Bahan Bakar Minyak merupakan hal penting dalam perekonomian suatu negara. Harga minyak mentah dunia yang terus melonjak membuat banyak negara di dunia pusing tujuh keliling mengatur harga di dalam negeri, sebab bila dibiarkan bebas mengikuti harga dunia, maka harga BBM akan tidak stabil, dan tentu akan berdampak pada komoditas penting lainnya. Untuk itulah banyak negara yang menetapkan BBM subsidi dan BBM nonsubsidi, seperti yang diterapkan di Indonesia. Kekurangannya tentu adalah kas negara harus mampu menutupi beban subsidi BBM tersebut.
Sementara itu, harga BBM nonsubsidi tetap dibiarkan mengikuti harga minyak mentah di pasar dunia. Komponen yang membentuk harga BBM nonsubsidi kasarnya terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: harga minyak mentah + margin industri + pajak bahan bakar. Pajak ini bervariasi, dan UK yang paling besar memungut pajak BBM ini. (Lihat gambar dibawah).
Di Indonesia, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dapat dipungut oleh daerah dengan tarif mulai 0% hingga maksimum 10%. Selain itu, masih terdapat pula Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan pada BBM nonsubsidi, yatiu Pertamax dan Pertamax Plus sebesar 10%.
Pada 16 Maret lalu, PT Pertamina mengumumkan telah menaikkan harga Pertamax rata-rata Rp600 per literHarga bensin beroktan 92 itu naik setelah minyak dunia melambung jauh melewati US$100 per barel.Di Jakarta dan sekitarnya, harga Pertamax naik dari Rp8.100 menjadi Rp8.700 per liter. Sedangkan harga Pertamax Plus juga naik Rp600 menjadi Rp9.150 per liter.Harga Pertamax terendah terjadi Jakarta, sedangkan harga tertinggi di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Harga Pertamax di kabupaten itu mencapai Rp11.050 per liter. Terakhir, Mulai hari ini, Jumat (1/4/2011) PT Pertamina (Persero) menurunkan harga pertamax sebesar Rp100 per liter. Dengan demikian, harga pertamax menjadi Rp8.600 per liter dari harga sebelumnya yang sebesar Rp8.700 per liter.
PT Pertamina telah meminta kepada pemerintah untuk menghapuskan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk pertamax dan pertamax plus, sehingga harganya bisa ditekan lebih murah. Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan mengatakan, mahalnya harga pertamax yang mencapai Rp 8.700/liter bakal menyebabkan munculnya kecenderungan konsumen kembali beralih ke premium, sementara kuota premium yang disediakan pemerintah diperkirakan tidak akan mencukupi bila peralihan itu terjadi.
Pengamat ekonomi Ahmad Erani Yustika mengatakan Pemerintah harus mengkaji penghapusan pajak dalam komponen bahan bakar agar perbedaan harga tersebut tidak terlalu jauh, sehingga masyarakat juga tetap bisa menggunakan pertamax dan bukan malah beralih kepada premium. “Harus segera dihitung. Jika kebanyakan masyarakat beralih ke premium, kira-kira seberapa besar lagi tambahan subsidi pada APBN yang akan dikeluarkan. Sebaliknya, jika PPn pertamax dihapus, berapa pendapatan negara dari pajak BBM tersebut yang akan hilang,” jelasnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) menilai, semakin besar perbedaan harga antara premium dengan pertamax maka potensi tekanan inflasi akan semakin besar. “Inflasi itu diukur dari gap antara perbedaaan premium dengan pertamax. Semakin besar perbedaannya, tentu orang akan beralih dari pertamax dan dampak inflasinya besar,” ungkap Kepala BPS Rusman Heriawan. Namun, untuk besaran potensi inflasi yang akan ditimbulkan, BPS belum melakukan perhitungan secara tepat. “Kita belum tahu seberapa jauh gap antara premium dan pertamax. Kalau pertamax lebih besar dari harga sekarang, itu akan menimbulkan inflasi besar,” kata Rusman.
Di lain pihak, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang PS Brojonegoro mengakui akan adanya potential lost jika memang pajak pertamax jadi dibebaskan.
Bambang menjelaskan, pihaknya membandingkan opsi mana yang lebih menguntungkan antara menghapuskan pajak tersebut dengan tetap mempertahankan kebijakan tersebut. Pasalnya jika pertamax turun maka pemakainya akan meningkat.
Bambang menyampaikan, harus ada benchmark agar tidak terjadi moral hazard jika memang pajak pertamax dibebaskan di pasaran.
Sumber:
http://www.indopos.co.id/index.php/component/content/article/66-indopos/8756-hapus-pajak-pertamax-cegah-premium-langka.html
http://ekonomi-migas.blogspot.com/2007/05/pajak-bbm.html