Manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Kesempurnaan manusia bisa dilihat dari banyak sisi, tetapi yang paling utama adalah akal pikiran dan hati nurani. Sayangnya, dua kesempurnaan manusia yang dianugerahi Tuhan itu terkadang kontradiktif dalam kehidupan. Manusia dengan akal pikirannya terus mengembangkan ilmu pengetahuan untuk memenuhi impian setiap orang: hidup bahagia, sehat selalu, panjang umur, bahkan bagi sebagian orang mungkin ada yang ingin menjadi abadi. Sepanjang sejarah umat manusia, usaha untuk meningkatkan kualitas hidup memang tidak pernah berhenti dilakukan. Berbagai penelitian telah menghasilkan temuan-temuan baru yang semakin mendekatkan manusia pada impian tersebut. Tetapi kenyataan yang sering terjadi adalah hati nurani manusia semakin tumpul seiring dengan semakin pesatnya peningkatan ilmu pengetahuan yang dikembangkan akal pikiran. Manusia lupa menggunakan hati nurani mereka manakala berhasil memecahkan suatu hal yang sebelumnya tak pernah terpikirkan dapat dilakukan. Bagi saya, tidak ada yang lebih buruk daripada hidup di dunia yang dipenuhi dengan manusia tanpa hati, seperti yang dapat dilihat dalam Gattaca (1997).
Dikisahkan secara naratif kilas balik, pada masa depan yang tidak terlalu jauh dunia telah berubah cukup drastis karena manusia telah mampu memodifikasi gen yang dapat melahirkan bayi-bayi sempurna tanpa cacat. Pada masa ini para ilmuwan tidak hanya sekedar mampu menentukan jenis kelamin bayi, tetapi juga menghilangkan potensi keburukan yang dibawa gen seperti penyakit, emosi dan kebiasaan yang sulit dikendalikan, bahkan meningkatkan IQ. Orang tua kini tidak meletakkan nasib anak mereka di tangan Tuhan, melainkan pada ahli genetik yang memainkan peranan sangat signifikan dalam komunitas masyarakat kala itu. Namun, ternyata masih ada sebagian kecil orang yang menginginkan anak yang lahir dan hidup secara alami tanpa campur tangan sains, salah satunya adalah Vincent (Ethan Hawke). Hasilnya, Vincent terlahir ke dunia ini dengan berbagai kekurangan, terutama kondisi jantungnya yang lemah. Marie (Jayne Brook), ibu Vincent yang awalnya sangat yakin dengan keputusannya melahirkan anak secara alami kini pesimis dengan masa depan putra pertamanya itu. Lebih parah lagi, Antonio (Elias Koteas) skeptis terhadap Vincent dan merasa lebih antusias dengan persiapan kelahiran putra keduanya yang kini menggunakan teknologi modifikasi gen. Kelak, Marie akan menyesali keputusannya melahirkan Vincent secara alami karena tanpa diduga secara perlahan muncul diksriminasi terhadap mereka yang lemah secara gen. Tetapi rupanya dengan segala keterbatasan yang ada pada dirinya, Vincent berusaha mati-matian mewujudkan cita-citanya menjadi astronot Gattaca, institusi antariksa swasta prestisius meski harus meninggalkan identitasnya sebagai Vincent untuk selama-lamanya.
Dilihat dari berbagai sisi, penulis naskah sekaligus sutradara Andrew Niccol (S1m0ne, In Time) menghasilkan cerita brilian sekaligus provokatif. Dari segi pengembangan cerita, saya rasa dunia ilmu pengetahuan yang dipersinggungkan dengan etika tidak akan pernah menjadi ide cerita basi karena dapat dikatakan bahwa ilmu adalah jantung kehidupan. Dengan ilmu, manusia dapat lebih mengembangkan potensi diri dan alam. Setiap kemajuan dunia selalu dimulai dari langkah kecil kemajuan ilmu pengetahuan. Masalahnya, apakah manusia yang terkenal dengan sifat tidak pernah puas dan dipenuhi kesombongan masih menyisakan sedikit ruang di hatinya untuk memikirkan etika? Dalam Gattaca, kemampuan ilmuwan dalam memodifikasi gen yang menghasilkan generasi manusia premium tidak diimbangi dengan penggunaan hati nurani yang justru sebenarnya sangat dibutuhkan dalam setiap tahap pekembangan zaman. Akibatnya timbul satu jenis diskriminasi ekstrim berdasarkan kesempurnaan gen (dalam film ini disebut genoism), sesuatu yang tidak pernah bisa saya bayangkan akan terjadi di dunia nyata. Bayangkan jika struktur masyarakat di dunia ini berubah. Stratifikasi sosial tidak lagi berdasarkan kemampuan ekonomi, tingkat pendidikan, bahkan kekuasaan politis sekalipun, melainkan dari gen, sesuatu yang akan terus menempel dalam setiap sel tubuh manusia. Sudah dapat ditebak bahwa chaos dalam masyarakat tidak akan terhidarkan. Dalam situasi ini, Gattaca mengajak penonton memikirkan kembali apakah usaha manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan semata-mata untuk menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling unggul? Apakah keunggulan yang dimiliki sebagian manusia dapat dijadikan alasan untuk menganggap rendah manusia lain yang tidak memiliki keunggulan itu? Semua itu membawa penonton sadar bahwa ilmu pengetahuan menghasilkan kebenaran relatif yang mungkin tidak akan ada habisnya jika terus dikembangkan, sedangkan hati nurani yang terwujud dalam etika dan tatanan nilai-nilai kemasyarakatan tidak akan pernah membawa kita pada chaos semacam genoism tersebut. Segala niat dan tujuan yang baik dari ilmu pengetahuan akan segera sirna ketika manusia mengesampingkan etika dan nilai-nilai kemasyarakatan (nilai sosial, budaya, agama). Meski jalan cerita terasa lambat, namun dengan ide cerita yang mampu berkembang sedemikian rupa hingga menyentuh hati nurani, Niccol sukses mengeksplorasi sisi-sisi kontroversial ilmu pengetahuan.
Selain pengembangan cerita, bagi saya Gattaca juga unggul dari materi cerita. Film berdurasi 106 menit ini memiliki dua sub-plot yang semakin memperkaya kisah Vincent dalam memperjuangkan cita-citanya dan menghadapi “kejamnya” dunia modern. Sub-plot yang pertama adalah pembunuhan Mission Director yang ternyata memberikan sedikit kejutan di bagian akhir film. Plot pembunuhan tersebut menjadi latar belakang keseluruhan cerita yang mampu membawa penonton melihat seluk-beluk pribadi Vincent. Selama masa investigasi kasus pembunuhan itu penonton dapat mengetahui bahwa Vincent tidak pernah berhenti berjuang mendapatkan apa yang ia inginkan. Pepatah lama where there’s a will there’s a way ternyata masih berlaku dalam dunia masa depan yang nyaris sempurna. Plot pembunuhan ini juga berhasil menghadirkan sensasi thriller, di mana penonton tidak diberikan banyak petunjuk mengenai siapa sebenarnya yang membunuh Mission Director. Vincent dengan sifat yang perfeksionis menjadikan gerak-geriknya selalu gelisah dan mencurigakan. Kecurigaan terhadap Vincent itulah yang menjadikan setiap investigasi polisi membawa ketegangan pada penonton. Salah satu ketegangan yang paling kentara ada dalam adegan ketika polisi menyambangi rumah Jerome Morrow (Jude Law).
Sub-plot yang kedua adalah percintaan Vincent dengan Irene (Uma Thurman). Untuk sub-plot yang satu ini sebenarnya saya merasa Niccol tidak cukup mengeksplorasi hubungan Vincent dan Irene sehingga bagi saya plot ini tidak memiliki implikasi signifikan terhadap keseluruhan cerita. Padahal karakter Irene sangat menarik. Irene adalah calon astronot underdog yang bahkan ia sendiri tahu bahwa peluangnya untuk pergi ke luar angkasa sangat kecil. Menghadapi segala kesempurnaan Vincent, saya mengharapkan ada rasa iri Irene pada Vincent meskipun ia sangat mencintai dan mengaguminya, ketimbang alur lurus yang datar-datar saja seperti yang diperlihatkan di sepanjang film. Porsi plot percintaan ini sebenarnya cukup banyak dan sayang jika hanya dihabiskan untuk kisah wanita yang kagum setengah mati pada pria yang terlihat sangat sempurna sekalipun pada akhirnya ia mengetahui sisi lain pria itu.
Keistimewaan naskah Niccol juga tidak hanya terletak pada pengembangan dan materi cerita, tetapi juga pada penciptaan karakter yang menurut saya cukup unik. Salah satu karakter yang paling saya suka dalam Gattaca adalah Jerome Morrow. Lewat karakter yang diperankan Jude Law ini, Niccol semakin mempertegas bahwa sekalipun manusia mampu memodifikasi gen untuk menghindari “kualitas buruk” seseorang, tidak berarti bahwa manusia dapat hidup bahagia begitu saja, karena manusia tidak akan mampu mengubah sifat-sifat dasarnya sendiri, yaitu tidak pernah puas dan memiliki hawa nafsu. Jerome Morrow adalah mantan perenang handal dengan gen kualitas prima, tetapi itu semua tidak ada artinya ketika ia merasa malu karena hanya menempati posisi kedua dalam sebuah kejuaraan. Merasa terhina dan putus asa, Jerome pun akhirnya memutuskan menghabisi nyawanya sendiri meski sialnya ia tak sepenuhnya berhasil. Sebagai esensi yang ingin disampaikan seperti yang tercermin dalam tagline there is no gene for the human spirit, karakter Jerome Morrow sangat merepresentasikan kalimat tersebut. Vincent yang tidak memiliki gen sempurna ternyata lebih sukses dengan menggunakan human spirit-nya ketimbang Jerome yang dalam tubuhnya menempel gen kualitas nomor satu tetapi dengan kelemahan jiwanya justru terpuruk dalam hidup.
Dari jajaran pemeran karakter, Ethan Hawke bagi saya adalah orang yang tepat memerankan Vincent. Hawke sukses menggambarkan metamorfosis Vincent sebagai orang terbuang di awal cerita menjadi sosok pria flamboyan yang tahan banting, determined, dan inspiratif. Hawke juga mampu memperlihatkan sisi subtle dalam hubungan persahabatan Vincent dan Jerome Morrow dengan baik. Vincent menyimpan suatu kekaguman, menemukan kenyamanan persahabatan, sekaligus rasa penuh kasihan dan terima kasih yang tak terungkap pada Jerome tetapi dapat dilihat penonton baik dari tatapan, tingkah laku, maupun ucapan Vincent. Dalam adegan di mana Jerome mengaku bahwa kecacatannya bukan disebabkan kecelakaan dan ia bangga pada Vincent, tatapan Hawke yang tertegun sebagai Vincent menyiratkan simpati yang mendalam. Pemeran lain seperti Law dan Thurman juga memberikan performa bagus mereka di sini.
Nilai positif Gattaca juga dapat dilihat dari efek visual, sinematografi, makeup, scoring, dan desain produksi yang bagi saya sangat pas untuk sebuah sci-fi. Dari awal kredit pembuka saja, penonton sudah disuguhi efek visual berbagai objek tubuh yang berguguran, seperti kuku, rambut wajah, dan kulit mati. Objek-objek tersebut diperbesar, difokuskan dari latar belakangnya, dan bergerak secara lambat dengan suara berdebum layaknya benda berat yang jatuh.Saya sangat suka pembuka tersebut. Warna-warna yang dimunculkan dalam film yang merupakan debut penyutradaan Niccol ini didominasi oleh warna lembut, dan cahaya emas saat matahari senja menjadi ornamen utama di sepanjang film. Sementara dari sisi makeup, tampaknya Gattaca kembali pada gaya sci-fi klasik di mana tatanan rambut, riasan yang dapat menekankan ekspresi wajah yang kaku dan datar, serta busana klimis untuk menambah kesan futuristik. Michael Nyman juga mempersembahkan scoring yang mampu meningkatkan emosi dan ketegangan di seoanjang serita dengan klimaks nada tinggi di akhir cerita yang sangat mengena. Terakhir, saya sangat suka tampilan desain produksi Gattaca, mulai dari set lokasi yang menggunakan gedung nyata yang terkesan futuristik, properti seperti alat-alat untuk pemindaian gen, hingga suasana individualistis yang sangat kental terasa dalam gedung Gattaca.
Overall, Gattaca adalah sci-fi yang berani menyajikan cerita logis. Dari awal, ide untuk memodifikasi gen memang bukan mustahil dilakukan mengingat dunia tengah dilanda kemajuan di bidang IPTEK seperti cloning dan rangkaian pemindaian manusia juga menambah masuk akal ide tersebut. Gattaca menyajikan tontonan yang berbeda dari sci-fi masa kini yang dipenuhi serbuan makhluk luar angkasa, perang alien, senjata-senajata laser,atau adegan dengan efek visual yang menumpuk. Tetapi, tanpa itu semua ternyata sci-fi masih bisa dinikmati, bahkan dengan segala cerita logisnya. 4 out of 5 stars for me. Ada yang punya komentar?
Watch this if you liked:
Director: Michael Radford
Stars: John Hurt, Richard Burton, Suzanna Hamilton
Genre: Sci-Fi, Drama, Romance
Runtime: 113 minutes
Director: Darren Aronofsky
Stars: Hugh Jackman, Rachel Weisz, Sean Patrick Thomas
Genre: Sci-Fi, Drama, Romance
Runtime: 96 minutes