Zaman semakin modern, kebutuhan manusia semakin kompleks, dan hampir semua kegiatan manusia kini memengaruhi wajah bumi. Ini menandakan bahwa paradigma posibilis semakin kentara, di mana manusia dapat menguasai alam dan memanfaatkannya untuk kepentingan hidup. Namun, bagaimana jika kita hidup di belahan bumi yang sama sekali berbeda dari tempat tinggal kita sekarang, yang mungkin hiruk pikuk dengan aktivitas manusia? Terbayangkah di benak Anda jika harus hidup di lingkar kutub utara yang diselimuti salju, gelap, sepi, dan dikelilingi hewan liar? Mungkin di tempat seperti inilah kita akan menyadari bahwa di beberapa bagian bumi, paradigma fisis determinis masih berlaku, dan hal itu dapat kita saksikan dalam film The Grey (2012).
The Grey menggambarkan cara kerja alam liar yang mengharuskan setiap "pemainnya" cerdik, pantang menyerah, berjuang keras, bertahan, dan berusaha menjadi yang terkuat, karena prinsip yang berlaku di alam liar adalah survival of the fittest, yang kuatlah yang akan bertahan. Sedikit saja kelemahan kita terdeteksi "musuh", maka mereka akan memanfaatkan kelemahan tersebut sebagai titik tolak untuk menyerang. Misalnya, dalam film ini ditunjukkan betapa serigala kutub yang hidup secara jamak di udara sangat dingin menjadikan insting menyerang lebih dominan karena bila bukan mereka yang menyerang, mereka akan diserang. Kehadiran sekelompok manusia di habitat mereka yang biasa tak terjamah memberi sinyal pada kawanan serigala bahwa kelompok manusia tersebut adalah musuh mereka, dan manusia yang lemah akan menjadi sasaran paling empuk.
***
Cerita berpusat pada kehidupan pribadi John Ottway (Liam Neeson), seorang pemburu ulung yang disewa sebuah perusahaan minyak di Alaska. Ottway dipekerjakan perusahaan tersebut mengingat di lokasi pengilangan minyak terdapat banyak hewan liar yang mengancam keselamatan pekerja kilang minyak. Pada awal film, ia digambarkan mengalami depresi berat sepeninggal istrinya (yang saya asumsikan sudah meninggal) dan berupaya melakukan bunuh diri. Namun niat tersebut ia urungkan dan ia pun tetap melanjutkan kehidupannya. Ottway juga dikisahkan sebagai pengagum sosok ayahnya, seorang Irlandia yang meski gemar mabuk-mabukan tetapi pandai membuat puisi, meskipun pada kenyataannya ia tak pernah betul-betul dekat dengan sang ayah.
Cerita berlanjut ketika pesawat yang Ottway serta para pekerja kilang minyak lainnya tumpangi mengalami kecelakaan terkena terpaan badai dan jatuh di tengah-tengah padang salju mahaluas yang tak berpenghuni. Beberapa pekerja dan semua awak pesawat tewas di tempat, dan hanya menyisakan tujuh orang selamat, yakni Ottway, Diaz (Frank Grillo), Talget (Dermot Mulroney), Hendrick (Dallas Roberts), Flannery (Joe Anderson), Burke (Nonso Anozie), dan Hernandez (Ben Bray). Setelah berusaha beradaptasi dengan gelap dan dinginnya kutub utara, mereka pun menemukan satu masalah besar: kawanan serigala yang mengancam nyawa mereka.
Strategi dan taktik pun mereka susun demi mempertahankan keselamatan. Namun perbedaan karakter dan pengalaman hidup membuat rencana yang mereka buat kadang kala sulit direalisasikan karena tidak adanya kekompakkan. Padahal dalam situasi gawat seperti itu try to stick together sangat diperlukan. Alhasil pertengkaran, perdebatan, bahkan adu jotos pun sempat terjadi. Satu persatu jumlah mereka yang selamat semakin berkurang karena selain menghadapi kebuasan serigala, mereka juga diselimuti cuaca ekstrem yang menyebabkan sistem kerja tubuh terganggu dan akhirnya terkena panyakit yang identik dengan dingin, seperti hipoksia. Bagamana kelanjutannya? Akankah mereka akan selamat? Bagaimana Ottway sebagai karakter sentral menghadapi keadaan ini?
***
Menonton The Grey bagi saya sama seperti layaknya menonton film-film bertema survival lainnya, di mana ada karakter yang menjadi pemimpin (leader) dalam keadaan genting dan menjadi tokoh yang paling kuat bertahan dari awal hingga akhir film, ada karakter yang mendukung pemimpin tersebut, dan ada karakter bajingan total yang dapat kita tebak cepat atau lambat ia akan menjadi korban yang tak selamat. Ide ceritanya pun kurang lebih sama, sekelompok orang yang meskipun mereka tahu sedang menghadapi masalah besar yang sama namun kompak tetap menjadi satu kata yang sulit tercapai. Masing-masing orang memiliki persepsi dan cara tersendiri dalam menghadapi masalah tersebut, sesuai dengan pengalaman hidup mereka. Adegan-adegan yang cukup umum dapat kita temukan dalam film ini seperti adanya sesi berbagi cerita/pengalaman hidup di antara para karakter dan cita-cita mereka kelak jika keluar dari masalah yang sedang mereka alami.
Meskipun begitu, ide cerita yang cukup umum tersebut tetap memberikan kesan yang cukup berarti. Misalnya, saya tersentuh ketika orang-orang yang berhasil selamat dari kecelakaan pesawat tersebut membicarakan tentang orang-orang terkasih dalam hidup mereka, mulai dari istri, kekasih, hingga anak-anak yang mereka rindukan. Juga ada adegan kontemplasi tentang makna kematian. Mereka mempertanyakan adakah kehidupan setelah kematian? Bagaimana kehidupan di sana? Atau apakah pada akhirnya orang yang meninggal akan lenyap begitu saja dan kematian merupakan pertanda akhir dari eksistensi manusia? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menurut saya juga bertalian dengan persepsi makna kehidupan. Dalam film ini ada karakter yang pada akhirnya menyerah pada ganasnya alam setelah sekian jauh berjuang untuk hidup hanya untuk "menikmati" bagaimana rasanya mati di hadapan hamparan pemandangan alam yang indah. Baginya, itu sudah lebih dari cukup untuk menutup masa hidupnya. Ini merupakan salah satu adegan favorit saya dalam film ini.
Beberapa hal yang saya salutkan dalam film ini di antaranya suhu udara yang diceritakan -10°C, namun aslinya, Liam Neeson dkk harus menghadapi cuaca ekstrem Alaska yang mencapai -40°C. Selain itu, gambar pemandangan alam dan serigala-serigalanya juga hampir 100% asli, hanya menggunakan CGI untuk beberapa keperluan seperti saat adegan serigala yang sedang menyerang. Bahkan gambar hujan salju yang direkam pun merupakan salju asli, bukan efek buatan.
Namun yang membuat film ini memiliki nilai kurang bagi saya adalah penggambaran sosok serigala yang terlalu dilebih-lebihkan kekejamannya. Seolah-olah di Alaska yang meskipun dekat dengan kutub utara terdapat banyak serigala pemangsa manusia, yang akan selalu membayangi manusia ke manapun mereka pergi bahkan ketika mereka membawa api dan senjata. Justru kabar yang berembus mengatakan bahwa dalam proses pembuatan film ini empat serigala mati. Maka tak heran mengapa beberapa komunitas pemerhati fauna mengkritik pedas film ini.
Secara keseluruhan, Joe Carnahan (
The A-Team, Smokin' Aces) sebagai sutradara sukses mengarahkan film ini sesuai ekspektasi saya akan film
thriller yang sangat menegangkan. Selain itu Masanobu Takayanagi sebagai sinematografer yang sebelumnya pernah menangani film
Babel (2006) dan
Warrior (2011) juga menunjukkan kepiawaiannya mengolah gambar dan mempersembahkan penonton scenery salju yang begitu dahsyat dan adegan jatuhnya pesawat yang begitu terasa mengerikan. Satu lagi, kualitas suara film ini menurut saya juga jempolan, penonton akan dikejutkan dengan beberapa hentakan mendadak dari suasana sepi menjadi tegang, dan suara-suara badai salju yang cukup bising.
Saya memberi film ini 3.5 dari 5 bintang. Bagaimana menurut Anda? Ada yang punya komentar?
Watch this if you liked:
The Ghost and the Darkness (1996)
Director: Stephen Hopkins
Stars: Michael Douglas, Val Kilmer, Tom Wilkinson
Genre: Adventure, Drama, History
Runtime: 109 minutes
Director: John Boorman
Stars: Jon Voight, Burt Reynolds, Ned Beatty
Genre: Adventure, Drama, Thriller
Runtime: 110 minutes
Di Cahulawassee River Lewis, Ed, Bobby, dan Drew berkemah dan menjelajah jeram dengan kano yang memacu adrenalin. Namun, suatu kejadian di tepi sungai itu membuat perjalanan liburan mereka hancur berantakan. Sebuah kejadian yang tak hanya menunjukkan pada kita seberapa kuat manusia menghadapi alam, tetapi juga bagaimana manusia menyelamatkan diri dari cengkeraman sifat buruk sesama manusia...