Rabu, 14 Februari 2018

Three Billboards outside Ebbing, Missouri: Lelucon Gelap Sebuah Kota Penuh Birahi

Jika kita menanyakan resep sukses membuat film pada insan perfilman, niscaya akan terungkap beraneka ragam jawaban, mulai dari segi teknis hingga yang bersifat soft skill. Barangkali begitu pula hasilnya jika kita bertanya pada penikmat film tentang ketertarikan mereka pada sebuah tontonan, beragam sudut pandang pun berjatuhan bak tetesan hujan dari langit. Bagi saya sendiri, kurang lebih apa yang saya harapkan dari setiap film yang saya saksikan hanya satu, yaitu tutur cerita yang mangkus (efektif) dalam menyajikan perspektif kepada penonton. Mengapa mangkus? Sebagai penonton, saya ingin menangkap pesan, maksud, perasaan, atau apapun yang ingin disampaikan oleh sang pembuat film tanpa merasa digurui. Pendeknya: saya ingin sebuah film yang menstimulasi proses berpikir, dan saya mendapatkan pengalaman tersebut setelah menyaksikan Three Billboards outside Ebbing, Missouri (2017).

Peruntungan layar lebar ketiga dari Martin McDonagh (In Bruges, 7 Psychopaths), penulis dan sutradara teater yang juga mulai menjamah layar lebar ini merupakan sebuah lelucon gelap (dark comedy) yang layak disejajarkan dengan karya-karya sineas sekaliber Joel dan Ethan Coen serta Quentin Tarantino. McDonagh sendiri memang termasuk salah satu insan perfilman yang portofolionya patut diikuti sejak kemunculannya di dunia teater akhir tahun 1990-an. Ia bahkan pernah meraih penghargaan Oscar untuk Best Live Action Short Film melalui Six Shooter (2004). Menyimak karya layar lebar McDonagh terdahulu, saya kagum dengan kemampuannya menciptakan karakter yang kuat menancap di kepala penonton, baik dari segi fisik maupun penokohan yang dituturkan melalui sifat dan dialog. Dalam Three Billboards outside Ebbing, Missouri misalnya, penonton akan mendapati hampir seluruh karakter yang berseliweran di layar memiliki sifat dan kehidupan yang menarik.

Bagaimana tidak menarik, menyaksikan perjuangan Mildred Hayes (Frances McDormand), seorang wanita tangguh dalam mencari keadilan di sebuah kota kecil bernama Ebbing. Setelah tujuh bulan nyawa Angela, putri sulungnya melayang di tangan begundal yang rimbanya masih menjadi misteri, Mildred memutuskan bahwa Ebbing perlu segera dibangunkan dari tidurnya. Maka ketika Mildred menemukan tiga papan iklan besar tak terawat di pinggir jalan sepi, ia tidak melewatkan kesempatan itu untuk memasang sindiran keras kepada pemimpin kepolisian setempat agar cepat menyelesaikan kasus kematian Angela. Tanpa dinyana, aksi Mildred itu bukan hanya membangunkan Ebbing dari tidur lelapnya, tetapi juga mendatangkan kabut gelap yang menghisap segenap kehidupan penduduk kota Ebbing dan menyisakan makna keadilan yang sama sekali kabur.

Membahas Three Billboards outside Ebbing, Missouri tidak akan berarti bila tidak menyinggung keistimewaan naskah yang diciptakan oleh McDonagh. Pertama, perkembangan karakter dalam naskah film ini sangat menakjubkan. Jangan bayangkan perkembangan karakter dalam film ini dapat direpresentasikan dengan sebuah busur di mana penonton dapat melihat dan merasakan metamorfosis karakter-karakternya. Dalam film ini, McDonagh menampar penonton secara mengejutkan melalui letupan emosi tokoh-tokohnya yang labil namun intuitif serta disajikan dengan penuturan satir yang dapat menyunggingkan senyum sekaligus menimbulkan perasaan miris. Perkembangan karakter yang seperti ini membuat narasi Three Billboards outside Ebbing, Missouri terkesan merupakan hasil pembenturan berbagai kekuatan dahsyat emosi manusia: kemarahan, egoisme, ketidakpercayaan, dan kegamangan. Semua emosi itu bercampur aduk dan menjadi komposisi dasar dari tiga tokoh besar film ini, meski dengan dosis yang berbeda-beda.

Di hampir paruh pertama durasi film, penonton akan mendapati tiga tokoh besar dalam cerita ini kurang lebih hanya dalam satu dimensi. Mildred digambarkan sebagai seorang ibu tangguh yang akan melakukan apapun demi mencari keadilan dalam kasus kematian putrinya. Selanjutnya, kita punya semacam keyakinan bahwa Chief Willoughby (Woody Harrelson) merupakan kepala polisi berpengaruh yang menyimpan semacam misteri di lembaga yang dipimpinnya, entah itu korupsi, penangkapan orang-orang tidak bersalah, penjatuhan hukum yang sewenang-wenang, atau apapun itu memang tidak jelas. Tetapi sebagai penonton, kita bisa merasakan ada sesuatu yang lain (dan mungkin mencengangkan) di balik penampilan dan perilaku Willoughby. Terakhir, kita juga melihat dengan jelas bahwa Officer Dixon (Sam Rockwell) adalah tipe polisi komikal yang akan bertindak lebih jauh dari apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang kaki tangan seorang pejabat berpengaruh.

Namun, semua dimensi tokoh-tokoh tersebut seakan berputar balik laksana bumerang setelah satu peristiwa penting terjadi pada salah satu dari mereka. McDonagh dengan cerdas menguak lapisan dimensi lain dari masing-masing tokoh tersebut dengan cara klasik (baca: sebuah surat wasiat) dan penuh ironi tetapi mangkus dalam mengungkapkan bahwa tidak ada seorang pun di dunia nyata yang memiliki karakter satu dimensi. Semua manusia dianugerahkan akal dan hati yang membuat mereka pandai melompat dan membalik tabiat secepat membalik telapak tangan. McDonagh sangat mengerti bahwa kehidupan manusia tidak termasuk dalam rumpun ilmu pasti yang sudah memiliki jawaban benar dan salah. Kehidupan manusia ada di luar sana bersama dengan denyut konstelasi alam, tetapi ia tidak benar-benar dapat ditentukan sistem kerjanya melalui penemuan konstanta maupun penarikan kesimpulan berdasarkan uji coba ilmiah. Masing-masing manusia memiliki pemikiran sendiri yang bahkan terkadang tidak masuk akal bagi orang lain.

Bila ditilik lebih jauh, narasi yang disajikan McDonagh pada akhirnya menampilkan sebuah gambaran sempurna dan mengerikan akan keinginan manusia terhadap kekuasaan. Ingatkah Anda bagaimana Mildred menggurui Willoughby tentang apa yang ia akan lakukan untuk menangkap pembunuh Angela? Ada pula kisah Willoughby yang menolak mentah-mentah menjadi orang yang lemah di akhir hidupnya karena ia ingin diingat sebagai seorang pemberani. Tentu saja, sebagai seorang pejabat berkuasa Willoughby tidak akan mungkin dapat membayangkan orang lain mengasihani dirinya. Gambaran kekuasaan lain yang dapat dengan segar diingat penonton datang dari sosok Dixon dalam salah satu shot terbaik sepanjang film, yaitu saat ia menyerang pegawai kantor periklanan setempat Red Welby (Caleb Landry Jones).

Selain berbicara tentang kekuasaan, McDonagh juga membuat penonton mengerti bahwa manusia sangatlah sulit untuk menanggalkan kebiasaan menghakimi orang lain. Hal ini dapat kita selidiki dari detail-detail kecil namun menohok dalam film ini. Sebagai penonton kita turut merasakan bahwa Ebbing, sebagaimana lumrahnya kota kecil lain di dunia ini, dihuni oleh cookie-cutter community. Tindak-tanduk mereka menunjukkan satu keseragaman yang khas dan cenderung memusuhi nilai-nilai yang tidak dianut secara mayoritas. Tengoklah bagaimana seorang pendeta menasihati Mildred bahwa “… So yes, I took a poll. Everybody is with you about Angela. Nobody is with you about this.” Di sini, kita mendapatkan kesan setiap penduduk Ebbing ingin dan merasa perlu untuk memberikan pendapat terhadap hidup orang lain. Bila perlu, mereka akan beraksi membela apa yang dianggap benar. Di sudut lain, Mildred sendiri jauh dari citra orang suci. Ia pun pada dasarnya telah memberikan penghakiman terhadap Chief Willoughby, Dixon, dan masyarakat di sekitarnya. Kita tahu bahwa ia bukan hanya tidak akan gentar dengan pendapat masyarakat Ebbing, tetapi juga berani memasang aral untuk merintangi setiap orang yang berusaha mengubah atau mengganggu keinginannya. Tokoh-tokoh yang lainnya pun seperti kerasukan setan yang sama. Mereka memberikan penilaian yang sangat absurd satu sama lain. Singkat kata, Ebbing adalah kota yang dipenuhi dengan birahi untuk menjadi hakim satu sama lain. McDonagh membiarkan gairah yang seperti demikian terus mengalir di sepanjang film berdurasi 115 menit ini dan tanpa malu-malu menutup kisahnya dengan sangat terbuka pada berbagai kemungkinan. 

Kedua, naskah McDonagh juga berhasil mengemas segudang paradoks kehidupan kota kecil Ebbing dengan sangat menarik. Di mulai dari kehidupan kota sebagai latar tempat di mana tokoh-tokoh utama dalam film ini tinggal. Kota itu cenderung memiliki pandangan hitam-putih terhadap kehidupan. Tapi tunggu dulu, naskah McDonagh tidak berhenti di sini. Meski cenderung bersifat monoton, Ebbing ternyata menyimpan kejutan di mana kepolisian - institusi penegak hukum yang bahkan anggotanya sendiri dengan sangat polos mengatakan bahwa lembaga itu merupakan arena berlangsungnya bisnis penganiayaan orang-orang kulit berwarna - justru sangat dihormati keberadaannya. Bahkan sosok Willoughby dielu-elukan masyarakat. Mereka peduli dengan kesehatannya, mereka menyanjung pengabdian panjangnya pada kota kecil itu, mereka mengagumi keluarga kecilnya yang dipandang ideal. Singkatnya, mereka terobsesi pada sang polisi dan lembaga yang dipimpinnya. Bukan hanya perilaku masyarakat Ebbing saja yang menyimpan paradoks. Penonton tentu setuju bila dikatakan bahwa ketiga tokoh utama dalam film ini pun memiliki segenap sifat dan perilaku yang sangat diragukan moralitasnya.

Pada satu titik, saya menangkap kesan bahwa McDonagh meramu semua kehidupan paradoks warga Ebbing menjadi suatu sajian yang bersifat relevan dan mengglobal terhadap isu-isu sosial saat ini. Dengan segala kemajuan teknologi, percepatan hubungan manusia yang satu dengan lainnya di seluruh dunia, dan era transparansi yang semakin tidak dapat dibendung, nyatanya itu semua belum bisa mengatasi berbagai kesenjangan dan diskriminasi yang dialami sebagian masyarakat, seperti kaum perempuan, warga kulit berwarna, kaum difabel, LGBT, masyarakat ekonomi menengah ke bawah, dan kaum marjinal lainnya. Dalam tatanan masyarakat saat ini, perpecahan justru sangat rawan terjadi dalam upaya kaum-kaum termarjinalkan tersebut menuntut kesetaraan.

Sebagai penulis naskah, McDonagh sepertinya memiliki pandangan valid akan hal ini. Ia memiliki suatu citra yang ingin ia tampilkan pada penonton bahwa terkadang letupan amarah pada satu peristiwa bisa merembes ke segala arah, menjadikan kita buta dan tuli, memusuhi orang lain, menyebabkan kita marah pada semua isi kehidupan ini, dan pada jangka panjang akhirnya kita bisa saja lupa mengapa dan terhadap apa atau siapa sebenarnya kemarahan kita tertuju. Tetapi McDonagh sama sekali tidak bermaksud untuk memberikan suatu teladan tentang bagaimana seharusnya perangkat masyarakat berfungsi. Ia hanya melemparkan ke hadapan penonton betapa pahit (dan salah arah?) perjuangan kaum marjinal bisa terjadi. Belakangan, McDonagh justru menjadi pergunjingan kontroversial masyarakat Amerika karena karyanya ini seolah membiarkan orang-orang yang dianggap bersalah bisa lari begitu saja dari tanggung jawab moral dan hukum yang seharusnya mereka pikul. Tetapi bagi saya sendiri, akhir Three Billboards outside Ebbing, Missouri bukanlah sesuatu yang perlu dibesar-besarkan, karena toh McDonagh tidak memiliki keinginan berceramah pada siapapun mengenai bagaimana mereka seharusnya bertindak, and that’s fair for me. We can not force an artist to pick a side on his/her own art right? 

Ketiga, tentu saja kekuatan naskah McDonagh ada pada lelucon gelapnya yang diam-diam menyelinap di sepanjang jalan cerita. McDonagh sangat piawai menempatkan adegan-adegan kocak pada celah-celah cerita yang memiliki tensi tinggi. Adegan-adegan yang paling mudah diingat misalnya pada saat Mildred, mantan suaminya Charlie (John Hawkes), dan putranya Robbie (Lucas Hedges) sedang beradu pendapat panas, datanglah sosok lugu Penelope (Samara Weaving) yang ingin menumpang kencing. Ada pula adegan antara Mildred dengan pendeta, Mildred dengan dokter gigi, serta celotehan-celotehan sampah Dixon lainnya yang dapat dengan tiba-tiba menerbitkan senyum penonton. McDonagh dengan gemilang mengangkat isu sensitif pelecehan seksual (ditambah dengan kasus Harvey Weinstein yang saat ini membelit Hollywood) menjadi subjek yang dapat ditertawakan dalam segenap rasa getirnya.

Saya belum akan mengakhiri pujian untuk McDonagh. Dalam proyek ini, selain menggoreskan ide cerita, ia juga turut menjadi arsitek handal. Dengan arahan sutradara lain, Three Billboards outside Ebbing, Missouri mungkin hanya akan menambah daftar panjang film bertemakan balas dendam dan pencarian keadilan. Dihiasi dengan orang tua bermartabat, kepolisian korup yang penuh manipulasi, dan jalan cerita lambat yang diramaikan dengan orkestra sentimental tentang bagaimana orang tua tersebut mencari keadilan. Mungkin begitulah kira-kira deskripsi Three Billboards outside Ebbing, Missouri bila dibidani sineas lain yang biasa menelurkan film bertemakan balas dendam dan pencarian keadilan. Beruntung, McDonagh bukanlah sutradara biasa. Meski ia tidak memiliki ukuran pasti ke mana ia akan membuang akhir ceritanya, ia tahu pasti bahwa dibutuhkan sensitivitas seorang rakyat jelata untuk menghasilkan film yang sangat manusiawi seperti ini. Ia tidak semata-mata memutarbalikkan jalan cerita melalui berbagai twist ibarat seorang pengendara motor berganti persneling. Ia melakukannya karena ia tahu benar bahwa tidak ada seorang manusia normal mana pun yang tidak pernah merasa labil dan gamang dalam hidupnya. Alhasil, ia telah menunjukkan kepada kita sebagai penonton bahwa keputusan manusia yang labil dan gamang itu bisa saja menggetarkan dan meluluhkan hati kita di satu sisi, tetapi juga dapat berubah menjadi sesuatu yang mengecewakan, bahkan memiliki kekuatan menghancurkan yang dahsyat.

Selain keunggulan naskah dan penyutradaraan, Three Billboards outside Ebbing, Missouri juga didukung jajaran pemeran yang penampilannya sangat mengagumkan. Pertama tentu saja kredit harus dialamatkan pada McDormand yang sekali lagi menunjukkan bahwa ia memang aktris kelas wahid. Dengan gaya bicara, berjalan, serta ekspresi wajah yang kelelakian, McDormand berhasil menyingkap aura pemberani seorang ibu yang sebenarnya sedang cemas mengharapkan secercah keadilan untuk mendiang putrinya. Singkat, lugas, selalu waspada, dan terkadang menakutkan menjadi ciri Mildred yang kentara dari penampilan McDormand. Di dukung dengan pilihan kostum dari Melissa Toth dan tata rambut Susan Buffington, Mildred ibarat reinkarnasi dari poster feminisme terkenal "We Can Do It!" yang semakin mempertegas karakternya tersebut. Tidak hanya dalam adegan-adegan berdialog saja McDormand sukses menyuntikkan aura pemberani Mildred. Dalam adegan pembuka film di mana Mildred membuat keputusan dalam diam saat melihat tiga papan iklan besar di jalan pun McDormand dengan apik menunjukkan kepada penonton bahwa Mildred adalah wanita dengan insting setajam elang yang melihat tikus di ladang. Namun, yang membuat penampilan McDormand menjanjikannya Oscar kedua adalah kemahirannya dalam menyisipkan sisi lembut nan pengertian dan penyayang seorang Mildred. Adegan-adegan saat Willoughby memucratkan darah serta saat ia dan Charlie duduk bersama adalah bukti dari kemahirannya tersebut.

Departemen akting juga disesaki oleh penampilan jawara lainnya dari Rockwell dan Harrelson. Rockwell, aktor yang menurut saya selama ini selalu berada di bawah radar kritikus sangat menonjolkan kemampuannya dalam menciptakan tokoh karikatur sekaligus tempramental dan kekanak-kanakan yang patut menjadi maskot Ebbing, sebuah kota bobrok. Dengan gaya sembrono dan sok benar, Rockwell menjadi salah satu pengisi durasi film yang paling kontradiktif. Bersama dengan Momma Dixon (Sandy Martin), Rockwell acap melontarkan perkataan konyol yang menjijikan sekaligus jenaka. Di lain waktu, Rockwell secara perlahan mampu menimbulkan pertanyaan: is Dixon actually a good lost boy? Penampilan yang sama impresif pun disuguhkan oleh Harrelson. Menurut saya ia bahkan lebih cemerlang lagi, karena hanya tampil dalam durasinya yang relatif pendek. Namun ia berhasil menyajikan karakter yang auranya terus menempel di sepanjang cerita. Ia menjadi katalis kehidupan orang-orang di sekitarnya, entah menjadi lebih baik atau lebih buruk, semuanya diserahkan kepada penonton. Ia sangat pandai menyembunyikan warna sesungguhnya seorang kepala kepolisian yang sangat sensitif tetapi penuh kekuasaan yang ditunjukkan dengan pendekatan lembutnya kepada Mildred, sesuatu yang cukup mengejutkan. Ia juga menampilkan sisi rapuh seorang Willoughby saat ia sakit dan berada di tengah keluarganya. 

Sederet pemeran pendukung seperti Peter Dinklage, Hawkes, Weaving, dan Martin juga berhasil memanfaatkan waku tayang mereka yang tidak panjang dengan efektif. Ini adalah kali kedua McDonagh menampilkan sosok pria kerdil setelah sebelumnya dalam In Bruges (2008) kita diperkenalkan pada seorang aktor dengan kehidupan menyedihkan. Kali ini, ia mendapuk Dinklage untuk menjadi James, karakter yang kondisi fisiknya selalu diolok-olok penduduk sekota Ebbing. Dinklage berhasil menunjukkan bahwa James adalah pria sensitif yang karena pengalamannya, tampak selalu fragile dan khawatir terhadap penerimaan orang lain. Hawkes, yang sangat saya suka di sini tampil dengan lincah melompat antara karakter kocak, beringas, sekaligus memiliki persona seorang bully. Weaving dan Martin sama-sama menjadi wanita komikal yang berdiri di dua titik ekstrim berseberangan. Meski dengan sangat jelas McDonagh menciptakan karakter Penelope semata-mata untuk ditempelkan sebagai lelucon gadis bodoh, Weaving justru membawa Penelope menjadi karakter yang simpatik. Bahkan dalam adegan “anger begets greater anger”, Mildred pun luluh dan di sinar matanya saya menangkap kerinduannya pada Angela. Sedangkan Martin adalah wanita tua bangka tak tahu diri yang menganggap dunia ada di genggaman pengaruhnya. Sikap tubuh dan gaya bicara Martin sebagai Momma Dixon di sini sangat menonjolkan hal itu.

Aspek terpuji lain Three Billboards outside Ebbing, Missouri adalah pengambilan gambar serta musik latar yang sama-sama semakin membuat film ini bersinar bak mutiara. Penata kamera Ben Davis yang memiliki banyak jam terbang mendandani film-film superhero sukses membawa penonton untuk menguntit perjalanan Mildred. Penempatan kamera Davis acap menampilkan wajah Mildred, bahkan saat yang berbicara adalah karakter lain. Davis dan McDonagh memberikan akses kepada penonton untuk menyimak bagaimana reaksi Mildred ketika orang-orang di sekitarnya - biasanya tokoh yang berseberangan dengan dirinya seperti Dixon, Willoughby, atau pria misterius yang tiba-tiba muncul di toko oleh-olehnya - berbicara padanya. Pengambilan gambar wajah Mildred pun dilakukan close-up sehingga dapat dengan jelas menunjukkan keunggulan ekspresi wajah McDormand. Nuansa kota kecil Ebbing juga sangat terasa di sepanjag alur cerita. Mulai dari jalan-jalan, kantor, lapangan tempat ketiga papan iklan berdiri, hingga bar yang ada di kota ini terasa nyata dan autentik. Saya sangat suka dengan pengambilan gambar, tata cahaya, dan warna yang terdapat di dalam adegan-adegan di bar. Warna-warni lampu bar seperti pendar merah, hijau, dan emas menciptakan suasana temaram, muram, dan tidak begitu riuh, cocok dengan latar kota kecil. Tentu saja, karya monumental Davis di sini adalah pengambilan gambar sekali sorot (one-shot) pada adegan Dixon saat menyambangi dan menghabisi Red Welby. Rangkaian pengambilan gambar tersebut membuat penonton menahan nafas panjang menyaksikan kekerasan demi kekerasan yang terjadi. Tak ada kata-kata saya yang pantas untuk menyanjung karya Davis ini. Terakhir, tentu saja musik latar khas dari Carter Burwell mempertajam nuansa western dalam film ini. Musiknya menjadi orkestra yang menemani langkah tak gentar Mildred dan penonton pun ikut berharap semoga inilah saat ia mendapatkan keadilan. Walaupun nasib baik tidak selalu memihak Mildred, namun setidaknya musik latar Burwell terus terngiang di kepala penonton.

Menutup ulasan film ini, saya ingin mengatakan bahwa saya sepenuhnya memahami bila pandangan bahwa Three Billboards outside Ebbing, Missouri adalah film yang sangat mentah karena tidak ada yang dapat disimpulkan dari jalan ceritanya. Pun saya mengerti pada pendapat bahwa tidak ada perkembangan karakter dalam tokoh utama film ini. Namun saya justru melihatnya dari pandangan yang berseberangan. Bagi saya, babak ketiga yang tampil sebagai pembawa makna, kesimpulan, dan hikmah tidak harus selalu hadir. Justru dengan caranya mengakhiri jalan cerita yang saya anggap tidak malu-malu inilah keunikan karya McDonagh. McDonagh ibarat hanya melempar (maaf) kotoran ke muka penonton. Setelah, ia memberi keleluasaan pada kita, apakah ingin memaknai kotoran itu sebagai awal dari perjalanan refleksif atau ingin segera membersihkannya. Begitu pula soal perkembangan karakter. Bagi saya, tokoh utama tidak harus selalu berubah menjadi pribadi yang sama sekali berbeda dari awal hingga akhir cerita. Perubahan itu terkadang terjadi di luar durasi film, yaitu ada di imajinasi penonton. Saya sendiri menikmati perjalanan Mildred dan seperangkat penduduk kota Ebbing lainnya, tentu dengan harapan bahwa mereka melakukan hal yang lebih baik dalam kehidupan masing-masing, setidaknya itulah isi harapan dalam kepala saya. It's a masterpiece, 5 out of 5 for me. Ada yang punya komentar?



Watch this if you liked:

Miller's Crossing (1990)

Director: Joel Coen, Ethan Coen
Stars: Gabriel Bryne, Albert Finney, John Torturro
Genre: Crime, Drama, Thriller
Runtime: 115 minutes










Manon des Sources (1986)

Director: Claude Berri
Stars: Yves Montand, Emmanuel Béart, Daniel Auteuil
Genre: Drama
Runtime: 113 minutes
 
 

2 komentar:

  1. panjang kali reviewnya bang singkat singkat aja orang males baca jadinya

    BalasHapus
  2. Keren bgt reviewnya 👍👍 cadas!!!

    BalasHapus