Jumat, 24 Agustus 2012

The Trip: Perjalanan Menjemput Cinta

Tahun 1960-an adalah awal pergerakan kaum homoseksual untuk menuntut hak asasi di Amerika. Berlanjut hingga 1970-an, kaum homoseksual menghadapi tahun-tahun yang berat sekaligus menantang. Berat karena pada masa ini, perlakuan diskriminatif terhadap gay dan lesbian merajalela dimana-mana. Banyak di antara mereka dipecat dari pekerjaannya dengan alasan kaum gay adalah kaum yang paling lemah secara politis. Mereka dapat dengan mudah diancam dan pada akhirnya merugikan entitas tempat mereka bekerja. Sebaik apapun prestasi mereka, orientasi seksual yang menurut masyarakat menyimpang tak bisa ditoleransi. Hal demikian juga menimpa prajurit-prajurit di ketentaraan. Politik don't ask don't tell diberlakukan, meninggalkan keheningan bagi gay yang bertugas dalam barisan pertahanan. Tindak kekerasan di jalan-jalan juga sangat sering dialami gay dan lesbian. Dapat ditebak, pelakunya adalah para homophobe. Banyak homoseks akhirnya memilih bunuh diri daripada harus menghadapi dunia yang sadis.

Situasi seperti ini menantang mereka yang vokal dan peduli terhadap hak kaum minoritas seperti gay dan lesbian untuk menuntut kesetaraan di masyarakat. Pada dekade 1960-an hingga 1970-an, suhu politik Amerika meningkat, menyebabkan lebih banyak orang yang melek politik demi membela hak mereka, termasuk kaum gay. Pada masa ini pula, telah terungkap rahasia umum bahwa Partai Republik adalah sarang bagi mereka pengikut fanatik nilai-nilai ortodoks, sedangkan Partai Demokrat lebih bersifat liberal dan terbuka. Akibatnya, terjadi persaingan sengit antara pendukung Partai Republik dan Partai Demokrat. Namun, apa jadinya bila dua pendukung masing-masing partai tersebut saling jatuh cinta? Film The Trip (2002) mengisahkannya untuk Anda.

The Trip menjadi bagian dari jalur film bertema gay, yang menurut saya cukup unik. Keunikan itu disebabkan perpaduan unsur politik dan romansa yang diusung film ini. Dikisahkan dengan latar tahun 1973, Alan Oakley (Larry Sullivan) adalah seorang jurnalis dan penulis muda yang berbakat. Ia lulus dari universitas ternama, menjadi jurnalis sebuah surat kabar besar, dan memiliki seorang kekasih bodoh, Beverly (Sirena Irwin). Namun, di balik kehidupannya yang tampak tentram itu, Alan menyimpan satu rahasia: ia gay dan belum berani membuka diri terhadap orientasi seksualnya. Saking tertutup dan tak mau mengakui identitasnya itu, Alan bahkan menulis sebuah buku yang memaparkan sisi negatif kaum gay. Proyek Alan tersebut didukung oleh rekannya yang seorang pengacara, Peter Baxter (Ray Baker) yang juga seorang gay yang menutup diri.

Episode Alan yang menutup diri harus berakhir ketika ia bertemu Tommy Ballenger (Steve Braun), seorang aktivis kaum gay yang ternyata sangat ia kagumi. Tommy adalah pemuda cerdas, humoris, dan sangat perhatian dengan hak asasi untuk kaum gay. Meski pada awalnya Alan menyangkal perasannya untuk Tommy, ia tak sanggup untuk tidak mengungkapkan cintanya pada Tommy. Mereka pun menjadi pasangan bahagia selama 4 tahun. Sadar bahwa kekasihnya adalah seorang aktivis pembela gay, ia membatalkan penerbitan buku yang telah rampung ditulisnya dan mengatakan pada Peter untuk jangan pernah mengungkitnya lagi. Namun, bencana datang ketika perusahaan penerbit yang dulu membuat kontrak penerbitan dua buku dengan Alan tiba-tiba menerbitkan buku pertamanya yang berjudul The Straight Truth tanpa memberitahu Alan terlebih dahulu. Beruntung, penerbit itu tidak menampilkan nama Alan di bukunya.

Atas dasar cinta tak berbalas, Peter kemudian mengungkap identitas penulis buku The Straight Truth pada publik. Tommy yang belakangan mengetahui bahwa penulis buku yang menampar kaum gay itu adalah Alan, merasa sangat kecewa dan dikhianati. Ia memutuskan berpisah dengan Alan dan pergi ke Meksiko. Di sisi lain, Alan yang frustrasi ditinggal Tommy menemukan kehangatan kasih sayang pada Peter di saat orang-orang yang dikasihinya menjauhi dirinya. Alan dan Peter pun menjadi pasangan selama beberapa tahun sebelum akhirnya Alan mengetahui bahwa Peter adalah biang keladi kehancuran hidupnya. Didukung oleh ibu dan mantan kekasihnya, Alan pergi menjemput Tommy ke Meksiko, menjemput cinta dalam hidupnya. Sesampainya di sana, Alan menjumpai Tommy yang kini sekarat didera AIDS (dalam film ini tidak disebutkan secara eksplisit penyakit yang diderita Tommy, namun saya berasumsi bahwa ia menderita AIDS) dan mereka pun memulai perjalanan pulang ke Texas.

Perjalanan itu menjadi nostalgia bagi pasangan ini untuk mengenang masa-masa kebersamaan mereka. Sepanjang perjalanan, mereka melakukan berbagai aksi konyol, merampok karena terpaksa, bahkan mereka berbincang mengenai buku yang ditulis Alan. Tommy meminta agar lain kali Alan menulis buku dari hatinya, bukan hanya dari kepalanya. Kata-kata itu terus diingat oleh Alan. Namun, perjalanan tetaplah perjalanan, ia dimulai ketika berangkat dan berakhir ketika tiba di tempat tujuan. Bagi Alan dan Tommy, perjalanan dimulai ketika mereka bertemu kembali setelah sekian lama berpisah, memiliki kesempatan untuk mengenang kebersamaan mereka, dan berakhir saat Tommy meninggal dunia. Kisah hidupnya ini menginspirasi Alan untuk menulis buku keduanya yang penuh inspirasi dan cinta, serta ditulis dari lubuk hatinya terdalam persis seperti saran Tommy, berjudul The Trip.


Jika Anda pernah menonton film-film dengan tema homoseksual lainnya - yang menurut saya banyak di antaranya adalah sampah - maka dalam The Trip Anda menemukan sesuatu yang berbeda. Di beberapa bagian film, untuk mendukung penggambaran Tommy sebagai aktivis gay, film arahan sutradara Miles Swain ini dilengkapi dengan beberapa cuplikan video nyata perjuangan kaum gay mulai dari pidato simpatik Harvey Milk hingga momen terkenal saat politisi anti-gay Anita Bryant menerima "kejutan" pie-nya. Selain itu, persinggungan pada isu diskriminasi juga diangkat dengan baik di mana pada salah satu scene digambarkan pesawat yang tidak mau mengangkut Tommy yang sedang sakit. Tindakan diksriminatif seperti itu memang benar-benar terjadi pada tahun 1980-an, awal ditemukannya AIDS, yang dulu dikenal sebagai "gay cancer".

Di sisi lain, i'm not impressed enough saat Tommy meninggal dunia. Adegan tersebut hanya muncul sangat singkat, sehingga perasaan menyesal Alan yang telah mengabaikan Tommy, tak menjemputnya selama sekaian lama, tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan cintanya kembali tidak tereksplor dengan cukup. Rasa sedih yang mengharu-biru, yang seharusnya kental terasa pada adegan tersebut seolah lenyap. Hal ini berbeda jauh dari akhir kisah Brokeback Mountain yang sangat menusuk setiap penontonnya, berbekas hingga beberapa saat menonton film tersebut. Selain itu, film ini juga menambah daftar panjang akan asumsi bahwa film bertema homoseksual akan berakhir dengan adanya karakter yang mati, meninggalkan pertanyaan apakah film ini benar-benar bebas dari nilai heteronormativitas? All in all, it's good enough, 2.5 out of 5 stars. Ada yang punya komentar?


Wach this if you liked:

Drôle de Félix (The Adventures of Felix) (2000)

Director: Olivier Ducastel, Jacques Martineau
Stars: Sami Bouajila, Patachou, Ariane Ascaride
Genre: Comedy, Drama, Romance
Runtime: 95 minutes


My Beautiful Laundrette (1985)

Director: Stephen Frears
Stars: Saeed Jaffrey, Roshan Seth, Daniel Day-Lewis
Genre: Comedy, Drama, Romance
Runtime: 97 minutes


Tidak ada komentar:

Posting Komentar