My rating: 3 of 5 stars
Tak berawal dan tak pula berakhir, hanya kisah perjalanan seorang ayah dan bocah lelakinya di bumi hangus nan luas. Tak ada penjelasan ihwal bencana yang terjadi, tak pula dikisahkan bagaimana perjalanan itu berakhir, hanya semangat pantang menyerah yang berbekas setelah membaca buku ini. Tak ada nama orang, tak ada nama wilayah, hanya ada sepasang ayah-anak ini dan gerombolan manusia aneh, liar, dan kanibal lainnya yang saling menghindar satu sama lain. Tak ada bab, tak ada pembabakan, hanya ada untaian kalimat yang dijalin menjadi potongan-potongan paragraf pendek yang penuh dengan deskripsi latar. Demikianlah pengamatan saya terhadap The Road, karya penulis ternama Cormac McCarthy yang rilis tahun 2006. Buku ini diadaptasi ke layar lebar dengan judul yang sama pada tahun 2009, dibintangi Viggo Mortensen, Charlize Theron, dan Guy Pierce.
The Road merupakan novel post-apocalyptic yang mengisahkan perjalanan seorang ayah dan anak laki-lakinya yang masih kecil di belantara Amerika yang telah dibumihanguskan. Dalam novel yang meraih penghargaan Pulitzer Prize 2007 ini, seperti telah saya tulis di atas, tak dijelaskan begaimana dan mengapa Amerika dalam keadaan demikian. McCarthy seperti ingin menggali sisi psikologis manusia bila suatu hari nanti dunia ini mendekati akhir masa, di mana populasi manusia (dan mungkin hewan dan tumbuhan) telah menurun drastis akibat bencana, yang tersisa hanya beberapa kelompok kecil dan mereka saling berjuang melawan satu sama lain demi bertahan hidup. Dikisahkan, sang ayah sekarat, si anak pesakitan, tetapi keduanya tak mengenal lelah mencari sisa-sisa peradaban manusia yang mungkin masih ada. Mereka berjalan kaki melintasi ladang-ladang rusak, rumah tak berpenghuni, bukit, dan hutan-hutan yang telah dilalap api demi mencapai wilayah pesisir pantai. Mengapa pantai? Lagi-lagi McCarthy tak memberi penjelasan mengenai hal ini, ia seolah ingin mengisahkan bahwa dalam keadaan tak menentu atau terdesak, manusia tidak dapat menentukan arah dan tujuan hidupnya dengan pasti. Begitu pun dalam The Road, karakter sang ayah tak dapat memperkirakan apa yang akan mereka dapat ketika mereka mencapai wilayah pantai nanti, mungkin mereka hanya akan menemukan hal-hal yang sama dengan yang telah mereka alami di sepanjang perjalanan: lansekap yang telah hangus, orang-orang kanibal, dan mayat-mayat bergelimpangan di jalan dan sungai.
Perjalanan ayah dan anak ini sama sekali tidak bisa dibilang mudah karena mereka menghadapi berbagai ancaman, seperti musim dingin yang menggigit sementara persediaan makanan dan pakaian sangat terbatas, ditambah dengan ancaman pencurian perbekalan atau manusia kanibal yang semakin banyak jumlahnya dan bergentayangan di jalan-jalan. Suasana yang dihadirkan McCarthy begitu kelam, gelap, dan mencekam. Sering ayah dan anak ini digambarkan berpelukan erat untuk menghangatkan tubuh satu sama lain atau untuk menenangkan jiwa-jiwa mereka yang sangat lemah digilas rasa takut. Ketika akhirnya mereka tiba di wilayah pesisir, hanya kekecewaan yang menyambut, tetapi mereka tetap meneruskan perjalan mereka entah ke mana arahnya.
Membaca The Road bagi saya seperti sedang menelusuri jalan (the road) itu sendiri, sangat panjang, kadang berliku, tak tahu apa yang menghadang di depan hingga kita benar-benar mencapai titik depan itu, dan tentu saja, melelahkan. Tetapi McCarthy tidak merancang novel ini menjadi kisah cengeng yang biasa ditemui. Seperti telah saya sebut di atas, McCarthy justru membuat kisah ini menjadi indah dengan bekas-bekas semangat yang dapat dirasakan oleh pembaca. Ada yang punya komentar?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar