Selasa, 14 Mei 2013

Into the Wild: Don’t Leave in Anger

Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah artikel yang membahas pentingnya percaya bahwa segala sesuatu yang ada di kehidupan ini pasti terjadi karena suatu alasan (everything happens for a reason). Dalam artikel yang ditulis untuk website Oprah tersebut dijelaskan bahwa filsuf sekelas Aristoteles pun meyakini bahwa setiap pengalaman hidup yang terjadi akan mendesain “bentuk” diri seseorang, mendefinisikan siapa diri kita sebenarnya, dan bahkan dapat mencapai entelechy – istilah Aristoteles yang mengandung pengertian dorongan penting yang memotivasi dan menjadi panduan bagi seseorang untuk mencapai potensi tertinggi yang ada dalam dirinya. Karen Salmansohn, penulis artikel tersebut memberikan contoh bagaimana sebuah pohon ek dapat tumbuh menjadi besar dan kuat. Ketika terjadi badai besar yang mengancam eksistensi pohon ek, tumbuhan tersebut secara intuitif akan menguatkan setiap bagian pohon yang ada, dan setelahnya tanaman tersebut dapat memilih untuk terus menumbuhkan batang, cabang, dan ranting yang lebih kuat dan lebih kuat lagi guna menghadapi badai yang akan datang. Begitu pun dengan manusia, ia dapat memilih untuk terus menguatkan diri setelah sesuatu yang besar menimpa dirinya. Persitiwa putusnya hubungan dua orang yang berpacaran misalnya, dapat kita anggap lebih dari sekedar patah hati (breakdown), yaitu putus hubungan yang menyebabkan patah hati dan kemudian mendorong dirinya untuk melakukan suatu terobosan (breakthrough). Salmansohn menjelaskan Aristoteles pada akhirnya mencapai kesimpulan bahwa setiap pengalaman hidup manusia adalah sebuah tawaran akan keajaiban khusus yang dapat menguatkan diri seseorang dan mencapai entelechy. Legitimasi atas apa yang ditulis Salmansohn dalam artikelnya ini tampaknya dapat kita lihat dari pengalaman hidup Christopher McCandless yang difilmkan dalam Into the Wild (2007).

Into the Wild adalah proyek ambisius dari aktor yang dalam film ini duduk di kursi sutradara sekaligus penulis naskah, Sean Penn (The Indian Runner, The Pledge). Film yang merupakan biography picture atau biopic ini merupakan visualisasi dari buku non-fiksi buah pena Jon Krakauer yang mengulas pengalaman hidup Christopher “Chris” McCandless. Siapakah Christopher McCandless? Ia adalah pemuda yang kisah hidupnya telah menyentuh banyak orang (terutama setelah Krakauer menuangkannya dalam buku) karena dengan segala keberanian dan ketangguhan dirinya, ia rela meninggalkan semua urusan duniawi untuk kemudian berkelana mengarungi kehidupan liar dan merasakan hidup bersama alam. McCandless dikenal sebagai pemuda cerdas yang idealis. Perjalanannya menapaki alam yang cadas dimotivasi oleh pandangan dan prinsip hidupnya yang membenci segala bentuk penindasan, kemunafikan, dan keserakahan. Sebagian besar pandangan hidupnya itu dipengaruhi oleh beberapa sastrawan dan filsuf besar seperrti Leo Tolstoy, David Thoreau, Nikolai Gogol, dan Jack London. Namun, apakah ia benar-benar pemuda idealis yang sempurna?

Into the Wild mengisahkan pengalaman Chris – yang selama pengelanaannya memakai nama samaran Alexander Supertramp – dalam mengarungi keganasan alam liar. Dengan dipandu oleh narasi Carine McCandless (Jena Malone), adik perempuan Chris, penonton diajak mengikuti napak tilas pemuda lulusan Emory University tersebut dalam lima bab secara berturut-turut: Birth, Adolescence, Manhood, Family, dan Getting of Wisdom. Dalam Birth, dikisahkan bagaimana Chris memutuskan untuk pergi meninggalkan keluarganya dengan alasan melanjutkan studi di Harvard Law School, memberikan uang senilai US$24,000 untuk amal, mengendarai dan akhirnya menghancurkan mobil Datsun tua miliknya, dan pada akhirnya mengarungi alam liar. Keluarga yang penuh dengan ketidakbahagiaan adalah motivasi terbesar Chris untuk melakukan itu semua. Lebih tepatnya lagi, Chris muak dengan sifat dan sikap kedua orangtuanya, Walt (William Hurt) dan Billie (Marcia Gay Harden). Chris menganggap kedua orangtuanya penuh dengan dusta, tipu daya, arogan, dan selalu menggunakan kekayaan mereka dalam memandang dan mengukur segala hal. Korban paling nyata dari ketidakharmonisan rumah tangga itu adalah Chris dan Carine. Pada Adolescence, Chris mulai memupuk mimpi pergi ke Alaska untuk merasakan kebahagiaan menikmati alam liar. Dalam fase ini, ia menemukan bahwa birokrasi merupakan penghambat utama dalam sistem kemasyarakatan. Selain itu, ia menyadari betapa uang merupakan penghalang bagi kebebasan manusia. Ia memutuskan dan berusaha untuk melakukan perjalanan tanpa sepeser pun uang. Dari semua pengalamannya itu, poin penting perjalanan Chris pada tahap ini adalah ia sama sekali tidak dapat membayangkan jika dirinya memiliki kehidupan yang sama seperti orang lain: menjadi pekerja kerah putih setelah lulus dari universitas ternama, bersenang-senang bersama partner kerja dan kekasih, serta menikmati gelimang harta dan kekuasaan. Dalam Manhood, plot berpindah hampir sepenuhnya memperlihatkan pengalaman berburu Chris di Alaska. Ia belajar banyak hal tentang perburuan dan menemukan salah satu bencana terbesar dalam hidupnya ketika daging hasil buruannya membusuk. Sementara itu, Family menceritakan bagaimana Chris berupaya sedapat mungkin meredam hawa nafsu untuk mengikatkan dirinya pada hubungan berkomitmen bersama Tracy (Kristen Stewart) dan melawan keinginannya untuk kembali ke tengah hangatnya keluarga setelah ia merasakan kebaikan dua pasangan pengelana Rainey (Brian H. Dierker) dan Jan (Catherine Keener). Akhirnya, dalam Getting of Wisdom, seorang Christopher McCandless baru menyadari bahwa kebahagiaan hanya akan terasa jika dinikmati dalam kebersamaan. 

Sebagai penulis naskah, Sean Penn telah melakukan kerja luar biasa karena di samping melaksanakan tugas-tugas pembuat film, Penn juga harus menjadi seorang penyusun biografi. Berdasarkan sumber yang saya dapatkan, Penn hampir mengikuti sepenuhnya buku karangan Krakauer. Bahkan, Penn dikatakan telah berhasil menegaskan bagian-bagian penting buku tersebut, dan mengesampingkan hal-hal yang tidak diperlukan. Oleh karena itu, pada dasarnya saya tidak meragukan kemampuan Sean Penn dalam menulis naskah Into the Wild meskipun saya tidak mengetahui seperti apa buku Krakauer yang menjadi sumber cerita utama film ini. Apalagi, secara struktur film ini dibagi ke dalam sejumlah bab yang sebenarnya telah menunjukkan betapa Penn ingin tetap dekat dan asli sesuai dengan buku yang telah menjadi best seller tersebut. 

Hanya saja, keputusan Penn untuk tetap mengikuti buku Krakauer secara ketat tampaknya berdampak kurang baik pada durasi film yang dapat membuat (maaf) bokong penonton panas di kursinya. Selama 148 menit penonton disajikan keindahan sinematografi dan kisah yang menyentuh, namun juga disisipi cukup banyak adegan pengulangan yang menurut saya membuang-buang waktu. Sebut saja misalnya adegan yang berulang-ulang saat Chris duduk termenung, berdiri dalam keheningan, memanjat bebatuan terjal, dan mencari tumpangan. Sebenarnya dengan latar tempat, waktu, dan kejadian yang berubah-ubah adegan perlu dibuat seefektif mungkin agar penonton dapat tetap mengikuti dan mengingat semua latar dalam setiap adegan. Semua pengulangan itu menunjukkan struktur cerita yang kurang efektif. Mengapa Penn tidak memotong semua adegan itu dan menghasilkan film berdurasi sekitar 100 menit namun terjamin tidak ada adegan yang diulang berkali-kali? Into the Wild semakin memperkuat anggapan dan pertanyaan saya selama ini: apakah semua film biopic harus dibuat dengan durasi yang begitu panjang? 

Selain terganggu dengan durasi yang terlalu lama, saya juga merasa tidak nyaman dengan pendekatan dan sudut pandang yang diambil Penn (dan mungkin Krakauer) dalam mencitrakan pribadi Chris. Menurut saya, Penn terlalu berani mengambil risiko untuk menampilkan sosok Chris sebagai pemuda idealis yang selalu dapat diandalkan, disenangi setiap orang, meluncurkan kata-kata yang penuh makna dari mulutnya, pahlawan yang membebaskan diri dari segala kebobrokan manusia, dan bahkan lebih jauh lagi Penn terkesan mendorong pesona Chris agar tampak seperti orang suci (saint). Dalam satu dialog Rainey bertanya pada Chris, “You’re not Jesus, are you?” Tanpa mengecilkan atau bermaksud menjelek-jelekan Christopher McCandless, bagi saya Chris adalah seorang pemuda yang berani membuat suatu keputusan besar dalam hidupnya dan ia pun berani menanggung segala konsekuensi atas keputusannya tersebut, tidak kurang dan tidak lebih. 

Jujur saja, sebenarnya saya kurang simpatik kepada Chris. Ia pergi meninggalkan keluarganya yang ia anggap tidak mampu membangun keharmonisan rumah tangga. Namun, saya menganggap hal itu sebagai tindakan yang sangat egois. Sebagai seorang anak yang selama ini diajarkan nilai-nilai moral, saya selalu percaya bahwa seburuk apapun orang tua, tidak akan ada yang dapat mengubah status mereka sebagai orang tua kita. Dalam kasus Chris, Walt dan Billie bahkan sebenarnya memenuhi semua kebutuhan materi Chris dan Carine. Meski sebagai orang tua Walt dan Billie kurang berhasil menunjukkan dan menanamkan nilai-nilai kehidupan, namun tidak seharusnya Chris mencampakkan keluarga yang saya amat yakin mencintainya sepenuh hati. Kasih sayang dua orang tua Chris terasa kentara di akhir film ketika Walt, Billie, dan Carine selangkah demi selangkah menuju keputusasaan dalam mencari Chris. Tengok adegan ketika Walt duduk tersimpuh di jalan layaknya anak kecil yang tersesat, menahan kesedihan dan kehilangan putranya serta saat Billie pulang dari pasar, mengendarai mobilnya, dan berusaha mati-matian meyakinkan dirinya bahwa Chris masih hidup dan menjadi seorang petualang backpacker di luar sana. Walt dan Billie pun akhirnya tenggelam dalam penyesalan. Melihat besarnya cinta kedua orangtua Chris pada dirinya, saya merasa kalimat yang diucapkan Jan pada Chris di malam yang mereka habiskan di pantai sangatlah menohok. Saat itu, Jan berkata, “You look like a loved kid. Be fair.” Begitu juga saat Chris ditanya oleh Ron mengenai di mana keluarganya dan Chris menjawab bahwa ia tak lagi memiliki keluarga, ekspresi Ron berubah seketika, ia diam sejenak dan kemudian berkata, “That’s a shame.” Ya, saya sangat setuju bahwa mendengar seorang manusia yang tidak lagi mengakui keluarganya adalah sebuah hal yang memalukan.

Bagi saya, tindakan Chris pergi menjauh sekaligus membuang identitas dirinya sebagai bagian dari sebuah keluarga keluarga sangatlah tidak adil, tidak menunjukan tingkat intelektual yang seharusnya mampu membimbing Chris untuk dapat membuat keputusan yang jauh lebih baik, dan justru hal itu menunjukan betapa lemahnya mental Chris. Melalui dua potong kalimat, Carine mengatakan dalam narasinya, “It was inevitable that Chris would break away. And when he did, he would do it with characteristic immoderation.” Dua kalimat itu sangat tepat menggambarkan dua hal dalam hidup Chris: pertama, Chris sebenarnya tidak kuat menghadapi permasalahan hidupnya hingga dirinya harus melakukan suatu tindakan yang dapat menyelamatkan dirinya dari permasalahan itu: break away, atau saya jauh lebih senang menyebutnya escape (melarikan diri), sebuah tindakan praktis yang seringkali menjadi katup penyelamat bagi orang-orang dengan mental yang tidak tahan banting. Kedua, ketika Chris melarikan diri, ia melakukannya bukan dengan cara yang biasa-biasa saja, karena seperti yang telah saya katakan sebelumnya, ia telah membuat keputusan besar, yang tidak hanya bersifat dinamis atau drastis, melainkan lebih tepat jika disebut suatu keputusan radikal yang sebenarnya dilandasi oleh sebuah dinamit yang dapat meledak setiap waktu: amarah (anger). Menurut saya, sebenarnya motivasi terbesar atas keputusan besarnya itu adalah amarah, sebuah emosi dan nafsu yang dapat menyesatkan. Bagi saya, tidak ada keputusan yang lebih buruk dari keputusan yang diambil atas dasar amarah. Meski pada akhirnya ia mendapatkan pemahaman bahwa kebahagiaan hidup baru akan bermakna saat dinikmati dalam kebersamaan, namun Chris terlanjur mengecewakan hati saya dan saya tidak mampu menaruh simpati yang lebih besar lagi dari sekedar pemuda yang berani mengarungi ganasnya alam liar. Sekali lagi, saya tidak bermaksud mengecilkan, menilai, atau menjelek-jelekan Christopher McCandless.

Penn terlalu sibuk berusaha melakukan pencitraan terhadap Chris hingga ia seakan-akan lupa bahwa Chris tidak pernah ingin membangun hubungan yang terlalu intim dengan orang lain. Seperti yang Chris katakan pada Ron, “But you’re wrong if you think that the joy of life comes principally from human relationships. God’s placed it all around us. It’s in everything. It’s in anything we can experience. People just need to change the way they look at those things.” Sebaliknya, Penn justru selalu berusaha menampilkan sosok Chris sebagai pemuda yang mudah berbaur dengan orang lain, hingga memberikan kesan paradoks dalam diri Chris, karena meski ia berusaha sekuat tenaga menolak setiap tawaran kasih sayang dan hubungan berkomitmen yang dating pada dirinya dan merindukan setengah mati kehidupan sebatang kara (solitary life) di alam liar, Chris pada dasarnya adalah makhluk dengan memiliki jiwa sosial yang besar. Lihatlah bagaimana Jan dan Ron tidak mampu menahan emosi mereka ketika datang waktu perpisahan dengan Chris. 

Selain tidak nyaman dengan durasi, cara Penn mempresentasikan kepribadian Chris, serta rasa kurang simpatik saya terhadap Chris (nothing personal), saya juga mendeteksi adanya semangat machismo yang berlebihan dalam visualisasi Into the Wild. Di sepanjang cerita, cobalah ingat berapa kali adegan Chris yang sedang menikmati sejuknya air saat ia mandi atau melakukan aktivitas lain seperti berenang. Di hampir semua adegan “basah” tersebut, pengambilan gambar akan dilakukan dengan gerakan lambar (slow motion), memperlihatkan Chris menyibak rambut gondrongnya (a la shampoo ads), serta mempertontonkan tubuh Chris yang tidak mengenakan baju (topless). Saya mempertanyakan apa maksud dibalik pengambilan semua adegan itu? Apakah Penn berusaha menekankan penggambaran sosok Chris yang kharismatik, seorang pria sejati? Saya rasa jika memang itu tujuannya, itu tidak perlu karena justru pengambilan gambar seperti itu terasa seperti dipaksakan dan menjurus seperti iklan Marlboro di Amerika tempo doeloe (masa kini di Indonesia). Satu hal lagi, saya juga tidak terlalu nyaman ketika hampir di sepanjang film penonton tidak pernah diberi kesempatan rehat sejenak dari riuhnya suara latar lagu-lagu Eddie Vedder. Bukan hendak mengatakan bahwa suara Eddie jelek atau hal buruk lainnya, saya hanya berpendapat bahwa terkadang dalam momen-momen dan adegan tertentu suara serangga berdengung, cicitan burung, atau bahkan keheningan total lebih cocok dibanding kocokan gitar yang menampilkan nuansa ramai di sepanjang cerita. 

Meskipun terdapat hal-hal yang saya kurang sukai atau tidak nyaman di beberapa hal lainnya, namun tentu saja Into the Wild memiliki banyak nilai positif. Pertama, deretan aktor yang sangat luar biasa. Selama penonton menapak tilas perjalanan Chris, di sepanjang cerita bertaburan tokoh-tokoh yang menyentuh yang diperankan dengan sangat apik. Mulai dari Keener yang berperan sebagai Jan, wanita pengelana yang memiliki posisi yang sama seperti Billie, yaitu ibu yang kehilangan anaknya karena ia memilih untuk mencari kebebasan di luar sana. Melalui kesedihan yang tergambar jelas di wajahnya, Jan mengharapkan Chris bersedia menetap bersamanya dan menjadi pengganti putra semata wayang yang entah berada di mana. Menemani Jan adalah Rainey, peran yang dibawakan oleh Dierker, aktor yang menjajal layar perak untuk pertama kalinya. Hebatnya, untuk ukuran sebuah debut, Dierker telah memainkan peran Rainey dengan amat baik. Sebagai pengelana paruh baya, Rainey tidak pernah mengharapkan apapun di dunia ini selain kebahagiaan bersama orang yang amat dicintainya, Jan. Meski ia menaruh harapan, namun Rainey tahu persis bahwa Jan belum dapat sepenuhnya menerima cinta dari pria lain setelah kegagalan pernikahan yang ia kira menjadi momen terindah dalam hidupnya. Rainey juga berperan sebagai sahabat sekaligus figur ayah yang ideal bagi Chris. 

Satu lagi yang tak kalah hebat tentu saja adalah Hal Holbrook yang berperan sebagai Ron Franz (sebenarnya saya lebih suka menyebutnya Mr. Fredericksen karena ia mirip dengan tokoh kakek dalam Up (2009)), seorang veteran yang merindukan indahnya kehidupan berkeluarga setelah istri dan anaknya tewas secara tragis saat ia bertugas di luar negeri. Pertemuannya dengan Chris telah mengubah sedikit banyak hidupnya karena Chris adalah seorang pemuda penuh semangat yang tak pernah menyerah dalam mengatasi permasalahan hidup, sementara di usianya yang senja Ron telah pasrah dengan kehidupannya yang penuh dengan kesendirian. Keinginan yang kuat untuk memiliki keluarga dan teman hidup dalam diri Ron tergambar jelas ketika ia menyatakan ingin mengadopsi Chris sebagai cucunya dalam adegan perpisahan antara dirinya dengan Chris. Penonton dapat dengan mudah larut dalam keharuan Ron saat mata rentanya berkaca-kaca. 

Kemudian, tentu saja yang paling menonjol adalah Emile Hirsch, si empunya peran Chris. Selama proses syuting, saya yakin Hirsch telah menerima banyak tempaan, mulai dari membawa ransel penuh dengan perlengkapan bertualang, membajak ladang gandum, berlatih mengarungi jeram sungai Colorado, memotong hasil buruan, hingga tinggal di wilayah dingin. Penampilan Hirsch semakin memukau ketika emosinya sebagai pemuda idealis meluap dalam suatu bentuk kemarahan terpendam dan ia berhasil menunjukkannya melalui permainan mimik, gaya bicara, dan gerakan pemuda yang energik sekaligus rapuh ketika ia dihadapkan pada kebaikan dan kasih sayang orang lain.  Bagi saya, Into the Wild adalah salah satu dari sedikit film yang semua aktornya menunjukkan performa prima. 

Di samping departemen akting, sinematografi tentu saja menjadi hal yang diandalkan dalam film sejenis ini. Diperkaya dengan berbagai warna seperti coklat, kunig tua, dan warna keemasan sinar matahari, Into the Wild tampil memukau dan terkesan mewah sekaligus eksotis. Eksotika sinematografi Into the Wild juga bukan hanya dari permainan warna, melainkan juga penggambaran alam (landscape) yang begitu menakjubkan mulai dari jeram sungai yang memacu adrenalin, pantai yang penuh dengan burung camar, hingga padang salju dan pegunungan bersalju yang terkesan sangat angkuh dalam keluasan dan kedinginannya. Sinematografer Eric Gautier harus mendapat acungan empol atas kerja kerasnya ini. 

Secara keseluruhan, saya ingin mengatakan bahwa Sean Penn sebenarnya telah mencapai suatu tingkat kematangan dan kedalaman di film ini. Penn telah melakukan tugas yang amat sulit sebagai sineas sekaligus penyusun biografi, dan juga ia berhasil mengarahkan serta menggambarkan hasrat dan mimpi yang beraneka ragam dari setiap karakter yang ada di sekeliling Chris dan hebatnya lagi Penn melakukan itu semua tanpa merendahkan pandangan terhadap karakter yang satu dengan karakter yang lain. Penn juga tidak memosisikan karakter-karakter tersebut sebagai tokoh yang merasa dirinya benar atau salah, semuanya kembali pada penilaian penonton. Akhirnya, saya menutup tulisan ini dengan kesimpulan bahwa Into the Wild adalah sebuah film perjalanan (road picture) yang memukau baik dari sisi penokohan maupun teknis, namun saya tidak merasa karakter utama di sini yaitu Christopher McCandless ditampilkan secara netral. All in all, it’s terrific but not extraordinary, 3.5 out of 5 stars. Sebenarnya, saya pun masih bertanya dalam hati apakah penilaian saya ini disebabkan rasa kurang simpatik saya, genre biopic yang bukan favorit saya, ataukah gabungan keduanya? Entahlah. Bagaimana menurut Anda?




Watch this if you liked:

127 Hours (2010)

Director: Danny Boyle
Stars: James Franco, Kate Mara, Amber Tamblyn
Genre: Adventure, Biography, Drama
Runtime: 94 minutes


The Motorcycle Diaries (2004)

Director: Walter Salles
Stars: Gael García Bernal, Rodrigo De la Serna, Mercedes Morán
Genre: Biography, Drama
Runtime: 126 minutes










Jumat, 10 Mei 2013

You Can Count on Me: A Tale of Two Siblings

Bagi Anda penggemar film, menyaksikan adegan-adegan sumpah serapah, kesalahpahaman dalam menafsirkan kata-kata, atau curhat biasanya hanya merupakan bagian kecil yang tidak memiliki makna signifikan dari keseluruhan jalinan cerita. Biasanya adegan-adegan tersebut merupakan pelengkap semata dari konsep cerita besar yang menjadi tema utama dalam sebuah film, entah itu tentang penyelamatan dunia oleh tokoh heroik, peristiwa bencana mematikan, atau kisah-kisah kriminal yang menegangkan. Jarang sekali ada film yang menampilkan kisah kehidupan sehari-hari yang mengalir begitu terbuka hingga membuat penonton merasa seperti sedang mengikuti perjalanan hidup seseorang. Harus diakui bahwa mengangkat premis cerita sederhana yang mengetengahkan kehidupan nyata merupakan pekerjaan yang susah-susah gampang. Selain terkait erat dengan minat penonton (alias laku atau tidaknya film di pasaran), sineas pembuat film di genre ini harus memiliki kemampuan dan cita rasa tersendiri dalam meracik cerita agar tidak terkesan terlalu berlebihan atau sebaliknya, terasa membosankan. Perlu disadari, penonton hanya mau menonton sebuah film yang menurutnya layak ditonton. Definisi “layak” di sini sangat luas, dapat berarti memiliki cerita yang sangat imajinatif, mengandung efek khusus yang menakjubkan, atau justru mencari film dengan cerita sederhana yang menyentuh dan mengena kehidupan personal mereka. Nah, film dengan cerita kehidupan sehari-hari umumnya ditonton oleh mereka yang mendefinisikan film layak tonton seperti yang disebutkan terakhir. Jika Anda mencari film seperti apa yang menceritakan kehidupan sehari-hari yang menyentuh, saya merekomendasikan You Can Count on Me (2000) untuk Anda.

You Can Count on Me, film besutan sutradara sekaligus penulis naskah Kenneth Lonergan (Gangs of New York, Margaret) ini merupakan tipikal film favorit siapapun yang mencari film dengan cerita penuh ironi dalam seting kehidupan nyata. Bagi Anda penggemar film-film atau drama seri tentang keluarga seperti The Kids Are All Right (2010) atau Brothers and Sisters, film ini pun tak boleh dilewatkan, sebab Anda akan mendapatkan pengalaman dan nuansa menonton yang berbeda dan unik. Dalam You Can Count on Me, sebagai penonton Anda akan diajak memperhatikan hal-hal kecil yang biasanya dilewati begitu saja di film-film lain tetapi ternyata memiliki makna yang dalam, misalnya pertengkaran antara seorang kakak dengan adiknya, kegiatan kerja sama antara paman dengan keponakannya, menertawakan perselingkuhan, dan masih banyak lagi. Sepanjang cerita, Anda akan dibawa mengarungi kehidupan pribadi seseorang, tetapi Anda tidak akan diarahkan untuk membuat suatu kesimpulan tertentu, karena di film ini semuanya terasa begitu terbuka. Anda bebas beropini apapun berdasarkan kehidupan tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita.

You Can Count on Me menceritakan kehidupan dua orang kakak-beradik Sammy (Laura Linney) dan Terry (Mark Ruffalo) yang telah ditinggalkan kedua orang tua mereka sejak masih kecil. Sammy dan Terry memiliki dua perbedaan mendasar, di mana Sammy bersifat sangat statis dan memiliki pola pikir yang pragmatis dan Terry bersifat pemberontak dan sedikit urakan, tetapi terkadang ia memiliki pemikiran positif dan jiwa yang tulus. Sifat Sammy yang statis dapat dilihat dari pilihannya untuk menetap (sepertinya untuk selamanya) di rumah peninggalan orang tuanya di sebuah kota kecil bernama Scottsville. Meski di Scottsville relatif dapat dikatakan tidak akan terjadi hal-hal besar yang mengagumkan maupun kemajuan yang berarti, namun Sammy selalu berkeras untuk tinggal dan membesarkan anak semata wayangnya Rudy (Rory Culkin) di sana. Entah mengapa ia mengambil keputusan demikian, padahal mantan suami yang sangat ia benci tinggal tak jauh dari kota kecil tersebut. Berbicara mengenai mantan suaminya, sejak dulu Sammy tidak pernah memberi tahu Rudy hal-hal yang berkaitan dengan ayahnya yang memiliki nama yang sama itu. Mungkin karena kebencian yang telah terpatri terlalu dalam di hati dan otaknya, Sammy selalu mangkir tiap kali ditanya tentang mantan suaminya itu. Untuk menghidupi anaknya, Sammy bekerja sebagai karyawan bagian peminjaman di sebuah bank lokal. Tampaknya, sama seperti sifatnya yang statis, Sammy telah bekerja di bank tersebut untuk jangka waktu yang cukup lama hingga ia mengalami pergantian atasan.

Berbanding terbalik dengan Sammy, Terry tidak pernah memiliki keinginan untuk menetap di Scottsville, sebuah kota kecil yang menurutnya sangat membosankan. Ia selalu pergi berkelana untuk mencari pengalaman dan tantangan baru, meskipun itu bukan berarti hidupnya bebas dari masalah. Terry justru menghadapi situasi yang sulit dalam hidupnya manakala kekasihnya memiliki masalah keuangan yang menuntut Terry untuk meminjam uang pada kakaknya. Padahal, beberapa bulan terakhir ia tak pernah memberi kabar pada Sammy kecuali beberapa kartu pos yang mengabarkan bahwa dirinya berada di Alaska, meski kenyataan sebenarnya ia tengah meringkuk di penjara. Alhasil, ketikaTerry datang menemui Sammy untuk meminjam uang dan menceritakan kejadian yang sebenarnya, Sammy pun menjadi histeris. Namun, perasaan sebagai seorang kakak tidak pernah sirna dalam diri Sammy. Meski bukan untuk pertama kalinya Terry datang hanya untuk meminjam uang, Sammy tetap menyayangi Terry dan ia pun menawarkannya untuk tinggal sementara waktu di rumahnya. Periode di mana Terry tinggal dirumahnya ternyata membuat Sammy pusing tujuh keliling dan merasa hidupnya semakin berantakan manakala prinsip untuk membesarkan Rudy tanpa harus mengenal sosok ayah kandungnya direcoki Terry yang semakin menumbuhkan rasa penasaran Rudy untuk mengenal siapa ayah kandungnya. Tidak cukup sampai di situ, Sammy pun mengalami pasang surut hubungan asmara dengan dua pria sekaligus di saat bersamaan. Pada akhirnya, semua permasalahan itu membuat Sammy semakin berusaha keras dan belajar untuk mendewasakan dirinya agar ia dapat menjadi orang yang selalu dapat diandalkan.

Hal yang paling menarik bagi saya dalam You Can Count on Me adalah cerita yang begitu mengalir terbuka dan tidak berusaha menempatkan penonton pada posisi tertentu. Dari awal hingga akhir, kehidupan Sammy dan Terry dirangkai dengan sangat baik, dan yang paling saya sukai adalah ketika tokoh-tokoh yang ada bersinggungan dengan isu benar atau salah. Misalnya adegan saat Sammy bertanya pada Bapa Ron (Kenneth Lonergan) tentang hukum perzinahan dan perselingkuhan, di mana Sammy dengan berapi-api mendukung agar pihak gereja mencela dan mengutuk perbuatan dosa tersebut. Adegan ini sangat unik sekaligus ironis. Unik karena sangat jarang kita melihat ada seorang jemaat yang sangat bersemangat menyatakan bagaimana seharusnya gereja bertindak. Ironis karena dalam cerita ini, Sammy melakukan hal sama persis dengan apa yang ia cela dan kutuk tersebut. Sammy terkesan sangat linglung, tidak mengetahui apakah perbuatannya itu benar-benar berdosa atau dapat dibenarkan dalam kasus hidupnya sebagai seorang single parent. Dalam adegan ini penonton dibiarkan menyaksikan semuanya dengan gamblang, tanpa mendikte atau memberikan petunjuk murahan menganai apa yang Sammy perbuat setelah itu, apakah ia akan mengaku bersalah pada istri atasannya atas perselingkuhan yang mereka lakukan, berhenti menjalin hubungan dengan bosnya karena dirinya merasa sangat bersalah, atau melanjutkan hubungan tersebut. Penonton bebas menilai perilaku Sammy, dan bagi saya sendiri sebagai wanita dewasa yang rasional (bukan sebagai wanita religius) Sammy tampaknya memilih untuk menunggu hingga ia dapat melihat dengan jelas pria macam apa Brian (Matthew Broderick), atasan yang menjalin perselingkuhan dengan dirinya itu. Manakala ia menemukan bahwa Brian adalah pria labil yang membutuhkan pelarian sementara waktu, Sammy pun meninggalkannya. Tetapi itu tidak membuat Sammy sebagai wanita yang lebih baik, karena menurut saya di saat bersamaan ia tega menggantungkan perasaan Bob (Jon Tenney), pria baik yang menaruh hati padanya. Seharusnya, dengan sifat yang sama sebagai wanita dewasa yang rasional, ia seharusnya segera menetapkan sikapnya pada Bob, bahwa ia sedang tidak ingin menjalin hubungan berkomitmen saat itu.

Adegan-adegan lainnya pun terasa begitu nyata tanpa sentuhan dramatisasi berlebihan. Misalnya, saat Sammy mengetahui bahwa Terry telah mengajak Rudy pergi ditengah malam mengunjungi tempat permainan bilyard, ia tidak panik dan memarahi Terry habis-habisan karena tidak becus mengurus anaknya. Dalam sebuah dialog, Sammy berkata pada Terry, “I don’t give a shit if you took him out to play pool. I was mad at you ‘cause you left him at the bus stop in the rain. No, I don’t want you telling him not to squeal because I don’t want him put in that position.” Jika saja adegan paman yang mengajak keponakannya bermain bilyard di tengah malam itu bukan berada dalam You Can Count on Me, tentu kita dapat dengan mudah menebak sang ibu akan bereaksi berlebihan dan bersikap memusuhi sang paman. Tetapi itu tidak kita dapatkan di sini, karena karakter Sammy pada dasarnya adalah karakter wanita dewasa yang terkadang berpikir pendek seperti remaja labil tanpa membayangkan konsekuensi dari perbuatannya. Hal senada dapat kita lihat dari keputusannya untuk terus menyimpan rahasia mengenai ayah Rudy meski sang anak mulai memiliki imajinasi yang aneh (dan seharusnya sudah harus diluruskan) mengenai ayahnya sebagai agen rahasia. Begitu juga dengan perilaku Sammy yang dengan mudah memenuhi panggilan nafsunya untuk berselingkuh dengan Brian yang istrinya sedang mengandung. Padahal, sejak awal film pun, penonton sudah tahu bahwa Sammy termasuk wanita yang taat pada agama dan dekat dengan gereja.

Semua itu menunjukkan bahwa sebenarnya Sammy adalah orang yang tidak sempurna seperti yang terlihat dari penampilan luarnya. Ya, Sammy memang wanita karir yang cukup sukses, cantik, hidupnya relatif tenteram (walaupun ia menyimpan api dalam sekam terkait rahasia tentang mantan suaminya yang ia sembunyikan pada Rudy). Tetapi, siapa yang mengira bahwa Sammy kesepian, ia kekurangan hal-hal yang menantang dalam hidupnya dan hal itu mendorongnya untuk menjalin affair dengan Brian, ia bingung dengan sifat dan sikap Terry yang tak pernah berubah dari keserampangan dan semakin jauh dari agama, dan ia menyadari ketidakjelasan nasib Rudy ketika besar nanti apakah ia harus menjelaskan semuanya ketika Rudy dewasa? Apakah itu semua masalah itu berakar pada hidup Sammy yang membosankan di Scottsville? Akankah semua masalah itu terselesaikan jika ia meninggalkan kota kecil itu sebagaimana yang dilakukan Terry?

Di tengah permasalahan yang menumpuk dalam hidup Sammy, Terry sang adik hadir sebagai katalis. Terry adalah pria urakan yang pada dasarnya memiliki taiat yang baik, bahkan terkadang di balik penampilan dan sikapnya yang amburadul, Terry adalah sosok yang dapat diandalkan. Bayangkan bagaimana jadinya jika Rudy tidak pernah memiliki kesempatan bertemu dengan Terry. Rudy tidak akan pernah memiliki pengalaman bertemu dengan ayah kandungnya, mengetahui bahwa sang ayah tidak pernah mengingignkan dirinya, right from the beginning. Rudy tidak akan pernah mendapatkan pengalaman bekerja membantu pria dewasa, belajar melakukan hal-hal seperti memaku, memancing, dan bermain bilyard. Dalam sebuah dialog di menit-menit akhir Terry berkata pada Sammy, “We’ll have Christmas together, how’s that? We’ll all have Christmas together. Come on, Sammy. You can trust me.” Ya, Sammy tak perlu ragu karena sebenarnya, Terry selalu dapat diandalkan dalam hidupnya. 

Kenneth Lonergan telah berhasil melakukan studi karakter dan sukses menciptakan penokohan yang akan sangat tidak tepat jika dikatakan sentimental atau bermoral luhur. Semua karakter yang ada dalam film ini hanya dibiarkan ada (exist), tanpa mengetahui dengan pasti nasib mereka di masa depan. Tidak ada fiksionalisasi dan dramatisasi berlebihan, bahkan dapat dikatakan You Can Count on Me adalah laboratorium bagi para aktor untuk belajar memahami peran yang sangatnatural. Semua karakter di sini menjalani kehidupan keseharian mereka seperti dalam kehidupan nyata: menghadapi masalah, terkadang lari dari masalah tersebut, mencampuri urusan orang lain, dan lain-lain. 

Naskah yang baik tersebut kemudian disambut dengan penampilan Linney, Ruffalo, maupun si kecil Rory Culkin yang sangat luar biasa. Dalam film berdurasi 111 menit ini, Linney menampilkan salah satu performa terbaik sepanjang karirnya. Linney telah sukses menjadikan karakter Sammy sebagai wanita yang terlihat religius, menarik, dan bijaksana dari luar, tetapi dalam lubuk hatinya yang terdalam, Sammy sangat haus akan pemenuhan hasrat diri, bahkan jika itu berarti untuk sedikit memainkan permainan berbahaya. Dan lebih dari itu semua, Linney berhasil menguatkan karakter Sammy sebagai wanita yang tidak sempurna, hal itu dapat dilihat dalam adegan saat Terry akan pergi meninggalkan Scottsville. Linney sebagai Sammy awalnya bersikap tegar dengan kepergian Terry, namun dengan kenyataan bahwa ia akan kembali sendirian ia tak kuat menahan itu semua, ditambah lagi membayangkan adiknya yang tidak jelas akan pegi kemana dan hidup seperti apa di luar sana, air matanya pun tumpah, berusaha meyakinkan Terry akan jangan pergi. Ruffalo pun sama luar biasanya, ia sukses menggambarkan tokoh Terry sebegai pria malang yang menderita baik dalam kehidupan ekonomi, cinta, dan hal-hal lainnya, sangat lambat dalam beberapa hal tetapi bisa sangat bijaksana dalam hal lainnya. Satu hal yang jelas mewarnai karakter Terry yang berhasil ditonjolkan Ruffalo adalah sifatnya yang hampir selalu ragu-ragu dalam membuat keputusan. Misalnya dalam adegan saat pertama kali Terry bertemu dengan Sammy, setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah basa-basi, sikapnya sangat tidak nyaman, selalu menoleh ke arah lain, sampai-sampai Sammy bertanya apakah Terry sedang menunggu orang lain. Akhirnya, setelah senyum basa-basi sirna dari wajahnya, Terry berkata, “I actually got to confess to you, Sammy.” Akhirnya, Rory Culkin pun berhasil membuktikan bahwa dalam klan Culkin tidak hanya Macauley saja yang bisa unjuk gigi di depan layar, ia pun bisa melakukannya dan terbukti ia tak kalah hebat dengan sang kakak. Adegan favorit saya yang menampilkan Rory adalah saat ia sedang mengerjakan tugas mengarangnya, ia ditanyai oleh Sammy sedang menulis tentang apa dan dengan polos dan santai ia mengaku sedang menulis cerita karangan mengenai ayahnya. 

Secara keseluruhan, You Can Count on Me adalah film yang dapat dikatakan seluruhnya mengandalkan kekuatan karakter, interaksi antarkarakter, dan cerita yang tidak munafik dan jauh dari kesan dibuat-buat. Harus diakui tidak ada sinematografi atau efek khusus yang menakjubkan, tetapi meskipun tanpa itu semua film yang salah satu eksekutif produsernya Martin Scorsese ini tetap merupakan salah satu film terbaik tahun 2000, sebuah film yang sangat langka menggambarkan hubungan kakak perempaun dengan adik laki-lakinya. Kenangan masa lalu dan kebutuihan sama lain di antara kakak- beradik itu akan selalu menguatkan ikatan persaudaraan di antara mereka. 4.5 out of 5 stars for me. Ada yang punya komentar?

Watch this if you liked:

Half Nelson (2006)

Director: Ryan Fleck
Stars: Ryan Gosling, Jeff Lima, Shareeka Epps
Genre: Drama
Runtime: 106 minutes







Fish Tank (2009)

Director: Andrea Arnold
Stars: Katie Jarvis, Michael Fassbender, Kierston Wareing
Genre: Drama
Runtime: 123 minutes