Jumat, 15 Februari 2013

Gattaca: Where There's A Will, There's A Way

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Kesempurnaan manusia bisa dilihat dari banyak sisi, tetapi yang paling utama adalah akal pikiran dan hati nurani. Sayangnya, dua kesempurnaan manusia yang dianugerahi Tuhan itu terkadang kontradiktif dalam kehidupan. Manusia dengan akal pikirannya terus mengembangkan ilmu pengetahuan untuk memenuhi impian setiap orang: hidup bahagia, sehat selalu, panjang umur, bahkan bagi sebagian orang mungkin ada yang ingin menjadi abadi. Sepanjang sejarah umat manusia, usaha untuk meningkatkan kualitas hidup memang tidak pernah berhenti dilakukan. Berbagai penelitian telah menghasilkan temuan-temuan baru yang semakin mendekatkan manusia pada impian tersebut. Tetapi kenyataan yang sering terjadi adalah hati nurani manusia semakin tumpul seiring dengan semakin pesatnya peningkatan ilmu pengetahuan yang dikembangkan akal pikiran. Manusia lupa menggunakan hati nurani mereka manakala berhasil memecahkan suatu hal yang sebelumnya tak pernah terpikirkan dapat dilakukan. Bagi saya, tidak ada yang lebih buruk daripada hidup di dunia yang dipenuhi dengan manusia tanpa hati, seperti yang dapat dilihat dalam Gattaca (1997).

Dikisahkan secara naratif kilas balik, pada masa depan yang tidak terlalu jauh dunia telah berubah cukup drastis karena manusia telah mampu memodifikasi gen yang dapat melahirkan bayi-bayi sempurna tanpa cacat. Pada masa ini para ilmuwan tidak hanya sekedar mampu menentukan jenis kelamin bayi, tetapi juga menghilangkan potensi keburukan yang dibawa gen seperti penyakit, emosi dan kebiasaan yang sulit dikendalikan, bahkan meningkatkan IQ. Orang tua kini tidak meletakkan nasib anak mereka di tangan Tuhan, melainkan pada ahli genetik yang memainkan peranan sangat signifikan dalam komunitas masyarakat kala itu. Namun, ternyata masih ada sebagian kecil orang yang menginginkan anak yang lahir dan hidup secara alami tanpa campur tangan sains, salah satunya adalah Vincent (Ethan Hawke). Hasilnya, Vincent terlahir ke dunia ini dengan berbagai kekurangan, terutama kondisi jantungnya yang lemah. Marie (Jayne Brook), ibu Vincent yang awalnya sangat yakin dengan keputusannya melahirkan anak secara alami kini pesimis dengan masa depan putra pertamanya itu. Lebih parah lagi, Antonio (Elias Koteas) skeptis terhadap Vincent dan merasa lebih antusias dengan persiapan kelahiran putra keduanya yang kini menggunakan teknologi modifikasi gen. Kelak, Marie akan menyesali keputusannya melahirkan Vincent secara alami karena tanpa diduga secara perlahan muncul diksriminasi terhadap mereka yang lemah secara gen. Tetapi rupanya dengan segala keterbatasan yang ada pada dirinya, Vincent berusaha mati-matian mewujudkan cita-citanya menjadi astronot Gattaca, institusi antariksa swasta prestisius meski harus meninggalkan identitasnya sebagai Vincent untuk selama-lamanya.

Dilihat dari berbagai sisi, penulis naskah sekaligus sutradara Andrew Niccol (S1m0ne, In Time) menghasilkan cerita brilian sekaligus provokatif. Dari segi pengembangan cerita, saya rasa dunia ilmu pengetahuan yang dipersinggungkan dengan etika tidak akan pernah menjadi ide cerita basi karena dapat dikatakan bahwa ilmu adalah jantung kehidupan. Dengan ilmu, manusia dapat lebih mengembangkan potensi diri dan alam. Setiap kemajuan dunia selalu dimulai dari langkah kecil kemajuan ilmu pengetahuan. Masalahnya, apakah manusia yang terkenal dengan sifat tidak pernah puas dan dipenuhi kesombongan masih menyisakan sedikit ruang di hatinya untuk memikirkan etika? Dalam Gattaca, kemampuan ilmuwan dalam memodifikasi gen yang menghasilkan generasi manusia premium tidak diimbangi dengan penggunaan hati nurani yang justru sebenarnya sangat dibutuhkan dalam setiap tahap pekembangan zaman. Akibatnya timbul satu jenis diskriminasi ekstrim berdasarkan kesempurnaan gen (dalam film ini disebut genoism), sesuatu yang tidak pernah bisa saya bayangkan akan terjadi di dunia nyata. Bayangkan jika struktur masyarakat di dunia ini berubah. Stratifikasi sosial tidak lagi berdasarkan kemampuan ekonomi, tingkat pendidikan, bahkan kekuasaan politis sekalipun, melainkan dari gen, sesuatu yang akan terus menempel dalam setiap sel tubuh manusia. Sudah dapat ditebak bahwa chaos dalam masyarakat tidak akan terhidarkan. Dalam situasi ini, Gattaca mengajak penonton memikirkan kembali apakah usaha manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan semata-mata untuk menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling unggul? Apakah keunggulan yang dimiliki sebagian manusia dapat dijadikan alasan untuk menganggap rendah manusia lain yang tidak memiliki keunggulan itu? Semua itu membawa penonton sadar bahwa ilmu pengetahuan menghasilkan kebenaran relatif yang mungkin tidak akan ada habisnya jika terus dikembangkan, sedangkan hati nurani yang terwujud dalam etika dan tatanan nilai-nilai kemasyarakatan tidak akan pernah membawa kita pada chaos semacam genoism tersebut. Segala niat dan tujuan yang baik dari ilmu pengetahuan akan segera sirna ketika manusia mengesampingkan etika dan nilai-nilai kemasyarakatan (nilai sosial, budaya, agama). Meski jalan cerita terasa lambat, namun dengan ide cerita yang mampu berkembang sedemikian rupa hingga menyentuh hati nurani, Niccol sukses mengeksplorasi sisi-sisi kontroversial ilmu pengetahuan.

Selain pengembangan cerita, bagi saya Gattaca juga unggul dari materi cerita. Film berdurasi 106 menit ini memiliki dua sub-plot yang semakin memperkaya kisah Vincent dalam memperjuangkan cita-citanya dan menghadapi “kejamnya” dunia modern. Sub-plot yang pertama adalah pembunuhan Mission Director yang ternyata memberikan sedikit kejutan di bagian akhir film. Plot pembunuhan tersebut menjadi latar belakang keseluruhan cerita yang mampu membawa penonton melihat seluk-beluk pribadi Vincent. Selama masa investigasi kasus pembunuhan itu penonton dapat mengetahui bahwa Vincent tidak pernah berhenti berjuang mendapatkan apa yang ia inginkan. Pepatah lama where there’s a will there’s a way ternyata masih berlaku dalam dunia masa depan yang nyaris sempurna. Plot pembunuhan ini juga berhasil menghadirkan sensasi thriller, di mana penonton tidak diberikan banyak petunjuk mengenai siapa sebenarnya yang membunuh Mission Director. Vincent dengan sifat yang perfeksionis menjadikan gerak-geriknya selalu gelisah dan mencurigakan. Kecurigaan terhadap Vincent itulah yang menjadikan setiap investigasi polisi membawa ketegangan pada penonton. Salah satu ketegangan yang paling kentara ada dalam adegan ketika polisi menyambangi rumah Jerome Morrow (Jude Law).

Sub-plot yang kedua adalah percintaan Vincent dengan Irene (Uma Thurman). Untuk sub-plot yang satu ini sebenarnya saya merasa Niccol tidak cukup mengeksplorasi hubungan Vincent dan Irene sehingga bagi saya plot ini tidak memiliki implikasi signifikan terhadap keseluruhan cerita. Padahal karakter Irene sangat menarik. Irene adalah calon astronot underdog yang bahkan ia sendiri tahu bahwa peluangnya untuk pergi ke luar angkasa sangat kecil. Menghadapi segala kesempurnaan Vincent, saya mengharapkan ada rasa iri Irene pada Vincent meskipun ia sangat mencintai dan mengaguminya, ketimbang alur lurus yang datar-datar saja seperti yang diperlihatkan di sepanjang film. Porsi plot percintaan ini sebenarnya cukup banyak dan sayang jika hanya dihabiskan untuk kisah wanita yang kagum setengah mati pada pria yang terlihat sangat sempurna sekalipun pada akhirnya ia mengetahui sisi lain pria itu.

Keistimewaan naskah Niccol juga tidak hanya terletak pada pengembangan dan materi cerita, tetapi juga pada penciptaan karakter yang menurut saya cukup unik. Salah satu karakter yang paling saya suka dalam Gattaca adalah Jerome Morrow. Lewat karakter yang diperankan Jude Law ini, Niccol semakin mempertegas bahwa sekalipun manusia mampu memodifikasi gen untuk menghindari “kualitas buruk” seseorang, tidak berarti bahwa manusia dapat hidup bahagia begitu saja, karena manusia tidak akan mampu mengubah sifat-sifat dasarnya sendiri, yaitu tidak pernah puas dan memiliki hawa nafsu. Jerome Morrow adalah mantan perenang handal dengan gen kualitas prima, tetapi itu semua tidak ada artinya ketika ia merasa malu karena hanya menempati posisi kedua dalam sebuah kejuaraan. Merasa terhina dan putus asa, Jerome pun akhirnya memutuskan menghabisi nyawanya sendiri meski sialnya ia tak sepenuhnya berhasil. Sebagai esensi yang ingin disampaikan seperti yang tercermin dalam tagline there is no gene for the human spirit, karakter Jerome Morrow sangat merepresentasikan kalimat tersebut. Vincent yang tidak memiliki gen sempurna ternyata lebih sukses dengan menggunakan human spirit-nya ketimbang Jerome yang dalam tubuhnya menempel gen kualitas nomor satu tetapi dengan kelemahan jiwanya justru terpuruk dalam hidup.

Dari jajaran pemeran karakter, Ethan Hawke bagi saya adalah orang yang tepat memerankan Vincent. Hawke sukses menggambarkan metamorfosis Vincent sebagai orang terbuang di awal cerita menjadi sosok pria flamboyan yang tahan banting, determined, dan inspiratif. Hawke juga mampu memperlihatkan sisi subtle dalam hubungan persahabatan Vincent dan Jerome Morrow dengan baik. Vincent menyimpan suatu kekaguman, menemukan kenyamanan persahabatan, sekaligus rasa penuh kasihan dan terima kasih yang tak terungkap pada Jerome tetapi dapat dilihat penonton baik dari tatapan, tingkah laku, maupun ucapan Vincent. Dalam adegan di mana Jerome mengaku bahwa kecacatannya bukan disebabkan kecelakaan dan ia bangga pada Vincent, tatapan Hawke yang tertegun sebagai Vincent menyiratkan simpati yang mendalam. Pemeran lain seperti Law dan Thurman juga memberikan performa bagus mereka di sini.

Nilai positif Gattaca juga dapat dilihat dari efek visual, sinematografi, makeup, scoring, dan desain produksi yang bagi saya sangat pas untuk sebuah sci-fi. Dari awal kredit pembuka saja, penonton sudah disuguhi efek visual berbagai objek tubuh yang berguguran, seperti kuku, rambut wajah, dan kulit mati. Objek-objek tersebut diperbesar, difokuskan dari latar belakangnya, dan bergerak secara lambat dengan suara berdebum layaknya benda berat yang jatuh.Saya sangat suka pembuka tersebut. Warna-warna yang dimunculkan dalam film yang merupakan debut penyutradaan Niccol ini didominasi oleh warna lembut, dan cahaya emas saat matahari senja menjadi ornamen utama di sepanjang film. Sementara dari sisi makeup, tampaknya Gattaca kembali pada gaya sci-fi klasik di mana tatanan rambut, riasan yang dapat menekankan ekspresi wajah yang kaku dan datar, serta busana klimis untuk menambah kesan futuristik. Michael Nyman juga mempersembahkan scoring yang mampu meningkatkan emosi dan ketegangan di seoanjang serita dengan klimaks nada tinggi di akhir cerita yang sangat mengena. Terakhir, saya sangat suka tampilan desain produksi Gattaca, mulai dari set lokasi yang menggunakan gedung nyata yang terkesan futuristik, properti seperti alat-alat untuk pemindaian gen, hingga suasana individualistis yang sangat kental terasa dalam gedung Gattaca.

Overall, Gattaca adalah sci-fi yang berani menyajikan cerita logis. Dari awal, ide untuk memodifikasi gen memang bukan mustahil dilakukan mengingat dunia tengah dilanda kemajuan di bidang IPTEK seperti cloning dan rangkaian pemindaian manusia juga menambah masuk akal ide tersebut. Gattaca menyajikan tontonan yang berbeda dari sci-fi masa kini yang dipenuhi serbuan makhluk luar angkasa, perang alien, senjata-senajata laser,atau adegan dengan efek visual yang menumpuk. Tetapi, tanpa itu semua ternyata sci-fi masih bisa dinikmati, bahkan dengan segala cerita logisnya. 4 out of 5 stars for me. Ada yang punya komentar?


Watch this if you liked:
Nineteen Eighty-Four (1984)

Director: Michael Radford
Stars: John Hurt, Richard Burton, Suzanna Hamilton
Genre: Sci-Fi, Drama, Romance
Runtime: 113 minutes











The Fountain (2006)

Director: Darren Aronofsky
Stars: Hugh Jackman, Rachel Weisz, Sean Patrick Thomas
Genre: Sci-Fi, Drama, Romance
Runtime: 96 minutes












Kamis, 07 Februari 2013

Tootsie: When Troublemaker Faces Love

Anda tentu pernah mendengar perkataan “we are not the first but we are the best” bukan? Meski terdengar agak usang, tampaknya kalimat yang sering dijadikan slogan atau jargon oleh kelompok atau orang itu tetap akan terdengar di telinga kita karena setiap orang di muka bumi ini ingin menjadi the best – yang terbaik. Menjadi yang terbaik dalam karir, ekonomi, pendidikan, asmara, bahkan yang sedikit sentimental, menjadi yang terbaik dalam kehidupan diri sendiri merupakan contoh kecil dari apa yang mungkin bisa kita sebut a dream to be the best. Lalu mengapa setiap orang ingin menjadi yang terbaik? Sederhana saja, karena menjadi yang terbaik berarti tidak ada orang lain yang mampu melebihi atau bahkan sekedar menyamakan apa yang telah dicapai oleh si terbaik. Ketika posisi seseorang sudah sedemikian tidak terkejar, maka akan timbul pengakuan (acknowledgement), sesuatu yang memiliki efek psiklogis cukup luar biasa, karena dari pengakuan itu akan mendatangkan kebanggaan. Di sisi lain, menjadi yang terbaik juga berarti harus mempertahankan apa yang telah diraih, sehingga terkadang orang yang dikenal sebagai yang terbaik sulit menerima, bahkan mengkritik hal-hal yang dianggap di bawah standar. Padahal bisa jadi hal-hal tersebut bukannya buruk sama sekali, hanya saja si terbaik itu terlalu idealis dan memasang standar yang terlalu sempurna untuk ukuran dunia yang tidak pernah sempurna ini. Akhirnya, orang lain yang bisa melihat peluang dari hal-hal tersebut yang kemudian berhasil memanfaatkan kesempatan untuk menjadi yang pertama – the first, meski bukan yang terbaik. Memang membutuhkan usaha ekstra untuk bisa menjadi yang terbaik sekaligus yang pertama, tetapi itu tidak mustahil dilakukan, setidaknya dalam Tootsie (1982).

Tootsie menceritakan satu momen dalam kehidupan Michael Dorsey (Dustin Hoffman), seorang aktor yang telah menganggur selama 20 tahun. Tidak ada satu pun drama panggung, opera sabun televisi, apalagi layar lebar menerimanya menjadi salah satu aktor dalam jajaran pemainnya. Bermacam-macam alasan pernah ia telan, mulai dari wajah yang tidak sesuai, tinggi badan yang tidak cocok, atau bukan orang yang tepat. Tetapi sebenarnya hal-hal itu bukan alasan utama mengapa ia belum juga berhasil mendapat pekerjaan tetap. Michael adalah seorang aktor mumpuni yang tahu benar bagaiamana cara berakting yang baik dan benar. Ia bisa mengatasi hal-hal sepele seperti itu. Faktor utama dalam kehidupan Michael yang selalu mendatangkan masalah baginya adalah idealisme. Michael bukan sembarang aktor. Ia pernah dipuji oleh New York Critics atas penampilannya. Ia memegang teguh logika berakting, menerapkannya, dan menjaga idealismenya itu di manapun. Karena itulah, Michael tidak pernah mau menerima arahan dari sutradara yang ia anggap tidak atau cara berakting. Bagi Michael, lebih baik tidak mendapatkan pekerjaan daripada harus mencederai keindahan dan kesempurnaan seni peran yang sangat ia cintai. Tetapi bukan Michael Dorsey namanya jika ia menyerah. Dengan tekad bulat, ia berani menembus batas yang mungkin tidak setiap orang mau melakukannya. Ia rela menjelma menjadi seorang wanita bernama Dorothy Michaels demi mendapatkan peran dalam salah satu opera sabun paling bergengsi di televisi. Awalnya, ia merasa semua berjalan lancar dan sesuai keinginannya. Tetapi ternyata berakting di kehidupan nyata tidak semudah berakting di atas panggung, karena ia menemukan banyak masalah, terutama bila ia harus bersandiwara di depan Julie (Jessica Lange), wanita yang ia cintai.

Sekilas, Tootsie tampak seperti komedi romantis biasa. Penonton akan dengan mudah mendapatkan pengocok perut dalam berbagai adegan di sepanjang film berdurasi 116 menit ini. Mulai dari dialog-dialog “penuh urat” antara Michael dengan agennya George (Sydney Pollack), perilaku Dorothy “Tootsie” Michaels yang kaku dan sangat aneh, adegan “pemerkosaan” Dorothy, dan lain-lain. Tetapi jika ditilik lebih jauh, Tootsie memiliki kedalaman cerita yang lebih dari kata biasa. Tootsie mengangkat kisah bagaimana seorang seseorang menghabiskan 20 tahun masa hidupnya hanya untuk menanti datangnya suatu keberuntungan. Saya sebut keberuntungan karena sebenarnya Michael sudah memiliki modal lebih dari cukup untuk sukses. Ia bukan hanya sekedar aktor berbakat, tetapi lebih dari itu, ia mendedikasikan hidupnya untuk berakting. Berulang kali Michael mengatakan, “I’m a character actor” yang menegaskan bahwa ia sama sekali tidak bisa meninggalkan seni peran dari kehidupannya, bahkan kehidupan nyata. Michael membawa mimpi besar, hasrat, dan harapannya sebagai aktor ke dalam kehidupan nyata. Ia mengisi harinya dengan mengajar kelas akting untuk teman-temannya, memotivasi mereka untuk menjadi aktor-aktor terbaik. Ia adalah tempat semua orang bertanya bagaimana cara berakting. Tetapi sayangnya Michael yang dari luar tampak seperti the man with the answer terlalu naïf untuk memahami bagaimana roda bisnis di dunia hiburan berputar. Dengan keras kepala, ia selalu memaksakan logika akting yang ia mengerti dalam setiap audisi yang ia ikuti. Padahal sebagian besar pelaku bisnis hiburan hanya ingin mengerek lembaran dolar dan popularitas tanpa memberi banyak perhatian pada bagaimana berakting yang baik. Kontradiksi ini membuat karakter Michael menarik bagi saya. Di satu sisi ia mengakui dan diakui sebagai yang terbaik, tetapi di sisi lain pengakuan tersebutlah yang menjadikannya pengangguran tiada akhir. Begitu pun dalam hal percintaan, Michael bisa disebut sebagai orang yang munafik. Ia mempermainkan perasaan Sandy, tetapi ia tidak terima Julie diperlakukan demikian oleh Ron (Dabney Coleman). Hal ini semakin mempertegas bahwa Michael might  be the best actor but it’s plain as day that he’s a looser when it comes to romance

Saya juga sangat menyukai bagaimana Tootsie menyindir cara kerja industri hiburan. Dalam Tootsie, penonton bisa melihat bagaimana perjuangan calon-calon aktor yang berpindah dari satu audisi ke audisi lain hanya untuk menerima penolakan yang terkadang tidak masuk akal dan sulit dimengerti. Penonton juga bisa mengetahui bahwa untuk menjadi seorang aktor, hanya sekedar bakat dan kemampuan saja tidak cukup. Perlu attitude yang tepat untuk menghadapi kerasnya dunia hiburan. Dalam Tootsie, adegan di mana Dorothy mengomel pada Ron yang langsung menolak tanpa menguji kemampuannya merupakan satu bukti bahwa dibutuhkan keberanian untuk sedikit “memberontak” dan tidak patah semangat menghadapi penolakan. Tindakan Dorothy yang selalu mengubah naskah saat pengambilan gambar juga menunjukkan hal yang sama, bahwa menjadi penurut tidak selamanya baik.

Sydney Pollack (Out of Africa, Three Days of the Condor) sebagai sutradara memahami karakter Michael yang suka membangkang, maka dengan cerdas ia membuat hampir seluruh percakapan Michael dengan setiap orang (kecuali Julie) menjadi rumit, selalu membuat kepala tegang, dan selalu dengan akhir yang lucu. Hal ini akan sering kita temukan dalam adegan-adegan antara Michael dengan George. Pollack juga berhasil membuat setiap kemunculan karakter Sandy suatu kesedihan yang tak terungkap terlepas dari kelucuan yang selalu ia timbulkan. Sandy adalah wanita yang tidak pernah dianggap serius oleh Michael, oleh dunia hiburan, dan oleh dunia, dan Pollack mencampur dua kutub sifa Sandy ini (menyedihkan dan lucu) dalam satu adegan impresif saat Michael mengatakan bahwa ia mencintai orang lain. Setiap penotnon (terutama wanita) pasti akan merasa sedih dan mengasihani Sandy, tetapi rasa sedih itu sangat subtle sampai-sampai bisa tertutup oleh kekocakan yang ditimbulkan dari kata-kata yang diucapkan Sandy saat itu. Semua itu menimbulkan ironi yang sangat berkesan.

Di samping keunggulannya yang mampu menciptakan karakter Michael yang menarik, naskah yang ditulis Larry Gelbart dkk. ini bagi saya juga memiliki kekurangan. Salah satunya adalah tidak adanya plot yang menjelaskan bagaimana Michael sampai pada keputusan untuk menjadi seorang wanita dan mengikuti audisi. Baik, Michael memang membutuhkan uang untuk mendanai drama Jeff, tetapi mengapa yang muncul adalah ide menjadi seorang wanita? Mengapa dalam waktu penganggurannya yang begitu lama tidak pernah terpikirkan hal itu sebelumya? Bagi saya pergerakan cerita dari keputus-asaan Michael yang berlanjut pada keputusannya menjadi Dorothy tidak dibuat dengan smooth, terlalu tiba-tiba dan menimbulkan pertanyaan yang mengganggu di kepala penonton.

Dari segi penampilan para aktornya, Dustin Hoffman berhasil memerankan Michael dan Dorothy dengan baik. Penonton akan segera paham bahwa Michael pria idealis keras kepala yang berbicara dengannya saja sudah bisamembuat orang membencinya. Hoffman berhasil mengeluarkan citra troublemaker dalam karakter Michael. Di sisi lain, kesan kocak sangat menempel pada Dorothy. Banyak detil-detil peran Hoffman sebagai Dorothy yang akan menimbulkan tawa, seperti saat ia membetulkan posisi celana dalamnya (dengan penampilan gambar dari belakang), saat ia tersandung jatuh memakai high heels, atau saat ia mengeluarkan suara asli Michael saat memanggil taksi. Lange juga menguasai perannya sebagai wanita kesepian yang memiliki masalah dengan percintaan. Dari luar, kesan santai dan ringan menjadi pembawaan utama Julie, padahal ia merasa sangat bermasalah dengan kehidupan pribadinya.Selain itu yang juga tak kalah menarik dari penampilan Lange di sini adalah saat karakter Julie berada pada posisi sulit di mana ia menyangka Dorothy seorang lesbian padahal ia menemukan rasa persahabatan dengannya. Lange dengan cerdas membawa Julie meenjauh dari Dorothy. Saya sangat suka adegan di mana Julie terbata-bata dengan kata-kata yang pendek ketika ia harus berhadapan dengan Dorothy saat menerima hadiah untuk putrinya. Dengan mata yang tidak berani menatap Dorothy dan mempermainkan posisi berdiriya, Julie menutup pintu, meninggalkan kesan geregetan bagi penonton karena Julie salah paham. 

Secara keseluruhan, Tootsie merupakan film yang menghibur. Lagu It Might Be You dari Stephen Bishop juga menjadi teman asyik di awal dan penghujung film hingga membuat saya betah berlama-lama menyimak kredit akhir. 3.5 out of 5 stars for me. Ada yang punya komentar?



Watch this if you liked:
Sideways (2004)

Director: Alexander Payne
Stars: Paul Giamatti, Thomas Haden Church, Virginia Madsen
Genre: Comedy, Drama, Romance
Runtime: 126 minutes

Garden State (2004)

Director: Zach Braff
Stars: Zach Braff, Natalie Portman, Peter Sarsgaard
Genre: Comedy, Drama, Romance
Runtime: 102 minutes










Jumat, 01 Februari 2013

The Perks of Being A Wallflower: A Blossom Coming of Age Story

Tiada masa paling indah, masa-masa di sekolah…

Begitulah penggalan lirik lagu Kisah Kasih di Sekolah ciptaan Obie Mesakh yang lebih populer setelah dibawakan Chrisye. Dengan vokal sederhana namun sangat berkarakter, Chrisye membawa setiap pendengar lagu ini mau tidak mau kembali kepada kenangan masa-masa sekolah, khususnya SMA. Banyak orang memang mengatakan bahwa SMA merupakan fase hidup yang paling indah, sebab selain menuntut ilmu, pada masa itu biasanya remaja mulai menemukan dan mengeksplorasi hal-hal baru dalam hidup, baik yang bersifat positif maupun negatif. Hal-hal baru itulah yang membuat masa SMA menjadi lebih berwarna dan menimbulkan aneka macam perasaan mulai dari gembira ria hingga duka lara. Tetapi banyak pula orang yang merasakan dan mengalami masa SMA sebagai masa-masa tersulit dan mendatangkan memori yang kurang menyenangkan. Memang harus diakui bahwa di SMA selain menemukan persahabatan dan kekeluargaan, hampir setiap orang juga akan menemukan bagaimana pasang-surut pertemanan, bagaimana mengendalikan emosi, bagaimana menghadapi persaingan, serta yang paling sering adalah bagaimana menghadapi cemooh dari orang-orang yang menganggap dirinya sendiri superior. Semua itu pada akhirnya menunjukkan sebuah proses pencarian jati diri seseorang. Nah, kehidupan SMA yang berwarna seperti itu dapat kita temukan dalam The Perks of Being a Wallflower (2012).

The Perks of Being a Wallflower bagi saya merupakan satu surprise besar di trimester akhir 2012. Ibarat permen yang ada isinya, film ini memberikan sensasi yang mengejutkan, kaya akan rasa yang bercampur menjadi satu, dan bisa membuat ketagihan menontonnya lagi dan lagi. Setelah menonton film-film di dua trimester awal yang penuh dengan beragam cerita termasuk yang mengangkat kehidupan remaja, The Perks of Being a Wallflower muncul sebagai destroyer pamungkas film remaja tersebut, sebab dengan tema sama, film yang diangkat dari novel sang sutradara Stephen Chbosky (Rent) ini mampu menyuguhkan kisah yang benar-benar memikat hati penontonnya. Meski terdapat pakem-pakem klasik film remaja seperti bullying di sekolah, perjalanan cinta, dan pesta pora remaja namun hal-hal itu tidak merusak keindahan alur cerita serta intensi yang ingin disampaikan kepada penonton. Sebaliknya, dalam film berdurasi 102 menit ini pakem-pakem tersebut semakin memperkaya jalinan kisah ada.

 
Dikisahkan dengan gaya naratif, Charlie (Logan Lerman) adalah siswa tahun pertama di sebuah SMA. Charlie bukanlah remaja biasa sebab ia merupakan anak yang sering melihat bayangan-bayangan aneh tentang kehidupan masa lalunya. Bayangan-bayangan itu seringkali membuat Charlie tidak sadarkan diri. Akibat pengaruh masa lalunya itu, Charlie tumbuh menjadi remaja introvert yang sulit bergaul. Ia tidak memiliki teman, tertutup, dan pasif. Meskipun begitu, Charlie adalah anak yang pandai dan berbakat dalam hal menulis. Bahkan teman pertama di SMA Charlie adalah guru bahasa Inggris yang bisa melihat potensi dan bakatnya, tetapi sudah tentu ia tidak berhasil berteman dengan siswa sebayanya. Terdorong oleh kesendiriannya di sekolah, Charlie kemudian memberanikan diri menjalin persahabatan dengan Patrick (Ezra Miller), siswa senior periang dan kocak yang sering menjadi bulan-bulanan siswa lain karena ia adalah seorang gay. Seperti peribahasa sambil menyelam minum air, persahabatan Charlie dengan Patrick membawanya ke dalam lingkaran persahabatan yang lebih luas lagi. Charlie betemu dengan Sam (Emma Watson), saudara tiri Patrick yang memikat hatinya, serta teman-teman mereka yang lain seperti Mary Elizabeth (Mae Whitman), Alice (Erin Wilhelmi), dan Bob (Adam Hagenbuch). Bersama teman-teman barunya itu, Charlie merasa dunianya berubah sedikit demi sedikit. Namun, belakangan ia menyadari bahwa memiliki teman bukan berarti tidak ada permasalahan, justru hal yang ia temukan selanjutnya adalah betapa hubungan persahabatan, asmara, dan kehidupan masa lalunya berputar seperti roller coaster yang naik dan turun. Semuanya berpadu menjadi satu kisah yang tak akan Charlie lupakan sepanjang hidupnya.

Cerita yang diangkat The Perks of Being a Wallflower sebenarnya sederhana saja: kehidupan anak SMA lengkap dengan penderitaan dan kegilaannya. Namun, yang membuat film indie ini menarik bagi saya adalah karakter yang membawakan sudut pandang kisah ini, yaitu Charlie. Sebagai anak kuper yang memendam trauma mendalam seorang diri, karakter Charlie benar-benar merepresentasikan bagaimana perjuangan menghadapi kehidupan pada saat orang-orang di sekitarnya bersenang-senang menikmati masa muda. Charlie pun sebenarnya tidak tinggal diam, di sinilah titik menarik karakter yang diperankan Lerman ini. Charlie mencoba untuk mengikuti irama dan tempo kehidupan sekitarnya: memiliki banyak teman, berpesta, dan mendekati gadis-gadis cantik. Namun latar belakang masa lalu selalu membayangi kehidupan Charlie, sehingga ia pun selalu hanya menjadi penonton dalam kehidupannya sendiri. Dari kejauhan, ia menyaksikan betapa Sam, gadis pujaan hatinya bermesraan dengan kekasih brengseknya Craig (Reece Thompson); dari kejauhan ia membiarkan kakaknya Candace (Nina Dobrev) disakiti pacar pecundangnya Derek (Nicholas Braun); dan dari kejauhan pula ia melewatkan begitu saja kesempatan untuk berpartisipasi dan menjadi anak terpandai di kelas Bahasa Inggris. Posisi Charlie yang sedang berjuang menghadapi kerasnya hidup itulah yang membuat sudut pandang penceritaan film ini menarik bagi saya. Karakter Charlie begitu dekat dan nyata: seorang siswa junior di SMA yang kuper tetapi ingin mencoba hal-hal baru. Karakter ini begitu mirip dengan saya ketika pertama kali memasuki sekolah baru, membuat kisah The Perks of a Being Wallflower salah satu film yang paling personal bagi saya. Terkadang melihat karakter yang sangat mirip dengan diri kita akan terasa sangat sentimental dan emosional. Beberapa orang yang telah menonton film ini pun mengatakan hal yang sama. Dengan begitu, karakter Charlie pada dasarnya merupakan karakter yang dekat dan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Seberapa sering kita melihat teman pendiam yang duduk di pojok ruangan menyendiri tanpa ada yang menemani? Seberapa menyedihkan membayangkan kehidupan mereka? Dalam kehidupan pribadi, saya sering melihat dan merasakan hal-hal itu. Tetapi kisah sederhana itu tidak lantas menjadikan jalinan cerita film ini biasa-biasa saja. Dipersenjatai dengan adaptasi naskah yang baik, pengarahan sutradara yang pas, serta performa kelas satu dari para aktornya, The Perks of Being a Wallflower bertransformasi dari awal hingga akhir cerita, berubah menjadi seperti bunga yang mekar di musim semi.

Sebagai penulis novel aslinya, Chbosky tentu dengan mantap mengetahui secara persis bagaimana secara tepat memindahkan novel tersebut menjadi sebuah naskah film. Ditambah lagi dengan keleluasaannya duduk di kursi sutradara, Chbosky mampu menyajikan alur kisah mengalir apa adanya dari satu adegan ke adegan lain, sehingga penonton dengan mudah dapat mengikutinya. Meski begitu Chbosky tidak ingin mengungkapkan dengan gamblang masa lalu seperti apa yang selalu membayangi Charlie, sehingga perlu lebih teliti dalam mendekonstruksi film ini. Kunci untuk mengetahui hal tersebut ada dalam satu adegan di menit-menit akhir film. Di beberapa bagian film, saya seakan-akan seperti merasa sedang menonton serial remaja yang setiap episodenya selalu membuat penasaran dan kejutan. Salah satu bagian yang seperti itu bagi saya misalnya saat Charlie memutuskan (dengan pasrah) untuk berpacaran dengan Mary Elizabeth.

Seperti kebanyakan film coming of age lainnya, The Perks of Being a Wallflower juga memiliki pesan yang ingin disampaikan kepada penontonnya. Film ini menyuguhkan begitu banyak isu dalam kehidupan remaja mulai dari persahabatan sejati, toleransi terhadap hal-hal non-konformis, pelecehan, kisah cinta remaja, menjadi diri sendiri, ikatan persaudaraan dan kasih sayang keluarga, pengorbanan, keterbukaan pribadi, dan yang paling penting adalah bahwa kita semua berhak memiliki kebahagiaan dalam hidup untuk dinikmati, because we are infinite. Semua isu itu dirangkai menjadi satu kesatuan yang membuat penonton mendapatkan, memahami, dan merasakan perhentian akhir dari perjalanan pencarian jati diri karakter Charlie. Dilengkapi dengan narasi yang indah (I love the epilogue, I swear those were really beautiful words!), penonton diajak merasakan coming of age sesungguhnya melalui sebuah layar.

Keindahan The Perks of Being a Wallflower selain didukung oleh naskah yang bagus juiga ditunjang dari jajaran pemainnya yang secara megejutkan memberikan performa luar biasa. Logan Lerman yang lebih dulu dikenal oleh publik sering memerankan karakter remaja biasa seperti dalam Percy Jackson & The Olympians: The Lightning Thief (2010) mampu memerankan sosok Patrick dengan sangat baik. Lerman menampilkan wajah lugu, delusional, serta gaya berbicara yang polos dan tak perrnah berteriak yang membuat karakter Charlie semakin prominent. Di saat Charlie emosi, Lerman tampaknya tahu betul bahwa Charlie tidak pernah benar-benar bisa menunjukkan emosi tersebut, melainkan mengubahnya menjadi satu bentuk ketakutan, sehingga Lerman pun memanfaatkan suara bergetar dengan wajah kaku, very nice! Emma Watson juga sepertinya akan semakin bersinar setelah memerankan Sam di sini. Ia sukses memerankan gadis yang selalu peduli dengan teman-temannya tetapi insensitif terhadap pria yang benar-benar mencintainya. Saya sangat suka ekspresi Watson ketika karakter Charlie bercerita pada Sam bahwa sahabatnya tewas bunuh diri. Wajah Watson menunjukkan keprihatinan, keterkejutan, sekaligus keheranan di saat yang bersamaan. Dan tentu saja Ezra Miller juga patut diberikan salut. Dengan talenta yang ia tunjukan sejak berperan sebagai anak psycho di We Need to Talk About Kevin (2011), Miller semakin memperlihatkan kemampuannya ketika berperan sebagai Patrick di sini. Dengan karakter yang berbeda 180 derajat dari Kevin, ia tampil sebagai remaja periang yang mampu memendam kepedihan dalam hatinya sendiri. Hanya lirikan mata yang sesekali saja ia menunjukkan kepedihan itu, selebihnya karakter Patrick dengan efektif menjadi katalis dalam kehidupan Charlie.

All in all, The Perks Of Being a Wallflower is awesome! It brings a lot of issues, life stories, and music (oh God I love the tracks!). With perfect script and well-acted, I swear this is what young people should really watch. 5 out of 5 stars for me. Any comments? 

 

Watch this if you liked:
Stand By Me (1986)

Director: Rob Reiner
Stars: Wil Wheaton, River Phoenix, Corey Feldman
Genre: Adventure, Drama
Runtime: 89 minutes

The Breakfast Club (1985)

Director: John Hughes
Stars: Emilio Estevez, Judd Nelson, Molly Ringwald
Genre: Comedy, Drama
Runtime: 97 minutes