Minggu, 08 Desember 2013

Running Scared: Dazing and Confusing Heroic Story

Sabtu pekan lalu menjadi awan mendung bagi industri perfilman Amerika dan pecinta film di seluruh dunia. Hari Sabtu itu, aktor Paul Walker dikabarkan tewas dalam sebuah kecelakaan mobil tunggal. Paul yang dikenal melalui perannya sebagai Brian O'Conner dalam franchise "Fast and Furious" menjadi penumpang mobil Porsche yang dikendarai temannya setelah menghadiri acara penghimpunan dana untuk amal yang diselenggarakan sebuah organisasi non-profit. Diduga karena kecepatan mobil yang terlalu tinggi, mobil tersebut hilang kendali, menabrak tiang telegraf dan sebuah pohon, hingga menyebabkan mobil itu terbakar dalam waktu seketika. Peristiwa tersebut sangat tragis mengingat seri ketujuh film balapan yang dibintanginya masih dalam proses syuting. Setelah berita tewasnya Paul dikonfirmasi secara resmi oleh agensinya, nasib film tersebut pun dapat dipastikan tidak jelas. Sebagai seorang penikmat film, saya turut berduka atas kabar yang begitu tiba-tiba ini. Paul adalah aktor yang terbilang masih muda. Ia tewas dalam usia 40 tahun, usia di mana banyak orang mengatakan life begins at 40. Untuk mengenang dan menghormati Paul beserta karya-karyanya, saya menyempatkan diri untuk memilih satu film dari deretan filmografi aktor tampan ini, dan terpilihlah Running Scared (2006).

Dilihat dari posternya, semua orang langsung mengerti bahwa film ini mengandung kekerasan dosis tinggi, melibatkan adegan tembak-menembak, dan pertumpahan darah. Namun yang tidak dapat ditebak dari poster tersebut adalah film ini tidak hanya menceritakan satu alur sederhana mengenai kekerasan apapun yang orang kira akan terjadi karena di sini pembuat film sengaja menawarkan menu gado-gado yang sarat akan sub-alur. Sub-alur tersebut tidak selalu berjalan berdampingan, terkadang mereka saling bertabrakan, menindih satu sama lain, bahkan hingga menutupi alur utamanya yang ternyata kurang begitu penting. Semua tokoh dalam film (bahkan yang terlihat paling tidak meyakinkan sekalipun) menyimpan suatu energi berbahaya yang dapat meledak suatu saat, membuat tokoh-tokoh di sekitarnya terhenyak.

Running Scared menyeret penonton mengikuti perjalanan sehari semalam Joey Gazelle (Paul Walker), seorang anggota kelas rendah mafia berklan Italia. Perjalanan itu tidak akan terjadi jika saja transaksi pembelian narkoba oleh mafia Italia tersebut berjalan lancar. Sayangnya kenyataan berbicara lain ketika seorang polisi korup bernama Detective Rydell (Chazz Palminteri) beserta anak buahnya menginterupsi dengan niat mencuri narkoba dan uang dalam transaksi tersebut. Joey, rekannya Sal (Michael Cudlitz), dan atasan mereka Tommy Perello (Johnny Messner) berhasil menumpas polisi-polisi tersebut. Berniat membersihkan diri dari kejadian itu, Tommy pun menugaskan Joey untuk melenyapkan pistol-pistol yang mereka gunakan untuk membunuh para polisi. Apa yang tidak diketahui Tommy adalah Joey terbiasa tidak menuruti perintahnya karena ia justru menyimpan pistol-pistol tersebut bersama tumpukan senjata lain yang terlihat seperti sudah sejak lama ia kumpulkan di rumahnya. Tetapi Joey bukan orang satu-satunya yang licik karena anaknya Nicky (Alex Neuberger) dan temannya Oleg Yugorski (Cameron Bright) sering bermain di ruang penyimpanan senjata tersebut, sesuatu yang sering Joey keluhkan pada istrinya, Tee (Vera Farmiga). Entah kebetulan atau bukan, Oleg yang tinggal bersebelahan dengan keluarga Gazelle adalah bocah merana yang sering disiksa oleh ayah tirinya Anzor (Karel Roden), seorang keponakan mafia berklan Rusia. Merasa tidak dapat menahan penyiksaan yang dialaminya, Oleg diam-diam mencuri sebuah pistol yang diberikan Tommy kepada Joey untuk menghabisi Anzor. Oleg pun lari bersama pistol tersebut. Di sinilah perjalanan Joey di mulai. Ia harus mencari Oleg agar mendapatkan kembali pistol yang dibawanya sebelum Tommy dan kepolisian mengetahui peristiwa tersebut. Perjalanan itu tidaklah mudah, karena baik Joey maupun Oleg sama-sama mengalami berbagai peristiwa mengerikan selama satu malam penuh.

Penulis naskah sekaligus sutradara Wayne Kramer (Crossing Over, The Cooler) tampak sangat jelas berambisi menciptakan dan menceritakan petualangan monumental Joey dan Oleg. Selama satu malam penuh, Joey dan Oleg menjumpai berbagai macam orang dan berusaha mencari cara tepat menghadapi orang-orang tersebut. Pergerakan dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya berjalan cepat dan selalu diiringi dengan gebyar festival sumpah serapah. Kecepatan itu tercermin dari adegan pembuka film di mana Joey menggendong Oleg ke mobil yang disambung dengan kilas balik 18 jam sebelumnya. Dalam adegan 18 jam sebelumnya itu, hanya terlihat Tommy dan penjual narkoba yang pada awalnya mengangguk setuju kemudian tiba-tiba gerombolan Detective Rydell datang menerobos. Penonton pun disajikan baku tembak, banjir darah, dan suara super-bising dengan kamera bergerak cepat dari satu sisi ke sisi lain, menangkap berbagai gambar mengerikan.

Ketegangan disambung dengan adegan saat Joey berusaha mengambil poyektil peluru hasil tembakan Oleg, saat bocah keturunan Rusia itu kabur dan bertemu tinawisma mengerikan, menodong mucikari kasar bernama Lester (David Warshofsky), menolong pelacur bernama Divina (Idialis DeLeon), diculik dua pasangan pedofilia, hingga menyaksikan "pertandingan" hoki berdarah bersama Joey. Semua persitiwa itu sambung-menyambung dan bermunculan bahkan sebelum penonton sempat mencerna satu peristiwa yang tersaji di layar. Berbagai tokoh pendukung secara tiba-tiba muncul dalam benak tokoh utama sebelum wajah atau nama mereka tampil atau disebutkan. Ingatlah bagaimana Joey mengetahui siapa pencuri pistol yang disimpan Nicky dan Oleg di toilet sebuah restoran. Adegan tersebut membuai penonton dengan aura keputusasaan Joey saat ia berulang kali berkata "You just fucking killed me, kid!", tetapi sesaat kemudian dengan begitu cepat penonton mendapatkan pria itu dengan cerdas mengendap ke ruang manajer restoran, mencari identitas seorang pria.

Akan tetapi tidak dapat dipungkiri perjalanan monumental Joey dan Oleg dalam film ini terkesan sangat rumit dan memusingkan. Kerumitan itu tidak lain karena Kramer memaksa ingin menggabung dan mencampur aduk semua hal dalam menuturkan pengalaman dua tokoh tersebut tanpa mempedulikan koherensi alur cerita utamanya. Ingatlah bagaimana Kramer sangat ingin menguatkan ketegangan cerita dengan memasukkan unsur penculikan Oleg oleh dua pasangan pedofilia. Meski penonton merasakan sensasi tegang menyaksikan aksi Tee menyelamatkan Oleg, namun penculikan tersebut tidak memiliki hubungan dengan alur pencarian pistol yang menjadi inti utama film berdurasi 122 menit ini. Kesan yang justru timbul dari penculikan tersebut adalah Kramer hanya ingin menggambarkan pada penonton (yang seharusnya sudah sangat mengerti) bahwa di luar sana banyak iblis pemangsa anak-anak berkeliaran di mana-mana. Bersama-sama adegan tembak-menembak, umpatan, dan pukulan yang bertaburan di sepanjang film ini, penculikan tersebut seolah bagian dari ritual Kramer dalam mengagungkan kekerasan. Hal yang sama juga terjadi pada adegan di mana Tommy menembak Sal yang ternyata berkhianat. Ayolah Kramer, mengapa Anda sangat patuh mengikuti pakem film-film mafia di mana pengkhianatan menjadi konfilk yang haram dilewatkan? Jangan lupakan pula Lester sang mucikari yang tiba-tiba muncul lagi di bagian akhir setelah pada pertengahan cerita Kramer memotong alur yang melibatkan tokoh tersebut secara tanggung. Ibarat tokoh kartun Tom dan Jerry yang tidak pernah mati meski tertimpa apapun, Lester menjadi karakter komik yang efektif, tetapi sekali lagi, apa hubungannya dengan alur utama cerita?

Seakan tidak cukup dengan alur cerita yang tidak koheren, penonton juga dipaksa mencerna keseluruhan latar belakang konflik yang terjadi pada menit-menit akhir film dalam adegan di arena hoki es. Dengan dialog dan aksi tokoh-tokohnya yang cepat, saya jamin banyak penonton yang tidak sepenuhnya memahami keterkaitan antara mafia Rusia, mafia Italia, pistol yang selama ini dicari, Joey, Oleg, Anzor, Rydell, dan FBI. Bagi yang dapat memahaminya pun pasti akan dongkol bukan main karena merasa ketegangan dan "rasa lelah" menyaksikan aksi Joey dan Oleg ternyata sia-sia. Mereka telah berani mempertaruhkan nyawa untuk sesuatu yang sebenarnya tidak penting. Lucunya, seakan tahu bagian akhir film ini dipenuhi berbagai plot twists yang bertumpuk-tumpuk, Kramer merangkum isi film ini dalam animasi pendek di bagian kredit yang cukup menarik. Pada akhirnya, Kramer terkesan hanya ingin memberikan "hiburan yang melelahkan" kepada penonton karena cerita ini ditutup dengan akhir yang sangat menjual: jagoan menumpas habis semua penjahat, ia selamat dan hidup bahagia selamanya, tanpa mempedulikan penonton yang selama dua jam menyaksikan dirinya kalang kabut ke sana kemari hanya untuk mendapatkan penutup cerita dari negeri dongeng.

Meski demikian, satu hal yang saya salut dari naskah Kramer adalah kemahirannya dalam memberikan ruang yang cukup pada tokoh-tokoh pendukung untuk bereksplorasi dengan fondasi karakter mereka. Eksplorasi tersebut menghasilkan penampilan memikat yang meninggalkan kesan dalam pada penonton. Tokoh-tokoh pendukung tersebut memiliki panggung tersendiri yang cukup luas, panggung yang membuat posisi mereka lebih dari sekedar pemeran pendukung. Tokoh-tokoh pendukung yang diberikan panggung luas itu antara lain Anzor dan Tee. Pada awal perkenalan dengan Anzor, penonton diberikan gambaran menyedihkan tentang seorang pria Rusia yang terkurung dalam kekecewaannya pada John Wayne. Adegan film The Cowboys (1972) yang menayangkan Duke tertembak mati membuat Anzor terpukul dan terkejut, menghancurkan imajinasinya sebagai bocah Rusia yang hanya mendapatkan versi 10 menit film tersebut tanpa menduga pahlawannya akan tewas seperti pria lemah. Kramer menggunakan gaya Tarantino untuk mengekspresikan betapa depresi Anzor ketika ia berbagi kesedihannya pada Oleg. Digabung dengan rasa takut Oleg berada di dekat ayah monsternya itu, adegan tersebut sangat memorable. Ketika Mila (Ivana Milicevic) menceritakan jasa Anzor yang sangat besar baginya, penonton mendapatkan sebuah ironi yang sngat mencekam dari hidup pria tersebut. Anzor adalah pria baik hati yang terbuang dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan terhadap orang-orang yang ia tolong karena kebaikannya.

Hal yang sama juga diberikan pada tokoh Tee. Sebagai istri seorang anggota mafia, saya cukup heran mengapa Tee selalu berusaha tampil sebagai "ibu normal" dalam keluarganya. Padahal tanpa perlu menjadi ibu macam itu penonton sudah sadar bahwa Joey tidak dapat lagi menahan kebiasaannya mengucapkan kata-kata kotor di hadapan Nicky. Keheranan tersebut kemudian sirna ketika dengan semangat dan kekuatan yang tidak kalah dari suaminya, Tee menunjukkan aksi kepahlwanan dalam menumpas kejahatan penculikan anak. Saat itu juga saya sadar bahwa Tee pun tidak bisa menahan nalurinya untuk berani bertindak, bahkan keberanian itu ia akui telah menjadi kebiasaan semenjak ia menikahi Joey. "I hav turned my back on a lot of things since we've been married. My eyes are wide open on this one!", sembur Tee ketika Joey kesal terhadap aksi istrinya itu yang ia anggap sok pahlawan.

Hal lain yang menjadi nilai tambah bagi Running Scared adalah segi visualnya yang menawan. Kramer seolah mengerti bahwa film adalah medium dengan unsur visual yang kuat sehingga tampilan gambar perlu mendapat perhatian khusus. Berbagai efek visual ditempatkan pada tempat yang pas, misanya adegan gerak lambat saat peluru dari rumah Oleg menghantam dinding kediaman Joey dan gaya penceritaan kilas balik pada pembuka film, dan double flashbacks ketika Joey memahami apa yang terjadi di rumah Oleg, dan lompat ke masa depan di adegan paling akhir. Dua adegan tembak-menembak juga disajikan sangat megah di awal dan akhir film, di mana kamera menangkap banyak sudut gambar untuk memperlihatkan masing-masing orang yang terlibat bahu tembak tersebut. Selain itu Kramer juga tidak takut menggunakan elemen grafis untuk menghadirkan nuansa kejam. Genangan dan muncratan darah dapat ditemukan di sepanjang film, melengkapi kekerasan verbal dan emosional yang dapat penonton tangkap dari awal cerita.

Dari departemen akting, di luar dugaan Paul Walker mampu mengeluarkan penampilan impresif di sini. Emosi, gerak, suara, dan ekspresi Walker sangat tepat menggambarkan sosok Joey yang cukup tempramental tetapi memiliki kemampuan luar biasa dalam mengambil tindakan di bawah tekanan. Walker tahu persis bahwa Joey adalah tipa orang yang dapat bersikap tabah, lihai berkelit, mampu berpikir jernih dalam ketakutan, namun pada satu titik meledakkan rasa panik. Dalam balutan aksen New Jersey yang kasar dan menghentak, Walker telah menghadirkan pria nyata bernama Joey di hadapan penonton. Salah satu adegan favorit saya adalah adegan di toilet seperti saya sebutkan di atas. Dalam adegan itu Walker sebagai Joey tanpa sadar membentak dan menekan Nicky, berteriak padanya dan dengan jujur mengungkapkan ketakutannya dalam nada putus asa. Selain Walker, Cameron Bright juga memberikan penampilan apik. Sebagai anak yang mengalami trauma setelah sekian lama disiksa ayah tiri, Bright memancarkan aura marah sekaligus takut yang terasa sangat kuat. Tatapan mata Bright sebagai Oleg saat ia menodongkan pistol ke arah kakek tirinya Ivan (John Noble) sangat tajam dan dalam. Tatapan mata itu seolah ingin menunjukkan bahwa ia bukanlah anak kecil lemah yang dapat ditindas, ia adalah pemberani yang tidak takut membela haknya bahkan jika harus menarik pelatuk pistol untuk kedua kalinya. Dalam adegan itu Bright kembali memberikan penampilan menakutkannya seperti dalam Birth (2004). Namun di balik amarahnya, penonton dapat merasakan ketakutan dan kepolosan Oleg yang tidak berbeda dari anak-anak seusianya. Adegan di dalam mobil saat Joey menanyakan apa musik favorit Oleg dan adegan saat Oleg membuntuti Divina sangat jelas menunjukkan bahwa bocah itu butuh kasih sayang dan pertolongan.

Terakhir, Running Scared tidak akan lengkap tanpa kehadiran Vera Farmiga. Sebagai Tee, Farmiga memberikan penampilan memukau melalui aura sensual, pemberani, sekaligus penyayang keluarga. Saya rasa tidak ada yang dapat membantah sedikit adegan seks di bagian pembuka film terasa sangat panas dan membuai, dan itu semua berkat bahasa tubuh dan tentu saja tubuh Farmiga itu sendiri yang terlihat sangat menikmati service dari Joey. Namun tentu saja adegan dinamit Farmiga adalah saat ia menyelamatkan Oleg dari dua predator anak-anak, Dez (Bruce Altman) dan Edele (Elizabeth Mitchell). Dalam adegan itu, Farmiga sebagai Tee sempat merasa frustrasi ketika melihat begitu banyak kejanggalan dan teka-teki yang disimpan Dez dan Edele. Namun dengan emosi dan keberanian yang ia paksa keluarkan dari dirinya, Tee seolah ingin menunjukkan jangan bermain-main dengan istri seorang Joey. Teriakan, rasa terkejut, takut, amarah yang luar biasa memuncak, semua itu tercampur baur dalam ekspresi, suara, dan gerak tubuh Farmiga. Dari penampilannya di sini, saya merasakan sensasi melihat jagoan wanita yang tengah beraksi yang berarti tidak pernah berhenti memberi dukungan padanya untuk menghabisi lawan-lawannya. Akhirnya, Tee menjadi satu-satunya tokoh yang melukai orang lain karena alasan yang benar, dengan cara elegan, dan mengeluarkan paling sedikit tenaga.

Ibarat makanan, Running Scared adalah sajian menggoda yang aroma lezatnya sudah tercium sebelum matang. Begitu pula ide Kramer menciptakan film yang fokus pada aksi tokoh-tokohnya karena dimotivasi sesuatu tidak dapat dikatakan buruk (meskipun bukan lagi ide segar). Hal itu terbukti dari rangkaian cerita di mana Kramer cukup berhasil memperlihatkan penderitaan bertubi-tubi dan beban yang dirasakan tokoh Joey di sepanjang cerita. Akan tetapi, Kramer menggunakan terlalu banyak saus dalam sajiannya ini, banyak sub-alur yang sengaja ditempelkan untuk merayakan kesengsaraan tokoh Joey. Akhirnya saus itu mengubah rasa nikmat makanan yang dibuat Kramer, menjadikan film ini tampak terlalu ambisius padahal bahan-bahan yang digunakan adalah barang mewah berupa penampilan para pemeran, gaya cerita, dan visualisasi yang jempolan. It's 3 out of 5 stars. Ada yang punya komentar?



Watch this if you liked:

The Boondock Saints (1999)

Director: Troy Duffy
Stars: Willem Dafoe, Sean Patrick Flanery, Norman Reedus
Genre: Action, Crime, Thriller
Runtime: 108 minutes











Collateral (2004)


Director: Michael Mann
Stars: Tom Cruise, Jamie Foxx, Jada Pinkett Smith
Genre: Crime, Drama, Thriller
Runtime: 120 minutes

Seorang pembunuh bayaran bernama Vincent dipekerjakan oleh Felix, mafia narkotika yang menghadapi ancaman tuntutan kriminal. Pekerjaannya kali ini tidak bisa dianggap enteng, karena Vincent harus membunuh lima orang dalam satu malam saja. Malam itu ternyata juga bukan malam biasa bagi Max, supir taksi yang telah 12 tahun berada di belakang kemudi dengan impian membuka bisnis limusin, sebab karena kesalahan kecil, ia menjadi saksi dari “bisnis” Vincent ketika sesosok mayat terjun bebas dari sebuah apartemen tepat di atas taksinya..









1 komentar:

  1. Saya tdk mengerti di adegan setelah baku tembak di arena ski, polisi datang dan membiarkan joey beserta oleg pergi. Kemudian di pemakaman palsu joey pakai bendera spt pemakaman militer, saya menangkap disini bahwa joey itu adalah agen rahasia, yang menyamar jadi anggota mafia. Sepertinya komentator film, tidak melihat ini, dalam sinopsisnya tidak ada menyinggung seperti dugaan saya tsb

    BalasHapus