Globalisasi Ekonomi dan Tumbuhnya Perusahaan Multinasional
Pada awal kehidupan manusia di bumi, pemenuhan kebutuhan hidup minimal menjadi latar belakang utama kegiatan ekonomi primitif. Manusia hidup secara berkelompok dan berpindah-pindah (nomaden) dari satu lokasi ke lokasi lain, yang umumnya dekat dengan sumber air. Secara individual, manusia primitif memenuhi kebutuhan pribadinya masing-masing seperti makan, minum, dan sandang dengan cara barter. Namun, mereka membutuhkan bantuan orang lain untuk hidup bersama, untuk memenuhi rasa aman dari berbagai ancaman keganasan alam seperti bianatang buas atau bencana alam.
Barter dalam kegiatan ekonomi masyarakat primitive dinilai tidak efisien karena harus menemukan pihak yang ingin melakukan pertukaran barang secara mutual (saling memenuhi kebutuhan satu sama lain) maka mulailah manusia berpikir untuk menggunakan alat transaksi yang dapat lebih pasti dihitung, tahan lama, dan diterima semua orang. Pada awalnya, penggunaan alat transaksi beragam di berbagai belahan dunia, mulai dari batu di masayarakat kepulauan Pasifik, cokelat di pedalaman Amazon, emas di jazirah Arab, hingga uang yang akhirnya bertahan hingga zaman modern saat ini.
Sifat dasar manusia yang tidak pernah puas dan selalu mencari sesuatu yang baru menimbulkan beragam kebutuhan dan permintaan yang semakin banyak dan kompleks, yang akhirnya memengaruhi aktivitas ekonomi yang dijalankan manusia modern. Dulu, manusia cukup memenuhi kebutuhan pangannya dari hasil panen ladang yang digarap, ternak yang dipelihara, dan mendirikan rumah dengan bahan-bahan yang mudah ditemukan dilingkungan sekitarnya. Namun ketika kebutuhan manusia yang satu telah terpenuhi, maka kebutuhan lain akan muncul, dan perlahan kebutuhan itu tidak dapat dipenuhi denagn usaha sendiri, melainkan membutuhkan bantuan orang lain. Dari sini kemudian berkembanglah usaha-usaha keluarga yang kemudian berkembang menjadi perusahaan besar di kemudian hari.
Kegiatan ekonomi manusia di bumi merupakan kisah yang masih akan terus berlanjut dan beru akan selesai bersamaan dengan selesainya kehidupan di bumi. Bahkan saat ini dirasa tidak cukup hanya menjalankan kegiatan ekonomi di satu negara, sehingga ide untuk menyatukan pereknomian dunia pun bergaung dimana-mana. Banyak lembaga internasional didirikan dan peraturan bersama disusun untuk menciptakan suasana perdagangan internasional yang kondusif, kompetitif, dan terbuka. Istilah yang sering diperbincangkan mengenai fenomena ini adalah globalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi ini bertujuan untuk mengintegrasikan perekonomian dunia menjadi satu kesatuan menembus batas-batas negara. Tengoklah WTO (World Trade Organization), EU (European Union), ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area), dan GATT (General Agreement on Trade and Tariff) yang ikut meramaikan pesta globalisasi ekonomi ini dengan jargon-jargon mereka seperti the borderless world.
Santoso (2004: 124) mengutip dari Kavaljit Singh menggambarkan globalisasi merupakan suatu proses ketergantungan ekonomis yang terus berkembang di antara negara-negara dunia dengan ciri-ciri:
1. pertumbuhan transaksi keuangan dan perdagangan internasional yang cepat, terutama di antara perusahaan-perusahaan multinasional,
2. gelombang investasi asing langsung (foreign direct investment) yang mendapat dukungan luas dari kalangan perusahaan multinasional,
3. timbulnya pasar global, serta
4. timbulnya teknologi dan berbagai pemikiran sebagai akibat dari ekspansi sistem transportasi dan komunikasi yang cepat dan meliputi seluruh dunia.
Meski menuai kontroversi, khususnya pada kalangan ekonom yang menentang neoliberalisasi ekonomi, suka atau tidak suka kita harus mengakui bahwa globalisasi telah menjadi hard fact di berbagai negara dan membawa dampak pada semakin meningkatnya transaksi transnasional atau cross border transaction. Arus barang, jasa, modal, dan tenaga kerja antarnegara semakin mudah dan lancar. Pengusaha melihat kondisi ini sebagai peluang usaha untuk memperluas jaringan bisnis mereka tanpa perlu mengkhawatirkan hambatan-hambatan di perbatasan negara. Negara-negara berkembang pun tak pelak menjadi pasar potensial bagi pengusaha untuk dijadikan basis bisnis mereka. Dalam sekejap, berdirilah anak-anak perusahaan atau cabang-cabang perusahaan multinasional di berbagai belahan dunia. Dalam situasi seperti ini, dapat dikatakan dunia tengah mengalami era korporasi multinasional dan membuat dunia ini seolah-olah berada pada sebuah pasar tunggal yang tak asing lagi satu dengan yang lainnya. Kata “jual-beli” hanya digantikan oleh kata “ekspor-impor” dan beberapa hal lainnya. Beberapa perusahaan multinasional yang telah merambah ke Indonesia antara lain General Motors and Ford, Esso, Shell, British Petroleum, McDonald, Unilever, AT&T, dan International News Corporation.
Konsep Transfer Pricing, Arm’s Length Priciple, dan Abuse of Transfer Pricing
Konsekuensi logis dari menjamurnya perusahaan multinasional adalah munculnya berbagai transaksi antaranggota yang meliputi penjualan barang dan jasa, lisensi hak dan harta tak berwujud lainnya, penyediaan pinjaman dan sebagainya. Penentuan harga atas berbagai transaksi antar anggota dikenal dengan sebutan transfer pricing (harga transfer). Dengan segala fasilitas kemudahan dari lembaga-lembaga internasional tersebut, perusahaan multinasional semakin terdorong untuk melakukan transaksi antaranggota (intra-group transactions). Catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa 30% transaksi internasional saat ini terdiri dari transaksi antaranggota perusahaan multinasional.
Perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dalam sebuah perusahaan induk yang bersifat multinasional tentu tidak dapat dipandang sebagai perusahaan biasa yang independen. Perlu dicermati bahwa kehadiran anak perusahaan atau cabang adalah sebagai pendukung kegiatan ekonomi induk perusahaan, sehingga di sini terdapat hubungan istimewa dan menjadikan masing-masing anak perusahaan atau cabang sebagai related party bagi induk perusahaannya. Di Indonesia, hubungan istimewa diatur dalam Pasal 18 (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008, dan pada tingkat internasional terdapat peraturan dalam OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) Model. Namun secara teori dan praktik yang dilakukan di dunia internasional, setiap perusahaan tersebut diperlakukan dengan pendekatan separate entity, yang berarti setiap perushaan yang tergabung dalam satu perusahaan multinasional dianggap sebagai entitas yang berbeda, memperoleh laba dan memiliki beban yang berbeda, sehingga setiap perusahaan tersebut merupakan subjek pajak di negara yang bersangkutan.
Atas dasar pendekatan separate entity inilah, transfer pricing (harga transfer) antarperusahaan yang memiliki hubungan istimewa harus bersifat sama dengan hubungan perdagangan dan keuangan antara dua perusahaan bebas (independent enterprises) yang dipengaruhi oleh kekuatan pasar. OECD Guidelines menyebut penerapan harga transfer seperti ini sebagai arm’s length principle. Prinsip harga pasar wajar menjadi standar kebijakan pajak internasional saat ini. Dalam konteks perusahaan multinasional, prinsip harga pasar wajar ini penting ditegakkan agar tercipta keadilan dalam penerimaan pajak di negara-negara di mana perusahaan multinasional tersebut beroperasi.
Feinschreiber (2004: 41) dalam Darussalam dan Septriadi (2008: 18) menyatakan bahwa secara teoritis, harga pasar wajar didasarkan atas (i) transaksi yang sama (the same transactions), dan (ii) dalam kondisi yang sama (sama circumstances) yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Akan tetapi, transaksi dan kondisi yang sama tersebut dalam paraktiknya jarang atau tidak pernah terjadi. Oleh karena itu dalam aplikasinya, penentuan harga pasar wajar didasarkan atas (i) transaksi yang dapat diperbandingkan (comparable transactions), dan (ii) dalam kondisi yang dapat diperbandingkan (comparable circumstances) ketika tidak terdapat transaksi yang benar-benar sama.
Plasschaert (1979: 17) dalam Urquidi (2006:18) berargumen bahwa sebuah perusahaan induk dapat mengontrol anak perusahaan dan karena itu dapat menentukan sendiri harga transfer dalam transaksi antaranggota atau merekayasa sehingga berbeda dari harga pasar wajar yang berlaku bila transaksi tersebut dilakukan oleh dua perusahaan independen. Dengan jalan seperti ini, maka laba keseluruhan suatu perusahaan multinasional dapat ditingkatkan dan biaya-biaya dapat ditekan serendah mungkin. Perekayasaan harga transfer ini disebut dengan abuse of transfer pricing. Dalam lingkup perusahaan multinasional, Hansen dan Mowen (1996: 496) dalam Mangoting (2000: 71) mengatakan bahwa transfer pricing juga digunakan untuk meminimalkan pajak dan bea yang mereka keluarkan di seluruh dunia. Transfer pricing can effect overall corporate incame taxes. This is particulary true for multinational corporations.
Darussalam dan Septriadi (2007: 6) menggambarkan abuse of transfer pricing sebagai upaya untuk merekayasa pembebanan harga suatu transaksi antarperusahaan yang memiliki hubungan istimewa dalam rangka meminimalkan beban pajak yang terutang secara keseluruhan atas kelompok perusahaan tersebut. Pembebanan harga yang tidak wajar atas transaksi antarperusahaan yang memiliki hubungan istimewa ini mengakibatkan pembagian laba antara perusahaan multinasional yang beroperasi di banyak negara tersebut menjadi tidak wajar.
Abuse of transfer pricing merupakan isu klasik di bidang perpajakan, khususnya menyangkut transaksi internasional yang dilakukan oleh korporasi multinasional. Dari sisi pemerintahan, transfer pricing diyakini mengakibatkan berkurang atau hilangnya potensi penerimaan pajak suatu negara karena perusahaan multinasional cenderung menggeser kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi (high tax countries) ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax countries). Di pihak lain dari sisi bisnis, perusahaan cenderung berupaya meminimalkan biaya-biaya (cost efficiency) termasuk di dalamnya minimalisasi pembayaran pajak perusahaan (corporate income tax). Bagi korporasi multinasional, perusahaan berskala global (multinational corporations), transfer pricing dipercaya menjadi salah satu strategi yang efektif untuk memenangkan persaingan dalam memperebutkan sumber-sumber daya yang terbatas (Santoso, 2004).
Mengapa Ada Abuse of Transfer Pricing
Setiap pengusaha yang menjalankan bisnis pasti menginginkan usahanya maju sehingga dapat memperoleh laba dan berusaha untuk menekan beban-beban, termasuk beban pajak agar laba yang didapat optimal. Dalam konteks perusahaan multinasional, salah satu alasan mengapa banyak perusahaan multinasional ingin meminimalisasi beban pajak yang besar adalah timbulnya masalah perpajakan yang kompleks baik dari sisi administrasi pajak negara-negara di mana anggota-anggota perusahaan multinasional beroperasi dan dari sisi perusahaan multinasional itu sendiri, sebab perbedaan peraturan perpajakan di negara yang berbeda tak dapat dipisahkan dari konteks yang lebih luas: perpajakan internasional.
Dari sisi perusahaan multinasional, kewajiban perpajakan di negara-negara tempat usahanya beroperasi menimbulkan beban cost of compliance yang lebih berat bila dibandingkan dengan perusahaan yang hanya beroperasi di satu tempat (yurisdiksi) saja. Dari sisi administrasi perpajakan, masalah timbul di tingkat kebijakan pajak maupun pada praktik pelaksanaan perpajakan. Di tingkat kebijakan, administrasi perpajakan di satu sisi harus memungut pajak dari perusahaan multinasional berdasarkan pendapatan dan beban yang sesuai dan pada saat yang sama harus menghindari pemungutan pajak yang serupa oleh negara lain atas pendapatan yang sama. Di tingkat praktis, usaha administrasi perpajakan suatu negara untuk menentukan pendapatan dan beban yang sesuai akan sulit dilakukan bila data yang relevan tidak tersedia karena berada di yurisdiksi yang berbeda.
Usaha meminimalisasi beban pajak dilakukan perusahaan dengan melakukan tax planning. Namun jika tax planning tersebut dilakukan untuk tujuan merekayasa agar beban pajak dapat ditekan serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada tetapi berbeda dengan tujuan yang dibuat pembuat undang-undang atau bahkan berusaha merekayasa laporan perpajakan dan mengalihkan laba perusahaan ke perusahaan lain yang masih dalam satu bendera kelompok usaha di negara tax haven yang megenakan pajak penghasilan yang rendah (bahkan nol), maka perencanaan pajak di sini sama dengan abuse of transfer pricing yang dibungkus motif tax avoidance (menghindari pajak dengan tidak melanggar ketentuan perpajakan). Di Indonesia, bila terdapat indikasi abuse of transfer pricing maka akan dilakukan Pemeriksaan Lapangan. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 3 ayat (7) Keptusan Menteri Keuangan Nomor 545/KMK.04/2000. Natawisastra (2002: 4) menilai bahwa dengan adanya ketentuan UU KUP yang menegaskan bahwa di satu sisi transfer pricing merupakan bentuk perencanaan pajak yang tidak melanggar ketentuan perpajakan, namun di sisi lain transfer pricing dikategorikan tindak pidana perpajakan, sebagaimana diatur Bab VIII tentang Ketentuan Pidana. Hal ini mempertegas pendapat bahwa praktik transfer pricing dapat dikategorikan sebagai penghindaran pajak yang tidak melanggar ketentuan perpajakan, dalam rangka perencanaan pajak yang baik. Di sisi lain dapat pula dikategorikan sebagai praktik ilegal yang semata-mata menghindari pajak untuk merugikan negara.
Kesimpulan dan Saran
Seiring dengan berkembangnya perusahaan multinasional di dunia, transfer pricing dan tax planning menjadi praktik yang melekat dalam kegiatan bisnis masa kini. Perencanaan pajak yang berujung pada penghindaran pajak dengan modus abuse of transfer pricing pun menjadi dilemma tersendiri dalam era globalisasi ekonomi yang tengah dirayakan dunia saat ini. Praktik abuse of transfer pricing merugikan negara di mana perusahaan multinasional beroperasi karena laba yang dihasilkan perusahaan tersebut dipindahkan ke negara yang tarif pajaknya rendah (tax haven country). Praktik ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah sebagai administrator perpajakan agar penerimaan negara dapat dimaksimalkan. Pemerintah perlu membangun kerja sama dengan negara lain dalam forum-forum internasional untuk menghadapi kasus abuse of transfer pricing untuk mendapat gambaran lebih jelas bagaimana negara lain menyikapi permasalahan ini.
Referensi:
Darussalam, dan Danny Septriadi. 2008. Konsep dan Aplikasi Cross Border Transfer Pricing untuk Tujuan Perpajakan. Jakarta: Danny Darussalam Tax Center.
Darussalam, dan Danny Septriadi. Perusahaan Multinasional, Transfer Pricing, dan Kepastian Hukum dalam Inside Tax Edisi 01, November 2007.
Doenberg, Richard L. 1993. International Taxation 2nd Edition. St. Paul: West Publising Co.
Mangonting, Yeni. Aspek Perpajakan Dalam Praktik Transfer Pricing, dalam Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 6 No. 2 November 2000, http://pulit.petra.ac.id/journals/accounting
Natawisastra, Deden N. 2002. Pencegahan Praktik Transfer Pricing oleh Perusahaan Multinasional dalam Undang-undang Perpajakan. Tesis Universitas Indonesia.
OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations 2010.
Santoso, Iman. Advance Pricing Agreement dan Problematika Transfer Pricing dari Persperkstif Perpajakan Indonesia dalam Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 6 No. 2 November 2004, http://puslit.petra.ac.id/journals/pdf.php?PublishedID=AKU04060204
United Nations Draft of Practical Manual on Transfer Pricing for Developing Countries October 2011, http://www.un.org/esa/ffd/tax/2011_TP/Oct2011_TP_Chapter1.pdf.
nice
BalasHapus