Tulisan ini akan meninjau tesis ilmiah Blane D. Lewis, seorang peneliti pembangunan internasional, yang berjudul Property Tax in Indonesia: Measuring and Explaining Administrative (Under-) Performance. Tesis ilmah itu diterbitkan tahun 2003 oleh John Wiley & Sons Ltd. Dalam tesisnya, Lewis membahas kinerja administratif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Indonesia. Lewis, yang juga merupakan penasihat senior Kementerian Keuangan, memaparkan bahwa meski PBB di Indonesia terlihat memiliki pencapaian impresif di bawah wewenang pemerintah pusat, namun pada dasarnya sistem administrasi pemungutan pajaknya masih memiliki sejumlah kelemahan mendasar yang perlu segera diperbaiki. Lewis menyoroti hubungan antara kelemahan administrasi pemajakan tersebut dalam konteks desentralisasi fiskal yang semangatnya memang mulai terasa sejak awal 2000. Penjelasan Lewis dalam tesis ini komprehensif, dengan menggunakan data dari Kementerian Keuangan hingga tahun 2001, ia mengidentifikasi kinerja administrasi pemungutan PBB dari variabel-variabel pembentuknya, yaitu cakupan pemungutan pajak (coverage); penilaian objek pajak, dalam hal ini tanah dan bangunan (valuation); dan efisiensi pemungutan pajak terutang (collection).
Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Semangat desentralisasi fiskal mulai disebarluaskan dan menjadi program ambisius pemerintah Indonesia sejak awal dekade 2000, tepatnya mulai tahun fiskal 2001. Pada tahun itu, pemerintah daerah mulai dari provinsi, kabupaten, dan kota diberikan wewenang yang lebih luas untuk mengatur dan bertanggung jawab terhadap pembelanjaan di beberapa sektor baru. Konsekuensi logis dari perluasan wewenang itu adalah meningkatnya pengeluaran daerah. Peningkatan itu dapat terlihat jelas ketika pada tahun 2001, jumlah belanja daerah mencapai kurang lebih 30% dari total belanja nasional.
Sayangnya, perluasan wewenang kepada pemerintah daerah tidak diimbangi dengan perluasan otoritas pemerintah daerah untuk menambah objek pajak derahnya sendiri. Satu-satunya hal yang berubah sejak dilakukannya gerakan awal desentralisasi fiskal adalah restrukturisasi distribusi objek pajak antara provinsi dan kabupaten/kota. Tarif pajak provinsi ditetapkan seragam untuk seluruh wilayah Indonesia, sedangkan di tingkat kabupaten/kota, pemerintah pusat menetapkan tarif pajak maksimal yang dapat dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota.
Sebagai ganti atas terbatasnya otoritas yang diberikan pemerintah pusat pada daerah untuk menambah objek pajak daerah, maka khusus untuk kabupaten/kota diizinkan untuk membuat jenis pajak baru yang dapat diatur dalam peraturan daerah atas beberapa jenis aktivitas bisnis baru di daerah masing-masing. Menurut Devas dan Kelly, hal ini memang fenomena yang umum terjadi di negara berkembang, di mana masyarakatnya mulai giat mengembangkan dunia bisnis. Akan tetapi, pemerintah pusat kemudian seringkali menemukan bahwa jenis pajak baru yang diciptakan pemerintah kabupaten/kota membingungkan, tumpang tindih, atau bahkan mengancam perekonomian, sehingga akhirnya dalam rancangan kebijakan Kementerian Keuangan tahun 2002, pemerintah pusat menyatakan akan “membatasi” penambahan jenis pajak baru oleh pemerintah daerah.
Pemerintah pusat juga mendapati bahwa ternyata pada awal kebijakan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah tidak mampu mendongkrak penerimaan asli daerah. Setidaknya hal itu dapat dilihat pada sebuah riset baru-baru ini yang memperkirakan bahwa pendapatan daerah hanya sebesar 5% dari pendapatan nasional, jumlah yang sangat inferior. Oleh karena itu, dalam rancangan kebijakan tahun 2002 tersebut, Kementerian Keuangan akan lebih menajamkan fokus program desentralisasi fiskal untuk menggenjot pendapatan asli daerah. Rencana itu akan diwujudkan dengan pemberian wewenang kepada pemerintah provinsi untuk menetapkan sendiri tarif pajaknya dan memberikan kekuasaan yang lebih besar pada pemerintah kabupaten/kota untuk mengelola jenis pajak yang lebih berpotensi menghasilkan penerimaan, seperti PBB.
Belakangan, rencana Kementerian Keuangan itu menuai perdebatan antara dua kubu, yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang tidak setuju terhadap pelimpahan wewenang PBB kepada pemerintah daerah dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) yang mendukung kebijakan desentralisasi PBB. DJP berargumen bahwa pencapaian PBB yang selama ini dikelola pemerintah pusat telah dinilai baik dan justru akan dikhawatirkan menjadi buruk ketika dipindahtangankan ke daerah. Selain itu, seharusnya pemerintah daerah tidak perlu takut, karena pada akhirnya seluruh hasil PBB juga akan didistribusikan lagi ke daerah. Sebaliknya, DJPK berpendapat bahwa dengan adanya desentralisasi PBB, maka pemerintah daerah dapat dengan leluasa merespon dan memberikan pelayanan kepada masyarakat di daerahnya sehingga masyarakat akan merasakan dampak pemungutan PBB yang lebih langsung dan nyata. Dengan begitu, akuntabilitas daerah pun dapat dengan mudah diukur.
Kinerja Penerimaan PBB di Indonesia
Dalam pembahasan kinerja penerimaan PBB di Indonesia, Lewis menyajikan beberapa data perbandingan terkait penerimaan PBB Indonesia dengan beberapa negara lain, data penerimaan PBB Indonesia dalam kurun 1986-2001, penerimaan PBB Indonesia berdasarkan sektor pada 1987-1988 dan 2000, serta data penerimaan PBB Indonesia per provinsi.
Penerimaan PBB Indonesia relatif sama besar dengan yang dihasilkan oleh negara-negara berkembang lain seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia. Sedangkan bila dibanding negara maju, capaian penerimaan PBB Indonesia berada jauh di bawah, khususnya bila penerimaan PBB dibandingkan dengan porsi penerimaan pemerintah daerah, pendapatan domestik, dan Produk Domestik Bruro (PDB). Sementara itu, sejak pertengahan 1980-an penerimaan PBB meroket hingga mencapai rata-rata 23% per tahun. Bila dilihat lebih jauh, penerimaan PBB di Indonesia didominasi oleh sektor pertambangan, yang pertumbuhannya dapat mencapai sepertiga atau setengah kali lipat tiap tahun dari tahun 1987-2000. Dilihat dari besarnya pendapatan PBB terhadap penerimaan daerah per provinsi, DKI Jakarta menempati posisi teratas dengan penerimanaan PBB yang mencapai 14% dari total pendapatan daerahnya pada tahun 2000.
Kinerja Administrasi Pemungutan PBB di Indonesia
Lewis menggunakan model rasio sederhana dari Bahl dan Linn untuk mengukur dan menganalisis kinerja administrasi pemungutan PBB di Indonesia. Model rasio itu dituangkan dalam persamaan berikut:
Perbandingan antara penerimaan dengan potensi pajak = Rasio Cakupan Pemungutan Pajak x Rasio Penilaian Objek Pajak x Rasio Efisiensi Pemungutan Pajak Terutang
1. Rasio Cakupan Pemungutan Pajak (coverage ratios)
Dengan menggunakan data NJOP dari Kementerian Keuangan dan mengasumsikan bahwa nilai jual untuk objek pajak kena pajak tetapi tidak dipungut (seperti properti untuk keperluan pendidikan, keagamaan, sosial, dan lain-lain) sama dengan yang dipungut pajak, maka Lewis berhasil mengalkulasikan bahwa hingga tahun 2000, secara berturut-turut ada 83% dan 65% properti kena pajak sektor perkotaan dan pedesaan telah dipungut PBB. Persentase tersebut lebih kecil dibanding pada tahun 1996-1997 di mana ada 86% dan 66% properti sektor perkotaan dan pedesaan yang berhasil dipungut PBB.
2. Rasio Penilaian Objek Pajak (valuation ratios)
Penilaian properti yang menjadi objek pajak PBB menjadi isu yang paling menarik sekaligus pelik dalam administrasi pemungutan pajak. Seringkali fiskus menetapkan nilai jual yang berbeda dengan nilai yang ada di pasar, sehingga sangat penting untuk mengukur seberapa besar perbedaan yang terjadi dalam menilai kinerja administrasi pemungutan PBB. Sebuah data statistik yang diperoleh dari Shah dan Qureshi bahkan pernah mengindikasikan bahwa penyimpangan NJOP dari nilai pasar mencapai 50%, meski data itu tidak didukung oleh bukti kuat. Lewis sendiri dalam tesisnya menggunakan data dari Machfud Sidik (2000) yang menyajikan NJOP serta nilai jual di pasar untuk 17.252 properti di Jakarta pada tahun 1996-1997. Hasilnya, Lewis mendapatkan jumlah yang cukup dapat membuat dahi berkerut, yaitu bahwa nilai jual yang ditetapkan untuk keperluan pajak hanya sebesar 66% dan 41% dari nilai jual di pasar untuk sektor perkotaan dan pedesaan. Hal ini mengindikasikan belum optimalnya proses penilaian properti. Padahal, bila NJOP bisa mendekati nilai jual pasar, maka penerimaan PBB akan lebih besar.
3. Rasio Efisiensi Pemungutan Pajak Terutang (collection ratios)
Hingga tahun 2000, Lewis menemukan bahwa secara keseluruhan, efisiensi pemungutan PBB terutang hanya meningkat dalam jumlah yang tidak signifikan dibandingkan dekade sebelumnya, yaitu dari 79% menjadi 80%.
4. Tarif Pajak Berdasarkan Undang-Undang
Tarif PBB Indonesia jauh lebih kecil dibanding negara-negara lain di dunia. Bila tarif PBB dikalikan persentase NJKP yang saat ini berkisar 20%-40%, maka tarif PBB sesungguhnya hanya 0,1%-0,2%. Tarif ini dapat dikatakan belum seberapa dibanding India, misalnya yang berani menetapkan tarif pajak sesungguhnya hingga 2,6%. Menurut Lewis, hal ini mengindikasikan Indonesia terlalu berhati-hati dalam menetapkan tarif pajak.
Dengan melihat tiga rasio di atas yang menjadi variabel pengukuran kinerja administrasi pemungutan PBB di Indonesia, Lewis mendapati bahwa hanya 40% potensi penerimaan PBB sektor perkotaan dan pedesaan yang terealisasi. Bila disimak lebih lanjut, penilaian properti menjadi masalah yang paling dominan terhadap rendahnya realisasi PBB di Indonesia. Dibandingkan dengan klaim dan data pemerintah pusat bahwa penerimaan PBB terus meningkat sejak pertengahan 1980 hingga tahun 2000, tentu hasil penelitian Lewis ini membuat kita berpikir dua kali untuk mengatakan bahwa PBB telah ditangani dengan baik oleh pemerintah pusat.
Lewis mengidentifikasi beberapa penyebab mengapa kinerja PBB dapat terlihat bagus. Pertama, pertumbuhan PBB ternyata masih belum optimal karena dasar pengenaan pajaknya, yaitu NJOP sangat rendah. Kedua, pertumbuhan PBB didominasi oleh sektor perhutanan dan yang paling besar adalah pertambangan. Padahal, dua sektor tersebut memang merupakan sektor yang dapat dengan mudah dikenakan pajak karena objek pajaknya yang secara kuantitas kecil dan kebanyakan dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ketiga, pertumbuhan PBB di Indonesia tidak merata, karena hanya terpusat di beberapa daerah saja, seperti Jakarta dan daerah urbanisasi lain seperti Jawa dan Bali.
Pengelolaan administrasi PBB yang dilakukan pemerintah pusat dapat dikatakan buruk, setidaknya dalam sektor perkotaan dan pedesaan. Sebagaimana dipaparkan Lewis, terdapat indikasi bahwa fiskus hanya menetapkan NJOP sebesar 60% dari nilai pasar. Hal ini tentu mengecewakan, mengingat kondisi penerimaan PBB yang masih sangat rendah bila dibandingkan dengan penerimaan total pemerintah daerah, pendapatan domestik, dan PDB. Namun buruknya pengelolaan administrasi PBB oleh pemerintah pusat tidak menjamin pemerintah daerah dapat lebih baik. Hal ini dikarenakan masih lemahnya kapasitas daerah untuk mengadministrasikan PBB.
Bila semangat desentralisasi fiskal masih berkobar dan menjadi program utama pemerintah, maka seharusnya kelemahan kapasitas daerah tersebut dapat diatasi dengan memberikan bantuan personel dari pusat kepada daerah. Dengan adanya bantuan personel, maka daerah dapat lebih siap memangku tanggung jawab besar untuk mengadministrasikan PBB. Namun, bila hal itu dirasa masih terlalu sulit, Lewis menyarankan agar setidaknya pemerintah pusat memberikan sedikit kewenangan bagi daerah untuk mengatur sendiri tarif PBB di masing-masing daerah, sebab tarif PBB Indonesia tergolong yang paling rendah di dunia. Bahkan bila pemerintah membatasi kewenangan itu dengan mengatur besaran tarif terendah dan tertinggi sekalipun, Lewis berpendapat bahwa hal tersebut tetap patut dicoba dengan terus memberikan motivasi sukses pada daerah, mengingat betapa mengecewakannya kinerja pemerintah pusat selama 15 tahun terakhir dalam mengadministrasikan PBB.