Sabtu, 30 November 2013

The Man in the Moon: Taste the Bittersweet of Love and Life

"I missed my chance with five, really liked four, truly loved two, regretted breaking up with one, and currently like one... I'm 14.5 years old, single, and my mind and body are exhausted. I don't think I'll ever love again..." Kalimat tersebut merupakan status yang tertulis pada laman akun Weibo, jejaring sosial populer buatan Cina milik seorang remaja. Status tersebut merupakan curahan hati sang remaja tentang hubungannya dengan seorang gadis berusia 12 tahun. Melihat kata-katanya yang begitu frustrasi menghadapi cinta layaknya orang dewasa, status yang diposkan sekitar bulan November 2012 itu langsung menimbulkan kehebohan penduduk internet negeri tirai bambu. Berbagai komentar pedas yang umumnya berasal dari orang dewasa dialamatkan pada remaja si empunya akun. Mereka mencemooh betapa konyolnya perilaku remaja saat ini, betapa terlalu cepat mereka memikirkan cinta di usia yang masih dini. Ya, saat ini Cina sedang menghadapi isu nasional terkait perkembangan anak. Anak-anak generasi Z, generasi yang mengenal teknologi internet dengan segala kecanggihannya sedari awal mereka lahir sekarang tidak ragu lagi mengungkapkan curahan hati mereka tentang cinta melalui internet. Para orang tua yang memiliki anak remaja kini merasa khawatir dan bingung dengan perkembangan sikap dan perilaku anak mereka yang terlalu cepat dewasa. Para orang tua tersebut merasa terganggu dengan keseriusan anak mereka menanggapi sebuah ketertarikan yang seharusnya hanya menjadi cinta monyet. Padahal, pada zaman dahulu cinta monyet merupakan tahapan perkembangan anak yang penting menuju kedewasaan. Orangtua di masa lalu cenderung memahami cinta masa remaja, terutama cinta pertama yang terkenal tak akan pernah bisa dilupakan itu. Mungkin para orangtua di negeri panda dapat belajar bagaimana menghadapi remaja yang sedang mengalami jatuh cinta dari Matthew dan Abigail dalam The Man in the Moon (1991).

Satu lagi kisah coming of age yang sangat indah telah saya tonton. Sejujurnya saya tidak pernah mendengar judul The Man in the Moon ini. Beruntung seorang kerabat dekat memperkenalkan film ini dan dengan baik hati bersedia meminjamkan koleksi DVD miliknya. Saya harus mengucapkan terima kasih padanya karena setelah menonton film ini, saya merasa mendapat kehormatan untuk mendapatkan sensasi dan pengalaman menyaksikan sebuah karya seni sempurna. Penulis naskah, sutradara, pemain, penata gambar, penata suara, dan seluruh kru film ini berhasil menuturkan sebuah cerita luar biasa tentang bagaimana manis dan getirnya kehidupan dilihat dari sudut pandang seorang gadis belia. Saya tidak ingin terkesan berlebihan, tetapi terus terang ada perasaan yang tidak dapat saya singkirkan ketika selesai menyaksikan film ini. Perasaan tersebut meliputi benak pikiran saya untuk waktu yang lama, sebuah perasaan yang lebih tepat dikatakan iba sekaligus simpati pada setiap remaja yang harus langsung berhadapan dengan kesedihan di awal perkenalannya dengan romantisme.

The Man in the Moon menuturkan sepotong kisah hidup gadis berusia 14 tahun bernama Dani (Reese Witherspoon). Sebagai seorang remaja, Dani memiliki rasa ingin tahu dan ketertarikan terhadap "urusan orang dewasa" yang dulu tidak pernah terpikirkan olehnya. Layaknya remaja lain, Dani juga mulai mencari sosok ideal yang dapat dijadikan contoh untuk ditiru. Bagi Dani, ia ingin menjadi seperti kakaknya Maureen (Emily Warfield) yang terkenal cantik, pandai, dan memikat banyak laki-laki. Di usianya yang ke-14 ini, Dani ingin diperlakukan seperti Maureen, seperti gadis dewasa bukan remaja ingusan seperti anggapan banyak orang terhadapnya selama ini. Selain itu, Dani juga penasaran dengan pengalaman asmara orangtua dan kakaknya. Hanya saja Dani belum memahami bahwa tidak jauh berbeda dengannya, Maureen pun kini tengah berada di persimpangan jalan dalam hidupnya. Maureen baru saja diterima sebuah perguruan tinggi di kota yang membuatnya harus pergi meninggalkan keluarga tercinta dan lingkungan pedesaan tempatnya tinggal jika ia memutuskan kuliah. Belum lagi masalah asmara yang membelit Maureen. Wajah manis dan tubuh molek yang menarik perhatian banyak laki-laki ternyata tidak menjamin Maureen mendapatkan pria idamannya. Kini, Maureen masih menanti cinta sejatinya. Hubungan Maureen dan Dani sebagai kakak-adik sangatlah erat. Mereka sering melakukan percakapan perempuan yang membahas masalah cinta, kegalauan, musik, dan hal-hal kecil lainnya. Tetapi, jika membicarakan kedewasaan tentu saja Dani belum siap menjadi dewasa dengan segala tanggung jawab yang harus dipikul. Sedangkan Maureen membutuhkan pengawasan ketika banyak pria mulai mendekatinya. Untuk itulah Matthew Trant (Sam Waterston) dan Abigail (Tess Harper) berusaha mendidik semua anak-anak mereka dengan tegas tetapi penuh kasih sayang. Kehidupan damai keluarga Trant mulai berputar seperti roller coaster ketika Dani dan Maureen merasakan ketertarikan pada Court Foster (Jason London) yang bersama dengan kedua adik dan ibunya Marie (Gail Strickland) kembali ke desa setelah ayahnya wafat. Bagi Dani, ketertarikannya pada Court ini merupakan fase awal pembelajarannya untuk mengenal lebih jauh manis getir kehidupan orang dewasa.

Naskah yang ditulis Jenny Wingfield mengalir dengan lembut bagaikan sungai tanpa riak dari awal hingga akhir cerita. Di bagian awal, naskah Wingfield memperkenalkan tokoh-tokoh dalam cerita melalui perilaku dan hubungan di antara tokoh tersebut. Dani digambarkan sebagai remaja periang yang sedang dalam masa-masa peralihan menuju kedewasaan. Naskah Wingfield secara halus ingin menyampaikan bahwa Dani adalah seorang anak perempuan yang dibiarkan tumbuh menjadi anak yang menyukai kebebasan. Itulah sebabnya Dani terlihat agak tomboy. Matthew dan Abigail tidak pernah melarang Dani untuk pergi berkeliaran di hutan  sekitar rumah mereka dan berenang di kolam milik keluarga Foster. Matthew dan Abigail juga tidak pernah mengatur cara berpenampilan Dani harus feminin seperti Maureen. Jika Matthew atau Abigail meminta Dani untuk sedikit memiliki rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan rumah tangga seperti mencuci baju dan memakai rok, hal itu lebih dikarenakan mereka ingin putrinya tetap mengikuti kebiasaan gadis-gadis di lingkungan mereka. Namun, selebihnya Dani adalah "anak lelaki" keluarga Trant yang dari dulu diharapkan muncul tetapi tidak kunjung pula datang.

Keinginan memiliki anak laki-laki terutama terlihat jelas dari perlakuan Matthew kepada Dani. Ketika Matthew membutuhkan pertolongan dalam mengerjakan sesuatu, Danilah yang diharapkan membantu, sementara Maureen hanya terlihat membantu Abigail mengurus pekerjaan rumah. Dani jugalah yang tampak sering dan terbiasa diajak Matthew pergi memancing. Bahkan dalam suatu adegan di mana Matthew kalut dan takut ketika Abigail yang tengah hamil terjatuh karena mencari Dani yang pergi ke kolam keluarga Foster di tengah malam, ia berani memecut putri keduanya itu dengan ikat pinggang, sebuah pemandangan yang membuat Maureen takut. Namun, pada akhirnya Matthew sadar bahwa Dani adalah anak perempuannya yang tak pantas diperlakukan kasar. Adegan di mana Dani mengaku ia tidak marah pada ayahnya karena ia mengerti rasa takut dan khawatir yang melanda sang ayah pada saat ibunya terjatuh sangat menyentuh siapapun yang melihatnya. Adegan tersebut menunjukkan naskah Wingfield kaya akan perasaan dan emosi yang tidak harus ditunjukkan secara eksplisit. Perasaan bersalah Matthew adalah bukti adanya perasaan dan emosi itu.

Meskipun begitu, bukan berarti naskah Wingfield dipenuhi dengan berbagai alur murahan yang sengaja dibuat untuk menimbulkan perasaan dan emosi tersebut. Sebaliknya, kehebatan naskah ini adalah tidak ada satupun dramatisasi berlebihan yang umum ditemukan dalam film-film lain. Beberapa alur yang memiliki risiko besar untuk dirusak karena telah terlalu banyak dramatisasinya dibuat begitu segar di sini. Misalnya dalam konflik antara Dani dan Maureen, penonton tidak akan menemukan Dani meledakkan emosi pada kakaknya, bahkan ketika ia merasa dikhianati secara diam-diam oleh dua orang terkasihnya. Tidak ada teriakkan amarah atau adu mulut. Naskah Wingfield justru memberi penonton efek yang lebih mendalam dari sekedar kata-kata penuh emosi, yaitu punggung dingin yang Dani berikan pada kakaknya. Dengan kecerdasannya, Wingfield memahami bahwa Dani belum sepenuhnya dewasa untuk menghadapi kenyataan pahit hidup sehingga ia mengalihkan bentuk amarah gadis itu menjadi semacam angan-angan seorang adik untuk tidak pernah berbicara pada kakaknya lagi, sebuah hal yang akan dianggap sangat sulit dilakukan oleh orang dewasa dalam ikatan keluarga. Begitu pula dalam alur di mana Dani menyadari bahwa tidak seharusnya ia memutuskan tali persaudaraan dengan Maureen. Dalam alur itu penonton tidak akan menyaksikan Dani dengan cucuran air matanya datang dan mengatakan isi hatinya secara terus terang kepada Maureen sebagaimana alur film cengeng lain. Alih-alih membuat alur seperti itu, Wingfield memanfaatkan kedekatan Matthew dengan Dani untuk "mengembalikan" putrinya itu ke jalan yang benar. Dengan alur demikian, penonton tidak akan merasakan proses pendewasaan Dani terlalu tiba-tiba dan terkesan dipaksakan. Melalui nasihat seorang ayah, sosok Dani dapat dipahami sebagai gadis muda yang telah mendapatkan pelajaran kecil dari kehidupan dengan bantuan orangtuanya.

Naskah Wingfield adalah satu potret utuh yang sempurna menangkap proses pendewasaan seorang remaja. Berbagai isu yang relevan dengan perkembangan remaja diangkat Wingfield di sini, mulai dari keluarga, tanggung jawab, kasih sayang platonik dan asmara, kejujuran, hingga pentingnya memaafkan kesalahan orang lain. The Man in the Moon berbicara banyak bagaimana mendidik anak-anak dalam sebuah keluarga. Setiap anggota keluarga memiliki tanggung jawab masing-masing yang harus dikerjakan dengan kesadaran diri sendiri. Sikap tegas orangtua merupakan kunci pendidikan anak dalam keluarga, tetapi jangan sampai sikap tersebut disalahartikan sebagai sifat kasar atau keras. Jauh dibalik sikap tegas itu, terdapat cinta dan kasih sayang orangtua kepada anaknya. Dalam film ini, sikap tegas Matthew kepada anak-anaknya khususnya Dani merupakan bentuk pembelajaran agar putrinya itu selalu berhati-hati dalam bertindak. Matthew tidak ingin hanya karena suatu hal (baca: cinta) yang sangat diinginkannya, Dani bertindak ceroboh yang pada akhirnya dapat membahayakan dirinya dan orang lain. Pada akhirnya, penonton dapat merasakan bahwa didikan Matthew itu berhasil saat Dani mampu melihat tindakan kasar ayahnya bukan dimaksudkan untuk menyakitinya, bukan pula untuk menunjukkan bahwa dirinyalah yang paling berkuasa dalam keluarga dan harus dihormati sebagaimana tatakrama "Yes, Sir - No, Sir" yang ia terapkan. Dalam adegan menyentuh seperti yang saya sebut di atas, penonton tahu bahwa Dani mulai melihat ayahnya sebagai seorang manusia biasa yang memiliki rasa takut dan tidak sepantasnya ia marah dengan tindakan orang yang tengah ketakutan, apalagi orang itu adalah ayahnya sendiri. Lebih jauh lagi, Dani juga paham bahwa hanya karena ia melihat Matthew ketakutan bukan berarti ia tidak dapat mengandalkan ayahnya itu untuk memberikan perlindungan. Adegan di mana Dani dengan panik meminta ayahnya menolong Court membuktikan kedewasaan Dani tersebut.

Sementara itu dalam mengeksplorasi kisah cinta remaja, The Man in the Moon tidak menggunakan rasa ingin tahu remaja terhadap seksualitas sebagai medianya, melainkan melalui sifat pantang meyerah seorang remaja demi merasakan sensasi cinta pertamanya. Hal itu menjadikan kisah cinta dalam film ini terasa sangat segar dan berbeda. Hubungan Dani dan Court yang pada awalnya terlihat mesra layaknya cinta remaja lainnya berubah menjadi gambaran pahit penolakan pihak laki-laki yang lebih dewasa kepada seorang gadis yang sama sekali belum pernah merasakan cinta dan sangat menantikannya. Satu hal yang menarik dari penolakan itu adalah Dani sama sekali tidak merasa ditolak oleh Court. Meskipun berulang kali rasa penasaran Dani untuk mendapatkan ciuman pertama ditanggapi dengan sikap Court yang berubah-ubah terhadapnya, hal itu tidak membuat Dani alergi mendekati pria idamannya itu. Bahkan, yang semakin membuat menarik adalah dengan segala ketegaran untuk mempertahankan harga dirinya Dani berkata ia sudah pernah dicium oleh banyak lelaki. Tanpa ragu, Dani juga mengaku ia mengerti dan tidak kecewa jika Court hanya ingin bersahabat dengannya.

Saya tidak dapat melupakan adegan di mana Court datang meminta maaf pada Dani dan dengan ekspresi marah yang disembunyikan, gadis itu berkata, "You don't have to be sorry!" dan "I already understand!" Padahal, sangat jelas Dani masih mengharapkan Court sebagai kekasih pertamanya karena pada hari-hari berikutnya ia masih saja mengajak Court berenang bersama, dengan embel-embel "persahabatan" tentunya. Akhirnya dengan mengeluarkan kepolosannya Dani berterus terang pada Court, "I want you to be the first boy I ever kiss". Ketegaran Dani juga ditunujukkan manakala Court ragu dengan perasaannya sendiri terhadap Dani hingga membuat ia terkesan memberikan sinyal yang salah. Ketika Court semakin bersikap kasar untuk mempertegas bahwa dirinya tidak tertarik pada Dani, gadis itu tidak pernah menyerah. Satu adegan yang menusuk memori saya adalah saat Dani mengungkapkan perasaannya dan Court membalas dengan berteriak, "Don't! Don't love me now. When things are so mixed up". Hari berikutnya Dani malah mendekati Court lagi dan justru ia yang meminta maaf. Semua itu menunjukkan betapa Dani ingin Court menjadi cinta pertamanya. Karena itu apapun yang dilakukan Dani - meski itu terlihat bodoh di mata orang dewasa - terlihat begitu wajar bagi seorang remaja yang belum melihat berbagai rasa dan rupa cinta. Menurut saya karakter Dani di sini bukanlah gadis yang hanya berpura-pura tegar. Ketika Court mengatakan bahwa ia hanya dapat menjadi seorang teman, Dani menerimanya dengan satu harapan: ia dapat mengenal pemuda itu lebih jauh lagi. Dalam sebuah adegan yang menjadi favorit saya, Dani bertanya pada Court, "I wanna know... your hopes". Pertanyaan itu seakan menunjukkan bahwa Dani telah siap seandainya hubungan dengan Court tidak dapat ditingkatkan ke arah yang ia harapkan. Seorang sahabat pun cukup, seorang sahabat dekat yang memiliki harapan indah, seindah impiannya tentang pria idamannya.

Satu hal yang mungkin dapat dipertanyakan dari naskah Wingfield adalah mengapa ia menggunakan tragedi sebagai klimaks sekaligus "mengatasi konflik" yang dialami remaja itu? Sebagai sebuah coming of age tidakkah akan menjadi lebih cocok jika remaja itu sendiri yang mengatasi konflik dengan keputusan dan aksi yang dibuatnya? Mengapa sang remaja harus pasrah kepada takdir yang membuatnya terkesan pasif dalam pencarian jati dirinya? Well, bagi saya pribadi pertanyaan-pertanyaan itu muncul seketika tetapi kemudian lenyap ketika merasakan efek dari tragedi yang menjadi resolusi tersebut ternyata tidak kalah powerful. Memang akan indah bila penonton diberi kesempatan untuk melihat keberanian Dani untuk megambil keputusan dan tindakan untuk mengatasi konflik yang ia hadapi, tetapi dengan tragedi pun tidak lantas membuat Dani terlihat kurang dewasa. Hubungan Dani dengan Maureen setelah tragedi itu justru menjadi titik balik sekaligus kesempatan baginya untuk mengambil keputusan dan tindakan besar dalam hidup, yaitu memaafkan seseorang atas sesuatu yang tampak mustahil diberi maaf.

Kesempurnaan The Man in the Moon semakin lengkap dengan arahan dari sutradara Robert Mulligan (To Kill a Mockingbird, Summer of '42), sineas yang telah berpengalaman menjadi arsitek film-film dengan tokoh utama gadis belia. Dalam film berdurasi 99 menit ini dengan elegan Mulligan menuturkan peralihan Dani dari remaja menjadi gadis dewasa. Mulligan memiliki cara cerdas bagaimana menggambarkan kepolosan Dani di awal cerita, yaitu dengan girl talk antara putri kedua Matthew tersebut dengan kakaknya, Maureen. Obrolan perempuan itu pun tidak dilakukan dengan cara yang biasa, melainkan dengan aktivitas yang biasa dilakukan dua orang kakak-beradik di desa, yaitu menyisir dan mengikat rambut. Dalam beberapa adegan, kegiatan menyisir dan mengikat rambut itu begitu intim hingga Dani mencurahkan isi hatinya pada Maureen. Dari kegiatan itu Dani bertanya banyak hal, mulai dari cara berciuman, rasa jatuh cinta yang amat sangat, hingga persaudaraan mereka. Girl talk tidak hanya digunakan di awal cerita untuk menggambarkan kepolosan Dani, tetapi juga merupakan sentuhan akhir yang diberikan Mulligan untuk menggambarkan bahwa Dani di akhir cerita bukanlah sosok yang sama seperti di awal cerita. Dani telah melihat dan merasakan bahwa hidup di dunia dengan segala sikap dewasanya tidaklah semudah dan sesempurna yang dibayangkan anak-anak. Meskipun telah bermetamorfosis menjadi gadis dewasa, pemahaman Dani terhadap dunia yag tidak selalu indah membuatnya berpikir ulang bahwa menjadi gadis kecil - seperti anggapan semua orang padanya - tidaklah terlalu buruk. Pemikiran itu terwujud dari percakapan antara Dani dan Maureen di adegan pamungkas. Dalam adegan itu, Dani berkata, "I wish I could still talk to the man in the moon. Don’t you?"

Saya terkesima dengan kemampuan Mulligan memanfaatkan latar tempat yang terbatas dalam film ini menjadi beberapa simbol dari siklus kehidupan yang penuh makna. Simbol pertama adalah pagar kayu rumah keluarga Trant. Pagar tersebut merupakan gerbang yang membuka jalan untuk Dani dalam menemukan kedewasaannya. Melalui pagar tersebut, setiap hari Dani pergi mencari kebebasan dengan melakukan kebiasaannya berenang di kolam keluarga Foster. Melalui pagar itu, Dani pulang ke rumah dengan wajah dan hati berser-seri tetapi di lain waktu dengan hati dan wajah sedih setelah bertemu Court. Melalui pagar itu pula Dani kembali ke rumah sebagai sosok gadis muda dengan hati dan pemikira dewasa. Tetapi bukan hanya Dani seorang yang memiliki kenangan dengan pagar tersebut. Sama halnya dengan Dani, Maureen pun memiliki kenangan pahit dan manis terhadap pagar rumahnya. Melalui pagar itu, Maureen merasakan pengalaman kencan terburuknya dengan Billy Sanders (Bentley Mitchum). Melalui pagar itu, Maureen pulang ke rumah dengan wajah dan hati riang setelah bertemu Court. Melalui pagar itu pula Maureen mendapatkan kabar buruk dari Matthew yang langsung membuatnya bertekuk lutut dalam tangisan. Apapun peristiwanya, sejak awal dan pertengahan cerita Mulligan selalu memberi perhatian pada pagar itu. Dalam beberapa adegan yang serupa, yaitu ketika Dani dan Maureen sama-sama pulang ke rumah dengan hati gembira setelah bertemu Court, kedua gadis itu selalu menoleh ke belakang. Entah apa yang mereka ingin lihat di belakang, namun tolehan itu selalu membuat pagar tersebut tertangkap kamera. Namun, dalam satu adegan Mulligan seakan ingin menghancurkan kenangan-kenangan tersebut ketika Matthew dengan cekatan mengemudikan truknya dan menerobos pagar rumahnya. Seketika itu pula robohlah harapan Dani dan Maureen mendapatkan cinta sejati yang mereka nantikan.

Simbol kedua adalah kolam keluarga Forest. Kolam tersebut merupakan salah satu tempat penting bagi Dani dan Court. Di kolam itulah mereka pertama kali bertemu. Di kolam itu Dani akhirnya mendapatkan ciuman lelaki pertamanya. Di kolam itu Court bertemu sahabat pertamanya, sesuatu yang sulit ia cari dalam masa-masa adaptasinya hidup di desa. Di kolam itu pula Dani mendapatkan pemahaman bahwa bukan ialah satu-satunya orang yang teruka dengan tragedi yang terjadi. Dani mengerti semanis apapun kenangannya dengan Court, memusuhi Maureen tidak akan membawa Court kembali. Peristiwa yang terakhir itu bahkan memiliki makna yang lebih dalam lagi. Kecipak kaki Dani di kolam yang disinari teriknya matahari dan kenangannya bersama Court yang tiba-tiba datang menghantui pikirannya merupakan pertanda bahwa Dani akan segera pulih. Gadis itu akan baik-baik saja karena ia telah melakukan hal yang tepat: merenungkan perbuatannya itu. Setelah medapatkan nasihat dari Matthew, Dani kembali ke kolam tersebut dan terciptalah adegan kecipak kaki tadi, adegan di mana ia berpikir ulang apakah kehidupan hampa dan sedih seperti itu yang akan ia jalani selama sisa hidupnya yang masih jauh terbentang? Puji Tuhan ia menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan itu.

Aspek terpuji lain dari The Man in the Moon adalah sinematografi dan desain produksi yang dapat melebur dengan sempurna dengan jalan cerita. Warna merah keemasan yang mendominasi di sepanjang cerita benar-benar memberikan suasana hangat pedesaan wilayah Selatan Amerika. Teriknya musim panas juga membuat kehangatan itu semakin nyata. Desain produksi film ini juga sangat apik, mulai dari arsitektur rumah (gosh, they find a perfect house for this kind of movie), kostum, kendaraan, musik dan properti lainnya pas dengan era 50-an. Sinematografi dan desain produksi tersebut semakin menguatkan kesan hangat sebuah keluarga dan cocok dengan gambaran hidup warga desa. Saya sangat senang dengan kehidupan keluarga Trant yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Keluarga Trant tampak tinggal di sebuah komunitas yang bukan hanya tenang dan damai, melainkan juga agak terpencil. Bayangkan untuk membeli sekotak garam saja harus pergi ke kota dengan mengendarai mobil, begitu pula jarak rumah para tetangga yang cukup jauh di mana Dani harus berlarian terengah-engah untuk sampai di rumah Court.

Dari segi pemeran, saya rasa semua aktor memberikan penampilan optimal mereka. Mulai dari Waterston dan Harper yang sempurna menjadi orangtua. Kedua aktor tersebut berhasil memancarkan aura kasih sayang yang sangat kuat. Mereka sadar bahwa peran mereka bukanlah hanya sebatas peran pembantu yang sengaja dibuat hanya untuk meramaikan cerita. Lebih dari itu, mereka paham bahwa karakter Matthew dan Abigail harus terlihat meyakinkan sebagai orangtua yang mampu membesarkan gadis-gadis luar biasa seperti Maureen dan Dani. Terkait dengan karakter orangtua ini, salah satu adegan favorit saya adalah ketika Abigail dengan intuisinya menyambangi kamar Maureen yang ternyata sedang berduka lara. Dalam adegan itu Maureen menumpahkan kesedihannya pada Abigail yang dengan hati terbuka menenangkan putri sulungnya. Adegan tersebut memiliki makna yang dalam, bagaimana seorang ibu berusaha memberikan waktu pada anaknya untuk bersedih, tetapi sang ibu juga mengingatkan bahwa ada masa di mana tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengatasi kesedihan itu selain tegar dan melanjutkan hidup. Selain Waterston dan Harper ada pula Strickland, London, dan Warfield yang bermain sangat baik di sini.

Namun, tidak dapat disangkal bahwa The Man in the Moon memberikan panggung utamanya pada Witherspoon. Dalam debut layar lebarnya ini, Witherspoon tampil memukau sebagai gadis tomboy yang sudut pandangnya terhadap hidup telah berubah seiring proses pendewasaan yang ia lalui. Witherspoon membuat penonton ikut merasakan jatuh bangun menjadi seorang remaja ketika menyaksikan hubungannya yang tidak jelas dengan Court. Witherspoon juga membuat penonton larut dalam keintiman persaudaraan antara Dani dan Maureen. Tidak ketinggalan, Witherspoon juga membuat penonton merasakan indahnya menjadi seorang anak dalam keluarga yang harmonis seperti keluarga Trant. Penonton tertawa ketika melihat Dani dengan konyol dan polos belajar teknik berciuman dari Maureen, sedih ketika ia harus menerima kenyataan pahit ditinggal Court, emosi ketika merasa dikhianati, dan tersenyum bangga ketika ia memaafkan Maureen. Singkat kata, Witherspoon sangat memengaruhi penonton untuk larut bersamanya menyaksikan hidup Dani dan keluarganya berlalu waktu demi waktu. Sungguh mencengangkan prestasi seorang Witherspoon muda yang awalnya mengikuti casting film ini hanya bermaksud mendapat peran sebagai figuran. Dengan kemampuan dan bakatnya ini, tidak heran ia menjadi salah satu bintang besar Hollywood.

Secara keseluruhan, The Man in the Moon adalah sebuah karya sempurna yang banyak bercerita tentang makna hidup. Film ini merupakan karya signifikan yang dapat dijadikan media pembelajaran bagi kita semua - kususnya remaja - bahwa hidup memang tidak semudah dan sesederhana yang dibayangkan anak-anak. Namun tidak ada alasan untuk takut menjalani hidup, karena dari kehidupan lah kualitas dan kemanusiaan seorang manusia dapat terasah. Terakhir, untuk menghormati Mulligan yang menolak karyanya ini disebut sebagai film coming of age, saya akan menarik kata-kata saya di atas yang mengatakan bahwa film ini bercerita tentang coming of age. Saya setuju dengan Mulligan yang berpendapat bahwa film ini berbicara tentang coming of life, di mana kehidupan sesungguhnya baru dimulai ketika kita benar-benar mengenal seperti apa wajah kehidupan dan mengetahui bagaimana cara menghadapi kehidupan itu. Sungguh disayangkan film ini menjadi karya terakhir Mulligan. Tapi setidaknya ia menutup karier panjangnya dengan sebuah persembahan yang dapat dikatakan klasik dan megah dalam segala kesederhanannya. Well done, Sir! It's 5 out of 5 stars. Ada komentar?



Watch this if you liked:

To Kill a Mockingbird (1962)

Director: Robert Mulligan
Stars: Gregory Peck, John Megna, Frank Overton
Genre: Crime, Drama, Mystery
Runtime: 129 minutes











Flipped (2010)


Director: Rob Reiner
Stars: Madeline Carroll, Callan McAuliffe, Rebecca De Mornay
Genre: Comedy, Drama, Romance
Runtime: 90 minutes

Memasuki usia pubertas di SMP, hidup dua remaja bertetangga, Bryce dan Juli tidak lagi sesederhana saat kelas dua SD. Di tengah ketertarikan Juli kepada Bryce yang tampaknya tidak akan pernah berakhir, timbul berbagai variabel baru dalam hidup mereka. Juli mulai mempertanyakan perasaannya kepada Bryce. Bryce sendiri pada akhirnya mendapatkan dirinya berada pada suatu persimpangan jalan, di mana ia harus memilih menjadi dewasa dan berupaya mengejar ketertinggalannya selama ini, berusaha menggapai sesuatu yang selama ini dianggapnya tidak berharga...




























Tidak ada komentar:

Posting Komentar