Selasa, 17 Desember 2013

Invictus: Captain of Many Souls

Pada tanggal 16 Oktober 1946, sepuluh anggota Nazi dieksekusi mati berdasarkan putusan pengadilan Nuremberg. Pengadilan yang diselenggarakan atas inisiatif Sekutu itu membuktikan bahwa mereka bersalah atas kejahatan genosida dan divonis hukum gantung. Putusan pengadilan tersebut disambut meriah oleh keluarga korban, sebagian besar penduduk Eropa yang pernah merasakan kejamnya masa pendudukan Nazi, pemerintah negara-negara Sekutu, dan seluruh umat manusia di dunia yang mendambakan keadilan. Pengadilan Nuremberg sendiri disebut-sebut sebagai tonggak sejarah dalam upaya penegakan hukum atas kejahatan kemanusiaan, sarana untuk melindungi harkat dan martabat manusia dari kekejaman manusia lainnya. Hampir setengah abad kemudian, sebuah bangsa yang telah lama terinjak-injak di bawah penindasan saudaranya sendiri sedang berada di persimpangan jalan untuk menentukan akankah mereka melakukan hal yang sama seperti Nuremberg untuk mendapatkan keadilan. Haruskah mereka menghukum semua saudara mereka yang dulu menindas mereka? Akhirnya mereka memilih rute yang berbeda. Mereka menempuh jalan yang mereka anggap lebih beradab. Daripada memikirkan hukuman untuk para penjahat, mereka lebih fokus pada penyembuhan para korban penindasan. Bagi mereka, cara penyembuhan itu adalah dengan mendapatkan rasa adil, dan rasa adil itu dapat tercapai dengan adanya pengakuan bersalah dari para penjahat. Dunia pun mengkritik kebijakan pasifis yang dipandang terlalu lembek dan tidak mencerminkan keadilan sama sekali. Tetapi bangsa itu tidak bergeming, tetap yakin pada pendekatan damai yang ditempuhnya. Bangsa itu adalah warga Afrika Selatan. Tidak heran mengapa mereka memilih pendekatan damai seperti itu, karena pemimpin demokrasi pertama mereka, Nelson Mandela pun mencerminkan hal serupa untuk menyatukan kembali Afrika Selatan yang terkoyak setelah runtuhnya apartheid. Jejak Mandela dalam upaya mempersatukan kembali bangsa di ujung benua Afrika itu dapat kita saksikan dalam Invictus (2009).

Invictus merupakan satu dari sekian banyak film yang mengangkat biografi Mandela. Masih mengambil tema perjuangan menyatukan kembali Afrika Selatan pasca-apartheid, film ini menyasar sisi lain jasa Mandela dalam memajukan prestasi tim nasional rugby. Presiden Afrika Selatan pertama yang dipilih secara demokratis itu tampaknya memang memiliki segudang cara untuk merestrukturisasi kehidupan sosial masyarakatnya, khususnya melalui pendekatan-pendekatan perdamaian. Sifatnya yang ramah, humoris, dan supel juga membuat pribadi Mandela disenangi banyak orang. Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa Mandela merupakan salah satu simbol Afrika Selatan. Namun seringkali sifat-sifat baik Mandela itu diangkat begitu tinggi hingga menempatkannya seperti orang suci. Dalam film pun hal serupa terjadi, dan Invictus ini adalah salah satunya.

Invictus mengambil latar setahun setelah Mandela (Morgan Freeman) disumpah menjadi Presiden Afrika Selatan. Saat itu Mandela memiliki tugas berat di awal pemerintahannya. Inflasi, kemiskinan, dan kemanan adalah beberapa isu utama yang harus segera dibenahi. Semua masalah itu harus ia selesaikan dalam kondisi masyarakat di negaranya yang masih terpecah. Bekas-bekas apartheid masih sangat terlihat jelas di mana-mana. Sekian lama apartheid membelenggu masyarakat Afrika Selatan, hitam dan putih masih dipisahkan garis begitu tebal di setiap aspek kehidupan. Aroma balas dendam pun tercium sangat menyengat. Euphoria yang melanda warga kulit hitam setelah pelantikan Mandela membuat mereka sangat berambisi melengserkan kulit putih dari berbagai jabatan, mulai dari pemerintahan hingga atlet. Untuk masalah yang terakhir ini, Mandela memiliki pengalaman unik. Sebagai penggemar (dan pemain amatir) rugby, ia tidak pernah sekalipun mendukung tim nasional Afrika Selatan, Springboks. Seperti semua warga kulit hitam lainnya, Mandela juga beranggapan bahwa mendukung Springboks berarti mendukung apartheid. Lagipula, rugby tidak pernah benar-benar menjadi olahraga favorit warga kulit hitam, karena bagi mereka sepak bola selalu menjadi primadona. Tapi itu dulu, ketika ia dipenjara di Pulau Robben selama 27 tahun, ketika ia belum menjadi orang nomor satu Afrika Selatan, ketika ego seorang kulit hitam yang tertindas masih menguasai dirinya. Kini, ketika ia terpilih menjadi presiden, ia berpikir bahwa inilah saatnya menggunakan olahraga sebagai alat pemersatu bangsa. Ia pun sekarang mendukung sepenuhnya Springboks, bahkan di kala mandeknya prestasi tim berseragam hijau-emas itu. Prihatin akan kondisi tersebut, Mandela pun memberikan suntikan motivasi pada Springboks melalui kapten mereka, François Pienaar (Matt Damon). 

Sedari awal film dimulai, saya sudah merasa tidak nyaman dengan penekanan karakter Mandela yang serba dan terlalu arif. Bagian awal ini ibarat menyaksikan seorang ayah yang dikelilingi anak-anaknya yang nakal, yang selalu ingin tahu, dan yang selalu bimbang dan butuh nasihat. Semua akan-anak itu mendapatkan jawaban dan pembetulan perilaku dari ayahnya. Ayah itu adalah Mandela dan anak-anaknya antara lain warga kulit putih yang belum percaya dan hormat terhadapnya, sekretaris pribadinya Brenda Mazibuko (Adjoa Andoh), dan kepala pengawal pribadinya Jason Tshabalala (Tony Kgoroge). Bukan bermaksud untuk menodai citra Mandela, tetapi bagi saya akan jauh lebih indah bila sosok Mandela digambarkan sebagai pribadi yang membumi, dalam arti tidak hanya sekedar memperlihatkan ia sebagai sumber kebijaksanaan, inspirasi, bahkan hampir seperti penggambaran manusia sempurna seperti dalam buku-buku Deepak Chopra tetapi juga sebagai sosok yang memiliki krisis, permasalahan hidup, keraguan, atau sebutlah istilah-istilah lain yang dapat menunjukkan bahwa ia adalah manusia biasa. Tunggu dulu, bukankah dalam film ini juga ada adegan di mana Hendrick Booyens (Matt Stern), pengawal Mandela memprovokasinya dengan masalah keluarga dan ada pula Zindzi (Bonnie Henna), putri Mandela yang tampak kurang dekat dengan ayahnya? Ya, tetapi justru dua adegan itu tidak digunakan dengan optimal untuk memperlihatkan masalah pribadi yang dialami Mandela. Naskah yang ditulis Anthony Peckham berdasarkan buku John Carlin berjudul Playing the Enemy: Nelson Mandela and the Game that Made a Nation tidak pernah benar-benar memberikan ruang untuk mengeksplorasi sisi dalam sosok Mandela.

Kondisi serupa juga dialami tokoh Pienaar. Kapten tim nasional rugby Afrika Selatan tersebut diceritakan sebagai anak yang dibesarkan dalam keluarga yang sangat rasis, pendukung apartheid, dan mencela Mandela habis-habisan ketika ia diangkat menjadi presiden. Namun apakah kita menemukan komentar pedas ayah Pienaar (Patrick Lyster) sebelum atau sesudah putranya diundang minum teh oleh presiden? Apakah kita menemukan kesan tinggi hati yang tersembunyi dalam diri sang ayah setelah putranya menuai kesuksesan besar? Jawabannya tidak. Well mungkin Peckham memang tidak tertarik mengeksplorasi pengaruh keluarga terhadap Pienaar, tetapi apakah ia juga tidak tertarik pada pemikiran dan pendapat atlet rugby itu sendiri? Lagi-lagi jawabannya juga tidak. Hal itu tercermin dari kosongnya karakter Pienaar. Ia hanya digambarkan sebagai alat yang digunakan untuk mendengar berbagai petuah (termasuk puisi Invictus karya pujangga William Ernest Henley) dan pengalaman Mandela, sebagai bukti kemuliaan hati, kejeniusan dan kesaktian sang presiden, dan tentu sebagai kapten dalam alur pertandingan final Piala Dunia. Di luar semua itu, Pienaar adalah sosok yang benar-benar misterius. Penonton tidak pernah tahu apa pendapat Pienaar terhadap runtuhnya apartheid, apa motivasinya memenangkan piala dunia, apakah ia percaya pada "ide gila" Mandela untuk menjadikan rugby sebagai alat pemersatu bangsa. Pienaar adalah karakter yang tidak bertransformasi. Berawal sebagai seorang apolitis, Pienaar malah berakhir sebagai penggemar Mandela tanpa sebab yang jelas. Mungkin bagi Peckham film ini adalah biografi Mandela, jika kita mau mengetahui lebih lanjut tentang Pienaar, pergilah ke toko buku dan cari biografinya!

Hal lain yang juga kurang saya suka adalah kadar klise dalam film ini yang dapat dibilang tinggi. Saya berani bertaruh jika ada poling yang menanyakan siapa pemenang Piala Dunia Rugby di akhir film ini pasti tidak ada yang meleset jawabannya. Setelah diperlihatkan serangkaian mentoring yang diberikan Mandela kepada Pienaar, siapa yang tidak bisa menebak akhir cerita film ini? Saya sadar Invictus adalah film biografi sejarah yang tidak mungkin mengubah peristiwa faktual yang telah terjadi, tetapi setidaknya bukankah jauh lebih menghibur bila peristiwa faktual tersebut didramatisasi sedemikian rupa dengan intrik-intrik kehidupan pribadi atau politik sebagai bumbunya? Tentu saja Anda bebas berpendapat, tetapi menurut saya Invictus adalah jenis biografi yang tersesat dan terjebak di tengah lapangan rugby. Ia bukanlah jenis biografi yang banyak berbicara tentang tokoh berpengaruh, melainkan film keluarga biasa bertema olahraga di mana pembuat film ini berharap para penonton akan tertular rasa tegang, semangat, dan pantang menyerah. Mereka berharap pemandangan klasik di mana berbagai kalangan masyarakat menonton satu pertandingan bersama-sama dan pada akhirnya saling berpelukan merayakan kemenangan tim kebanggan mereka menjadi sebuah tontonan megah yang mengharu biru. Hei, bukankah kita pernah merasakannya sewaktu menyaksikan Air Bud (1997)?

Tetapi bagi saya tidak ada yang lebih konyol dari alur "menakut-nakuti" Mandela. Film ini mungkin ingin menyampaikan bahwa pada awal pemerintahan Mandela kondisi masyarakat belum stabil, masih terdapat pergolakan yang menentang dirinya menjadi presiden sehingga keamanan presiden menjadi perhatian serius pemerintah. Namun apa yang tersaji di layar tidak lebih dari sekedar rasa paranoid para pengawal presiden dan kebodohan orang-orang yang entah apa maksudnya sengaja ingin menakuti Mandela. Tengok adegan di bagian awal ketika Mandela yang didampingi dua pengawalnya berlari pagi dan mereka siaga dan curiga tingkat I pada pengantar surat kabar. Ingin melihat yang lebih konyol lagi? Tenang, masih ada adegan saat pilot sebuah pesawat tanpa maksud yang jelas memantau stadion yang menjadi arena pertandingan final Piala Dunia Rugby. Digambarkan sangat mirip dengan teroris, pilot itu pada akhirnya malah hanya membuat sensasi dengan menerbangkan rendah pesawatnya di atas stadion dan puf, dia pun hilang terlupakan, menyisakan segudang keanehan di benak saya. What the heck is this for?

Saya justru lebih menikmati bagian di mana anak-anak nakal, ingin tahu, dan bimbang seperti saya sebut sebelumnya muncul di layar. Adegan-adegan yang memperlihatkan kekhawatiran sekaligus kebencian warga kulit putih terhadap pemerintahan Mandela disajikan cukup provokatif. Adegan di bagian awal film yang memperlihatkan rombongan kendaraan Mandela yang baru saja dibebaskan dari penjara sangat menarik perhatian. Penonton disajikan pemandangan kontras antara para atlet rugby yang tampak sangat sehat dan berotot penuh dengan asupan protein berlatih di lapangan rumput hijau luas bersama pelatih profesional mereka sementara di seberang mereka terhampar lapangan tandus berdebu tempat anak-anak kulit hitam berbadan ceking dan masa depan yang tidak jelas bermain bola dengan riang. Ketika rombongan Mandela melintas, anak-anak tersebut berlarian dan menyambutnya meriah sementara di seberang jalan justru ada satu atlet Springboks tidak tahu siapa yang lewat. Saat ia bertanya pada pelatihnya, ia mendapatkan jawaban kasar, "It is that terrorist, Mandela. They let him out. Remember this day, boys. This is the day our country went to the dogs". Adegan lain yang saya suka adalah saat Brenda meragukan tekad Mandela untuk menjadi rugby alat pemersatu bangsa. Saat itu, Brenda dengan kritis berupaya mengingatkan Mandela bahwa campur tangannya secara langsung dalam urusan olahraga akan mecerminkan kepemimpinan autokratik dan bahwa masih banyak hal lain yang jauh lebih penting diurus. Sata sangat senang ketika Brenda menantang Mandela dengan bertanya, "So this rugby is just political calculation", dan sang presiden pun membalas dengan sangat hati-hati, "It is a human calculation." Selain itu pergesekan di antara para pengawal Mandela juga cukup menarik disimak. Jason, kepala pengawal kepresidenan diceritakan sebagai pekerja yang sangat loyal dan berintegitas, tetapi ia diuji ketika atasannya sendiri meminta dirinya melupakan kekejaman warga kulit putih meski tampaknya ia memiliki masa lalu kelam yang sangat membekas dalam dirinya. "Forgiveness starts here too... Please Jason, try", ucap Mandela dengan kedalaman iba yang tak terperi.

Pada akhirnya, penuturan cerita yang ditulis dan dicita-citakan oleh penulis naskah akan jatuh ke tangan sutradara. Seorang sutradara mungkin memiliki visi dan penafsiran yang berbeda terhadap naskah yang akan ia arahkan. Namun, dalam Invictus sutradara Clint Eastwood (Bird, White Hunter Black Heart) tampaknya berada dalam kepala yang sama dengan Peckham. Eastwood jelas sekali ingin menciptakan sebuah narasi yang tidak bertele-tele atau penuh kiasan mengenai kebesaran seorang Nelson Mandela. Dalam setiap adegan di sepanjang cerita, gaya penuturan transparan sangat mendominasi. Bahkan pada titik tertentu saya merasa Eastwood sangat gregetan ingin terang-terangan menggambarkan sosok Mandela sebagai pahlawan persatuan yang tidak malu-malu atau ragu berkata, "Hei para kulit putih, jangan takut karena kami warga kulit hitam masih bodoh, miskin, dan perlu pertolongan kalian. Ayolah, mari bangun negara ini bersama-sama!" Ia ingin Mandela muncul sebagai oase di tengah rasa takut yang melanda warga kulit putih dan penyejuk ambisi kulit hitam yang terlalu tinggi hingga dapat bersifat destruktif. Sayangnya sebagian besar dari penonton tentu sudah mengenal siapa Mandela, apa saja jasa-jasanya pada Afrika Selatan dan dunia, maupun sikapnya yang sangat pantas dijadikan inspirasi. Dalam medium film, yang penonton ingin lihat dan pahami adalah sisi lain seorang Mandela, dari mana dan bagaimana ia mendapatkan motivasi untuk melakukan apa yang ia lakukan, serta apakah Mandela menganggap dirinya sebagai pribadi yang berharga dan inspiratif?

Akibat penuturan cerita yang terlalu lurus ini, Invictus terasa kurang gres, kurang dramatis, kurang berdimensi, dan bagi seorang penonton kurang dekat atau personal. Invictus seperti sebuah film yang ingin memperkenalkan Mandela sebagai pahlawan dunia, manusia hebat, politikus berpengaruh, bukan sebagai seorang laki-laki pada umumnya yang dapat digunakan sebagai cermin pribadi atau motivator. Meski disesaki dengan dialog-dialog indah dan agak menggerakkan hati, namun Invictus akhirnya hanya menjadi sebuah tontonan yang menggambarkan sosok yang terlalu sempurna, terlalu tinggi kualitasnya, dan terlalu sulit dijadikan teladan. Penonton pun keluar dengan pujian kagum pada Mandela tanpa berniat atau berpikir mereka juga mampu berbuat baik. Di sini, Eastwood seakan merendahkan dan menciutkan nyali penonton, sama halnya dengan Peckham yang telah dengan kejam menganggap bodoh penonton dengan menyajikan akhir cerita yang sangat klise, seolah-olah tidak ada yang dapat menebak tipikal film berbuntut perayaan meriah seperti ini (Tuhan, tolonglah saya!).

Beruntung Freeman dan Damon adalah dua aktor berkualitas yang tidak mudah ternoda dengan segala carut-marut cerita klise. Baik Freeman dan Damon tampak berusaha keras menampilkan sosok Mandela dan Pienaar seotentik mungkin. Saya sangat suka mendengan dua aktor ini berbicara dengan aksen Afrika Selatan. Untuk Freeman sendiri, saya rasa semua orang sependapat bahwa ia adalah aktor yang paling tepat memerankan Mandela. Citra dan aura Freeman sebagai laki-laki ramah, menggugah, dan penuh kebijaksanaan sangat membantunya menonjolkan sosok Mandela. Sangat nyaman melihat Freeman sebagai Mandela berbicara dengan suara patah-patah, berjalan dengan santai tetapi penuh wibawa, dan sesekali melontarkan candaan kepada orang-orang di sekelilingnya. Berbicara tentang suara, saya sangat sangat sangat suka dengan kedalaman suara Freeman saat ia melantunkan baris-baris Invictus. Jika sebelumnya saya sebut film ini kurang dramatis, itu karena salah satu dari sedikit drama film ini hanya ada pada suara Freeman tersebut. Suara tersebut sangat mudah membuat orang terenyuh (tidak heran mengapa ia dipilih menjadi narator kampanye marriage equality karena suaranya yang "sangat manusiawi" ini). Sementara untuk Damon, saya tidak percaya melihat gempalnya otot yang memenuhi sekujur tubuhnya sebagai Pienaar. Padahal sebelumnya dalam The Informant! (2009) Damon harus diet ketat guna memerankan Mark Whitacre yang ramping.

Menutup tulisan ini, saya ingin mengekspresikan ketidakpercayaan saya bahwa Invictus lahir dari tangan seorang sutradara yang satu tahun sebelumnya mempersembahkan sebuah karya yang sangat intriguing, Changeling (2008). Saya tidak tahu entah ke mana semua kesempurnaan, naluri tajam, dan kreativitas Eastwood saat menangani proyek ini. Jika Anda ingin mendengar dialog-dialog indah yang penuh dengan hiasan kata-kata penggerak hati, Invictus adalah jawabannya. Tetapi saya justru sangat berharap Mandela sendiri tidak pernah menyaksikan film ini seumur hidupnya karena ia terlalu membumi untuk menonton gambaran dirinya yang terlalu sempurna dan suci. Mandela adalah sosok besar yang akan selalu dirindukan, because he is the captain of many souls. Namun bagi saya menonton biografinya dalam Invictus tidak akan meninggalkan kesan mendalam. It's unpleasant, 2.5 stars out of  5.



Watch this if you liked:

The Blind Side (2009)

Director: John Lee Hancock
Stars: Quinton Aaron, Sandra Bullock, Tim McGraw
Genre: Biography, Drama, Sport
Runtime: 129 minutes











Goodbye Bafana (2007)

Director: Billie August
Stars: Joseph Fiennes, Dennis Haysbert, Diane Kruger
Genre: Biography, Drama, History
Runtime: 118 minutes











Tidak ada komentar:

Posting Komentar