Jumat, 10 Agustus 2012

Dead Poets Society: Carpe Diem

Carpe Diem. Ungkapan latin tersebut tiba-tiba memenuhi isi kepala beberapa siswa di sebuah perguruan asrama khusus lelaki. Seorang pria unik, cerdas, inspirasional, sekaligus misterius baru saja memperkenalkan mereka dengan ungkapan Latin tersebut. Saking berpengaruhnya ungkapan tersebut, hari-hari mereka di perguruan tersebut tidak lagi terasa berat, meski banyak di antara mereka dituntut untuk belajar keras oleh orang tua mereka di Welton Academy, salah satu sekolah terbaik. Mereka menjadi orang yang penuh dengan visi, tahu apa yang mereka akan tuju, yang mereka senangi, dan bersemangat dalam meraihnya. Mereka tahu bahwa mereka bukanlah robot yang dapat diperintah ini-itu. Mereka punya kebebasan, setidaknya pada saat menghadiri kelas pria misterius ini.

Siapakah lelaki misterius ini? Ia tak lain adalah guru Bahasa Inggris baru mereka yang juga alumni dari sekolah yang sama. John Keating (Robbin Williams), begitulah namanya. Tapi ia tak mau siswanya memanggil dirinya Mr. Keating seperti para siswa memanggil guru-guru lain, panggilan yang begitu formal dan membosankan. Alih-alih, ia malah berkata, "If you're slightly more daring, call me O Captain, My Captain". Perkenalan yang impresif bukan? Lantas karena penasaran dengan sang guru baru, Neil Perry (Robert Sean Leonard), salah satu murid terbaik yang kagum pada keunikan Keating berburu buku tahunan angkatan gurunya itu. Ada satu hal yang menarik perhatian Neil dan membuatnya ingin berbagi dengan Todd Anderson (Ethan Hawke), Knox Overstreet (Josh Charles), Charlie Dalton (Gale Hansen), Richard Cameron (Dylan Kussman), Steven Meeks (Allelon Ruggiero), dan Gerard Pitts (James Waterston), sahabat-sahabat dekatnya. Hal menarik tersebut ialah bahwa Keating tertulis menjadi anggota dari sebuah perkumpulan bernama Dead Poets Society.

Itulah awal petualangan dari 7 sahabat sebuah sekolah dalam film Dead Poets Society (1989). Film arahan sutradara yang dinominasikan untuk 6 kali Oscar, Peter Weir (Witness, The Truman Show) ini memiliki tema sentral pendidikan, sebuah tema yang cukup umum. Tetapi tema umum tersebut tidak lantas membuat film ini memiliki jalan cerita pasaran. Piala Oscar dalam kategori Best Writing, Screenplay Written Directly for the Screen untuk Tom Schulman adalah buktinya. Puisi sebagai media pendidikan mungkin adalah kunci sukses film ini. Kita tahu bahwa selama ini puisi merupakan bagian dari seni sastra yang kini mulai ditinggalkan. Fungsi puisi sebagai penopang kehidupan batiniah manusia telah tergantikan dengan hal-hal lain yang lebih modern, berteknologi tinggi, dan bersifat praktis. Namun, pada dasarnya, menulis dan membaca puisi - seperti yang dikatakan karakter Keating di sini - diperlukan karena puisi menyajikan keindahan, romansa, cinta, dan kita hidup untuk meraih tiga hal tersebut. Selain itu, penggunaan sudut pandang dari tokoh pemuda yang digunakan Schulman dalam cerita ini sangat tepat, sebab pemuda adalah jiwa-jiwa yang reaktif, mereka senang mengeksplorasi kehidupan. Sekali seorang pemuda dihadapkan pada cara berpikir yang membuat mereka tergugah, maka mereka akan menjaga idealisme pikiran tersebut selamanya.

Dead Poets Soeciety mengajak penonton untuk mengikuti kisah Neil, Todd, Knox, Dalton, Cameron, Meeks, dan Pitts dalam menghidupkan kembali sebuah perkumpulan penikmat puisi tertutup, Dead Poets Society. Perkumpulan itu merupakan sebuah wadah bagi mereka yang ingin menjadikan puisi sebagai media ekspresi dan kontemplasi. Tujuh orang sahabat itu menyadari bahwa puisi dapat mengubah hidup mereka. Puisi membuat mereka menjadi freethinkers. Jiwa mereka disesaki oleh semangat memuncak untuk mengejar dan meraih apa yang mereka inginkan, ambisi mereka. Neil bercita-cita menjadi seorang aktor, Todd yang pada awalnya memiliki masalah dengan percaya diri mulai berani tampil mengungkapkan gagasannya, bahkan Knox berani mendekati seorang gadis karena puisi.

Kini, bagi tujuh orang sahabat tersebut, Keating bukan hanya sekedar guru. Lebih dari itu, ia adalah seorang teladan, seseorang yang memberi inspirasi, motivator, bahkan ia telah menjadi pembimbing moral bagi mereka. Keating sering memberikan petuah-petuah penting, seperti melihat segala hal dengan cara yang berbeda, mencoba mencari sudut pandang lain meski terlihat salah atau bodoh, mengungkapkan dan menemukan ekspresi, jati diri, gagasan, pendapat, or in simplest way: vocalize the inside of them. Paksaan atau kebiasaan untuk hanya memikirkan apa yang dipikirkan oleh orang lain adalah sebuah perampokan intelektual, penghinaan terhadap intelegensi seseorang.

Namun, keberanian tujuh serangkai terganggu oleh serbuan berbagai pihak yang ortodoks, yang menginginkan sesuatu yang teratur, sesuatu yang lama, yang mereka klaim telah teruji kebenarannya. Para guru dan kepala sekolah menginginkan cara belajar-mengajar sesuai kurikulum yang terukur, para orang tua bersikeras memaksakan kehendak terhadap anak-anak mereka, merebut impian mereka, membunuh imajinasi, cita-cita, dan sudut pandang mereka. Hal tragis itu bahkan membuat Neil harus membayar mahal. Ia merelakan nyawanya untuk ditukar dengan idealisme freethinker dibanding harus menyerah pada ayah yang egois. Nasib malang tak pelak menimpa Keating yang dituduh menyebarkan ajaran untuk membangkang pada orang tua. Namun, para Dead Poets yakin bahwa kebebasan adalah satu-satunya cara untuk merealisasikan carpe diem, seize the day, to make their lives extraordinary sehingga mereka tak ingin melepas apa yang mereka dapat selama ini dari Keating, sang Kapten.

Bagi saya pribadi, menonton Dead Poets Society adalah sebuah pengalaman luar biasa. Ada semacam kegairahan membuncah dalam diri saya. Kegairahan yang mungkin selama ini tidak saya dapatkan di bangku sekolah seperti halnya para siswa Welton Academy sebelum kehadiran Keating. Melihat semangat pantang menyerah, idealisme, kebebasan yang digambarkan karakter Keating membuat saya merasa iri karena saya belum menemukan hal serupa dalam sistem pendidikan yang saya tempuh selama ini. Sosok Keating adalah sosok langka pada zaman sekarang. Guru yang tidak hanya sekadar pengajar, tidak sekedar mengoceh untuk menekankan sisi kognitif, guru yang secara total menenggelamkan dirinya untuk mengabdi, mentransfer ilmu, membimbing, mendidik, dan menyentuh moralitas serta imajinasi siswa. Menurut saya, Dead Poets Society adalah film timeless, ceritanya tak akan usang dimakan waktu sebab film ini dapat dijadikan bahan introspeksi bagi siapapun yang menuntut ilmu di muka bumi ini.

Kenikmatan film ini tak lain disokong oleh kualitas setiap aktor yang menurut saya, sangat baik. Robin Williams, seperti dalam kebanyakan filmya bermain impresif. Ia dapat menempatkan dirinya sebagai pendidik yang inspirasional tetapi tidak memaksakan kehendaknya. Ia mampu menunjukkan diri sebagai seorang guru yang menguasai perhatian kelas dengan materi pelajarannya, nasihatnya, bahkan lelucon dan suara kocaknya. Salut juga rasanya perlu saya utarakan pada Robert Sean Leonard dan Ethan Hawke. Performa Leonard sangat mengesankan. Ia berhasil menempatkan diri sebagai seorang remaja yang penuh rasa ingin tahu, ambisius, tetapi tertekan oleh intimidasi ayahnya. Saya sangat suka scene ketika Neil baru saja mendapatkan peran dalam sebuah drama. Dalam scene itu, Leonard sebagai Neil menunjukkan bagaimana perasaan seorang remaja ketika mendapatkan apa yang selama ini didambakan. Suara, gerakan, dan mimik wajah Leonard sangat natural. Sementara itu Hawke mampu membawakan karakter Todd yang bertransformasi dari remaja yang merendahkan dirinya sendiri menjadi seorang pelopor untuk membela apa yang dianggapnya benar. Adegan di akhir film benar-benar membuat bulu roma saya bergidik, sangat menyentuh. Oh ya, saya juga sangat menyukai permainan bagpipe di sepanjang film ini, membuat ceritanya semakin hidup.

Well, sayangnya Dead Poets Society tak beruntung dalam pertarungan mendapatkan predikat tertinggi dalam ajang Academy Award 1990, Best Picture. Pada tahun itu semua film yang masuk nominasi film terbaik memang dapat dikatakan monster. Dead Poets Society bersaing dengan Born on the 4th of July, Driving Miss Daisy, My Left Foot, Field of Dreams sebelum akhirnya Driving Miss Daisy diumumkan sebagai pemenang. Meski begitu, film ini akan terus menempel di hati bagi siapa saja yang menontonnya. For those who haven't seen this one, it's highly recommended. 5 out of 5 stars for me.

 

Wach this if you liked:

Freedom Writers (2007)

Director: Richard LaGravenese
Stars: Hilary Swank, Imelda Staunton, Patrick Dempsey
Genre: Biography, Drama
Runtime: 123 minutes


The Great Debaters (2007)

Director: Denzel Washington
Stars: Denzel Washington, Forest Whitaker, Kimberly Elise
Genre: Biography, Drama
Runtime: 126 minutes


2 komentar: