Selasa, 20 Februari 2018

The Mountain Between Us: Berjuang Keluar dari Bencana Sesungguhnya

Lonceng musim penghargaan industri hiburan telah dibunyikan sejak beberapa waktu lalu. Diawali dengan Golden Globes, sederet judul film keluaran tahun 2017 menyapa telinga masyarakat umum. Di ajang yang diselenggarakan oleh asosiasi wartawan asing Hollywood itu sendiri, film dengan nominasi terbanyak adalah The Shape of Water (2017) dengan tujuh kategori, disusul The Post (2017) dan Three Billboards outside Ebbing, Missouri (2017) yang sama-sama meraih enam kategori nominasi, dan di posisi ketiga ada Lady Bird (2017) dengan empat kategori nominasi. Judul-judul tersebut juga melenggang di pagelaran penghargaan lainnya seperti SAG Awards, BAFTA, dan Academy Awards. Memang sudah menjadi hal yang lumrah bila masyarakat umum baru mendengar rangkaian judul film-film yang digadang-gadang terbaik di ajang penghargaan, bukan di papan pengumuman bioskop. Hal ini tidak lain disebabkan tradisi lawas masyarakat umum yang mendasarkan pilihan tontonannya dari judul-judul yang karib di telinga saja. Pepatah lama don't judge a book by its cover tampaknya memang sudah tidak berlaku di industri perfilman. Jika kita menyimak data-data pendapatan penjualan tiket bioskop dari IMDb.com, fenomena ini pun dapat terlihat jelas. Di dekade 2010 hingga sekarang misalnya, lebih dari 90% judul film yang merajai puncak tangga box office merupakan sequel, prequel, remake, atau adaptasi cerita dari sumber yang sebelumnya telah dipublikasikan seperti komik atau novel. 

Peta industri perfilman yang demikian menimbulkan pertanyaan yang kini sudah seperti pertanyaan usang: apakah dunia perfilman, khususnya Hollywood telah menjadi begitu malas menggali ide cerita baru? Meski usang, pertanyaan ini tidak dapat dengan mudah dijawab. Majalah GQ pada tahun 2011 dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Mark Harris dengan penuh renjana (passion) pernah mencoba mengulasnya. Ada begitu banyak faktor yang memengaruhi pergeseran perilaku penonton film menjadi hanya memilih judul yang sudah diketahui saja. Salah satunya adalah teknik pemasaran Hollywood yang menekankan bahwa film, lebih dari sekedar esensinya sebagai seni bertutur cerita adalah juga merk atau cap yang harus laris di pasaran. Alhasil, kesegaran ide cerita mulai dikesampingkan dan dimulailah pencarian sumber-sumber cerita yang sebelumnya sudah terbukti mujur menggembungkan pundi-pundi pembuatnya. Maka komik atau novel dengan embel-embel bestseller pun mulai banyak merayapi layar lebar, salah satunya adalah The Mountain Between Us (2017).

Diadaptasi dari novel dengan judul sama karangan Charles Martin, The Mountain Between Us tampak digarap serius oleh Twentieth Century Fox. Bagaimana tidak serius jika melihat jajaran produser, pemain, serta sutradara yang sudah memiliki nama besar, belum lagi jika kita berbicara berbagai penghargaan yang pernah mereka dapatkan sebelumnya. Tiga dari empat produser proyek ini adalah kandidat peraih Oscar kategori film terbaik, yaitu Fred Berger untuk La La Land (2016) serta Peter Chernin dan Jenno Topping yang sama-sama membawahi Hidden Figures (2016). Duduk di kursi sutradara adalah Hany Abu-Assad, pria yang bertanggungjawab atas dua nominasi Oscar kategori film berbahasa asing terbaik untuk Palestina, yaitu Paradise Now (2006) dan Omar (2013). Untuk urusan pemain pun tidak main-main. Memasang dua bintang besar Idris Elba dan Kate Winslet, tidak salah jika film ini terlihat seperti proyek yang tidak hanya bernama besar tetapi juga memiliki harapan besar untuk sukses.

Cerita yang diusung The Mountain Between Us cukup sederhana. Ben Bass (Elba) dan Alex Martin (Winslet) adalah dua dari sekian banyak penumpang di bandara Boise yang masygul lantaran penerbangan mereka ditunda akibat cuaca buruk. Ben yang berprofesi sebagai dokter bedah mencoba meyakinkan petugas bandara bahwa ia harus segera mengoperasi seorang bocah kecil. Sayang usahanya tersebut gagal. Berada di posisi serupa, Alex (Winslet) tidak menyerah begitu saja pada keadaan. Melalui sambungan telepon, ia pun berhasil membuat kesepakatan dengan seorang pilot pesawat carter bernama Walter (Beau Bridges). Mencuri dengar percakapan Ben dan petugas bandara sebelumnya, Alex menawarinya alternatif tersebut yang kemudian diterimanya. Manusia berkehendak, namun takdir ada di tangan Tuhan. Tak lama setelah lepas landas, Walter mengalami serangan stroke dan pesawat yang mereka tumpangi jatuh di belantara pegunungan berselimutkan salju. Maka, dimulailah perjuangan Ben dan Alex, dua insan yang sama sekali asing satu sama lain namun disatukan oleh kuasa alam untuk keluar dari bencana tersebut. Mereka tidak tahu kapan dan di mana perjuangan mereka akan berakhir, mereka hanya tahu bahwa mereka memiliki satu sama lain.

Harus diakui bahwa hikayat tentang ikhtiar manusia bertahan hidup di tengah situasi paling mengerikan memang masih memikat. Salah satu penyebabnya tentu saja kita ingin mengetahui sejauh mana daya tahan manusia menghadapi cobaan berat. Menikmati sajian fiksi permainan bertahan hidup, apalagi yang berlatar alam liar dapat membangkitkan imajinasi yang sulit dihadirkan di tengah hiruk pikuk kehidupan manusia yang sangat duniawi. Melalui kisah fiksi tersebut, tidak heran jika menemukan diri kita asyik bergumul dengan kekejaman alam atau manusia lain serta ikut merasakan dan membayangkan potensi tersembunyi yang tanpa disadari ada di dalam diri setiap manusia. Apa yang akan saya lakukan jika saya ada di posisi seperti itu? Apa yang akan terjadi jika tidak ada harapan lagi untuk hidup? Bagaimana melindungi diri dari berbagai serangan yang tiba-tiba? Barangkali pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang menyembul di benak kita. Sebagai organisme sosial yang notabene selalu dalam keadaan aman sentosa, menjadi wajar jika kisah-kisah perjuangan macam itu menjadi semacam latihan mental untuk keluar dari zona nyaman. Tidak ada yang salah dengan hal itu, apalagi jika ceritanya dibuat menarik.

Namun, tema pertahanan hidup manusia sudah cukup uzur di dunia kreatif. Maka untuk mempertahankan animo penikmat fiksi, tema ini banyak dipadupadankan dengan tema lain seperti kriminal, budaya, sejarah, politik, atau percintaan. The Mountain Between Us karya Charles Martin ini memilih yang disebut terakhir. Sebagai bukan pembaca novelnya, tentu saja saya tidak tahu dan tidak dapat mengomentari karya Martin tersebut. Hanya saja ketika disadur menjadi naskah, saya merasakan keabsurdan luar biasa dari cerita Ben dan Alex ini. Karakter kedua tokoh tersebut seolah-olah dibangun atas dasar kebutuhan mempertemukan mereka dalam sebuah bencana semata. Mereka tidak punya latar kehidupan yang memancing penonton bersimpati. Penulis naskah Chris Weitz dan J. Mills Goodloe jelas memiliki fantasi percintaan (dan seks) di alam liar yang dahsyat namun tidak peduli dengan kedalaman karakter Ben dan Alex.

Ben, yang di pembuka film tampil sebagai pria Inggris yang kaku hanya diceritakan memiliki sejarah asmara menyedihkan. Titik. So what? Haruskah kita kasihan pada dirinya? Tidak, karena toh dia tidak pernah digambarkan sebagai pria yang depresi akibat cinta. Tidak ada tanda-tanda kehilangan cintanya itu menghambat kehidupan sosialnya, sampai Alex dengan kurang ajar mengutil barang pribadinya. Ketika kita tahu penyebab sejarah asmara menyedihkan itu, adakah perubahan-perubahan signifikan dari perilakunya selama mengarungi pegunungan bersalju? Negatif. Pertanyaan yang tepat dilontarkan adalah: apakah Ben memerlukan obat penenang untuk mengarungi pegunungan bersalju? Jawabannya ya, dan dapat diteruskan dengan penjelasan: berupa aktivitas fisik hewaniah di habitat yang juga paling alamiah. Dimensi karakter Alex lebih menyedihkan dari kisah picisan masa lalu Ben. Alex yang tampak sering bergaul dengan pilot-pilot uzur dan penyakitan itu digambarkan hidup dengan etiket happy go lucky. Jika ditambah dengan keterangan bahwa ia akan menikah dengan pria yang berwujud Dermot Mulroney, maka sempurnalah hidup Alex. Again, so what? Di sepanjang pertarungannya dengan hawa dingin dan tebing terjal pun Alex tampak tidak banyak berubah, tidak ada yang mencurigakan dari dirinya, dan tidak pula ada tanda-tanda ia kekurangan sesuatu, selain tumpahan benih pria asing yang kebetulan memang goooooorgeooous... Karakter Ben dan Alex setipis kertas pembersih minyak wajah.

Sebagai penonton, saya mungkin akan maklum jika kisah perjuangan manusia bertahan hidup memang agak datar dan ada pakem-pakem khas yang biasa dihadirkan seperti tokoh-tokoh asing berusaha mengenal satu sama lain, keadaan gawat yang terjadi pada salah satu tokoh dibanding yang lain, atau ancaman hewan-hewan buas yang namanya pantas dimasukkan di kredit akhir karena jasanya sebagai pemeran pendukung. Namun, saya tidak mengira bahwa kedua penulis naskah benar-benar mengucilkan aspek perjuangan manusia di film bertema pertahanan hidup ini demi memperlihatkan semara yang mulai tumbuh di antara dua orang asing. Penonton akan sangat menyadari betapa "nyamannya" menjadi Ben dan Alex yang terlantar di pegunungan salju tanpa manusia lain tetapi dengan relatif mudah mendapatkan semua kebutuhan untuk bertahan hidup. Coba ingat kembali bagaimana Ben menyalakan api, mendapatkan makanan, hingga tempat berteduh. Berbagai ujian memang menerpa Ben dan Alex, namun yang tergambar hanya rasa takut yang dangkal. Selebihnya kepala mereka hanya diisi bayangan semu untuk saling bersedekap melawan suhu di bawah nol derajat, menikmati kehangatan tubuh satu sama lain, dan khusus untuk Alex, ia juga memiliki kesibukan menggerayangi barang orang lain sambil berspekulasi tentang jari Ben yang dilingkari cincin namun tak pernah menceritakan sepatah kata pun mengenai istrinya. Kedua penulis naskah berupaya meramu hubungan dua orang asing dengan angan-angan mereka akan menjadi pasangan sempurna. Sayang seribu sayang hal itu dilakukan tanpa memberi ruang pada sisi individual dari pasangan tersebut. Kedua penulis naskah seolah hanya percaya bahwa kekuatan dan inti cerita ada pada penyatuan kedua tokoh utama film ini, padahal itu sama saja dengan mencela masing-masing karakter yang mereka tulis sendiri.

Namun tidak ada yang dapat menandingi bencana yang terjadi di lima belas menit terakhir film ini. Setelah sama-sama bermandikan salju pegunungan dan berpeluh ria di pondok seronok, kedua penulis naskah semakin jelas tidak dapat membendung syahwat. Tanpa malu-malu mereka menyetel gigi romantis secepat kilat dan mendeklarasikan love conquers all. Mereka tidak menatap ke seberang layar untuk melihat penonton yang berekspektasi sajian pemacu adrenalin justru menjadi dongkol bukain main. Penggemar film percintaan pun dihadapkan pada cerita dan pasangan yang sama sekali tidak meyakinkan. Dengan jalan cerita dan pengembangan karakter yang buruk, kisah romantis pun tidak tumbuh secara natural. Ditambah lagi, Elba dan Winslet pantas mendapat rapor merah untuk chemistry di sini.

Pada akhirnya, film ini memunculkan pertanyaan di hati saya mengapa mereka peduli untuk memfilmkan cerita ini? Adakah pesan khusus yang ingin mereka sampaikan? Apa yang mereka anggap menjadi pembeda film ini dengan film romantis lainnya? Well, mungkin jawabannya akan kembali ke pembicaraan kita di atas, bahwa Twentieth Century Fox kadung percaya novel dengan predikat bestseller seharusnya menjanjikan keuntungan. Tampaknya Hollywood masih harus berjuang keluar dari bencana yang sesungguhnya: memudarnya keberanian mengambil risiko untuk mengembangkan ide cerita asli. Pada titik inilah saya teringat salah satu adegan di film ini di mana Ben dan Alex berdebat apakah akan menunggu pertolongan atau mengambil risiko menempuh perjalanan yang berbahaya. Mereka pun memilih yang kedua. Keputusan itu membuat saya sedih bukan main. Seharusnya nama-nama produser, sutradara, dan pemain yang nama beserta karya suksesnya saya sebutkan di atas tetap tinggal di pegunungan bersalju nan terpencil tersebut, masuk bersama-sama ke sebuah gua dengan perapian yang hangat, sambil bertanya kepada diri masing-masing: mengapa saya melibatkan diri dalam proyek ini?

Dengan senang hati saya memberikan satu bintang pada film ini. Ada yang punya komentar?


Watch this if you liked:
The Way Back (2010)

Director: Peter Weir
Stars: Jim Sturgess, Ed Harris, Colin Farrell
Genre: Adventure, Drama, History
Runtime: 133 minutes













The Grey (2011)


Director: Joe Carnahan
Stars: Liam Neeson, Dermot Mulroney, Frank Grillo
Genre: Action, Adventure, Drama
Runtime: 117 minutes

John Ottway adalah seorang pemburu ulung yang disewa sebuah perusahaan minyak di Alaska. Suatu ketika, pesawat yang Ottway serta para pekerja kilang minyak lainnya tumpangi mengalami kecelakaan terkena terpaan badai dan jatuh di tengah-tengah padang salju mahaluas tak berpenghuni. Setelah berusaha beradaptasi dengan gelap dan dinginnya kutub utara, mereka pun menemukan satu masalah besar: kawanan serigala yang mengancam nyawa mereka...

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar