merasa kuliah umum ini lebih seperti klarifikasi terbuka yang bersifat defensif dari DJP. Pak Dirjen sendiri pun mengakui, "Kalau bukan Dirjennya yang membela, siapa lagi yang mau membela DJP?" Tentu saja, seperti telah saya tulis di atas, tak ada salahnya melakukan klarifikasi dan pencitraan diri, terutama menyangkut masalah yang belum sepenuhnya dipahami masyarakat. 


Senin, 01 Oktober 2012

Sherlock Holmes: The Detective in New Look

Visualisasi detektif termasyhur karya Sir Arthur Conan Doyle memang telah sering dibuat. Tetapi kisah Sherlock Holmes (2009) garapan sutradara berdarah Inggris Guy Ritchie (Revolver, RocknRolla) menyajikan tampilan segar dibanding film-film sebelumnya. Selama ini, Ritchie dikenal sebagai sutradara idealis yang selalu mengedepankan kualitas cerita dibanding glamornya bintang atau efek-efek visual yang sekarang menjadi salah satu jualan utama sineas Hollywood. Lihat saja karya-karya sebelumnya yang mendapatkan tanggapan positif dari para kritikus seperti Lock, Stock, and Two Smoking Barrels (1998) dan Snatch (2000). Namun, karena idealismenya itu, Ritchie sering dianggap sutradara kelas dua dari segi komersial, sebab kebanyakan filmnya memperlihatkan prestasi biasa-biasa saja di tangga box office. Meski begitu, nampaknya Warner Bros memiliki pertimbangan lain. Resume Ritchie yang sering menangani film-film petualangan dan laga menjadi salah satu petimbangan tepat untuk menempatkan Ritchie di kursi sutradara. Penggunaan Robert Downey, Jr. yang namanya kembali beredar di layar lebar setelah lama absen dari percaturan dunia hiburan akibat ketergantungannya pada narkotika juga diyakini sebagai salah satu kunci sukses Sherlock Holmes.

Berstatus sebagai film berbujet tertinggi sang sutradara, Sherlock Holmes memberikan penonton tampilan detektif yang dikenal beralamat di Baker Street 221B itu yang nyaris seluruhnya baru. Dalam film ini, tak ada lagi sosok Holmes yang menggunakan jaket kulit rusa, tak ada lagi sikap elegan yang sempurna, tak ada lagi pelayan gemuk yang selalu mematuhi perintah Holmes. Penonton seperti diperkenalkan pada sosok detektif lain yang lebih humoris, sedikit childish, dan yang pasti memiliki kemampuan nalar dan akal bulus yang tak tertandingi siapapun. Ciri lama yang masih melekat pada sosok Holmes yang baru ini adalah kegemarannya menghisap cangklong dan bermabuk-mabukan ketika sedang sepi job. Duet Holmes dengan sahabatnya, dr. Watson yang dikenal sebagai veteran perang semakin menambah seru ritme film ini. Ada nuansa kocak dari tingkah laku kedua tokoh utamanya, serius ketika Holmes memaparkan teknik-teknik bela diri dan logika sainsnya, dan tegang saat terjadi ledakan dan adu laga.

Film ini dibuka dengan adegan yang cukup agresif untuk sebuah permulaan, yaitu ketika Holmes (Downey, Jr.) dan Watson (Jude Law) berada dalam operasi penangkapan Lord Blackwood (Mark Strong), seorang buronan yang telah membunuh empat orang wanita dan diduga aksinya tersebut dilakukan untuk kepentingan ilmu sihir. Dalam operasi itu, Blackwood sedang melakukan ritual untuk menghabisi nyawa korban wanita kelimanya. Dengan segenap kemahiran dan ketangkasannya menghabisi lawan, Holmes dan Watson berhasil membekuk Blackwood, meski sebenarnya penangkapan itu mendahului rencana kepolisian yang dipimpin Inspector Lestrade (Eddie Marsan). Blackwood pun ditahan dan beberapa waktu kemudian menghadapi putusan hukum gantung. Namun, sebelum hukuman itu dijalankan, Blackwood memperingatkan Holmes bahwa kematiannya bukan akhir dari segalanya, masih akan ada tiga kematian misterius yang akan terjadi.

Peringatan sang pelaku kriminal terwujud ketika polisi menemukan bahwa makam Blackwood jebol dan mayat yang ada dalam peti mati bukanlah tubuh Blackwood, melainkan sosok kerdil yang belakangan diketahui bernama Reordan (Oran Gurel). Sebelum kejadian jebolnya makam tersebut, Holmes kedatangan klien spesial yang telah dikenalnya. Klien itu spesial bagi Holmes karena diam-diam ia menyimpan rasa kagum terhadap klien yang satu ini, yaitu Irene Adler (Rachel McAdams). Irene meminta bantuan Holmes mencari orang hilang yang ternyata adalah Reordan. Holmes yang mengetahui bahwa Adler adalah wanita licik dengan sekejap mengetahui bahwa Adler mencari Reordan bukan untuk dirinya, melainkan untuk orang lain, yaitu seorang profesor yang kemudian diketahui bernama Professor Moriarty. Siapakah Professor Moriarty ini dan apa hubungannya dengan Reordan dan Blackwood, penonton akan mendapatkan jawabannya di akhir film di mana Holmes berhasil memecahkan teka-teki bahwa ternyata Blackwood tidak mati saat dirinya digantung di hadapan publik.

Blackwood bersekongkol dengan petugas yang mengatur proses hukuman itu dan melakukan sejumlah trik ilmiah agar denyut nadinya berhenti. Selain itu, Holmes juga berhasil mendapatkan titik terang motif pembunuhan yang dilakukan Blackwood. Ternyata aksi kriminal Blackwood sama sekali tidak ada hubungannya dengan ritual mistis atau ilmu sihir apapun, melainkan nafsu untuk mendapatkan kekuasaan politik di Inggris, Amerika, dan dunia. Blackwood ternyata merupakan mantan anggota sebuah organisasi rahasia berbau mistis yang dikenal dengan sebutan Four Orders yang kemudian memberontak dan ingin menguasai organisasi itu dan memperalatnya demi tujuan pribadinya tadi, menguasai dunia. Para pemimpin Four Orders, yaitu Thomas Rotheram (James Fox) yang ternyata adalah ayah kandung Blackwood, duta besar Amerika Standish (William Hope), dan sekretaris organisasi itu, Lord Coward (Hans Matheson) meminta batuan Holmes untuk menangkap kembali Blackwood yang "bangkit dari kubur". Namun, permintaan mereka belum sempat terwujud ketika Rotheram dan Standish ditemukan mati dalam kondisi yang penuh teka-teki dan dihubung-hubungkan dengan pengaruh sihir Blackwood. Padahal semua itu hanyalah hasil kecerdasan Reordan yang bekerja untuk Blackwood dalam memanfaatkan sains dan membungkusnya dalam nuansa mistis. Beruntung, pada akhirnya Holmes berhasil memecahkan itu semua secara logis dan masuk akal.

Di sepanjang cerita, Holmes digambarkan sering kali bertingkah konyol dan kekanak-kanakan. Ia cemburu pada Watson yang telah menemukan Mary Morstan (Kelly Reilly), wanita pujaannya sehingga waktunya habis tersita oleh Mary. Downey, Jr. memerankan sosok Holmes yang konyol ini dengan apik. Terkadang ia menampilkan mimik muka polos seperti anak-anak, licik demi mendapat informasi, tetapi di waktu lain ia bisa serius ketika berpikir. Law juga berhasil memerankan Watson sebagai teman yang lebih bijaksana bagi Holmes, berwawasan luas dan berpengalaman sebagai veteran perang, meski tidak memiliki kemampuan menarik kesimpulan sebaik Holmes.

Hal yang mungkin agak mengganggu adalah sifat dan sikap childish Holmes dan Watson yang digambarkan dalam film ini justru hampir terkesan seakan-akan ada hubungan "spesial" di antara dua tokoh ini, sebab seringkali Watson diceritakan sangat perhatian terhadap Holmes (bahkan hingga ke urusan pribadi), dan Holmes sendiri cemburu ketika Watson sedang bersama Mary. Akibatnya, dua tokoh love interest di sini, yaitu Adler dan Mary kurang tereksplor. Peran mereka berdua dapat digantikan oleh wanita cantik manapun sebab mereka tidak memiliki karakter spesifik yang membedakan mereka dari tokoh lain. Mereka tidak memiliki peranan signifikan, bahkan untuk Mary ia hanya tampil beberapa kali dalam waktu yang cukup singkat.

Dari segi sinematografi, penonton disuguhkan sebuah latar Inggris abad 19 dengan tata warna yang didominasi oleh corak sephia dan gotik. Kehidupan sosial masyarakat Inggris zaman dulu sangat sukses divisualisasikan, mulai dari pemilihan kostum seperti gaun-gaun berpantalet, setelan mantel, topi, dan lain sebagainya hingga pada latar tempat di mana Tower Bridge masih dalam tahap konstruksi pembangunan. Semuanya terasa memanjakan mata. Untuk kerja cemerlang ini, Sherlock Holmes dinominasikan Oscar dalam kategori Best Achievement in Art Direction di samping Best Achievement in Music Written for Motion Pictures, Original Score untuk Hans Zimmer.

Secara keseluruhan, Sherlock Holmes berhasil menyajikan tontonan segar kepada penonton yang umumnya telah akrab dengan cerita detektif yang satu ini. Film ini juga berhasil mengubah sedikit image Ritchie sebagai sutradara yang tidak pernah sukses secara komersial, sebab terbukti dari peredarannya di seluruh dunia, Sherlock Holmes berhasil meraup pendapatan kotor sebesar $524,028,679, membuatnya sebagai film berpenghasilan terbesar sang sutradara, dan tentunya bagi rumah produksi, film ini berhasil membantu Warner Bros menemukan franchise baru yang menjanjikan. Meski pada saat pemutarannya harus bersaing dengan film-film kelas berat seperti Avatar, namun Sherlock Holmes memberikan pengalaman menonton tersendiri dan bagi saya pribadi akan merasa rugi jika melewatkan film yang satu ini. It's refreshing, 3.5 out of 5 stars for me. Ada yang punya komentar?


Wach this if you liked:

Sherlock Holmes: A Game of Shadows (2011)

Director: Guy Ritchie
Stars: Robert Downey Jr., Jude Law, Jared Harris
Genre: Action, Adventure
Runtime: 129 minutes


Secret Window (2004)

Director: David Koepp
Stars: Johnny Depp, Maria Bello, John Turturro
Genre: Mystery, Thriller
Runtime: 96 minutes