Film seringkali menjadi media favorit untuk mengekspresikan seni, ide atau gagasan, sejarah, atau bahkan propaganda. Kehadiran film sebagai salah satu budaya populer (pop culture) telah mengalami berbagai perubahan dari awal kemunculannya hingga sekarang, terutama yang menyangkut teknologi pembuatannya. Film yang sejatinya berawal dari seni peran atau teater yang dimasukkan dalam pita seluloid kini telah mengalami transformasi hingga dapat mewujudkan tampilan visual dan audio hampir tanpa batas. Jika dulu film diproduksi dengan gambar hitam putih, kini kita bisa menikmati beragam warna yang sangat indah dan detil di layar perak, bahkan terlihat lebih sempurna dibanding jika kita melihat gambar aslinya. Selain itu, kini bermunculan beragam tekonologi visual lainnya seperti 3D yang dapat memberikan penonton sensasi "menyatu dalam film" dan Computer-generated Imagery (CGI) yang mempersembahkan penonton gambar buatan komputer yang sangat menyerupai gambar asli seperti lansekap, arsitektur, dan animasi.
Di sisi lain, perkembangan teknologi audio pada film juga tak kalah menarik disimak. Pada zaman film hitam putih, belum ada teknologi untuk menggabungkan visual dengan audio dalam seluloid sehingga film-film yang diproduksi saat itu dikenal sebagai film bisu. Absennya unsur audio pada film kala itu disiasati dengan menggunakan live orchestra or simply permainan piano sebagai pengiring saat pemutaran film di teater-teater. Dengan begitu, selain penonton tidak akan hanya menikmati gambar dalam suasana hening, "rasa" dari film itu dapat lebih mudah sampai dan mengena ke para penonton. Menagapa? Dalam film bisu ini, unsur audio non-dialog seperti suara musik film (movie score) kadang tak hanya hadir sebagai sebagai pengiring, banyak juga yang mengaggapnya sebagai "aktor kedua" dalam film bisu. Meski penampilan visual para aktor di layar pada zaman film bisu itu dibuat sedemikian kuat karakternya (mimik, gerak tubuh, dan latar), namun bayak yang mengatakan bahwa film tanpa audio itu ibarat sayur tanpa garam. Saat ini, banyak sekali teknologi audio yang dikembangkan dalam proses pembatan film. Tema inilah yang menjadi pembahasan dalam diskusi film bertajuk Mendengarkan Film yang diadakan Departemen Seni dan Budaya BEM FISIP UI hari Kamis (19/4) kemarin dalam rangkaian acara Gelas Foto dan Film 2012. Diskusi ini menghadirkan dua pembicara yang bergelut dalam bidang musik film (movie scoring), yaitu Addie MS dan Dave Lumenta, yang juga merupakan staf pengajar Departemen Antropologi FISIP UI. Diskusi film ini sangat menarik bagi saya karena sebelumnya saya sangat awam dalam bidang musik film.
Diskusi dimulai dengan menampilkan cuplikan dua film yang mengandung unsur musik film di dalamnya, yaitu The Artist (2011) dan Biola Tak Berdawai (2003). Menurut Addie MS dan Dave, The Artist yang merupakan film bisu besutan sutradara Michel Hazanavicius menampilkan unsur musik orkestra sebagai bagian inheren dalam film ini karena tidak adanya unsur dialog. Sementara itu, dalam film Biola Tak Berdawai (di mana Adie MS adalah movie scorer-nya), meski terdapat dialog, musik tetap menjadi bagain integral dalam film karena pada dasarnya musik memiliki kekuatan untuk menyampaikan makna yang sama besarnya dengan akting para aktor maupun dialog yang mereka ucapkan. Namun, Addie MS mengatakan bahwa terkadang keheningan pada film saat ini juga dibutuhkan, jadi memang sutradara dan movie scorer harus secara cermat memilih bagian atau scene mana yang akan dimasukkan musik film. Contohnya, di bagian awal film Saving Private Ryan (1998), di mana dalam adegan peperangan di pantai, penonton sempat hanya mendengarkan suara air dari para tentara yang tercebur, tanpa musik dan suara manusia (saya tidak tahu apakah suara air itu merupakan sound effect atau bukan).
Menurut Dave dan Addie MS, pada dasarnya pembuatan musik dalam sebuah film sangat tergantung dari permintan sutradara dan dana (budget) yang mereka sediakan. Contohnya, Dave yang merupakan movie scorer untuk film indie Postcards from the Zoo mengatakan bahwa sebagian besar musik film yang ia buat untuk film tersebut berdasarkan permintaan Edwin, sang sutradara. Dave mengakui bahwa permintaan Edwin cukup sulit baginya yang baru pertama kali menggarap musik untuk sebuah film. Edwin bukanlah sutradara konvensional. Ia kerap kali menyisipkan simbol-simbol yang bersifat alegori atau paradoks ke dalam adegan-adegan filmnya, dan Postcards from the Zoo pun tak luput dari hal tersebut. Dave memberikan satu contoh adegan di mana ada seorang koboi (identik dengan maskulinitas dan flamboyan) yang sedang makan bakso di pinggir jalan (sangat tidak terkesan koboi). Begitu juga dengan musik film, terkadang Edwin tidak menggunakan musik dengan nada minor untuk adegan sedih dan mayor untuk suasana riang gembira, terkadang ia justru menukar dua "aturan" tersebut, musik gembira untuk adegan sedih atau sadis dan musik sedih untuk adegan suka cita.
Meski begitu, terkadang movie scorer pun punya inisiatif sendiri dalam pembuatan musik film, baik inisiatif dalam menempatkan musik film pada suatu adegan maupun komposisi musiknya. Misalnya, Addie MS pernah menambahkan unsur choir dalam musik film In the Name of Love (2008), padahal Rudi Soedjarwo, sang sutradara tidak memintanya melakukan hal tersebut. Alhasil, biaya untuk pembuatan musik filmnya pun menjadi over-budget. Padahal tanpa choir saja, kata Addie MS, biaya untuk rekaman musik film dengan orkestra yang beranggotakan 80-100 orang sudah sangat mahal karena dihitung per sesi rekaman (3-4 jam). Berbicara mengenai budget, Addie MS mengungkapkan bahwa rata-rata film Indonesia itu berani menggelontorkan banyak dana untuk membiayai aktor dan aktris terkenal serta lokasi pengambilan gambar di luar negeri, tetapi sangat pelit dalam urusan pembuatan musik filmnya. hal inilah yang menurutnya perlu ditinjau ulang, karena pada dasarnya musik film emiliki peranan yang tak kalah besar dengan akting para pemain film.
Diskusi Mendengarkan Film juga membahas beberapa hal menarik seputar proses pembuatan musik untuk sebuah film. Misalnya, Addie MS dan Dave memberi pengetahuan tentang leitmotif, sebuah gaya musik yang memperdengarkan tema berulang untuk mendeskripsikan seorang tokoh, tempat, atau gagasan dalam waktu yang berbeda. Addie MS memberi contoh musik dalam film Star Wars sementara itu Dave mencontohkan dalam film Postcards from the Zoo di mana tokoh seorang anak kecil bernama Lana yang kemudian beranjak besar. Perubahan Lana tersebut diiringi dengan musik leitmotif. Ada juga perbincangan mengenai proses kreatif pembuatan efek suara (sound effect) yang ternyata memiliki studio sendiri dengan beragam perlengakapan (dan mainan) unik.
Bagi saya, diskusi Mendengarkan Film ini menjadi kesempatan untuk menambah wawasan seputar dunia film. Menghadirkan dua pembicara yang andal di bidangnya membuat diskusi ini ta menjemukan dari awal hingga akhir. Peserta pun banyak yang melontarkan pertanyaan dengan antusias. It was a great evening discussion.
Ada komentar?