Beberapa waktu lalu, ketika saya sedang membereskan tumpukan koran di rumah, saya menemukan sebuah artikel dari harian Media Indonesia 12 April 2010 yang berjudul Hamidi dan Pendidikan yang Membebaskan. Saya sangat menyukai artikel yang ditulis oleh Viktor Yasadhana ini. Viktor Yasadhana sendiri adalah direktur sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh, yang juga menjadi guru di sana.
Hamidi dan Pendidikan yang Membebaskan adalah tulisan tentang pengalaman Viktor Yasadhana sebagai guru, yang memiliki seorang murid bernama Hamidi, siswa yang memiliki minat dan kemampuan lebih pada bidang pengetahuan umum tentang kota-kota di dunia, bercocok tanam, dan berternak dibanding ilmu pengetahuan yang dijejalkan dalam kurikulum sekolah. Namun, para guru di sana tak pernah memaksa murid-murid yang bertipikal Hamidi untuk meninggalkan minat dan hobi mereka dan mencekoki murid-murid tersebut dengan materi pelaran sekolah. Para guru di sana memberi kebebasan bagi para muridnya untuk mengembangkan diri masing-masing, di samping pelajaran sekolah tentunya. Dan, mereka merasa bangga bisa belajar memberi kesempatan pada anak-anak seperti Hamidi.
Ada paragraf yang menjadi bagian favorit saya dari keseluruhan artikel ini, karena paragraf tersebut ditulis dengan kalimat yang kritis sebagai berikut.
"... Namun, yang melegakan adalah sepertinya sekolah kami tidak menjadi tipikal sekolah yang umumnya ada di negeri ini. Seperti dikatakan Alexander Sutherland Neill, sekolah kami beranjak untuk memilih menghasilkan seorang tukang sapu yang berbahagia jika dibandingkan dengan menghasilkan sarjana yang neurotik (Neill 1992). Pertanyaannya adalah mungkinkah sekolah semacam itu bisa melakukannya? Bisakah sekolah menjadi tempat murid untuk menjadi manusia yang beba£ merdeka?"
Pertanyaan tersebut membuat saya sadar bahwa masalah inilah yang selama ini saya, dan tentu pelajar di Indonesia hadapi. Kami, para pelajar, tak punya pilihan lain tatkala harus menceburkan diri pada sistem pendidikan yang, seperti Viktor Yasadhana tulis, sebagai proses menghafal habis rumus-rumus dan teori.
Sepanjang artikel ini, Viktor Yasadhana meluapkan pengalamannya dan menanggapi sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Beliau juga menulis bahwa sekolah yang baik adalah sekolah yang terus belajar (a school that learns), dan proses belajar itu menjadi lebih penting ketimbang hasil, karena proses belajar dilkukan secara sejajar dan bersama-sama, yaitu antara guru dan murid. Kedua komponen pendidikan ini harus memiliki hubungan yang demokratis.
Hmm... setelah membaca artikel tersebut saya merenungi pendidikan yang selama ini saya jalani. Ternyata masih jauh dari apa yang Viktor Yasadhana gambarkan.
Seandainya saya menjadi sosok Hamidi, maka sekolah akan menjadi tempat yang sangat menyenangkan. Seandainya proses belajar bisa lebih demokratis, maka prestasi dan bakat siswa akan lebih berkembang. Seandainya pendidikan Indonesia dibenahi menjadi pendidikan yang membebaskan, maka tak ada lagi istilah orang bodoh. Tapi seperti kita semua tahu, semuanya tak mungkin bisa berubah hanya dengan "seandainya". Perlu aksi untukterus membangun grand design pendidikan di Tanah Air. Ada yang punya komentar?
Ada paragraf yang menjadi bagian favorit saya dari keseluruhan artikel ini, karena paragraf tersebut ditulis dengan kalimat yang kritis sebagai berikut.
"... Namun, yang melegakan adalah sepertinya sekolah kami tidak menjadi tipikal sekolah yang umumnya ada di negeri ini. Seperti dikatakan Alexander Sutherland Neill, sekolah kami beranjak untuk memilih menghasilkan seorang tukang sapu yang berbahagia jika dibandingkan dengan menghasilkan sarjana yang neurotik (Neill 1992). Pertanyaannya adalah mungkinkah sekolah semacam itu bisa melakukannya? Bisakah sekolah menjadi tempat murid untuk menjadi manusia yang beba£ merdeka?"
Pertanyaan tersebut membuat saya sadar bahwa masalah inilah yang selama ini saya, dan tentu pelajar di Indonesia hadapi. Kami, para pelajar, tak punya pilihan lain tatkala harus menceburkan diri pada sistem pendidikan yang, seperti Viktor Yasadhana tulis, sebagai proses menghafal habis rumus-rumus dan teori.
Sepanjang artikel ini, Viktor Yasadhana meluapkan pengalamannya dan menanggapi sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Beliau juga menulis bahwa sekolah yang baik adalah sekolah yang terus belajar (a school that learns), dan proses belajar itu menjadi lebih penting ketimbang hasil, karena proses belajar dilkukan secara sejajar dan bersama-sama, yaitu antara guru dan murid. Kedua komponen pendidikan ini harus memiliki hubungan yang demokratis.
Hmm... setelah membaca artikel tersebut saya merenungi pendidikan yang selama ini saya jalani. Ternyata masih jauh dari apa yang Viktor Yasadhana gambarkan.
Seandainya saya menjadi sosok Hamidi, maka sekolah akan menjadi tempat yang sangat menyenangkan. Seandainya proses belajar bisa lebih demokratis, maka prestasi dan bakat siswa akan lebih berkembang. Seandainya pendidikan Indonesia dibenahi menjadi pendidikan yang membebaskan, maka tak ada lagi istilah orang bodoh. Tapi seperti kita semua tahu, semuanya tak mungkin bisa berubah hanya dengan "seandainya". Perlu aksi untukterus membangun grand design pendidikan di Tanah Air. Ada yang punya komentar?
penulias artikel itu adalah direktur sekolah di SMA saya berada dulu.. ya, sekolah yang seperti itulah sekolah yang kami rasakan bersama beliau, tidak ada jarak antara guru dan murid, semua dekat seperti teman... setiap siswa memiliki hak untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya (sains, teknologi, seni, public speaking, dan lain-lain)..
BalasHapussekolah sukma bagsa is a school that learns and I proud of it :)
Pasti sangat mebanggakan dapat mengemban ilmu di sekolah seperti Sukma Bangsa ini. Siswa-siswi Indonesia membutuhkan lebih banyak sekolah yang membebaskan seperti Sukma Bangsa, sehingga kurikulum dan sistem pendidikan kita tidak hanya mencetak insan pandai semata, tetapi juga bahagia dengan apa yang mereka pilih. Kebahagiaan adalah tujuan yang ingin dicapai semua orang, sehingga akan sangat menyenangkan jika ada banyak sekolah yang dapat mengantar kita pada kebahagiaan tersebut.
Hapus