Jumat, 08 Oktober 2010

Asas Ease of Administration dalam Pemungutan Pajak

Asas Ease of Administration

Administrasi perpajakan berperan penting dalam sistem perpajakan di suatu negara. Sukses tidaknya pemerintah dalam pemungutan pajak tergantung pada efisiensi dan efektifitas pelaksanaan administrasi perpajakannya. Dalam pemungutan pajak, asas ease of administration sangat berhubungan dengan kepatuhan wajib pajak dalam membayar atau menyetorkan pajak terutangnya. Sistem administrasi perpajakan yang tidak efektif dan efisien akan menimbulkan kerugian-kerugaian yang membuat pemungutan pajak terasa semakin membebankan bagi wajib pajak. Hal ini tentu akan membuat wajib pajak semakin enggan untuk melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara. Laporan Bank Dunia menyatakan bahwa: “poor tax administration undermines the effectiveness of the desired tax structure and raises and distortion. A poor designed tax structure makes administration more difficult”.

Banyak tokoh pemikir yang telah merumuskan aspek-aspek dalam ease of administration, salah satu tokoh yang membahasnya secara komprehensif adalah Dr. Haula Rosdiana. Dalam buku Pengantar Perpajakan, Dr. Haula Rosdiana menggambarkan asas ease of administration dengan beberapa indikator sebagai berikut.


1. Asas Certainty

Asas certainty ini berhubungan dengan aspek hukum atau ketentuan perundang-undangan dalam sistem perpajakan. Pemungutan pajak harus ada kepastian hukum sehingga dapat dihindari tindakan sewenang-wenang dan tindakan kompromis antara wajib pajak dan petugas pajak.

Fritz Neumark mengungkapkan bahwa ketentuan-ketentuan dalam sistem perpajakan harus dapat dipahami (comprehensible), tidak boleh menimbulkan keragu-raguan atau penafsiran yang berbeda, tetapi harus menimbulkan kejelasan (must be unambiguous and certain), baik bagi wajib pajak maupun fiskus.

Mansury menjelaskan bahwa dalam asas certainty terdapat empat hal yang perlu diperhatikan, yaitu (i) harus pasti siapa yang dikenakan pajak (subyek), (ii) harus pasti apa yang menjadi dasar pemungutan pajak (obyek), (iii) harus pasti berapa jumlah yang dibayar (tarif), dan (iv) harus pasti bagaimana cara pembayarannya (prosedur).

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah sistem perpajakan Indonesia sudah memenuhi aspek certainty dalam administrasi perpajakan? Ternyata belum sepenuhnya. Masih banyak pasal-pasal dalam peraturan undang-undang perpajakan yang menimbulkan grey area. Dalam konteks perpajakan, grey area dapat bermakna:
• Keadaan atau transaksi yang sebenarnya terekspos pajak, akan tetapi tidak ada aturan yang mengaturnya;
• Ada aturannya tapi tidak jelas karena tidak lengkap, tidak implementatif, tidak informatif, memunculkan multi tafsir, berbeda antara aturan dan praktek dan sebagainya;
• Ada aturannya, akan tetapi jumlahnya lebih dari satu sehingga mengakibatkan terjadinya kesimpangsiuran peraturan, tarik-menarik, saling berkontradiksi dan sebagainya.

Grey area dalam perpajakan sering mengakibatkan munculnya perbedaan persepsi antara satu pihak dengan pihak lain (misalnya antara otoritas pajak dengan pembayar pajak, atau di antara pembayar pajak sendiri, atau bahkan di antara pihak di dalam otoritas pajak sendiri).

Dr. Haula Rosdiana dalam bukunya, Pengantar Perpajakan memberikan contoh pasal yang mengandung grey area, yaitu pasal 14 ayat (3). Pasal tersebut sangat bermasalah dengan abiguisme keterangan masa pajaknya. Selain itu, dalam forum-forum diskusi perpajakan, terdapat beberapa pasal yang dianggap menimbulkan grey area juga, yaitu:
1. Grey area dalam pajak penghasilan:
• Masalah taxability suatu penghasilan.
• Masalah deductibility pengeluaran (promosi, kupon makan, pajak daerah, sanksi, biaya penagihann, dan sebagainya).
• Harta menurut pajak vs aktiva menurut akuntansi, pengelompokkan harta aspek pajak atas goodwill
2. Grey area dalam PPN:
• Pengkreditan pajak masukan tanggung jawab renteng, kriteria barang merah
• Faktur Pajak dengan metode QQ, mencantumkan harga include PPN di Faktur Pajak
• Faktur Pajak ditulis tangan, stempel di FP, diskon/margin vs komisi/bonus, cash discount
• Membayar PPN membangun sendiri di luar lokasi bangunan
3. Grey area dalam KUP
• Pengurus WP badan belum ber-NPWP, aspek pajak atas WP pindah domisili
• Terlambat NPWP (termasuk ekspatriate) atau PKP, mengajukan keberatan tanpa membayar SKPKB
• Jatuh tempo penyetoran/pelaporan pajak di hari Sabtu
• Hak atas imbalan bunga bagi WP, banding atas kasus keberatan yang tidak memenuhi syarat formal
• NPWP WP orang pribadi yang sudah meninggal dunia, pengisian daftar harta bagi WP orang pribadi

Dalam hal terjadi ketidakpastian dalam peraturan perpajakan, maka diskusi-diskusi ahli perpajakan menjadi suatu hal yang dibutuhkan untuk memutuskan kepastian. Sebab, bila peraturan-peraturan tersebut dibiarkan begitu saja, maka akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan, dan pada akhirnya bermuara pada keengganan membayar pajak.


2. Asas convenience

Asas convenience brhubungan dengan pelayanan yang diberikan oleh fiskus kepada wajib pajak, baik berupa kemyamanan dan kemudahan prosedur hingga waktu pemungutan yang sesuai dengan kondisi wajib pajak. E. R. A. Seligman mengungkapkan bahwa prinsip convenience berhubungan dengan pernyataan tentang bagaimana pajak itu dibayar, kapan harus dibayarkan, kemana harus dibayarkan, dan dalam kondisi bagaimana pajak itu dibayarkan.

Di Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak berusaha keras untuk menyediakan fasilitas-fasilitas yang dapat membuat wajib pajak merasa nyaman dalam menjalankan keajibannya. Langkah-langkah yang ditempuh Ditjen Pajak di antaranya dengan menyediakan drop box SPT di beberapa lokasi strategis, seperti pusat perbelanjaan dan perkantoran, sehingga wajib pajak tidak lagi perlu mengantre di kantor pelayanan pajak, dan menghemat biaya transportasi. Selain itu, pengembangan sistem administrasi berbasis daring (on line) juga membuat pekerjaan membayar atau menyetor pajak menjadi lebih mudah.

AC Nielsen, sebuah lembaga riset internasional mempublikasikan hasil kajiannya, mengenai tingkat kepuasan wajib pajak di beberapa negara untuk tahun 2005. Hasilnya, tingkat kepuasan wajib pajak KPP (Kantor pelayanan pajak) Besar mencapai 81, atau jauh di atas rata-rata survei Indonesia sebesar 75.
Angka ini masih lebih baik dari rata-rata survei untuk seluruh sektor dan sektor publik di beberapa negara, seperti Australia dengan kepuasan 66 dan 74, Hong Kong 75 dan 71, India 78 dan 78, Singapura 76 dan 76.



3. Asas Efficeiency

Adam Smith mengungkapkan kaidah efficiency dimaksudkan supaya pemungutan pajak hendaknya dilaksanakan dengan sehemat-hematnya jangan sampai biaya-biaya memungut pajak menjadi lebih tinggi daripada ghasil pungutan pajaknya (Devano, et al, 2006: 63).

Dr. Haula Rosdiana menyatakan bahwa efisiensi dapat dilihat dari sisi fiskus dan wajib pajak. Secara keseluruhan pemungutan pajak dapat dikatakan efisien jika cost of taxation-nya rendah. Indikator cost of taxation adalah:
a. Compliance cost
b. Administrative cost
c. Deadweight efficiency loss from taxation
d. The Excess burden of tax evasion
e. Avoidance cost

Sanford membagi cost of taxation menjadi tiga yaitu sacrifice of income, distortion cost, dan running cost. Sacrifice of income merupakan pengorbanan wajib pajak untuk meyisihkan atau mengurangi penghasilan yang seharusnya bias digunakan untuk keperluan lain bila tidak ada pungutan pajak. Distortion cost berhubungan dengan dampak pemungutan pajak terhadap proses produksi suatu entitas bisnis. Hal ini menyangkut perubahan-perubahan dalam proses produksi dan faktor-faktor produksi karena adanya pajak tersebut. Sedangkan running cost adalah biaya-biaya ekstra yang harus dikeluarkan akibat adanya pemungutan pajak, dengan kata lain bila tidak ada pungutan pajak maka biaya-biaya tersebut tidak ada. Running cost mencakup administrative cost bagi pemerintah sebagai pemungut pajak, yang merupakan biaya operasional pemungutan pajak. Termasuk di antaranya adalah anggaran rutin pegawai pajak ATK, transportasi, air, telepon, listrik, dan lain-lain.

Selain itu running cost juga termasuk compliance cost yang harus dikeluarkan bagi masyarakat sebagai wajib pajak. Sanford kemudian membagi compliance cost menjadi tiga yakni direct money cost yang merupakan biaya dalam bentuk uang (jasa konsultan pajak, akuntan, transportasi, dan lain-lain), time cost yang merupakan waktu yang harus diluangkan oleh wajib pajak untuk mengurus proses pembayaran pajak (mengisi formulir, mengisi SPT mengajukan banding dan lain sebagainya), serta psychic cost yamg merupakan dampak emosional yang dirasakan wajib pajak ketika menjalankan proses pembayaran pajak.


Pentingnya Ease of Administration dalam Pemungutan Pajak



Seperti telah diungkapkan sebelumya, administrasi perpajakan berperan penting dalam sistem perpajakan di suatu negara. Ease of administration sangat berhubungan dengan kepatuhan wajib pajak dalam membayar atau menyetorkan pajak terutangnya. Sistem administrasi perpajakan yang tidak efektif dan efisien akan menimbulkan kerugian-kerugaian yang membuat pemungutan pajak terasa semakin membebankan bagi wajib pajak. Hal ini tentu akan membuat wajib pajak semakin enggan untuk melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara.

Penyimpangan dalam administrasi pajak berpotensi membawa pola hubungan yang menyimpang di antara aktor pajak, yakni aparat pajak dan wajib pajak (Irianto, 2009: 179). Administrasi pajak yang memiliki banyak kelemahan akan berpengaruh pada tidak optimalnya penerimaan negara.

Sistem administrasi pajak yang baik berkorelasi positif dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menunaikan kewajibannya sebagai wajib pajak. Sistem administrasi pajak perlu dikembangkan secara kontinyu agar dapat memotivasi wajib pajak. Penegmbangan tersebut akan menyebakan meningkatnya penerimaan pajak.

Selain itu, Edi Slamet Irianto dalam bukunya Pajak Negara dan Demokrasi: Konsep dan Implementasinya di Indonesia menyatakan bahwa pengorganisasian sistem perpajakan melalui administrasi yang baik membawa konsekuensi politik bagi membaiknya hubungan negara dan rakyat. Apabila administrasi memenuhi kriteria sosial sebagai kompensasi yang diterima rakyat, nilai kepatuhan wajib pajak akan lebih baik.

Di Indonesia sendiri, penerimaan perpajakan dari tahun ke tahun menunjukkan adanya peningkatan, begitu juga dengan jumlah wajib pajak yang terdaftar (yang dibuktikan dengan kepemilikan NPWAP juga semakin meningkat. Semoga hal ini juga menunjukkan adanya peningkatan sistem administrasi perpajakan.





Referensi


Devano, Sony dan Siti Kurnia Rahayu. 2006. Perpajakan: Konsep Teori dan Isu. Jakarta: Kencana Prenada Group.
Irianto, Edi Slamet. 2009. Pajak Negara dan Demokrasi: Konsep dan Implementasinya di Indonesia. Jakarta: Laksbang Mediatama.
Nurmantu, Safri. 2005. Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit.
Rosdiana, Haula. 2010. Pengantar Perpajakan. Depok: tanpa penerbit.

Http://depkeu.go.id
http://pajak.go.id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar