Minggu, 23 Mei 2010

Che-Gesang

Lingkungan sekitar dapat dijadikan objek menarik untuk diperhatikan. Mulai dari peristiwa sosial, budaya, ekonomi, politik, kehidupan beragama, perang, bahkan bencana. Bagi sebagian orang yang memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekitarnya, peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan itu pasti tak akan dibiarkan lewat begitu saja. Mungkin mereka akan membuat sebuah catatan, dengan cara yang berbeda-beda tentunya. Beberapa telah sukses melakukannya, dan catatan yang mereka buat tak jarang menjadi sebuah karya yang akan dikenang sepanjang masa.

Misalnya saja, maestro keroncong kebanggan Indonesia, Gesang yang belum lama ini tutup usia. Dengan gaya lagu keroncong nostalgianya, ia bisa mengingatkan kepada siapa saja para pendengar lagu Bengawan Solo bahwa di Solo, Jawa Tengah, terbentang sungai yang begitu melegenda, yang ikut menjadi saksi bisu perjalanan panjang sejarah bangsa kita. Mulai dari zaman kerajaan, penjajahan, hingga masa kini. Gesang dengan sangat apik mengalirkan syair-syair yang penuh pengamatan pada Bengawan Solo. Sebagai orang awam yang tak mendalami bidang Geografi atau semacamnya, Gesang telah sukses membuat banyak orang mengenang bahwa Bengawan Solo telah menjadi semacam urat nadi dan pesona tersendiri dari Solo, dari dulu hingga kini. Pengamatannya begitu mendalam, mulai dari keadaan fisik sungai Bengawan Solo itu sendiri yang berhulu dari daerah Pegunungan Seribu dan bermuara di daerah Jawa Timur, hingga ke lingkungan sosial, di mana tatkala terjadi banjir, banyak orang yang menghindari sungai tersebut untuk dilintasi, dan bahwa dulu sungai itu ramai dilewati lalu-lalang perahu perdagangan.

Bengawan Solo yang diciptakan pada 1940 ini telah menjadi bukti bahwa Gesang memiliki kearifan lokal dan kepedulian terhadap lingkungan, khususnya alam yang akrab dengan kehidupannya. Dengan puitis, beliau menulis:

Bengawan Solo
Riwayatmu ini
Sedari dulu jadi
Perhatian insani

Musim kemarau
Tak seberapa airmu
Di musim hujan, air
meluap sampai jauh

Mata airmu dari Solo
Terkurung Gunung Seribu
Air mengalir sampai jauh
Akhirnya ke laut

Itu perahu
Riwayatmu dulu
Kaum pedagang selalu
Naik itu perahu

Luapan air sungai Bengawan Solo yang melebar ke sisi badan sungai selalu dapat dikenang oleh para penduduk sekitar. Namun, mereka mensyukuri banjir tersebut, karena sejatinya, Bengawan Solo memang seringkali membawa berkah, seperti kesuburan dan kelancaran lalu lintas perdagangan pada dahulu kala. Gesang sendiri yang lahir pada 1 Oktober 1917 adalah salah satu orang yang telah berkali-kali menyaksikan banjir di Bengawan Solo. Sekaligus, ia juga menjadi saksi bahwa sungai itu juga menjadi sumber penghidupan masyarakat.

Dendang Bengawan Solo tak hanya bergema di Tanah Air. Bengawan Solo masuk ke Jepang untuk pertama kali sekitar setengah abad yang lalu di kala masa perang. Pada waktu tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, lagu itulah yang dari radio terdengar secara luas di kalangan serdadu Jepang serta orang-orang Jepang yang berada di sini.Kemudian, sejak saat itu, banyak penggemar Gesang yang berasal dari Jepang, juga Cina.

Gesang datang pada festival salju Sapporo atas undangan himpunan persahabatan Sapporo dengan Indonesia pada tahun 1980, untuk pertama kali. Setelah itu telah berkali-kali datang ke Jepang atas undangan himpunan persahabatan Jepang. Demikianlah pagelaran keroncong berlangsung di Jepang untuk pertama kali dengan membawakan lagu Bengawan Solo. Melalui Gesang dan musik keroncong, orang menjadi sadar bahwa musik adalah sesuatu yang mutlak perlu bagi persahabatan dan perdamaian dunia. Lebih-lebih lagi, berkat kerendahan hati Pak Gesang, kepribadiannya telah membawa keakraban dan kehangatan bagi orang Jepang. Berkat kunjungannya ke Jepang, keroncong telah mengalami boom secara diam-diam. Lagu merupakan bahasa umum yang melintasi dunia. Bengawan Solo yang melintasi batas negara, dengan memperkayakan hati manusia telah menjembatani pertukaran kebudayaan pada akar rumput antara Jepang dan Indonesia (http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/gesang.html).

Sama halnya dengan Gesang, Ernesto “Che” Guevara, pemimpin gerakan revolusi di banyak daerah di Amerika Selatan juga menjadi seorang pengamat lingkungan sekitarnya, dan menuangkan seluruh pengamatannya tersebut ke dalam media catatan yang termahsyur, The Motorcycle Diaries. Dalam catatan tersebut, ia menggambarkan pengalamannya selama dalam perjalanan keliling Amerika Selatan bersama temannya yang seorang ahli biokomia, Alberto Granado (sementara Che sendiri adalah seorang spesialis kulit lulusan University of Buenos Aires).

Dengan kalimat yang kuat, Che membuka catatan perjalanannya sebagai berikut.
"This is not a story of incredible heroism, or merely the narrative of a cynic; at least I do not mean it to be. It is a glimpse of two lives that ran parallel for a time, with similar hopes and convergent dreams." (http://januarymagazine.com/biography/che.html).

Perjalanan dilakukan selama sembilan bulan (perjalanan ini dilakukan sebelum Che lulus dari kuliahnya) melintasi Argentina, Chile, Perru, Kolombia, dan Venezuela. Dalam The Motorcycle Diaries, Che ,lebih sering menyinggung keadaan orang-rang yang dilihatnya, daripada pemandangan alam yang tak kalah luar biasa indahnya. Ia menulis tentang kemiskinan dan ketidakadilan yang ia saksikan di banyak negara. Sebagai seorang calon dokter, ia amat tersebth ketika ia melihat kesengasaraan para penderita lepra di sebuah koloni di San Pablo, yang terletak di tepian Amazon.

Perjalanan ini kemudian mengubahnya menjadi seorang revolusioner, membebaskan Kuba dari tiran Fidel Castro, meski pada akhirnya harus tewas mengenaskan di ujung bedil tentara Bolivia.

Namun, Che menjadi legenda. Ia dikenang karena keganasannya, penampilannya yang romantis, gayanya yang menarik, sikapnya yang tak kenal kompromi dan penolakan atas penghormatan berlebihan atas semua reformasi murni. Ia juga idola para pejuang revolusi dan bahkan kaum muda generasi tahun 1960-1970 atas tindakan revolusi yang berani yang tampak oleh jutaan orang muda sebagai satu-satunya harapan dalam perombakan lingkup borjuis kapitalisme, industri dan komunisme.

Jadi, baik Che maupun Gesang adalah orang-orang yang memiliki kearifan terhadap apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, saksikan, sekaligus yang mereka alami sendiri. Jadi, apakah Anda akan berbagi kisah dan pengamatan juga, seperti halnya yang dilakukan Che-Gesang?

Diolah dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar