Setiap benda memiliki nama, termasuk manusia. Setiap benda (dan manusia) dikenal dengan nama mereka masing-masing. Setiap kali membutuhkan suatu benda atau seseorang, kita akan mengucapkan nama mereka, mengulangnya, bahkan hingga kita tidak menyadari berapa kali telah mengucapkan nama suatu benda atau seseorang sepanjang hidup ini (hanya orang yang benar-benar luar biasa yang sanggup menghitung ucapannya). Nama akan melekat pada setiap benda (dan manusia) hingga kita semua melupakan benda tersebut atau hingga ajal menjemput manusia si empunya nama (bahkan nama kita akan tetap terlihat di batu nisan suatu hari bukan?). Ya, nama begitu penting bagi kita semua. Namun, apakah setiap nama memiliki arti? Seorang sastrawan besar sekelas Shakespeare bahkan bertanya "what is a name?" (apalah arti sebuah nama?).
Jika Anda pernah menyaksikan The Namesake (2006), mungkin pertanyaan Shakespeare itu dapat terjawab. Dalam film besutan sutradara berpengalaman Mira Nair (Salaam Bombay!, Monsoon Wedding) ini kita ditunjukkan bagaimana seorang ayah memberikan nama kepada anaknya dari seorang tokoh terkenal dengan harapan ia dapat belajar dan meneladani tokoh tersebut. Ya, nama adalah harapan. Dengan nama yang baik, diharapkan si empunya nama mawas diri dalam perjalanan hidup. Menyandang sebuah nama ibarat mendapat sebuah amanah atau mengemban suatu misi yang perlu diselesaikan dan dipertanggungjawabkan. Mungkin agak sedikit berlebihan, tapi menurut saya tidak ada salahnya untuk mencari tahu makna sebuah nama, khususnya nama diri kita masing-masing. Mungkin sepanjang hidup kita ini, orang tua yang memberi kita nama selalu berpikir dalam benak mereka, akankah kita berperilaku sesuai dengan nama yang kita sandang?
Melalui The Namesake, penonton diajak untuk mengikuti perjalanan hidup seorang lelaki bernama Gogol (Kal Penn). Ia dilahirkan dalam sebuah generasi pertama keluarga imigran India di Amerika. Sama seperti remaja Amerika pada umumnya, Gogol tumbuh dengan sikap apatis terhadap latar belakang budayanya. Globalisasi dan akulturasi seolah menjadi Tuhan baru bagi Gogol dan jutaan remaja lainnya. Mereka mendengarkan musik berbahasa Inggris, menggunakan kata sapa "guys" untuk semua orang, dan memiliki hasrat untuk hidup sebebas mungkin dari kekangan tradisi dan keluarga. Cium dan nikmatilah aroma liberal di tanah kebebasan Amerika, mungkin begitu yang ada di benak Gogol dan Sonia (Sahira Nair), adik perempuannya yang memiliki sifat tak jauh beda dengan sang kakak.
Namun, akibat namanya yang tidak umum dan aneh (tapi terkenal), Gogol sering dijadikan bahan ejekan semasa sekolah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya, Ashoke Ganguli (Irrfan Khan) dan ibunya, Ashima (Tabu) melekatkan nama itu pada dirinya. Selama ini ia hanya tahu bahwa sastrawan Rusia Nikolai Gogol memang menjadi penulis favorit ayahnya. Tapi ia tak pernah memahami bahwa dari Nikolai Gogollah Ashoke menyematkan sebuah harapan pada diri anak lelakinya itu.
Sebagai seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga India berpendidikan, Ashoke, lelaki kurus kering yang tak pandai memikat hati wanita, memiliki sifat yang cukup toleran dengan perilaku anak-anaknya yang tak bisa dipahami oleh Ashima yang memegang teguh nilai-nilai luhur Bengali. Sifat toleran dan maklum Ashoke terbentuk dari pengalamannya sebagai generasi pertama dari keluarganya yang berani melintasi samudera dan menjalani kehidupan di negeri orang. Ia telah mengecap asam garam kehidupan Amerika. Ia menimba ilmu, bekerja, dan membesarkan anak-anaknya di Amerika. Tapi ia sendiri tidak berubah menjadi orang lain, ia tetap seorang Bengali dengan seperangkat nilai yang ditanamkan padanya. Ia bahkan kembali ke India dan menerima perjodohannya dengan Ashima. Beruntung, perjodohan itu bisa dibilang seperti kunci yang menemukan lubangnya, segalanya berjalan sukses dan bahagia. Bahkan bagi Ashima, Ashoke adalah cinta pertama dan terakhirnya.
Ashoke tidak mengikat Gogol dan Sonia pada budaya India secara ketat, mungkin karena ia ingin anak-anaknya menjadi manuisa-manusia modern, meski ia tetap tidak berharap kedua anknya itu menjadi kacang yang lupa kulitnya. Untuk itu, secara khusus ia memberi pesan kepada anak pertamanya Gogol, bahwa keluarga mereka ibarat sebuah kisah yang ditulis Nikolai Gogol, The Overcoat. Dalam cerita itu, tokoh utamanya yang bernama Akaky Akakievich Bashmachkin (terdengar aneh juga bukan?), seorang pegawai miskin dengan mantel compang-camping menjadi posesif terhadap mantel barunya yang terlihat mewah dibanding milik orang lain. Namun, rasa posesifnya itu berubah menjadi sifat negatif ketika mantel tersebut dirampok dan melakukan segala cara untuk mendapatkannya kembali. Ketika tak ada orang yang mau menolongya, ia menghina semua orang yang dimintai pertolongannya, bahkan setelah mati, arwahnya tak tenag hingga ia bergentayangan keliling kota mencuri mantel-mantel. Saking besarnya pengaruh cerita ini dalam kesusasteraan Rusia, Fyodor Dostoevsky pernah mengatakan “we all come out of Gogol’s ‘Overcoat’”. Pesan inilah yang disampaikan Ashoke kepada Gogol, bahwa memiliki hidup dan budaya baru tidak berarti harus menjadi posesif dengan kehidupan dan budaya itu, tidak berarti meninggalkan budaya lama yang dianggap ketinggalan zaman.
Sayangnya pesan Ashoke itu baru dipahami Gogol setelah kematian ayahnya, setelah lulus kuliah dari Yale University dan menjadi arsitek handal, setelah menyicipi hidup bebas dengan gadis pirang yang tak pernah disukai Ashima karena sikapnya yang terlalu Barat, Maxine (Jacinda Barrett). Meski begitu, bagi Gogol lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Ia memutus tali kasihnya bersama Maxine dan menikahi Moushumi Mazumdar (Zuleikha Robinson), gadis Bengali (seperti yang selalu diarapkan Ashima) yang sebenarnya memiliki sifat jauh lebih liberal ketimbang Gogol. Selain itu, ia juga mengikuti prosesi pemakaman ayahnya secara tradisional hingga tuntas dan memutuskan untuk tinggal dengan Ashima yang semasa kuliah selalu ia tinggal sendirian. Ketika pada akhirnya Gogol mengetahui perselingkuhan istrinya, ia merasa hancur. Ia pun menceriakan Moushumi, membantu Ashima bersiap pulang ke India, dan memutuskan untuk berkeliling dunia dengan buku Nikolai Gogol ditangannya, persis ketika Ashoke pulang ke India untuk menikahi Ashima.
Menonton The Namesake bagi saya seperti baru saja mendapat teguran untuk jangan pernah menganggap latar belakang budaya kita lebih rendah ketimbang modernisasi yang terus berputar saat ini, sebab suatu hari bisa saja kita tergilas oleh kuatnya arus modernisasi itu sendiri dan terhempas sebagai manusia tanpa identitas. Film yang diangkat dari novel buah pena peraih Pulitzer tahun 2000, Jhumpa Lahiri dengan judul yang sama ini menurut saya bisa saja menjadi sangat pretensius, namun dengan kejeniusan seorang Mira Nair yang membidani Salaam Bombay! (1988) hingga dinominasikan Oscar ini, The Namesake menjadi sebuah film untuk berkontemplasi tanpa terasa digurui. Cukup dengan sebuah quote dari Dosotoevsky, film ini sukses membuat penontonnya merekonstruksi ulang alam pikiran dan budayanya. Berpikir kembali dari mana asal kita sesungguhnya.
Saya perlu memberikan jempol khusus untuk Tabu yang dengan angat baik membawakan peran Ashima, seorang wanita India lugu yang memiliki prinsip teguh ketika menjadi seorang ibu. Ia membawakan karakter dengan meyakinkan, mengingat ini adalah film Amerika pertamanya setelah sebelumnya malang melintang di dunia perfilman India. Apresiasi juga saya sampaikan kepada Kal Penn yang cukup berhasil membawa diri sebagai remaja loser dan berubah menjadi pria tampan yang disukai gadis-gadis namun tetap menjadi seorang anak penurut dari keluarga India. All in all, it's 3.5 stars for me. Ada yang punya komentar?
Watch this if you liked:
Precious (2009)
Director: Lee Daniels
Stars: Gabourey Sidibe, Mo'Nique, Paula Patton
Genre: Drama
Runtime: 110 minutes
Edge of Seventeen (1998)
Director: David Moreton
Stars: Chris Stafford, Tina Holmes, Andersen Gabrych
Genre: Drama, Comedy, Romance
Runtime: 99 minutes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar