Beberapa waktu lalu, kampus saya kedatangan satu tamu istimewa, yaitu Fuad Rahmany yang saat ini menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak. Kedatangannya menjadi istimewa sebab inilah kunjungan pertamanya ke Departemen Ilmu Admnistrasi FISIP UI, khususnya program studi Ilmu Administrasi Fiskal sejak ia dilantik pada 1 Januari 2011 silam. Pelantikannya diwarnai sejumlah isu yang siap menunggu untuk diselesaikan seperti masalah Gayus Tambunan, banyaknya area abu-abu dalam peraturan perpajakan, dan yang paling baru adalah ketika para ulama Nahdlatul Ulama (NU) mengancam akan memboikot pembayaran pajak bila hasil pajak masih terus dikorupsi. Maka, ketika beliau pertama kali berbicara mengenai kerinduannya akan mengajar di kampus, saya percaya bahwa hal itu tidak sepenuhnya benar. Kedatangan Pak Dirjen tentu juga akan menyinggung sedikit (atau banyak?) isu-isu tersebut dan memberikan klarifikasi dan pencitraan diri. Tentu saja melakukan hal tersebut bukanlah sesuatu yang haram, bahkan diperlukan bila memang selama ini masyarakat salah menanggapi isu-isu yang beredar.
Ketika mendapatkan selebaran informasi akan diadakan kuliah umum (studium generale) dari Dirjen Pajak, yang pertama kali menarik mata saya di selebaran itu adalah tema kuliahnya. Bukan karena dahsyat atau menggugahnya tema itu, sebaliknya tema tersebut saya rasa sangat umum, bahkan hampir seperti bahan sosialisasi dari petugas pajak kepada masyarakat awam tentang pajak, sebab temanya adalah "Peran Pajak dalam Pembangunan". Tentu kita semua tahu bahwa secara teoritis pajak memang memainkan peran dalam pembangunan sebuah negara. Hanya saja, dalam tataran implementasi, peran tersebut masih jauh dari yang diharapkan karena banyaknya "lubang" yang menghambat suksesnya pajak menjadi tunlang punggung pembangunan negara.
Namun, beruntunglah semua peserta kuliah umum itu sebab sebelum Pak Dirjen memberikan kuliah, tentu sebagaimana acara formal lainnya ada kata sambutan (keynote speech) yang saat itu disampaikan oleh Prof. dr. Irfan Ridwan Maksum. Dalam sambutannya itu, Prof. Irfan menyinggung berbagai problema yang dihadapi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dan berharap agar Pak Dirjen mau berbagi pengalamannya dalam menghadapi berbagai masalah pelik yang menyangkut lingkup kerjanya. Nah, saya pikir klop lah harapan saya dengan sambutan Prof. Irfan ini, semoga Pak Dirjen tidak hanya membahas berbagai pengetahuan dasar perpajakan saja, tetapi juga membahas masalah-masalah yang ditemukan di lapangan.
Ketika kuliah berlangsung, efek sambutan Prof. Irfan mulai terasa. Pak Dirjen hanya sedikit menjelaskan beberapa bahan kuliah yang dituangkan dalam bentuk presentasi dan lebih banyak mengeluarkan jurus "seribu sentilan" saat beliau menceritakan pengalamannya menjadi Dirjen Pajak hingga saat ini. Saya menyebutnya jurus seribu sentilan karena dalam menceritakan pengalamannya, Pak Dirjen senantiasa berusaha membuat peserta kuliah yakin akan performa bagus dari DJP dengan sedikit mengubah sudut pandang berpikir kita selama ini. Selain itu, ada cukup banyak pihak yang disentil Pak Dirjen dalam kuliahnya pagi itu.
Pertama, Pak Dirjen menyinggung masalah kepatuhan membayar pajak dari masyarakat menengah ke atas. Beliau bercerita bahwa ada banyak masyarakat berkecukupan (bahkan lebih) yang tidak mau membayar pajak dengan berbagai alasan yang "konyol" seperti jalan di depan rumah yang belum dibuat. Menurut saya, mungkin ada benarnya apa kata Pak Dirjen ini yang menyatakan bahwa masyarakat menegah ke atas kurang patuh dalam membayar pajak, tetapi tentu saja alasannya bisa beragam. Mungkin saja mereka tidak yakin akan transparansi administrasi pajak, apalagi muncul kasus-kasus pegawai pajak yang nakal yang tidak sepenuhnya dipahami masyarakat. Selain itu, Pak Dirjen juga mengeluhkan tindakan masyarakat mampu yang ikut mengonsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, sedangkan BBM itu disubsidi dari pajak, dan itu tadi, masyarakat menengah ke atas seperti ogah-ogahan membayar pajak. Hasilnya, kata Pak Dirjen, tax ratio Indonesia masih jauh di bawah negara-negara lain, termasuk negara tetangga kita, Singapura yang berhasil mendongkrak tax ratio hingga level 18%.
Kemudian Pak Dirjen juga menanggapi isu NU yang mengancam akan memboikot bayar pajak bila masih ada pajak yang dikorupsi. Menurutnya, ancaman itu sangat tidak berdasar, sebab apajak adalah kesepakatan bersama antara negara dengan rakyat yang dutangkan dalam bentuk Undang-Undang (UU). Pembuatan UU itu melibatkan rakyat juga, yaitu perwakilan-perwakilan (representation) yang dianggap dapat mengakomodasi aspirasi rakyat. Jadi ketika ada yang mengancam memboikot bayar pajak tentu saja itu berarti melanggar kesepakatan bersama. Selain itu, Pak Dirjen mengatakan bahwa bila tak ada pajak, maka penyelenggaraan negara tidak dapat dilakukan karena tidak ada sumber pendanaannya. Secara ekstrem dapat dikatakan jika tidak ada pajak, maka tidak akan ada negara.
Isu batalnya kenaikan harga BBM juga disinggung Pak Dirjen. Kali ini, beliau menyentil mahasiswa yang beberapa waktu lalu gencar melakukan kasi demo di jalan untuk menentang naiknya harga BBM. Menurut Pak Dirjen, akibat batalnya kenaikan BBM tersebut, negara terpaksa harus menanggung beban sibsidi yang dirasa amat berat, sehingga membuat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Untuk menutupi defisit itu, negara melakukan pinjaman (utang) yang tentunya menambah jumalh utang negara.
Pak Dirjen juga mengecam banyaknya perusahaan fiktif yang beredar luas di masyarakat. Menurut beliau, banyak di antara perusahaan fiktif itu mengajukan permohonan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dengan menjadi PKP, tentu saja mereka dapat dengan bebas mengkreditkan beban Pajak Pertambahan Nilai (PPN), padahal perusahaan mereka adalah perusahaan fiktif yang tidak memiliki kegiatan bisnis. Selain masalah perusahaan fiktif, saat ini bayak pula terjadi kasus pembuatan faktur pajak palsu. Dengan bayaknya faktur pajak palsu, banyak pengusaha yang mendapatkan Pajak Masukan (PM) yang lebih besar, dan ujung-ujungnya meminta restitusi. Jika sudah begitu, tindakan itu dapat digolongkan sebagai pencurian uang negara.
Semakin siang, sentilan Pak Dirjen semakin seru. Masyarakat umum pun tak lepas dari sentilan Pak Dirjen. Menurutnya, selama ini masyarakat Indonesia sering terbawa media yang lebih banyak memberikan hal-hal buruk seputar DJP. Padahal, adanya kasus seperti Gayus itu menurut Pak Dirjen adalah pertanda bagus, dalam artian bahwa oknum-oknum seperti itu mulai ketahuan dan ditindak, tidak seperti dulu di mana proses hukumnya mandul. Tetapi menurut saya, tentu tidak tepat mengatakan bahwa adanya kasus itu menjadi bagus, sebab hal itu justru menunjukkan kelemahan DJP dalam membina organisasi dan stafnya. Untuk mereka yang termakan isu pemboikotan bayar pajak, Pak Dirjen mengatakan bahwa pada akhirnya yang diuntungkan adalah para pengusaha besar, padahal merekalah yang menempati porsi terbesar pembayar pajak di Indonesia. Sehingga, menurut Pak Dirjen sebenarnya "Gayus-gayus" itu lebih banyak ada di masyarakat, termasuk mereka yang memengaruhi orang untuk tidak membayar pajak. Sedikit rasa tersinggung terbersit dalam hati saya. Kesalahan ada di tubuh DJP lantas mengapa masyarakat yang disalahkan? Jalan terbaik tentunya adalah introspeksi diri dari masing-masing pihak.
Dalam kuliahnya Pak Dirjen juga memberikan wejangan kepada kami semua, peserta kuliah yang mungkin di masa depan akan menjdai fiskus. Pak Dirjen menyampaikan bahwa saat ini di DJP sedang digalakkan program pengawasan horizontal atau sesama staf agar tidak lagi terjadi kasus seperti Gayus. Pak Dirjen bercerita bahwa ada seorang teman Gayus yang ikut dihukum karena ia mengetahui tindak-tanduk Gayus, tetapi tidak melaporkan ke atasannya meskipun ia menolak bekerja sama. Setelah memberikan wejangan ini, tak lama kemudia kuliah ditutup dengan pemberian kenang-kenangan. Pada akhirnya, saya merasa kuliah umum ini lebih seperti klarifikasi terbuka yang bersifat defensif dari DJP. Pak Dirjen sendiri pun mengakui, "Kalau bukan Dirjennya yang membela, siapa lagi yang mau membela DJP?" Tentu saja, seperti telah saya tulis di atas, tak ada salahnya melakukan klarifikasi dan pencitraan diri, terutama menyangkut masalah yang belum sepenuhnya dipahami masyarakat.
Dalam kuliahnya Pak Dirjen juga memberikan wejangan kepada kami semua, peserta kuliah yang mungkin di masa depan akan menjdai fiskus. Pak Dirjen menyampaikan bahwa saat ini di DJP sedang digalakkan program pengawasan horizontal atau sesama staf agar tidak lagi terjadi kasus seperti Gayus. Pak Dirjen bercerita bahwa ada seorang teman Gayus yang ikut dihukum karena ia mengetahui tindak-tanduk Gayus, tetapi tidak melaporkan ke atasannya meskipun ia menolak bekerja sama. Setelah memberikan wejangan ini, tak lama kemudia kuliah ditutup dengan pemberian kenang-kenangan. Pada akhirnya, saya merasa kuliah umum ini lebih seperti klarifikasi terbuka yang bersifat defensif dari DJP. Pak Dirjen sendiri pun mengakui, "Kalau bukan Dirjennya yang membela, siapa lagi yang mau membela DJP?" Tentu saja, seperti telah saya tulis di atas, tak ada salahnya melakukan klarifikasi dan pencitraan diri, terutama menyangkut masalah yang belum sepenuhnya dipahami masyarakat.