Minggu, 30 Desember 2012

Collateral: Fight Against The Lost Soul

Saya selalu percaya bahwa setiap manusia dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan suci, polos, dan tak berdosa. Tantangan, rintangan, godaan, dan khilaf di sepanjang perjalanan hiduplah yang dapat membelokkan kesucian manusia dan menciptakan jenis manusia lain yang sama sekali berbeda, manusia “jahat”. Bagi saya, orang-orang jahat itu adalah manusia yang kehilangan jiwa mereka, tersesat dalam gemerlap dunia fana. Mereka melihat suatu realitas dari sudut pandang yang berbeda dari kebanyakan orang, sudut pandang tanpa jiwa dan hati nurani. Karena itulah bagi saya orang yang memiliki sifat jahat belum tentu dapat sepenuhnya dipesalahkan atas pebuatan mereka. Karakter penjahat seperti ini sangat dinamis dan dapat dieksplorasi lebih jauh lagi, sehingga banyak film thriller yang menciptakan karakter demikian, salah satunya dalam Collateral (2004).

Dalam Collateral, penulis naskah Stuart Beattie menciptakan karakter Vincent (Tom Cruise), seorang pembunuh bayaran yang menganggap pekerjaannya hanyalah pekerjaan biasa, sama seperti orang-orang lain yang bekerja untuk mencari nafkah. Ia tidak peduli siapa korbannya atau apa yang mereka lakukan hingga mereka menjadi target pembunuhan. Tanpa belas kasihan, ia hanya memikirkan bagaimana cara membunuh yang efisien dan efektif, menerima bayaran atas pekerjaannya, dan bersenang-senang setelahnya. Kali ini, ia dipekerjakan oleh Felix (Javier Bardem) seorang mafia narkotika yang menghadapi ancaman tuntutan kriminal. Pekerjaannya kali ini tidak bisa dianggap enteng, karena Vincent harus membunuh lima orang yang akan memberatkan Felix dalam satu malam saja. Semua target pembunuhan berada di Los Angeles, sebuah kota yang menurut Vincent sangat individualis.

Menuju lokasi target pertama, Vincent menumpang taksi yang dikemudikan oleh supir ramah dan komunikatif, Max (Jamie Foxx). Sebelum mengantarkan Vincent, Max mendapat seorang penumpang yang berprofesi sebagai jaksa penuntut dan akan bermalam di sebuah hotel untuk mempersiapkan tuntutan esok hari. Jaksa penuntut itu adalah Annie (Jada Pinkett Smith), yang ternyata memiliki kehidupan yang cukup padat sehingga dengan tulus Max menyarankan Annie untuk “berlibur”. Obrolan santai dengan Max yang baik hati membuat Annie tanpa segan memberikan kartu namanya pada Max. Setelahnya, barulah Max mengantarkan Vincent yang juga merasa betah berlama-lama menumpang taksi Max karena pengetahuannya yang luas seputar Los Angeles, keramahan, dan kebersihan taksinya. Akhirnya dengan iming-iming US$600, Max menerima tawaran Vincent untuk menyewa taksinya hingga ia selesai melakukan “perjalanan bisnis” di lima tempat berbeda di Los Angeles. Namun, malam itu ternyata bukanlah malam biasa bagi Max, supir taksi yang telah 12 tahun berada di belakang kemudi dengan impian membuka bisnis limusin, sebab karena kesalahan kecil, ia menjadi saksi dari “bisnis” Vincent ketika sesosok mayat terjun bebas dari sebuah apartemen tepat di atas taksinya.

Tercebur ke dalam lumpur hidup, Max menemukan dirinya terjebak di bawah todongan pistol Vincent, pembunuh maniak yang bisa melakukan apa saja jika Max berani melawan. Maka, dimulailah petualangan dua orang yang baru saja bertemu, sama sekali asing mengarungi gemerlap malam kota individualis Los Angeles. Namun, mengikuti cara bekerja waktu, pada setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Begitu juga petualangan Vincent dan Max yang harus berakhir dengan getir, menutup perjumpaan dua orang asing yang mengabiskan gelapnya malam bersama.

Collateral bukanlah film criminal thriller biasa. Ada banyak ide dan tema yang dieksplor disini, terutama dari segi kepribadian dua tokoh utama, Max dan Vincent. Tokoh Max, misalnya mencerminkan realitas bahwa impian dan cita-cita dapat tergerus oleh waktu dan pemikiran si empunya impian dan cita-cita tersebut. Max, seorang supir taksi yang selalu dengan bangga mengatakan bahwa menjadi supir taksi hanyalah pekerjaans ementara, sebagai uapayanya mengumpulkan modal untuk membuka bisnis limusin. Max tidak menyadari bahwa apa yang ia sebut sementara itu kini telah berjalan selama 12 tahun, dan ia tidak tahu apakah ia memiliki keberanian memulai usaha limusin itu suatu hari nanti. Dengan satu kalimat yang menyentak Vincent menyadarkan Max, “Someday my dream will come. One night you'll wake up and you'll discover it never happened. It's all turned around on you and it never will. Suddenly you are old, didn't happened and it never will, 'cause you were never going to do it anyway.” Sementara itu Vincent adalah orang yang memiliki masa kecil yang memprihatinkan. Berkali-kali berganti orang tua asuh dan kembali ke orang ayah kandung yang tidak memiliki hubungan baik dengannya membuat Vincent jauh dari sentuhan kasih sayang dan sentuhan manusiawi orang-orang di sekitarnya.

Menggunakan struktur cerita tiga babak, sutradara berbakat Michael Mann (The Insider, The Aviator) fokus menceritakan hubungan dua orang yang dipertemukan secara kebetulan dan melakukan “petualangan” bersama di belantara hutan beton Los Angeles dalam satu malam penuh, dari awal hingga akhir cerita tanpa selingan berarti. Sehingga meskipun berbagai plot umum criminal thriller ada di sini, tetapi Mann tidak ingin membuang-buang waktu terlalu banyak untuk melanjutkan plot tersebut. Misalnya ketika polisi mulai terlibat dalam aksi Vincent dan Max yang tidak hanya membunuh tetapi juga ugal-ugalan di jalan, Mann sedapat mungkin memainkan karakter Max menjadi tokoh yang tidak lagi pasrah dan ingin menyerahkan kasus itu ke polisi, melainkan ingin mencegah target pembunuhan terakhir Vincent dengan tangannya sendiri.

Sepanjang film, Mann menunjukkan kemampuannya dalam mengolah dan menjaga tensi dan intrik bahkan daalam adegan atau momen-momen yang paling tenang sekalipun. Misalnya dalam scene di mana Vincent memaksa Max menjaga keteraturan rutinitasnya dengan mengunjungi ibunya, Ida (Irma P. Hall). Max yang menerima perintah itu dengan berat hati ternyata memiliki keberanian ketika urusan pribadinya dengan sang ibu diusik oleh orang asing semacam Vincent dan membuat adegan itu manis sekaligus menegangkan. Penonton tidak pernah tahu apa yang Vincent mampu dan akan perbuat pada Max akibat keberaniannya itu.

Beberapa adegan umum yang ditemukan dalam Collateral tentu saja adalah pertemuan klasik antara polisi, tokoh protagonis yang berada di bawah ancaman, dan tokoh antagonis yang dapat berbaut apa saja. Dalam adegan di mana taksi Max diberhentikan oleh dua orang polisi patroli yang mencurigai kaca depannya yang pecah, Max berpura-pura tenang dan memeras otaknya untuk menciptakan cerita karanga yang masuk akal. Vincent yang bersiap-siap dengan pistol di genggaman tangannya, waspada jika dua polisi itu berbuat macam-macam juga melengkapi daftar adegan pasaran yang data ditemukan di sini. Lucunya, adegan ini ditutup dengan kebetulan (dan keberuntungan) yang selalu menghampiri Max malam itu di mana dua polisi itu menerima panggilan dinas lain yang lebih penting sehingga Max dan Vincent terbebas situasi yang mengancam.

Berlawanan dengan scene pasaran di atas, Mann memamerkan kepiawaiannya dalam menyuguhkan adegan sederhana namun menawan pada pembuka cerita. Pertemuan antara Annie dan Max dibawakan dengan sangat expert, natural, dan memesona hingga jika kita memotong adegan ini, kita bisa mendapatkan satu film pendek bagus dengan sedikit tambahan twist di akhirnya. Obrolan Annie dan Max yang berawal agak canggung berubah perlahan-lahan menjadi percakapan yang catchy, connected, dan intens. Tidak banyak criminal thriller yang dibuka dengan percakapan yang sama sekali bukan basa-basi sebagaimaana biasa ditemukan dalam film sejenis, melainkan percakapan yang penuh dengan makna kehidupan.

Dalam adegan pembuka tersebut, Jada Pinkett Smith menjadi primadona. Meskipun hanya tampil pada sepuluh menit awal dan akhir cerita, menunjukkan performa dinamitnya sebagai Annie yang di awal cerita saja sudah meninggalkan impresi mendalam. Sebagai seorang jaksa penuntut yang hebat, ternyata ia kiga memiliki kesamaan dengan orang lain: takut memulai sesuatu sebelum mencoba, namun sekali berusaha menyelesaikan pekerjaannya dengan sunguh-sungguh, semua berjalan lancar. Tokoh Annie dibawakan dengan elegan dan charming, hingga bertahan di kepala setiap penonton selama cerita berjalan.

Tom Cruise juga patut mendapat pujian karena ia hampir selalu mengambil peran-peran protagonis, sedangkan dalam Collateral, ia menjadi Vincent, si pembunuh bayaran yang tidak memiliki belas kasih, mementingkan kepentingan sendiri, dan menganggap pekerjaannya normal. Ia membawakan karakter tersebut tepat seperti itu tanpa tambahan sentimen apapun yang membuatnya tampak seperti sosok yang berani menantang apapun, termasuk melawan hukum. Semua itu ia lakukan karena jiwanya yang tersesat, jiwa dingin yang tumbuh dari masa kecil yang suram.

Peran yang cukup baru tidak hanya didalami Tom Cruise, tetapi juga Jamie Foxx, sebab sebelum Collateral, ia lebih dikenal sebagai actor yang berorientasi komedi, sehingga pemilihan Foxx untuk karakter Max banyak menimbulkan pertanyaan sebelumnya. Namun, setelah film berjalan selama lima menit, penonton dapat membuktikan bahwa Foxx tidak dapat dipandnag sebelah mata karena ia memiliki versatilitas yang mumpuni. Sebagai Max, Foxx mampu mencitakan obrolan yang dinamis dengan tokoh Annie, mampu menunjukkan ketakutan dan ketidakberdayaan di hadapan Vincent, mampu memendam kekecewaan ketika usaha kaburnya berkali-kali digagalkan, dan mampu mengumpulkan keberanian di akhir cerita. Semua itu menjadikan nominasi Oscar dalam kategori Best Actor in a Supproting Role pantas dialamatkan padanya.

Sementara itu, peran-peran minor lain seperti Mark Ruffalo, Peter Berg, dan Bruce McGill sebenarnya bisa dihilangkan tanpa menrusak keseluruhan alur film, karena karakter mereka tidak berkembang dan tidak memiliki pengaruh berarti pada jalan cerita Max dan Vincent. Dengan dihilangkannya peran-peran tersebut, durasi film dapat dihemat hingga 20 menit tanpa cacat apapun dari segi alur cerita.

Dari segi sinematografi, dua kru sinematografer Dion Beebe dan Paul Cameron menghasilkan pekerjaan apik dengan membuat nuansa biru dalam adegan-adegan di dalam taksi dan yang paling saya salutkan adalah mereka berani keluar jalur umum bermain dengan kegelapan yang sesungguhnya pada adegan-adegan akhir film. Padahal, biasanya banyak sineas yang memilih menggunakan kegelapan semu dengan meenyorot cahaya temaram ke wajah akor. Suasana gelap gulita itu pada akhirnya akan menambah tensi adegan tersebut. Tata kamera dalam Collateral juga menambah pengalaman menonton semakin menegangkan. Untuk adegan-adegan di luar ruangan, Mann memilih menggunakan kamera digital High Definition (HD) yang membuat adegan tersebut somehow looks like documentary dan menghasilkan suasana malam kota yang detail. Di beberapa adegan lain, Mann mengganti kamera digital biasa, dn di adegan lainnya ia menggunakan kamera 35mm.

Terakhir, struktur tiga babak yang dikembangkan dalam Collateral senarnya menarik diikuti dengan tensi yang mampu membuat penonton gelisah di kursinya, tetapi twiat yang dipersembahkan diakhir justru terkesan biasa dan menghancurkan pengembangan cerita di awal dan pertengahan film. Dengan pengembangan cerita yang baik, seharusnya Collateral sangat pantas mendapatkan penutup yang keluar dari jalur utama. By the way, it’s amazing to see, 3.5 out of 5 stars. Ada yang punya komentar?


Watch this if you liked:


Director: Neil Jordans
Stars: Jodie Foster, Terrence Howard, Naveen Andrews
Genre: Drama, Thriller
Runtime: 122 minutes

Dengan keberanian yang dipaksakan, Erica memutuskan turun tangan mencari keadilan. Tetapi bukan sembarang keadilan yang dicarinya. Erica bukan hanya ingin mencari keadilan untuk dirinya sendiri, ia ingin setiap orang di kotanya tercinta, The Big Apple, mendapat keadilan juga. Ia ingin tak ada lagi orang-orang bejat berkeliaran bebas di jalanan menggentayangi masyarakat...

Léon: The Professional (1994)

Director: Luc Besson
Stars: Jean Reno, Gary Oldman, Natalie Portman
Genre: Drama, Thriller
Runtime: 110 minutes

Kamis, 27 Desember 2012

What's Eating Gilbert Grape?: How Much Sacrifice Does Family Demand?

Setiap orang memiliki keinginan atau impian untuk menjadi atau melakukan sesuatu. Ya, setiap orang tanpa terkecuali, dari bayi yang baru lahir hingga lansia yang menunggu ajal memiliki keinginan pribadi. Sudah menjadi sifat dasar mausia yang tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki. Ketika satu keinginan terwujud, timbul keinginan lain, dan yang lainnya lagi, begitu seterusnya. Andai saja manusia memiliki semua sumber daya untuk mengabulkan semua keinginannya, maka tidak akan ada orang yang sedih di dunia ini. Sayangnya, kenyataan mengatakan lain. Keinginan dan impian setiap orang kadang kala memang terbentur dengan situasi dan kondisi lingkungan sekitar, termasuk keluarga. Ketika masih kecil, keluarga selalu memberikan yang terbaik untuk kita. Keluarga memberikan perhatian, limpahan materi, dan pendidikan bagi setiap anggotanya. Namun, ketika beranjak dewasa, pada umumnya seseorang memiliki keinginan dan impian yang harus dicapainya sendiri dengan merasakan berbagai pengalaman baru. Maka, posisi keluarga mulai bergeser perlahan demi perlahan. Namun kembali lagi, semua itu akan tergantung pada situasi dan kondisi yang ada. Apa yang akan Anda lakukan ketika beranjak dewasa (dan semua orang tahu inilah saatnya mencicipi manis getirnya dunia), tetapi keluarga membutuhkan kehadiran dan bantuan Anda? Apakah Anda akan membantu keluarga atau memilih kepentingan pribadi? Pilihan hidup yang berat seperti itu menjadi tema utama dalam What's Eating Gilbert Grape (1993).

Bagi Gilbert Grape (Johnny Depp), dengan berat hati ia memilih untuk tetap tinggal bersama keluarganya di sebuah kota kecil dan sunyi, Endora. Seperti yang ia deskripsikan di awal-awal film, "It's a town where nothing much ever happens, and nothing much ever will..." Tetapi ia tak punya pilihan lain. Ia tetap bertahan tinggal di kota itu karena keluarganya membutuhkan seorang pencari nafkah, pelindung keluarga, penjaga adik, dan sebagai pengganti kehadiran sosok ayah. Keluarga Gilbert memang bukanlah keluarga yang memiliki segalanya. Keluarga ini menyimpan satu kisah pilu ketika sang kepala keluarga ditemukan tewas gantung diri di ruang bawah tanah. Setiap anggota keluarga Grape dirundung duka akibat peristiwa itu, tetapi tampaknya beban terberat harus dipikul oleh sang ibu, Bonnie (Darlene Cates). Beban berat mengidupi lima anak, ditambah anak terakhirnya Arnie (Leonardo DiCaprio) menderita gangguan mental (dan fisik sepertinya) membuat Bonnie putus asa dan menemukan pelarian dari hidupnya pada makanan hingga ia berubah dari wanita cantik menjadi wanita obesitas yang menjadi lelucon kota kecil itu. Maka, Gilbert kemudian tumbuh menjadi pria dewasa yang penuh tanggung jawab, meski seringkali ia merasakan titik terjenuh menghadapi keluarganya. Ia sayang ibunya, dua adik perempuannya Amy (Laura Harrington) dan Ellen (Mary Kate Schellhardt), dan tentu Arnie. Namun, terkadang ia kesal pada Bonnie yang selalu membela Arnie tanpa mau tahu keinginannya, pada Ellen yang selalu membantahnya, atau pada Arnie yang karena kepolosannya selalu merepotkan. Gilbert seolah mempertanyakan how much sacrifice does family demand?

Hari-hari Gilbert dihabiskan dengan mengurus Arnie dan bekerja di Lamson's Grocery, sebuah tempat belanja yang mulai ditinggalkan pelanggannya. Dalam setiap kegiatan Gilbert, Arnie selalu ikut sehingga mereka dua menjadi sangat dekat. Ada satu ritual tahunan yang mereka berdua lakukan, yaitu menunggu di pinggir jalan masuk kota dan melihat iringan kendaraan para pengelana yang melewati Endora atau singgah sejenak di kota kecil itu. Salah satu pengelana yang singgah itu adalah Becky (Juliette Lewis). Gadis inilah yang memikat hati Gilbert dan membuatnya sedih ketika Becky akan pergi melanjutkan perjalanannya. Sebelumnya, ia tak pernah merasakan cinta yang benar-benar tulus karena ia hanya pernah menjalin hubungan gelap dengan istri seorang pengusaha asuransi, Betty Carver (Mary Steenburgen). Gilbert hanya menginginkan kesenangan dari Betty, bukan cinta. Ia pun sering merasa takut jika hubungan gelapnya itu diketahui oleh Mr. Carver (Kevin Tighe), salah satu orang berpengaruh di kota kecil itu. Gilbert menjalani kehidupannya tanpa tujuan, sebab yang ia tahu hanyalah ia harus mengurus keluarganya. Ia tidak memiliki cita-cita atau masa depan yang berlebihan. Ketika Becky menanyakan apa yang diinginkan Gilbert, dengan sederhana Gilbert hanya menginginkan dirinya menjadi orang yang lebih baik.

Hidup menjadi sangat berat dan rumit bagi Gilbert ketika kewajibannya sebagai anak, kakak, pencari nafkah, dan pengganti ayah berbenturan dengan keinginannya mengikuti jejak gadis terkasihnya, Becky untuk pergi berkelana. Ada rasa iri di dalam hati Gilbert pada Becky. Semua itu masih harus ditambah dengan masalah ibunya, yang selalu menjadi olok-olok warga hingga ia tak mau keluar rumah dan menemui orang lain selama tujuh tahun terakhir. Bahkan, Bonnie sempat ragu mengabulkan permintaan Gilbert yang ingin memperkenalkan Becky sebagai kekasihnya.

Di awal-awal film, Gilbert digambarkan sebagai sosok yang pasrah dan menerima keadaan hidupnya. Ia membiarkan dirinya terbawa dalam jerat cinta terlarang dengan Betty meski hubungan itu berisiko. Gilbert dengan susah payah menjaga Arnie agar tidak membuat keonaran. Ia membiarkan Bonnie menjadi bahan tertawaan warga sekitar dan anak-anak yang penasaran melihat ukuran tubuh seorang wanita obesitas. Gilbert bahkan bersikap dingin ketika Becky akan pergi meninggalkan Endora. Namun sebuah titik balik mnghampirinya ketika Bonnie berbicara dari hati ke hati dengan Gilbert betapa merepotkan dirinya, betapa memalukan dirinya, dan betapa ia membutuhkan Gilbert. Bagaikan pecut, kata-kata Bonnie itu menyadarkannya untuk selalu menjaga dan merawat keluarganya. Ia tak ingin menjadi seperti ayahnya yang menghilang dan tiba-tiba ditemukan tewas gantung diri karena ia ingin selalu ada untuk keluarganya. Akhirnya, apa yang tersirat dari judul film ini, pun terkuak, yaitu bahwa Gilbert membutuhkan cinta yang dapat mengubah sudut pandangnya bahwa dirinya memerlukan perubahan, menatap masa depan, dan memasang cita-cita demi mencapai kebahagiaan.

Sutradara Lasse Hallström (Chocolat, The Cider House Rules) menggambarkan kehidupan keluarga Grape terkotak-kotak dan berpola. Bonnie sebagai ibu rumah tangga yang hanya bisa duduk di ruang televisi karena bobotnya tak memungkinkan untuk banyak bergerak. Sudah bertahun-tahun Bonnie hanyak tinggal di rumah, tidak mau keluar dan menemui orang karena ia malu dan takut diejek. Ia selalu mengulang kata "disappear", sebuah kata yang menimbulkan efek traumatis, karena suaminya menghilang sebelum ditemukan gantung diri. Anak-anak Bonnie juga memiliki pola mereka masing-masing: Amy mengurus kebutuhan rumah tangga, Gilbert dan Ellen mengurus Arnie, Gilbert mencari nafkah dan mengurus perbaikan-perbaikan rumah tua mereka. Aktivitas keluarga Grape pun digambarkan berulang-ulang, mulai dari Arnie yang berkali-kali memanjat menara air kota dan menimbulkan kehebohan di tengah kota yang langka akan hiburan tersebut, Amy dan Ellen bersama-sama menggotong meja makan ke ruang televisi setiap keluarga ini akan makan malam, dan Gilbert yang berkali-kali mengantarkan pesanan belanja pelanggan Lamson's Grocery.

Sementara itu, dari segi tata kamera, Hallström beberapa kali mengambil gambar dari kejauhan, seperti saat Mr. Carver mengomeli kedua putranya sementara istrinya Betty menyatakan cinta pada Gilbert serta pada saat Arnie berlari menyeruak dari dalam ruma ke luar sambil menangis setelah melihat Bonnie yang meninggal. Pengambilan gambar dari jauh tersebut menimbulkan efek dramatis yang jauh lebih dalam, sebab penonton dapat melihat kondisi sekitar dengan lebih luas dan mengetahui setiap perilaku tokoh yang tertangkap kamera.

Namun, Hallström kemudian memmecahkan segala keteraturan dan pengulangan tersebut dengan cinta. Cinta, seperti biasa, selalu menjadi katalis kebekuan dan kekakuan. Setelah Gilbert memperkenalkan Becky pada Bonnie, Bonnie dengan berani mencoba menaiki tangga dan berbaring di kamarnya sendiri, meninggalkan kebiasaannya yang tak mau pindah dari depan televisi (tentunya juga meninggalkan kebiasaan memindahkan meja makan). Ketika Betty melihat Gilbert menemukan tambatan hati pada Becky, ia merelakan Gilbert dan pindah ke luar kota, membuat Gilbert berhenti mengantarkan pesanan belanja ke keluarga Carver, dan ketika Bonnie tanpa gentar berjuang membebaskan Arnie yang ditahan setelah memanjat menara air kota, Arnie berhenti melakukan kebiasaan buruknya itu. Hallström tak hanya memecahkan semua bentuk pola tetap di awal-awal film, tetapi ia bahkan membuat motif kontras pada jalan cerita setelah Gilbert menyadari bahwa cintanya pada Becky telah mengubah hidupnya. Motif kontras itu terlihat ketika Endora, kota kecil itu yang mulai menampakkan perubahan dengan hadirnya franchise Burger Barn yang menandakan geliat bisnis besar akan segera dimulai. Selain itu motif kontras juga dapat ditemukan ketika setelah perayaan ulang tahun Arnie ke-18 yang penuh suka cita, Bonnie ditemukan meninggal, membuat keluarga Grape merasakan kesedihan mendalam.

Dari segi akting, tak diragukan lagi pujian pertama pasti akan meluncur pada DiCaprio yang membuat penampilan jenius dalam debut film besarnya ini. Ia membawakan karakter Arnie yang mengalami keterbelakangan mental dengan sangat detil, mulai dari cara bicara, tersentum, tertawa, menangis, teriak, dan berjalan. DiCaprio dengan meyakinkan melipat bibirnya dan mencondongkan kepalanya ke atas atau ke samping ketika berbicara, membuat tokoh Arnie terlihat kesulitan berbicara. Ia juga menekuk pergelangan tangannya, memainkan jari, serta memainkan pitch suaranya ketika berteriak dan berbicara. Semua itu menjadikan penampilan yang memukau dan perkenalan brilian DiCaprio pada dunia. Untuk penampilannya ini, nominasi Oscar sebagai Best Supporting Actor memang sangat pantas diberikan. Mungkin banyak orang akan mengatakan pertama kali mengenal DiCaprio sebagai pria super romantis yang benasib tragis di kapal Titanic, tetapi saya mengenalnya pertama kali sebagai orang terbelakang hahaha... Dan bagi Anda yang ingin melihat Johnny Depp memerankan tokoh pria biasa tanpa makeup tebal, perilaku aneh, atau gaya bicara konyol, Anda bia melihatnya dalam film yang diadaptasi dari novel Peter Hedges ini sebagai pria biasa yang berpikir bahwa dirinya tidak memiliki masa depan, tetapi cinta mengubah pikirannya tersebut, sebuah penampilan yang cukup baik dari Depp.

Sinematografi film ini menurut saya juga memiliki kekuatan dalam mendukung keseluruhan jalan cerita. Dengan banyak memberikan pemandangan Kota Endora yang penuh dengan ladang (ooohhh have I told you how much I love fields?) yang luas, lahan pertanian yang menguning, danau dan yang paling utama: sunset yang berwarna jingga dan berkilauan, terlihat sangat indah dan menambah "rasa" ketika Gilbert menikmati sunset tersebut bersama Becky (scene ini menjadi favorit saya dalam film ini). Kondisi mendung juga digambarkan secara apik, apalagi ketika dikontraskan dengan adegan rumah yang terbakar, kemudia warna merah bara api terpantul di wajah-wajah Gilbert, Amy, Arnie, dan Ellen.

All in all, bagi saya What's Eating Gilbert Grape bukanlah sebuah film yang dapat dideskripsikan dengan satu kata atau bahkan satu kalimat, membuat saya berpikir bahwa film ini bukanlah film yang mudah untuk dijual, karena umumnya orang ingin menonton sesuatu yang dapat dengan mudah dideskripsikan garis besar cerita maupun nilai-nilai di dalamnya. Maka, tak heran jika film berdurasi 118 menit ini hanya mendapatkan US$10 juta (domestik AS) dari US$11 juta budget yang dikeluarkan. Namun, terkadang film yang bagus memang demikian, terlihat babak belur dari segi komersial, tetapi dari segi cerita sebenarnya memiliki kekuatan karena mengangkat kehidupan sehari-hari, yang mungkin ketika penonton usai menyaksikannya akan menyadari beberapa kejadian nyata dari cerita itu. Kemampuan Lasse Hallström dalam memadukan cerita seperti itu dan dipadukan dengan drama, romansa, dan bahkan komedi menjadikan What's Eating Gilbert Grape film yang tak mudah dilupakan. It's great, 4 out of 5 stars. Ada yang punya komentar?


Watch this if you liked:
Forrest Gump (1994)

Director: Robert Zemeckis
Stars: Tom Hanks, Robin Wright, Gary Sinise
Genre: Drama, Romance
Runtime: 142 minutes

Leaving Las Vegas (1995)

Director: Mike Figgis
Stars: Nicolas Cage, Elisabeth Shue, Julian Sands
Genre: Drama, Romance
Runtime: 111 minutes

Senin, 24 Desember 2012

Ordinary People: Badai (Tak) Pasti Berlalu

Setiap orang memiliki cara masing-masing dalam menghadapi masalah dalam hidup. Beberapa orang dengan berani menghadapi masalah tersebut tanpa rasa gentar. Mereka menyadari bahwa dalam proses penyelesaian masalah yang terpenting adalah kemauan untuk segera mengatasinya dan mencegah agar masalah tersebut tidak berlarut-larut. Orang-orang seperti ini biasanya menyadari bahwa dalam proses menghadapi permasalahan hidup, mereka mungkin akan menemukan diri mereka dalam keadaan berdarah-darah, tetapi mereka menatap lurus ke depan dan terus berjuang membenahi hidup. Tetapi tidak semua orang memiliki keberanian demikian. Sebagian orang memilih melarikan diri dari masalah itu dengan berbagai cara, seperti berpura-berpura tetap gembira dan megubur masalahnya dalam-dalam tanpa pernah ada niat untuk menyelesaikannya, bahkan untuk sekedar membicarakannya. Pada akhirnya, setiap masalah dalam kehidupan seseorang akan menentukan cerita hidup selanjutnya.

Dalam ranah perfilman, topik sentimental mengenai bagimana manusia menghadapi permasalahan dalam kehidupan telah sering diangkat dalam berbagai drama, tetapi hanya sedikit yang berhasil membawa topik tersebut menjadi kisah luar biasa tentang bagaimana manusia harus beradaptasi dengan masalahnya sebagaimana dikisahkan Ordinary People (1980). Ordinary People merupakan drama keluarga yang merupakan adaptasi dari novel buah pena Judith Guest dengan judul yang sama dan ditranskripsi oleh Alvin Sargent. Film ini mejadi debut penyutradaraan Robert Redford (Quiz Show, Butch Cassidy and the Sundance Kid), aktor yang dikenal sebagai penggagas Sundance Film Festival. Ketika mendengar genre drama keluarga, mungkin sebagian orang (termasuk saya) akan merasa bosan karena merasa drama keluarga sama saja seperti opera sabun yang tayang rutin setiap hari di televisi. Namun setelah menonton Ordinary People, saya berpendapat bahwa drama keluarga tidak selamanya buruk, terutama bagi yang berhasil menggambarkan bagaimana proses perkembangan karakter-karakternya di sepanjang film. Para kritikus pun tampaknya memberikan pujian kepada film ini, terbukti dengan diraihnya Best Picture dalam gelaran Oscar 1981.



***

Ordinary People menyoroti kehidupan keluarga Jarrett, sebuah keluarga berkecukupan yang baru kehilangan seorang anggota keluarga dalam sebuah kecelakaan, yaitu anak pertama keluarga tersebut, Buck. Segala hal yang terjadi selanjutnya setelah kepergian Buck bagaikan mimpi buruk bagi keluarga ini (seems like Buck was this family's sweetheart). Setiap orang dalam keluarga ini berjuang menghadapi kehilangan dengan cara mereka masing-masing. Namun, tak ada yang berbuat lebih tragis dari Conrad (Timothy Hutton), adik Buck yang dengan putus asa melakukan percobaan bunuh diri karena merasa bersalah atas kematian kakaknya. Conrad merasa Buck tewas karena dirinya melepaskan pegangan tangan sang kakak ketika perahu yang dinaiki mereka berdua terbalik di tengah badai. Conrad tak pernah melepaskan rasa bersalahnya itu hingga ia harus menjalani perawatan intensif selama empat bulan di rumah sakit psikiatris.

Namun perawatan medis dari rumah sakit tersebut justru menjadi zona nyaman bagi Conrad, hingga ia merasa tak siap menghadapi dunia luar rumah sakit yang baginya tak lagi sama seperti dulu. Bagi Conrad, segalanya telah berubah. Sekolah, teman-teman, bahkan teman dekat wanitanya tidak lagi menyenangkan Conrad. Baginya, hanya rumah sakit tempat ia bebas berbagi cerita, baik dengan para perawat maupun dengan sahabat dekatnya selama di rumah sakit, Karen (Dinah Manoff). Beruntung, di saat-saat Conrad hampir putus asa menghadapi kehidupan "normal", ia bertemu dengan Dr. Berger (Judd Hirsch). Sebagian besar alur cerita dalam film ini pun mengisahkan sesi-sesi konsultasi antara Conrad dan Dr. Berger. Dr. Berger berusaha sekuat tenaga membantu Conrad menemukan pencerahan, yang pada akhirnya berbuah manis. Conrad yang murung, gelisah, dan selalu merasa bersalah menjadi Conrad yang penuh pengertian, dapat menerima kenyataan, dan memiliki keinginan untuk memulai kehidupan yang lebih baik.

Di sisi lain, Beth (Mary Tyler Moore) ibu Buck dan Conrad, lebih memilih memendam rasa sedih akan kehilangan putra sulungnya dengan terus memasang wajah dan sikap ceria serta berusaha sedapat mungkin menjalani kehidupan normal. Ia pergi menonton teater komedi, ia aktif bersosialisasi dengan teman-temannya, ia menghadiri pesta ulang tahun kerabat, ia pergi bermain golf, ia merancang rencana berlibur ke luar negeri. Pada intinya, ia ingin semua orang tahu bahwa dirinya baik-baik saja dan ia berpendapat semua orang juga harus seperti dirinya, tetap ceria dan meninggalkan kenangan pahit di masa lalu. Karena itulah, Beth seringkali berseberangan dengan suaminya, Calvin (Donald Sutherland) yang selalu ingin memastikan segalanya baik-baik saja, mencoba membenahi semua kekacauan yang disebabkan kehilangan Buck, dan yang paling utama memerhatikan perkembangan Conrad. Bagi Calvin, setelah percobaan bunuh diri, Conrad memerlukan proses penyembuhan trauma lebih lanjut.

Di awal-awal film, saya mendapati ada sesuatu yang ganjil antara ketiga tokoh ini. Salah satu keganjilan tersebut adalah hubungan antara Beth dan Conrad, yang entah mengapa terasa seperti berjarak meski mereka adalah ibu dan anak. Beth tidak pernah bertanya pada Conrad bagaimana perasaan atau keadaannya setelah kematian Buck. Beth seakan tidak peduli bahwa Conrad memerlukan pertolongan untuk menyembuhkan jiwanya yang terluka, perasaan bersalahnya yang tak kunjung henti, dan tak pernah bisa memaafkan dirinya. Satu hal yang paling diperhatikan Beth adalah permasalahan keluarga tidak boleh dibicarakan dengan orang lain, ia sangat menjaga privasi keluarga pada level tertinggi. Ia tak peduli Conrad melakukan perbuatan baik atau buruk, yang terpenting adalah jangan sampai orang lain mengetahui kekurangan keluarganya. Di tengah jarak antara ibu dan anak, Calvin berdiri mengambil posisi yang serba plin-plan. Calvin adalah sosok yang penuh perhatian pada Conrad sejak kecelakaan dan percobaan bunuh diri dalam keluarganya. Ia senantisa menanyakan kabar Conrad, mengikuti perkembangan kesehatannya, dan selalu mencoba menyenangkan hati Conrad. Namun di saat-saat lain ia kerap mengikuti keinginan istrinya, seperti pergi berlibur di saat Conrad justru membutuhkan perhatian lebih serta berhenti membicarakan masalah keluarga dengan orang lain.

Di akhir cerita, karakter Calvin dan Beth merupakan dua karakter yang perkembangannya paling drastis, dramatis, sekaligus tragis. Calvin sadar bahwa ia tak bisa selamanya berdiam diri dan duduk termenung di atas pagar, terbelah antara keinginannya membereskan semua kekacauan dengan keinginan Beth untuk berhenti menatap masa lalu (meski ia tak bisa menjalani masa kini dan masa yang akan datang seperti sedia kala). Maka, Calvin pun memberanikan diri melompati pagar itu dengan mempertanyakan cinta Beth pada dirinya untuk pertama kali dalam kehidupan pernikahan mereka. Di sisi lain, Beth ternyata hanyalah sebutir telur yang rentan pecah jika tak dijaga dengan baik. Jiwa Beth trbelah antara kenangan akan masa lalu, ketidakberdayaan untuk memberikan cintanya pada suami dan anaknya yang masih hidup, serta ambisinya untuk selalu terlihat prima. Dua karakter ini akhirnya meletuskan konflik pamungkas di ujung cerita dan semua isi hati dan pikiran mereka tercermin dengan sangat jelas dalam dialog yang diucapkan Calvin berikut:

"We would have been all right if there hadn't been any mess. But you can't handle mess. You need everything neat and easy. I don't know. Maybe you can't love anybody. It was so much Buck. When Buck died, it was like you buried all your love with him, and I don't understand that, I just don't know, I don't... maybe it wasn't even Buck; maybe it was just you. Maybe, finally, it was the best of you that you buried. But whatever it was... I don't know who you are. I don't know what we've been playing at. So I was crying. Because I don't know if I love you any more. And I don't know what I'm going to do without that."

Kisah tragis keluarga Jarrett seolah menggambarkan bahwa dalam hidup ini ada kondisi atau hal-hal yang tidak bisa kita ubah, terutama bila hal itu berkaitan dengan pendirian seseorang. Permasalahan yang seharusnya dapat diatasi secara bersama-sama justru bisa menjadi penyebab tercerai-berainya rantai kekerabatan antara orang-orang yang menghadapi masalah tersebut. Seperti telah diungkapkan di atas, setiap orang memiliki cara masing-masing dalam menghadapi masalah, membuat masalah yang ibarat badai dalam kehidupan seolah tak pasti berlalu, berlawanan dengan lagu dari Almarhum Chrisye.

***

Dari segi casting, Sutherland dan Tyler Moore memberikan penampilan apik mereka dalam memerankan dua sosok orangtua yang memendam permasalahan masing-masing. Suteherland dengan raut wajah yang hampir selalu berkerut kebingungan ketika menghadapi istrinya dan khawatir ketika melihat putranyapatut diberi acungan jempol. Sutherland menguasai perasaan gamang terdalam seorang ayah sekaligus kecewa ketika menyadari bahwa istrinya tak sanggup memberikan cintanya lagi. Semua perasaan itu tercetak dalam setiap senyum getir dan getar suara yang diucapkan tokoh Calvin. Tyler Moore juga patut diberikan apresiasi atas perannya sebagai seorang istri sekaligus ibu yang tidak mampu dan tidak mau mengubah sudut pandang akan cinta dan pengabdian hidup pada keluarganya. Menurut saya, mata menjadi sarana utama Tyler Moore dalam memainkan karakternya. Mata Tyler Moore ikut bercerita pada penonton dan mengungkapkan perasaan tokoh Beth tanpa harus berkata-kata, seperti dalam scene terakhir antara Calvin dan Beth. Tak ketinggalan, aktor muda Timothy Hutton memberikan performa luar biasa dalam debut film besarnya ini. Hutton berhasil membawakan sosok fragile Conrad setiap kali berhadapan dengan ayah dan ibunya di meja makan, di kamar tidur, di halaman rumah. Hutton berhasil pula menenggelamkan dirinya dalam pribadi Conrad yang siap terbuka bahkan hingga meledakkan emosinya di hadapan Dr. Berger, dan menunjukkan sikap tentatif terhadap kekasihnya. Semua itu menjadikan anugerah Oscar untuk Hutton sebagai Best Supporting Actor terasa pas. Bahkan, bagi saya pribadi karakter Conrad yang diperankan Hutton adalah karakter utama, sebab dari sudut pandanya, cerita ini dikisahkan.

Namun satu hal yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah apakah anugerah Oscar untuk Ordinary People sebagai Best Picure tahun 1980 merupakan keputusan tepat (sebagai informasi Raging Bull digadang-gadang menjadi kandidat terkuat kategori ini)? Saya rasa tidak sepenuhnya tepat, sebab bagi saya sebuah Best Picture paling tidak harus memiliki ide cerita yang "relevan" di masa yang akan datang dalam arti sebuah Best Picture seharusnya memiliki kemampuan untuk mempertahankan opini penonton di masa yang akan datang. Meski saya sadari bahwa opini bersifat personal, setidaknya nilai-nilai dalam film itu tidak luntur di makan waktu. Bila Ordinary People ditonton pada social setting masa kini, maka isu keluarga disfungsional bukan lagi merupakan fenomena baru, karena bisa jadi isu tersebut sudah basi mengingat eksistensi keluarga (khususnya keluarga inti) mulai terancam dengan globalisasi dan modernisasi. Secara keselruhuan bagi saya pribadi, film peraih empat Oscar ini memang sebuah film bagus, tetapi tidak bisa disejajarkan dengan film-film besar lainnya yang hingga saat ini (dan di masa yang akan datang) layak diberi gelar Best Picture. It's 3.5 out of 5 stars. Bagaimana menurut Anda, ada komentar?


Watch this if you liked:


Director: Mike Nichols
Stars: Natalie Portman, Jude Law, Clive Owen
Genre: Drama, Romance
Runtime: 104 minutes

Ketika akhirnya Dan mengaku pada Alice dan Ann berkata terus terang pada Larry perihal perselingkuhan mereka, kedua pasangan ini dilanda gucangan hebat dan berakhir pada hancurnya masing-masing pasangan, dengan cara yang berbeda. Alice pergi meninggalkan Dan dan bekerja sebagai penari telanjang, sementara Ann berpisah dengan Larry...

American Beauty (1999)

Director: Sam Mendes
Stars: Kevin Spacey, Annette Bening, Thora Birch
Genre: Drama
Runtime: 122 minutes

Rabu, 28 November 2012

Vozvrashchenie (The Return): Kembali Seperti Sediakala

Bertepatan dengan gelaran Europe on Screen yang sedang berlangsung dari tanggal 25 November hingga 1 Desember 2012, saya mencoba menepi dari arus lalu lintas film Hollywood yang begitu padat dengan kembali menonoton beberapa film Eropa yang belum saya ulas. Menonton film Eropa bagi saya bagaikan memasuki sebuah dunia lain yang berbeda dengan perfilman Hollywood. Bagi Anda pecinta film, pasti mengetahui bahwa sedikit banyak ada perbedaan yang cukup tajam antara produk sinema Eropa dengan Hollywood, terutama dari segi alur cerita. Perbedaan itu pada akhirnya akan berpengaruh pada pengalaman menonton yang berbeda pula. Well, berpindah sejenak untuk mengamati film Eropa untuk diri saya pribadi dapat memperkaya khazanah perfilman dunia, dan yang paling utama agar sudut pandang sebagai penikmat film tidak terpaku pada stereotype Hollywood.

Kali ini, film yang akan saya ulas adalah Возвращение/Vozvrashcheniye (judul internasional: The Return) (2003), sebuah film dari Negeri Beruang Merah, Rusia. The Return merupakan salah satu film terbaik yang pernah saya tonton. Saya ingat pertama kali menyaksikan film ini empat tahun lalu dan begitu memukau saya baik dari segi alur cerita, karakterisasi, maupun sinematografi. Ketika saya menonoton kembali film yang merupakan debut penyutradaraan Andrey Zvyagintsev ini, kesan memukau itu tidak pudar, malah saya merasa "pengalaman indah" yang dulu saya rasakan usai menonton film ini semakin bertambah, mempertegas bahwa The Return benar-benar merupakan sebuah mahakarya.

The Return mengisahkan kehidupan Andrey (Vladimir Garin) dan Ivan (Ivan Dobronravov), dua kakak-beradik yang tumbuh dalam keluarga yang tak pernah mengenal sosok seorang ayah. Selama ini, satu-satunya bukti yang menunjukkan bahwa mereka pernah memiliki ayah adalah dari sebuah foto usang yang memperlihatkan gambar mereka berdua sewaktu bayi dengan ayah dan ibu. Selebihnya, mereka tidak tahu sama sekali mengapa ayah mereka tidak tinggal bersama di rumah. Andrei dan Ivan hanya tinggal bersama ibu (Nataliya Vdovina) dan nenek (Galina Popova). Antara Andrey dan Ivan terjalin hubungan persaudaraan yang sangat erat. Secara keseluruhan, kehidupan Andrey dan Ivan berjalan normal seperti kehidupan anak-anak lain. Setidaknya, kondisi tersebut tetap bertahan hingga suatu hari ibu mereka mengabarkan bahwa ayah mereka ada di rumah.

Ayah Andrey dan Ivan (Konstantin Lavronenko) merupakan sosok pendiam namun memiliki wibawa dan disiplin yang luar biasa tegas dan kaku. Di mata Andrey dan Ivan, kombinasi pendiam, wibawa, dan disiplin ayah mereka menjadikannya seseorang yang misterius, tak tersentuh, dan terkesan otoriter. Penilaian Andrey dan Ivan memang tak lepas dari kebingungan yang terus menggerogoti pikiran dan hati mereka semenjak kedatangan sang ayah. Bayangkan, jika Anda bertemu dengan seseorang yang belum pernah Anda temui seumur hidup Anda, tetapi di sisi lain Anda harus menerima kenyataan bahwa ia adalah orang yang sangat dekat dengan Anda, tentu sedikit atau banyak akan muncul perasaan terguncang di benak, bukan? Perasaan terguncang Andrey dan Ivan menjadikan sikap mereka pada awal pertemuan dengan sang ayah menjadi kikuk.

Andrey dan Ivan yang masih terkejut akan kehadiran yang sangat tiba-tiba dari ayah yang tak pernah mereka kenal sebelumnya mulai belajar memahami sosok sang ayah melalui sebuah perjalanan liburan. Selama perjalanan itulah, hubungan ayah, Andrey, dan Ivan digambarkan secara perlahan. Seiring berjalannya waktu, Andrey yang memang terbiasa menjadi penurut dan penjilat mulai mendekatkan diri dengan sang ayah. Berbanding terbalik 360 derajat dari sikap Andrey, Ivan yang keras hati tetap menjaga jarak dan menaruh curiga terhadap ayahnya.

Perjalanan liburan dengan sang ayah ternyata dirasakan Ivan sangat mengecewakan. Alih-alih dibawa ke tempat pemancingan yang menjadi favorit Andrey dan Ivan, sang ayah malah membawa mereka ke sebuah pulau yang sangat asing, jauh, dan terpencil. Ditambah lagi, Ivan sangat benci sikap dingin, otoriter, dan kesunyian ayahnya. Karena itulah sepanjang pejalanan, sedapat mungkin Ivan berusaha menunjukkan rasa tidak senangnya dengan hampir tidak mematuhi semua perintah sang ayah, kecuali jika benar-benar dipaksa. Meskipun begitu, ayah mereka bukanlah tipe orang yang mudah dilawan. Selama sepekan, Andrey, Ivan, dan ayah mereka melakukan perjalanan bersama dan mengalami berbagai macam hal. Perjalanan itu ditutup dengan kejadian yang tak akan pernah dapat dilupakan, bahkan hingga mereka kembali.

Sepintas, menonton The Return seperti menyaksikan sebuah cerita yang penuh dengan lubang yang membingungkan dan tak diketahui seperti apa penutupnya. Satu hal yang pasti, Zvyagintsev sebagai sutradara ingin menunjukkan bahwa ada sesuatu di balik misteri kedatangan tiba-tiba sang ayah. Namun, Zvyagintsev yang juga ambil bagian dalam penulisan naskah dengan sangat elegan tidak memberikan penjelasan gamblang atau mengungkapkan petunjuk murahan yang membuat penonton mudah menebak jalan cerita film ini.

Alur cerita The Return dibuat agak lambat di awal. Zvyagintsev seperti ingin memaku penonton untuk terus fokus ke layar, bersama-sama dengan Andrey dan Ivan berspekulasi mengenai siapakah sebenarnya jati diri sang ayah, seperti apa masa lalunya, dan apakah ia memiliki maksud jahat terhadap kedua anaknya. Penonton akan berusaha keras merangkai jalinan petunjuk yang terdapat di sepanjang perjalanan tiga tokoh utama dalam film ini, mulai dari kebiasaan menelepon sang ayah yang misterius, karung yang dipanggul (tubuh manusia?), hingga peti yang digali di pulau.

Jika ingin berdiskusi sejenak, apakah ayah Andrey dan Ivan sosok yang jahat? Bagi saya tidak, dengan melihat tingkah laku sang ayah, saya justru menagkap bahwa ia hanyalah sosok ayah seperti ayah lainnya yang ingin dekat dengan kedua putranya. Ia sangat menyayangi mereka, meski ia tidak mampu menjelaskan ketidakhadirannya selama ini. Ia terlalu takut kehilangan kedua buah hatinya. Bila melihat adegan transaksi di pelabuhan, saya memang curiga ia memiliki pekerjaan yang tidak biasa, bahkan cenderung mencurigakan. Mungkin karena pekerjaanya irulah ia tidak berani mengungkapkan kisah hidupnya kepada dua anaknya. Namun,  setelah lama mengamati dan merenungkan jalan cerita film ini, saya justru juga menemukan pertanyaan yang akan sama sekali membuat The Return menjadi film yang lebih complicated: apakah kemunculan tia-tiba sang ayah merupakan khayalan atau imajinasi Andrey dan Ivan semata? Pertanyaan ini timbul secara tiba-tiba ketika di bagian akhir ketika saya melihat Ivan menemukan sebuah foto yang mirip dengan foto usang miliknya, hanya saja kali ini tak ada potret ayahnya di sana. Selain itu, setelah dicermati lebih jauh, judul The Return pun mengandung ambiguitas, tidak hanya berarti kepulangan sang ayah secara tiba-tiba, tetapi juga kembalinya Andrey dan Ivan dari perjalanan imajinatif mereka, dan kehidupan pun berjalan seperti sediakala? Well, apa pun itu,  teknik penulisan naskah Zvyagintsev ini sangat efektif untuk menjaga tensi dan ritme film mengingat penonton ditempatkan pada posisi yang sama dengan karakter Andrey dan Ivan, dua karakter yang melalui mata mereka, menceritakan kisah di film ini. Bagi saya ambiguitas cerita membuat The Return menjadi sebuah film yang tak akan lepas dari pikiran bahkan lama setelah kredit terakhir dumunculkan di layar.

Zvyagintsev juga memasukkan cukup banyak simbol di pertengahan film, terutama dari teknik pengambilan gambar. Simbol-simbol tersebut memiliki makna tersendiri yang dapat diinterpretasikan secara bebas oleh penonton. Misalnya Zvyagintsev seringkali mengambil gambar objek diam yang ditinggalkan oleh objek yang bergerak seperti tikungan jalan yang dilalui oleh mobil yang ditumpangi tiga karakter utama film ini. Tikungan jalan itu diperlihatkan dalam waktu yang cukup lama setelah mobil tersebut melintas. Saya menginterpretasikan Zvyagintsev ingin menujukkan makna kepergian. Seperti halnya mobil yang melintas menjauhi tikungan jalan yang tetap berada di tempatnya dan tak berubah sedikit pun, kepergian ayah Andrey dan Ivan dulu tidak meninggalkan bekas yang berarti. Andrey, Ivan, ibu, dan neneknya tetap hidup dan tinggal bersama. Mereka bahkan seakan-akan lupa bahwa dulu mereka memiliki satu anggota keluarga yang kemudian pergi dan tak pernah disangka akan kembali.

Di sepanjang film berdurasi 105 menit ini, hanya ada tiga karakter yang mendominasi seluruh jalan cerita: Andrey, Ivan, dan ayah mereka. Salah satu keunikan film ini adalah semua tokoh dewasa yang muncul tidak diketahui namanya. Bahkan, memang hanya ada dua nama yang disebut di keseluruhan film ini: Andrey dan Ivan. Perwatakan tiga karakter tersebut tidak digambarkan melalui dialog panjang lebar, melainkan melalui tindakan dan subtle nuances yang dtimbulkan dari hubungan ketiga karakter tersebut. Contohnya, sifat keras kepala Ivan digambarkan pada scene awal di mana ia takut untuk melompat ke laut dari ketinggian namun ia tidak mau turun melalui tangga dan dicap sebagai pengecut. Ia tetap bertahan di atas papan loncat dalam waktu yang sangat lama, bahkan hingga ibunya menjemput.

Sementara karakter ayah yang dominatif dan otoriter dalam film ini digambarkan melalui kalimat-kalimat dialog singkat yang diucapkannya serta tindakannya yang misterius dan tiba-tiba. Sang ayah seringkali memberikan perintah kepada Andrey dan Ivan tanpa memberitahu maksud perintahnya tersebut. Padahal bila dicermati, banyak di antara perintah sang ayah diberikan demi kebaikan Andrey dan Ivan. Selama perjalanan itu, Andrey dan Ivan juga berkali-kali dihadapkan pada perintah ayah mereka untuk melakukan kegiatan fisik yang cukup berat, seperti mendayung di tengah cuaca yang tak bersahabat ketika mesin perahu yang digunakan untuk menyeberang ke pulau rusak dan mendorong mobil yang mengalami selip ban. Bagi saya pribadi, karakter ayah lebih dapat dicermati melalui pandangan matanya. Sebagai contoh, ada satu scene di mana Ivan dan ayahnya sedang menunggu di dalam mobil sementara Andrey pergi mencari informasi lokasi restoran terdekat. Dalam scene itu, ada seorang wanita lewat di samping mobil mereka, dan sang ayah menatap lekat-lekat bokong dan punggung wanita tersebut melalui kaca spion samping dan depan. Scene itu sangat menunjukkan bahwa sebenarnya sang ayah memiliki karakter yang sangat bisa ditebak, just such an open book.

Kesempurnaan film ini didukung pula oleh kualitas dari penampilan aktor-aktornya. Saya memberikan kredit tertinggi untuk Dobronravov yang sangat berhasil memperlihatkan performa seorang anak yang memiliki luapan kemarahan luar biasa di dalam dirinya. Emosi yang ditujukkan Dobronravov merupakan emosi khas anak-anak yang sangat kentara, tak bisa ditutupi. He is cleverly and fully captures the helpless anger of a child. Dobronravov dapat membawakan karakter Ivan menjadi karakter yang menonjol.

Sementara itu Garin, meski tidak sebaik Dobronravov mampu membawakan karakter Andrey yang kelelahan karena melakukan berbagai kegiatan fisik dengan meyakinkan. Saya menduga, beberapa adegan yang melibatkan kegiatan fisik yang cukup berat seperti menyeret, menarik, mendorong, dan memanggul benar-benar dilakukan dengan barang bawaan yang berat dan Zvyagintsev menunggu sesaat untuk mengambil gambar adegan tersebut hingga sang aktor memperlihatkan kondisi lelah sungguhan. Dengan begitu, ekspresi dan gerak tubuh yang dihasilkan menjadi sangat meyakinkan. Sayang sekali bakat Garin tidak sempat diasah lagi di film lain mengingat beberapa hari sebelum perilisan internasional The Return, ia tewas tenggelam di danau yang tragisnya dipakai untuk pengambilan gambar film ini.

Terakhir, Lavronenko yang merupakan mantan tentara Soviet berhasil membawakan sosok ayah yang dingin, misterius, dan pendiam. Gaya bicaranya yang sering memerintah dengan singkat dan tegas seperti telah terlatih berkat pengalamannya sebagai tentara. Penampilan fisik Lavronenko yang besar dan tegap juga mendukung karakter ayah yang serba bisa dan dapat diandalkan.

Dari segi sinematografi, Zvyagintsev dengan cerdas menampilkan kesan suram, gelap, dan misterius di sepanjang film dengan penggunaan warna-warna gelap, yang didominasi abu-abu dan biru tua. Kesan redup juga ditampilkan melalui hujan yang sering turun dengan deras dan meminimalisasi efek cahaya matahari, menimbulkan visualisasi langit yang tak pernah cerah. Selain itu, di berbagai adegan Zvyagintsev juga mengambil gambar siluet atau bayangan tokoh dari kejauhan. Hanya di beberapa adegan saja Zvyagintsev menampilkan latar pemandangan (landscape) Rusia yang luas dan menakjubkan. Danau, laut, pantai, hutan, padang rumput, semua terlihat indah dan kontras dengan suasana yang dihadirkan cerita film ini.

Secara keseluruhan, saya tak ragu berpendapat bahwa seharusnya film ini tidak hanya berhenti hingga nominasi Best Foreign Language Film Golden Globe 2004 saja, tetapi juga sangat pantas menjadi nominator Best Foreign Language Film dalam ajang penghargaan film tertinggi sejagad, Oscar. Bahkan bagi saya yang tidak sepenuhnya dapat memecahkan teka-teki The Return, film ini tetap menjadi sebuah kepingan berharga yang sulit dilewatkan. Bagi Anda yang belum pernah menonton film ini, saya sangat merekomendasikannya. Sebuah debut jenius dari sutradara Andrey Zvyagintsev. It's outstanding, 5 out of 5 stars from me. Ada yang punya komentar?


Wach this if you liked:

Mulholland Drive (2001)

Director: David Lynch
Stars: Naomi Watts, Laura Harring, Justin Theroux
Genre: Drama, Mystery, Thriller
Runtime: 147 minutes


Donnie Darko (2001)

Director: Richard Kelly
Stars: Jake Gyllenhaal, Jena Malone and Mary McDonnell
Genre: Drama, Mystery, Sci-Fi
Runtime: 113 minutes






Selasa, 02 Oktober 2012

Kuliah Seribu Sentilan Pak Dirjen

Beberapa waktu lalu, kampus saya kedatangan satu tamu istimewa, yaitu Fuad Rahmany yang saat ini menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak. Kedatangannya menjadi istimewa sebab inilah kunjungan pertamanya ke Departemen Ilmu Admnistrasi FISIP UI, khususnya program studi Ilmu Administrasi Fiskal sejak ia dilantik pada 1 Januari 2011 silam. Pelantikannya diwarnai sejumlah isu yang siap menunggu untuk diselesaikan seperti masalah Gayus Tambunan, banyaknya area abu-abu dalam peraturan perpajakan, dan yang paling baru adalah ketika para ulama Nahdlatul Ulama (NU) mengancam akan memboikot pembayaran pajak bila hasil pajak masih terus dikorupsi. Maka, ketika beliau pertama kali berbicara mengenai kerinduannya akan mengajar di kampus, saya percaya bahwa hal itu tidak sepenuhnya benar. Kedatangan Pak Dirjen tentu juga akan menyinggung sedikit (atau banyak?) isu-isu tersebut dan memberikan klarifikasi dan pencitraan diri. Tentu saja melakukan hal tersebut bukanlah sesuatu yang haram, bahkan diperlukan bila memang selama ini masyarakat salah menanggapi isu-isu yang beredar.

Ketika mendapatkan selebaran informasi akan diadakan kuliah umum (studium generale) dari Dirjen Pajak, yang pertama kali menarik mata saya di selebaran itu adalah tema kuliahnya. Bukan karena dahsyat atau menggugahnya tema itu, sebaliknya tema tersebut saya rasa sangat umum, bahkan hampir seperti bahan sosialisasi dari petugas pajak kepada masyarakat awam tentang pajak, sebab temanya adalah "Peran Pajak dalam Pembangunan". Tentu kita semua tahu bahwa secara teoritis pajak memang memainkan peran dalam pembangunan sebuah negara. Hanya saja, dalam tataran implementasi, peran tersebut masih jauh dari yang diharapkan karena banyaknya "lubang" yang menghambat suksesnya pajak menjadi tunlang punggung pembangunan negara.

Namun, beruntunglah semua peserta kuliah umum itu sebab sebelum Pak Dirjen memberikan kuliah, tentu sebagaimana acara formal lainnya ada kata sambutan (keynote speech) yang saat itu disampaikan oleh Prof. dr. Irfan Ridwan Maksum. Dalam sambutannya itu, Prof. Irfan menyinggung berbagai problema yang dihadapi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dan berharap agar Pak Dirjen mau berbagi pengalamannya dalam menghadapi berbagai masalah pelik yang menyangkut lingkup kerjanya. Nah, saya pikir klop lah harapan saya dengan sambutan Prof. Irfan ini, semoga Pak Dirjen tidak hanya membahas berbagai pengetahuan dasar perpajakan saja, tetapi juga membahas masalah-masalah yang ditemukan di lapangan.

Ketika kuliah berlangsung, efek sambutan Prof. Irfan mulai terasa. Pak Dirjen hanya sedikit menjelaskan beberapa bahan kuliah yang dituangkan dalam bentuk presentasi dan lebih banyak mengeluarkan jurus "seribu sentilan" saat beliau menceritakan pengalamannya menjadi Dirjen Pajak hingga saat ini. Saya menyebutnya jurus seribu sentilan karena dalam menceritakan pengalamannya, Pak Dirjen senantiasa berusaha membuat peserta kuliah yakin akan performa bagus dari DJP dengan sedikit mengubah sudut pandang berpikir kita selama ini. Selain itu, ada cukup banyak pihak yang disentil Pak Dirjen dalam kuliahnya pagi itu.

Pertama, Pak Dirjen menyinggung masalah kepatuhan membayar pajak dari masyarakat menengah ke atas. Beliau bercerita bahwa ada banyak masyarakat berkecukupan (bahkan lebih) yang tidak mau membayar pajak dengan berbagai alasan yang "konyol" seperti jalan di depan rumah yang belum dibuat. Menurut saya, mungkin ada benarnya apa kata Pak Dirjen ini yang menyatakan bahwa masyarakat menegah ke atas kurang patuh dalam membayar pajak, tetapi tentu saja alasannya bisa beragam. Mungkin saja mereka tidak yakin akan transparansi administrasi pajak, apalagi muncul kasus-kasus pegawai pajak yang nakal yang tidak sepenuhnya dipahami masyarakat. Selain itu, Pak Dirjen juga mengeluhkan tindakan masyarakat mampu yang ikut mengonsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, sedangkan BBM itu disubsidi dari pajak, dan itu tadi, masyarakat menengah ke atas seperti ogah-ogahan membayar pajak. Hasilnya, kata Pak Dirjen, tax ratio Indonesia masih jauh di bawah negara-negara lain, termasuk negara tetangga kita, Singapura yang berhasil mendongkrak tax ratio hingga level 18%.

Kemudian Pak Dirjen juga menanggapi isu NU yang mengancam akan memboikot bayar pajak bila masih ada pajak yang dikorupsi. Menurutnya, ancaman itu sangat tidak berdasar, sebab apajak adalah kesepakatan bersama antara negara dengan rakyat yang dutangkan dalam bentuk Undang-Undang (UU). Pembuatan UU itu melibatkan rakyat juga, yaitu perwakilan-perwakilan (representation) yang dianggap dapat mengakomodasi aspirasi rakyat. Jadi ketika ada yang mengancam memboikot bayar pajak tentu saja itu berarti melanggar kesepakatan bersama. Selain itu, Pak Dirjen mengatakan bahwa bila tak ada pajak, maka penyelenggaraan negara tidak dapat dilakukan karena tidak ada sumber pendanaannya. Secara ekstrem dapat dikatakan jika tidak ada pajak, maka tidak akan ada negara.

Isu batalnya kenaikan harga BBM juga disinggung Pak Dirjen. Kali ini, beliau menyentil mahasiswa yang beberapa waktu lalu gencar melakukan kasi demo di jalan untuk menentang naiknya harga BBM. Menurut Pak Dirjen, akibat batalnya kenaikan BBM tersebut, negara terpaksa harus menanggung beban sibsidi yang dirasa amat berat, sehingga membuat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Untuk menutupi defisit itu, negara melakukan pinjaman (utang) yang tentunya menambah jumalh utang negara.

Pak Dirjen juga mengecam banyaknya perusahaan fiktif yang beredar luas di masyarakat. Menurut beliau, banyak di antara perusahaan fiktif itu mengajukan permohonan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dengan menjadi PKP, tentu saja mereka dapat dengan bebas mengkreditkan beban Pajak Pertambahan Nilai (PPN), padahal perusahaan mereka adalah perusahaan fiktif yang tidak memiliki kegiatan bisnis. Selain masalah perusahaan fiktif, saat ini bayak pula terjadi kasus pembuatan faktur pajak palsu. Dengan bayaknya faktur pajak palsu, banyak pengusaha yang mendapatkan Pajak Masukan (PM) yang lebih besar, dan ujung-ujungnya meminta restitusi. Jika sudah begitu, tindakan itu dapat digolongkan sebagai pencurian uang negara.

Semakin siang, sentilan Pak Dirjen semakin seru. Masyarakat umum pun tak lepas dari sentilan Pak Dirjen. Menurutnya, selama ini masyarakat Indonesia sering terbawa media yang lebih banyak memberikan hal-hal buruk seputar DJP. Padahal, adanya kasus seperti Gayus itu menurut Pak Dirjen adalah pertanda bagus, dalam artian bahwa oknum-oknum seperti itu mulai ketahuan dan ditindak, tidak seperti dulu di mana proses hukumnya mandul. Tetapi menurut saya, tentu tidak tepat mengatakan bahwa adanya kasus itu menjadi bagus, sebab hal itu justru menunjukkan kelemahan DJP dalam membina organisasi dan stafnya. Untuk mereka yang termakan isu pemboikotan bayar pajak, Pak Dirjen mengatakan bahwa pada akhirnya yang diuntungkan adalah para pengusaha besar, padahal merekalah yang menempati porsi terbesar pembayar pajak di Indonesia. Sehingga, menurut Pak Dirjen sebenarnya "Gayus-gayus" itu lebih banyak ada di masyarakat, termasuk mereka yang memengaruhi orang untuk tidak membayar pajak. Sedikit rasa tersinggung terbersit dalam hati saya. Kesalahan ada di tubuh DJP lantas mengapa masyarakat yang disalahkan? Jalan terbaik tentunya adalah introspeksi diri dari masing-masing pihak.

Dalam kuliahnya Pak Dirjen juga memberikan wejangan kepada kami semua, peserta kuliah yang mungkin di masa depan akan menjdai fiskus. Pak Dirjen menyampaikan bahwa saat ini di DJP sedang digalakkan program pengawasan horizontal atau sesama staf agar tidak lagi terjadi kasus seperti Gayus. Pak Dirjen bercerita bahwa ada seorang teman Gayus yang ikut dihukum karena ia mengetahui tindak-tanduk Gayus, tetapi tidak melaporkan ke atasannya meskipun ia menolak bekerja sama. Setelah memberikan wejangan ini, tak lama kemudia kuliah ditutup dengan pemberian kenang-kenangan. Pada akhirnya, saya merasa kuliah umum ini lebih seperti klarifikasi terbuka yang bersifat defensif dari DJP. Pak Dirjen sendiri pun mengakui, "Kalau bukan Dirjennya yang membela, siapa lagi yang mau membela DJP?" Tentu saja, seperti telah saya tulis di atas, tak ada salahnya melakukan klarifikasi dan pencitraan diri, terutama menyangkut masalah yang belum sepenuhnya dipahami masyarakat. 


Senin, 01 Oktober 2012

Sherlock Holmes: The Detective in New Look

Visualisasi detektif termasyhur karya Sir Arthur Conan Doyle memang telah sering dibuat. Tetapi kisah Sherlock Holmes (2009) garapan sutradara berdarah Inggris Guy Ritchie (Revolver, RocknRolla) menyajikan tampilan segar dibanding film-film sebelumnya. Selama ini, Ritchie dikenal sebagai sutradara idealis yang selalu mengedepankan kualitas cerita dibanding glamornya bintang atau efek-efek visual yang sekarang menjadi salah satu jualan utama sineas Hollywood. Lihat saja karya-karya sebelumnya yang mendapatkan tanggapan positif dari para kritikus seperti Lock, Stock, and Two Smoking Barrels (1998) dan Snatch (2000). Namun, karena idealismenya itu, Ritchie sering dianggap sutradara kelas dua dari segi komersial, sebab kebanyakan filmnya memperlihatkan prestasi biasa-biasa saja di tangga box office. Meski begitu, nampaknya Warner Bros memiliki pertimbangan lain. Resume Ritchie yang sering menangani film-film petualangan dan laga menjadi salah satu petimbangan tepat untuk menempatkan Ritchie di kursi sutradara. Penggunaan Robert Downey, Jr. yang namanya kembali beredar di layar lebar setelah lama absen dari percaturan dunia hiburan akibat ketergantungannya pada narkotika juga diyakini sebagai salah satu kunci sukses Sherlock Holmes.

Berstatus sebagai film berbujet tertinggi sang sutradara, Sherlock Holmes memberikan penonton tampilan detektif yang dikenal beralamat di Baker Street 221B itu yang nyaris seluruhnya baru. Dalam film ini, tak ada lagi sosok Holmes yang menggunakan jaket kulit rusa, tak ada lagi sikap elegan yang sempurna, tak ada lagi pelayan gemuk yang selalu mematuhi perintah Holmes. Penonton seperti diperkenalkan pada sosok detektif lain yang lebih humoris, sedikit childish, dan yang pasti memiliki kemampuan nalar dan akal bulus yang tak tertandingi siapapun. Ciri lama yang masih melekat pada sosok Holmes yang baru ini adalah kegemarannya menghisap cangklong dan bermabuk-mabukan ketika sedang sepi job. Duet Holmes dengan sahabatnya, dr. Watson yang dikenal sebagai veteran perang semakin menambah seru ritme film ini. Ada nuansa kocak dari tingkah laku kedua tokoh utamanya, serius ketika Holmes memaparkan teknik-teknik bela diri dan logika sainsnya, dan tegang saat terjadi ledakan dan adu laga.

Film ini dibuka dengan adegan yang cukup agresif untuk sebuah permulaan, yaitu ketika Holmes (Downey, Jr.) dan Watson (Jude Law) berada dalam operasi penangkapan Lord Blackwood (Mark Strong), seorang buronan yang telah membunuh empat orang wanita dan diduga aksinya tersebut dilakukan untuk kepentingan ilmu sihir. Dalam operasi itu, Blackwood sedang melakukan ritual untuk menghabisi nyawa korban wanita kelimanya. Dengan segenap kemahiran dan ketangkasannya menghabisi lawan, Holmes dan Watson berhasil membekuk Blackwood, meski sebenarnya penangkapan itu mendahului rencana kepolisian yang dipimpin Inspector Lestrade (Eddie Marsan). Blackwood pun ditahan dan beberapa waktu kemudian menghadapi putusan hukum gantung. Namun, sebelum hukuman itu dijalankan, Blackwood memperingatkan Holmes bahwa kematiannya bukan akhir dari segalanya, masih akan ada tiga kematian misterius yang akan terjadi.

Peringatan sang pelaku kriminal terwujud ketika polisi menemukan bahwa makam Blackwood jebol dan mayat yang ada dalam peti mati bukanlah tubuh Blackwood, melainkan sosok kerdil yang belakangan diketahui bernama Reordan (Oran Gurel). Sebelum kejadian jebolnya makam tersebut, Holmes kedatangan klien spesial yang telah dikenalnya. Klien itu spesial bagi Holmes karena diam-diam ia menyimpan rasa kagum terhadap klien yang satu ini, yaitu Irene Adler (Rachel McAdams). Irene meminta bantuan Holmes mencari orang hilang yang ternyata adalah Reordan. Holmes yang mengetahui bahwa Adler adalah wanita licik dengan sekejap mengetahui bahwa Adler mencari Reordan bukan untuk dirinya, melainkan untuk orang lain, yaitu seorang profesor yang kemudian diketahui bernama Professor Moriarty. Siapakah Professor Moriarty ini dan apa hubungannya dengan Reordan dan Blackwood, penonton akan mendapatkan jawabannya di akhir film di mana Holmes berhasil memecahkan teka-teki bahwa ternyata Blackwood tidak mati saat dirinya digantung di hadapan publik.

Blackwood bersekongkol dengan petugas yang mengatur proses hukuman itu dan melakukan sejumlah trik ilmiah agar denyut nadinya berhenti. Selain itu, Holmes juga berhasil mendapatkan titik terang motif pembunuhan yang dilakukan Blackwood. Ternyata aksi kriminal Blackwood sama sekali tidak ada hubungannya dengan ritual mistis atau ilmu sihir apapun, melainkan nafsu untuk mendapatkan kekuasaan politik di Inggris, Amerika, dan dunia. Blackwood ternyata merupakan mantan anggota sebuah organisasi rahasia berbau mistis yang dikenal dengan sebutan Four Orders yang kemudian memberontak dan ingin menguasai organisasi itu dan memperalatnya demi tujuan pribadinya tadi, menguasai dunia. Para pemimpin Four Orders, yaitu Thomas Rotheram (James Fox) yang ternyata adalah ayah kandung Blackwood, duta besar Amerika Standish (William Hope), dan sekretaris organisasi itu, Lord Coward (Hans Matheson) meminta batuan Holmes untuk menangkap kembali Blackwood yang "bangkit dari kubur". Namun, permintaan mereka belum sempat terwujud ketika Rotheram dan Standish ditemukan mati dalam kondisi yang penuh teka-teki dan dihubung-hubungkan dengan pengaruh sihir Blackwood. Padahal semua itu hanyalah hasil kecerdasan Reordan yang bekerja untuk Blackwood dalam memanfaatkan sains dan membungkusnya dalam nuansa mistis. Beruntung, pada akhirnya Holmes berhasil memecahkan itu semua secara logis dan masuk akal.

Di sepanjang cerita, Holmes digambarkan sering kali bertingkah konyol dan kekanak-kanakan. Ia cemburu pada Watson yang telah menemukan Mary Morstan (Kelly Reilly), wanita pujaannya sehingga waktunya habis tersita oleh Mary. Downey, Jr. memerankan sosok Holmes yang konyol ini dengan apik. Terkadang ia menampilkan mimik muka polos seperti anak-anak, licik demi mendapat informasi, tetapi di waktu lain ia bisa serius ketika berpikir. Law juga berhasil memerankan Watson sebagai teman yang lebih bijaksana bagi Holmes, berwawasan luas dan berpengalaman sebagai veteran perang, meski tidak memiliki kemampuan menarik kesimpulan sebaik Holmes.

Hal yang mungkin agak mengganggu adalah sifat dan sikap childish Holmes dan Watson yang digambarkan dalam film ini justru hampir terkesan seakan-akan ada hubungan "spesial" di antara dua tokoh ini, sebab seringkali Watson diceritakan sangat perhatian terhadap Holmes (bahkan hingga ke urusan pribadi), dan Holmes sendiri cemburu ketika Watson sedang bersama Mary. Akibatnya, dua tokoh love interest di sini, yaitu Adler dan Mary kurang tereksplor. Peran mereka berdua dapat digantikan oleh wanita cantik manapun sebab mereka tidak memiliki karakter spesifik yang membedakan mereka dari tokoh lain. Mereka tidak memiliki peranan signifikan, bahkan untuk Mary ia hanya tampil beberapa kali dalam waktu yang cukup singkat.

Dari segi sinematografi, penonton disuguhkan sebuah latar Inggris abad 19 dengan tata warna yang didominasi oleh corak sephia dan gotik. Kehidupan sosial masyarakat Inggris zaman dulu sangat sukses divisualisasikan, mulai dari pemilihan kostum seperti gaun-gaun berpantalet, setelan mantel, topi, dan lain sebagainya hingga pada latar tempat di mana Tower Bridge masih dalam tahap konstruksi pembangunan. Semuanya terasa memanjakan mata. Untuk kerja cemerlang ini, Sherlock Holmes dinominasikan Oscar dalam kategori Best Achievement in Art Direction di samping Best Achievement in Music Written for Motion Pictures, Original Score untuk Hans Zimmer.

Secara keseluruhan, Sherlock Holmes berhasil menyajikan tontonan segar kepada penonton yang umumnya telah akrab dengan cerita detektif yang satu ini. Film ini juga berhasil mengubah sedikit image Ritchie sebagai sutradara yang tidak pernah sukses secara komersial, sebab terbukti dari peredarannya di seluruh dunia, Sherlock Holmes berhasil meraup pendapatan kotor sebesar $524,028,679, membuatnya sebagai film berpenghasilan terbesar sang sutradara, dan tentunya bagi rumah produksi, film ini berhasil membantu Warner Bros menemukan franchise baru yang menjanjikan. Meski pada saat pemutarannya harus bersaing dengan film-film kelas berat seperti Avatar, namun Sherlock Holmes memberikan pengalaman menonton tersendiri dan bagi saya pribadi akan merasa rugi jika melewatkan film yang satu ini. It's refreshing, 3.5 out of 5 stars for me. Ada yang punya komentar?


Wach this if you liked:

Sherlock Holmes: A Game of Shadows (2011)

Director: Guy Ritchie
Stars: Robert Downey Jr., Jude Law, Jared Harris
Genre: Action, Adventure
Runtime: 129 minutes


Secret Window (2004)

Director: David Koepp
Stars: Johnny Depp, Maria Bello, John Turturro
Genre: Mystery, Thriller
Runtime: 96 minutes