Selasa, 28 Agustus 2012

The Brave One: A Story of a Fragile Vigilante

Setiap hari, kita sering menerima informasi tindak kejahatan terjadi di berbagai lokasi, baik dalam maupun luar negeri. Media cetak, elektronik, hingga dunia maya rajin mengabarkan warta kriminal, dari yang berskala kecil atau ringan seperti perampokan hingga yang berat seperti pembunuhan berantai. Kejahatan sepertinya tidak pernah berhenti menghantui kehidupan masyarakat. Bahkan sosiolog Emile Durkheim menegaskan kejahatan itu akan selalu ada, sebab orang yang berwatak jahat pun akan selalu ada. Menurut Durkheim, kejahatan diperlukan agar moralitas dan hukum dapat berkembang secara normal. Dalam menanggapi berita-berita itu, kita seringkali mengutuki pelaku kejahatannya dan berharap agar si pelaku mendapat hukuman yang seberat-beratnya sebagai balasan atas tindakan kejinya. Tetapi pernahkan terlintas dalam bayangan kita bahwa dalam beberapa kasus, ada kemungkinan bahwa pelaku kriminal yang pernah kita baca di koran, dengar di radio, atau tonton di televisi ternyata seseorang yang membawa misi yang benar? Bagaimana bila pelaku kejahatan tersebut adalah korban tindak kejahatan pula yang merasa harus menegakkan keadilan? Bila demikian, mungkin untuk sejenak kita dapat memahami mengapa ia melakukan kejahatan bukan? Film The Brave One (2007) membawa kita pada kondisi serupa, di mana seorang korban tindak kriminal terpaksa turun tangan membenahi kekacauan di kotanya tercinta.

Erica Bain (Jodie Foster) merasa hidupnya saat ini adalah yang terindah di dunia karena tidak lama lagi, ia akan melepas masa lajangnya dengan cinta dalam hidupnya, David Kirmani (Naveen Andrews). Meski hidup sebatang kara tanpa keluarga, ia merasa hidupnya lengkap dengan kehadiran David dan keluarganya, anjing peliharaannya, serta pekerjaan sebagai penyiar sebuah acara radio yang sangat dinikmatinya. Ia mencintai setiap hari yang dilaluinya, ia mencintai Kota New York, tempat di mana ia menghabiskan sebagian besar waktu dalam hidupnya. Namun, Erica tak pernah melupakan suatu sore saat ia dan David berkeliling taman mengajak anjingnya bermain. Sore itu, mereka dirampok dan dianiaya oleh sekelompok pemuda berandal. Ia tak pernah menyangka bahwa taman itu, taman yang hampir setiap hari dilihatnya, yang dikenal setiap lekuk jalannya, menjadi tempat terakhir kali ia melihat pria terkasihnya. David tewas mengenaskan dalam peristiwa itu. Erica sendiri harus menghabiskan beberapa minggu untuk memulihkan dirinya.

Erica tak mampu mengimbangi kesembuhan raga dengan mentalnya. Ia benar-benar tak dapat melupakan peristiwa tragis yang menimpa dirinya. Ia takut keluar rumah, takut berjalan sendirian, bahkan ia takut pada sinar matahari yang dulu sering disambutnya dengan semangat. Hari-hari makin terasa berat bagi Erica ketika akhirnya ia merasakan berada di posisi sebagai korban suatu kejahatan yang ditangani oleh polisi-polisi lemah, bodoh, dan lamban. Akhirnya, dengan keberanian yang dipaksakan, Erica memutuskan turun tangan mencari keadilan. Tetapi bukan sembarang keadilan yang dicarinya. Erica bukan hanya ingin mencari keadilan untuk dirinya sendiri, ia ingin setiap orang di kotanya tercinta, The Big Apple, mendapat keadilan juga. Ia ingin tak ada lagi orang-orang bejat berkeliaran bebas di jalanan menggentayangi masyarakat. Ya, perampokan itu telah mengubah Erica menjadi seseorang yang lain, seseorang yang gelisah dan merasakan letupan marah luar biasa ketika melihat orang lain yang tak bersalah dipermainkan oleh penjahat-penjahat dengan catatan kriminal menggunung. Inilah awal mula perjalan Erica sebagai vigilante, seperti yang diberitakan media massa.


Sepak terjangnya sebagai sosok misterius yang memburu para penjahat tidak dilakukan Erica dengan mudah. Ia harus bergulat dengan hatinya sendiri setiap menarik pelatuk pistolnya. Ada saat-saat di mana ia marah, kecewa, dan kesal dengan dirinya sendiri yang tak bisa menahan diri untuk tidak membunuh para penjahat. Tetapi di sisi lain, setiap peluru yang dilepaskan mempersembahkan Erica perasaan puas tersendiri, perasaan yang ia rindukan setelah kejadian pahit yang menimpanya. Pergulatan Erica dengan dirinya sendiri bertambah besar ketika ia menjalin persahabatan dengan Detective Mercer (Terrence Howard), yang merupakan detektif yang menangani kasus-kasus pembunuhan misterius yang dilakukan Erica. Berlawanan dengan Erica, Mercer adalah sosok idealis yang ingin segalanya diselesaikan sesuai dengan prosedur dan hukum yang berlaku sekalipun ada saat-saat di mana ia ingin menghabisi para pelaku kejahatan dengan tangannya sendiri. Bahkan Mercer bersedia tidak melakukan apapun bila memang tak ada cara yang legal, meski itu membuatnya merasa sangat sedih dan pilu. Persahabatannya dengan Mercer membuat Erica mempertanyakan kebenaran tindakannya selama ini, dan yang paling membuatnya resah, ia bertanya pada dirinya sendiri, sanggupkah ia menghentikan aksi main hakimnya sendiri? Pada akhirnya, Erica terkejut ketika Mercer memberinya sebuah kesempatan, sebuah dukungan pada dirinya.

Sepintas, kisah The Brave One mirip dengan cerita rakyat Robin Hood, pria yang merampok orang kaya demi orang miskin yang hidup dalam kesusahan. Tetapi pada dasarnya, The Brave One sama sekali berbeda dengan kisah kepahlawanan manapun. Bahkan, dapatkah kita mengklasifikasikan Erica, tokoh utama cerita ini sebagai pahlawan? Ternyata belum tentu, sebab pahlawan tidak melawan kejahatan atas nama balas dendam, pahlawan tidak memiliki keraguan dalam setiap tindakannya, dan lebih dari itu, pahlawan tahu mana yang benar dan mana yang salah. Coba bandingkan dengan Erica. Menahan keinginan hatinya sendiri untuk tidak membunuh saja ia tak mampu. Ia mempertanyakan keabsahan setiap tindakan yang dilakukannya. Erica hanya memiliki satu tujuan: menghentikan semua kejahatan, sebab ia mengerti bagaimana rasanya menjadi korban, bagaimana hidupnya berubah karena satu aksi kriminal.

Ini bukan pertama kali Jodie Foster berperan dalam karakter wanita pemberani. Dalam beberapa film sebelumnya, seperti The Silence of the Lambs (1991), Panic Room (2002), dan Flightplan (2005), Foster hampir secara "rutin" mengambil peran wanita heroik. Dalam The Brave One, menurut saya Foster masih tampil mirip dengan karakter dalam film-film sebelumnya itu. Satu scene paling menarik bagi saya adalah saat Foster sebagai Erica akan menembak salah satu perampok yang menewaskan kekasihnya dan Terrence Howard sebagai Mercer datang untuk mencegah Erica untuk melepaskan tembakan tersebut. Mercer mengatakan bahwa Erica tidak memiliki hak untuk main hakim sendiri, dan Foster dengan suara parau namun penuh dendam membara mengatakan "Yes, I do!" Suara Foster dalam adegan itu gemetar, serak, dan parau karena emosi yang meletup. Padahal, hampir di keseluruhan awal film Foster tidak pernah berteriak dan berbicara dengan suara jelas dan penuh intonasi, yang merupakan tuntutan seorang penyiar radio. Menurut saya, adegan itu merupakan sebuah penghayatan yang cerdas.

Di sisi lain, Howard sebagai lawan main Foster menurut saya tidak menunjukkan performa terbaiknya. Saya sangat bingung pada bagian akhir film saat Erica menembak Mercer, dan setelahnya Mercer terlihat masih segar bugar meski sempat berteriak kesakitan. Bahkan Mercer sempat memindahkan pistol, melekatkan sidik jari perampok yang telah tewas pada pistol itu, dan membebaskan anjing Erica. Semua itu dilakukan tanpa ekspresi atau suara kesakitan.

Sutradara peraih Oscar Neil Jordan (The Crying Game, The End of the Affair) cukup sukses mengemas cerita "usang" tentang balas dendam menjadi sesuatu yang berbeda. Penggunaan sosok wanita amatir yang bahkan belum pernah memegang pistol sebelumnya ternyata efektif memunculkan susana tegang dalam film ini, meskipun pada bagian awal film penonton akan banyak disuguhi narasi panjang yang dibawakan tokoh Erica dengan suara yang penuh intonasi. Jordan juga sangat paham dalam menaik-turunkan ritme film dengan menunjukkan hubungan Erica dan Mercer yang sama-sama terlibat dalam kasus pembunuhan. Tentu saja mereka berbeda misi, yang satu melakukan aksi kejahatan demi keadilan, yang satu berusaha membereskan kekacauan tersebut. Namun, ada kalanya mereka saling "memberi petunjuk" untuk menyelesaikan misi masing-masing pihak. Bila ada sesuatu yang terasa kurang, mungkin bagi saya adalah penggunaan pemain kulit hitam untuk komplotan perampok dalam film ini. Bagi saya, hal itu seharusnya dihindari agar tidak menimbulkan dugaan stereotype. Apakah salah menggunakan pemain kulit putih juga untuk karakter berandalan?

Dari segi sinematografi, hampir di sepanjang film penonton disuguhkan oleh pencahayaan yang remang-remang karena pasca-perampokan yang dialaminya, Erica dikisahkan amat depresi dan takut akan cahaya terang. Selain itu, pengambilan gambar Foster sebagai Erica cukup sering dilakukan secara close-up, sehingga penonton bisa melihat secara jelas bagaimana ekspresi Foster sebagai Erica. Menurut saya, kekuatan karakter Erica bukan pada mimik wajahnya. Foster lebih mahir memainkan gerakan, bahasa tubuh, dan suara dalam mengembangkan karakter Erica.

The Brave One bukan hanya menuturkan film yang menuturkan kisah seorang gadis pemberani yang membalas dendam kepada pnjahat yang telah menewaskan kekasihnya, tetapi juga menuturkan bagaimana seseorang bisa berubah menjadi pribadi yang sama sekali berbeda dari pribadi yang dulu ia miliki. Dalam film ini, kita bisa menyaksikan proses berubahnya Erica. Dalam diri Erica terdapat sesuatu yang asing, yang tak pernah menampakkan diri sebelumnya, sesuatu yang tak sanggup dibendung dirinya. Satu hal lagi, dalam film ini kita juga melihat betapa tipisnya garis pembatas antara yang benar dan yang salah. Salahkah Erica bila ia merasa benci dan marah terhadap setiap kriminialitas after all she's been going through? Tentu tidak bukan? Bahkan saya pribadi dapat memakluminya. Tetapi benarkan cara yang ditempuh Erica, dengan main hakim sendiri untuk memberantas kejahatan? Well, pada akhirnya itu semua menunjukkan bahwa manusia dapat berubah secara total demi memuaskan perasaannya. It's terrific, 3.5 out of 5 stars. Ada yang punya komentar?


Wach this if you liked:

Sleepers (1996)

Director: Barry Levinson
Stars: Robert De Niro, Kevin Bacon, Brad Pitt
Genre: Drama, Thriller
Runtime: 147 minutes


Taken (2008)

Director: Pierre Morel
Stars: Liam Neeson, Maggie Grace, Famke Janssen
Genre: Action, Thriller
Runtime: 93 minutes


Tidak ada komentar:

Posting Komentar