Sabtu, 14 Juli 2012

Book Review: The Yearling

My rating: 3 of 5 stars

Bangsa Amerika dikenal sangat bangga dengan leluhur mereka (setidaknya begitulah kesan yang saya dapat setelah menonton beberapa film dokumenter sejarah). Ya, jika Anda bertanya pada mereka tentang hal ini, sedikit banyak Anda akan memperoleh jawaban bahwa leluhur mereka yang berasal dari Eropa telah membentuk karakter masayarakat modern Amerika sekarang yang bersifat kerja keras, pantang menyerah, pemberani, berbeda, rajin, dan sedikit pemberontak. Bagi saya pribadi, bangsa Amerika memang patut berbangga dengan karakter dan latar belakang sejarah mereka. Bayangkan, setelah sekian lama merasa terbuang di negeri-negeri feodal Eropa, segelintir orang berani mengarungi luasnya samudera dan datang ke daratan antah berantah yang sama sekali asing bagi masyarakat Eropa yang beradab. Tanah Amerika yang masih penuh dengan belantara, hewan liar, dan sekelompok penduduk pribumi Indian tidak lantas membuat mereka gentar untuk membangun sebuah peradaban dari awal, dari titik nol. Hasilnya tidak sia-sia, lihatlah negara adidaya yang sudah sangat kita kenal sekarang, Amerika Serikat (meski belakangan, negara ini terseok-seok menghadapi badai krisis ekonomi). Kehidupan penduduk awal dan pra-adidaya Amerika telah sering diangkat menjadi tema musik, drama, film, termasuk novel. Salah satu novel yang menggugah pengetahuan akan kehidupan tersebut adalah The Yearling.

The Yearling merupakan salah satu karya paling terkenal dari Marjorie Kinnan Rawlings yang terbit pada tahun 1938 dan dianugerahi Pulitzer Prize 1939. Rawlings memang dikenal sebagai penulis yang banyak mengangkat tema kehidupan desa dalam karya-karyanya. Jujur saja, sebelum saya memulai membaca isi novel The Yearling dan melihat sinopsis di belakang bukunya, saya langsung menebak bahwa Rawlings pastilah penduduk asli (native) pedesaan Amerika, tetapi saya salah besar. Rawlings sendiri merupakan wanita yang lahir dan dibesarkan di kota. Hanya melalui pengalaman dan pendekatannya dengan penduduk desa selama tinggal di kebun jeruk keluarganya, ia dapat menggambarkan kebiasaan masyarakat desa Amerika dengan luar biasa detail, untuk ukuran orang kota, dan terlebih lagi untuk ukuran seorang wanita. Karya Rawlings ini diangkat ke layar lebar pada tahun 1946 dengan judul yang sama, dibintangi Gregory Peck (To Kill a Mockingbird, The Omen) dan memenangkan 2 Oscar.

The Yearling bercerita tentang seorang bocah laki-laki (dalam bayangan saya tidak lebih dari 13 tahun) bernama Jody yang merupakan anak satu-satunya dan sangat disayangi oleh sepasang petani berpendidikan rendah bernama Ezra Forrester dan Ory (biasa dipanggil Pa dan Ma Forrester). Keluarga ini tinggal di daerah pedesaan Florida pada akhir tahun 1800-an. Sebelumnya, keluarga Forrester tinggal di kota, namun Ezra memutuskan untuk pindah dari kota dan memilih untuk membeli tanah luas tetapi gersang (tidak terlalu subur) demi mencari ketenangan hidup. Maka mulailah mereka hidup di lahan luas mereka itu dan mencukupi kebutuhan hidup dengan bertani dan beternak. Mereka bekerja keras setiap hari mengurus pertanian dan peternakan, hidup sangat sederhana, menghemat segala sesuatu, dan berprinsip untuk tidak membuang apapun selama masih bisa dimanfaatkan. Hewan liar dan cuaca tidak ramah ibarat bagian tak terpisahkan dalam hidup mereka.

Ada satu rahasia kunci keluarga Forrester. Sebenarnya, Jody bukanlah anak pertama dari pasangan ini, sebab jauh sebelum Jody lahir, Ezra dan Ory sering mengalami kenyataan pahit anak mereka meninggal sebelum tumbuh besar. Pengalaman ini ternyata berpengaruh pada cara Ezra dan Ory membesarkan Jody. Salah satu hal yang paling menarik di sini adalah di sepanjang cerita, pembaca akan diperlihatkan bagaimana cara Ezra dan Ory menyayangi anak semata wayangnya dengan cara yang sangat berbeda. Terkadang, pembaca mungkin akan tertawa dengan lucunya perlakuan Ezra atau Ory terhadap Jody, tapi di lain kesempatan pembaca mungkin akan merasa marah, kesal, atau bahkan menangis.

Sebagai anak tunggal yang tinggal di pedesaan, Jody merasa sangat kesepian. Tidak ada saudara kandung, ibunya tidak memperbolehkannya memelihara binatang, dan hanya memiliki satu teman sebaya yang cacat, sungguh mengenaskan, dan akhirnya meninggal dunia. Dalam kondisi ini, satu-satunya teman (selain teman cacatnya itu) yang paling dekat dengannya adalah ayahnya sendiri, Ezra. Jody selalu ingin mengikuti ke mana saja ayahnya pergi dan apa saja yang ayahnya lakukan, singkatnya Ezra menjadi sosok panutan bagi Jody. Mereka kerap melalui hari bersama, bahu-membahu menyelesaikan pekerjaan bertani, maupun berburu. Kesepian Jody berakhir ketika ia akhirnya memiliki hewan peliharaan berupa anak rusa jantan yang ia beri nama Flag. Jody dan Flag sama-sama tumbuh menjadi sepasang sahabat yang tak terpisahkan hingga suatu saat Jody dihadapkan pada sebuah peristiwa (yang melibatkan Flag) yang membuatnya untuk hidup dan bersikap dewasa.

Rawlings bagi saya adalah salah satu penulis yang memiliki kemampuan menyajikan pengideraan yang sangat lengkap dan detail dalam tulisannya. Pembaca seakan terbawa secara geografis maupun emosi ke dalam lokasi (setting) dan diri tokoh dalam cerita. Rawlings dapat dengan sempurna mendeskripsikan pemandangan alam, penampilan orang, cara kerja suatu benda, perilaku bianatang, dan lain-lainnya seakan kita melihatnya sendiri. Begitu juga dengan aroma makanan, kotoran hewan, harumnya bunga yang mengundang indera penciuman pembaca, rasa makanan yang mungkin akan membuat pembaca menyecap lidah, bunyi-bunyian yang sangat terasa dekat dengan telinga, serta hangatnya mantel wol seperti benar-benar dikenakan oleh pembaca. Jadi, ketika membaca novel ini kelima indera pembaca saya jamin akan sibuk menyerap informasi dan gambaran yang dipaparkan Rawlings.

Satu hal lagi yang saya salutkan dari Rawlings adalah sudut pandangnya ternyata luas sekali. Ia menceritakan kehidupan bocah desa laki-laki (saya ulangi laki-laki, bukan perempuan seperti jenis kelamin yang dimilikinya) dan hubungannya dengan kedua orangtua dan orang-orang di sekitarnya. Pasti tidak mudah membuat atau bahkan sekadar membayangkan kebiasaan dan perasaan lawan jenis kita secara menyeluruh dan detail bukan? Tetapi yang menakjubkan, Rawling berhasil melakukan hal tersebut.

Membaca The Yearling bagi saya merupakan pengalaman yang tak bisa dilupakan. Ketika sampai pada kalimat terakhir novel ini dan menutupnya, saya merasa seperti baru saja diajak keliling dalam sebuah tur, ya tur kehidupan seorang bocah yang pada akhirnya memetik banyak pelajaran dari kehidupan desanya. Ada yang punya komentar?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar