Sabtu, 26 Maret 2011

Mempertanyakan Revolusi Makanan Cepat Saji

Selama ini, makanan cepat saji selalu menjadi “dewa penolong” bagi orang-orang yang sibuk dan tak sempat membuat makanan sendiri atau sekadar menunggu makanan yang dimasak dengan cara konvensinal di rumah makan atau restoran. Makanan cepat saji menurut saya membawa keuntungan di tiga sisi: waktu penyajiannya yang singkat, rasa yang lumayan enak, dan harga yang pas di kantong. Masalahnya, keburukan yang muncul dari makanan cepat saji lebih banyakdari manfaat tersebut.

Saya baru saja menonton Oprah yang disiarkan Metro TV hari ini. Acara tersebut membahas sebuag film documenter berjudul Food Inc. yang mengundang kontroversial di masyarakat Amerika. Kalangan pebisnis makanan cepat saji mengklaim film dokumenter itu berat sebelah dalam menyampaikan informasi mengenai fakta-fakta seputar makanan cepat saji. Dalam film itu diperlihatkan dan dikupas bagaimana industri peternakan Amerika (khususnya ternak ayam) telah berubah drastis dari usaha peternakan yang dijalankan masyarakat Amerika di tahun 1930-an. Banyak ayam-ayam yang tumbuh besar karena suntikan antibiotik dan hormon, sehingga ternak-ternak tersebut terlihat sangat subur dan tentunya menguntungkan secara ekonomis. Meski begitu, tak banyak peternak di Amerika yang mau menceritakan hal ini kepada publik. Terbukti, ketika proses pembuatan film itu berlangsung, hanya ada satu peternak ayam yang bersedia peternakannya diekspos. Sang peternak mengatakan bahwa sebagian besar peternakan Amerika sekarang memang menggunakan cara instan untuk membesarkan ternak-ternak mereka. Ayam-ayam ternak menjadi berukuran sangat besar, bahkan mereka tak mampu berjalan layaknya ayam normal, karena selalu terjatuh akibat tak bisa menopang beban tubuh mereka sendiri.



Talkshow Oprah mengundang Michael Pollan, seorang jurnalis yang telah sukses menulis empat buku bestseller tentang makanan. Ia mengatakan bahwa dengan hadirnya film Food Inc. tersebut seharusnya kita menjadi sadar untuk lebih memikirkan dari mana saja asal makanan yang kita konsumsi setiap hari selama ini? Apakah makanan yang masuk ke dalam tubuh kita adalah benar-benar makanan? Makanan yang layak dikonsumsi? Atau sekadar makanan yang membuat perut kita merasa kenyang saja?



Menurut saya, sebagai makhluk omnivora manusia memang harus sangat berhati-hati terhadap apa yang dimakannya, sebab bila kita mengonsumsi sembarang makanan tentu akan berakibat buruk bagi kesehatan. Kini saatnya untuk mempertimbangkan apakah makanan cepat saji tergolong “real food” – istilah yang dipakai Pollan untuk makanan yang sehat – atau bukan. Menurut Pollan, sekarang adalah ssat yang vtepat untuk beralih dari makanan tak sehat ke makanan sehat. Hal ini dapat dilakukan sedikit demi sedikit. Misalnya, kita menghindari sebisa mungkin makanan olahan yang tak jelas cara pembuatannya. Pollan mengatakan lebih baik memasak makanan sendiri disbanding memakan junk food. Selain itu, kita juga perlu membiasakan diri membeli prodik-produk makanan segar, mentah, atau organik.

Masalahnya, harga produk makanan mentah yang segar atau organik tentu lebih mahal disbanding bila kita langsung membeli makanan olahan. Hal ini tentu menjadikan beban kita semakin besar. Apalagi untuk masyarakat Amerika yang terbiasa mengonsumsi 100 koligram daging dalam setahun per orang, tentu ini kan menjadi pilihan sulit. Pollan menjelaskan bahwa mahalnya harga makanan segar di Amerika dikarenakan subsidi pemerintah telah bergeser dari sebelumya untuk peternak dan petani menjadi untuk pengusaha cepat saji. Setiap tahun, Pollan mengatakan ada US$56 juta dolar untuk pengusaha makanan cepat saji.



Akhirnya, masalah makanan cepat saji yang dibahas Oprah tadi membuat saya mempertanyakan revolusi makanan cepat saji yang ada saat ini. Banyak pengusaha makanan cepat saji yang hanya memikirkan aliran uang yang akan mereka terima dan tidak mempedulikan kesehatan konsumen. Bagi mereka, pengembangan jaringan usaha/bisnis makanan milikinya jauh lebih penting dipikirkan daripada menguirusi “rengekan” konsumen. Mungkin itulah esensi judul film dokumenter Food Inc. Seperti Pollan bilang, Amerika memnag telah sangat sukses merevolusi bisnis kuliner dengan menghadirkan makanan cepat saji dengan memanfaatkan teknologi pengolahan makanan yang dapat menekan biaya produksi dan akhirnya dapat menekan harga jual makanan, namun tentu di balik setiap kelebihan pasti ada kekurangan, yaitu masalah kesehatan makanan cepat saji tersebut.

Kini, pilihan ada di tangan kita semua, apakah akan terus mengonsumsi makanan cepat saji yang murah dan tentu cepat atau memilih untuk beralih ke makanan organik yang lebih sehat, namun lebih mahal? Semoga kita memilih pilihan yang tepat di antara kedua pilihan sulit ini. Ada yang punya komentar?


3 komentar:

  1. makasih informasinya...
    walaupun kelihatannya enak tapi kita juga harus memperhatikan efeknya buat tubuh...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, benar sekali. Ketika awal-awal mengenal makanan cepat saji, banyak orang sebagai konsumen terkesima dengan pelayanan prima yang diberikan restoran-restoran cepat saji. Belum lagi kalangan pebisnis yang memuji teknologi, efisiensi, serta profit yang menggiurkan dari bisnis ini. Tetapi saat itu belum banyak yang mengetahui bahwa terdapat kecacatan di balik semua keindahan bisnis makanan cepat saji. Kini, kita bersyukur banyak pihak-pihak independen yang dengan berani mau mengekspos kecacatn tersebut. Semoga dengan bantuan mereka konsumen dapat lebih cerdas dalam menentukan pilihannya.

      Terima kasih telah berkunjung, sherina.

      Hapus
  2. makasih informasinya, walapun makanan siap saji membantu kita untuk cepat kenyang tapi juga harus diperhatikan bahaya dibalik makanan cepat saji itu untuk kesehatan.

    BalasHapus