Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah artikel yang membahas pentingnya percaya bahwa segala sesuatu yang ada di kehidupan ini pasti terjadi karena suatu alasan (everything happens for a reason). Dalam artikel yang ditulis untuk website Oprah tersebut dijelaskan bahwa filsuf sekelas Aristoteles pun meyakini bahwa setiap pengalaman hidup yang terjadi akan mendesain “bentuk” diri seseorang, mendefinisikan siapa diri kita sebenarnya, dan bahkan dapat mencapai entelechy – istilah Aristoteles yang mengandung pengertian dorongan penting yang memotivasi dan menjadi panduan bagi seseorang untuk mencapai potensi tertinggi yang ada dalam dirinya. Karen Salmansohn, penulis artikel tersebut memberikan contoh bagaimana sebuah pohon ek dapat tumbuh menjadi besar dan kuat. Ketika terjadi badai besar yang mengancam eksistensi pohon ek, tumbuhan tersebut secara intuitif akan menguatkan setiap bagian pohon yang ada, dan setelahnya tanaman tersebut dapat memilih untuk terus menumbuhkan batang, cabang, dan ranting yang lebih kuat dan lebih kuat lagi guna menghadapi badai yang akan datang. Begitu pun dengan manusia, ia dapat memilih untuk terus menguatkan diri setelah sesuatu yang besar menimpa dirinya. Persitiwa putusnya hubungan dua orang yang berpacaran misalnya, dapat kita anggap lebih dari sekedar patah hati (breakdown), yaitu putus hubungan yang menyebabkan patah hati dan kemudian mendorong dirinya untuk melakukan suatu terobosan (breakthrough). Salmansohn menjelaskan Aristoteles pada akhirnya mencapai kesimpulan bahwa setiap pengalaman hidup manusia adalah sebuah tawaran akan keajaiban khusus yang dapat menguatkan diri seseorang dan mencapai entelechy. Legitimasi atas apa yang ditulis Salmansohn dalam artikelnya ini tampaknya dapat kita lihat dari pengalaman hidup Christopher McCandless yang difilmkan dalam Into the Wild (2007).
Into the Wild adalah proyek ambisius dari aktor yang dalam film ini duduk di kursi sutradara sekaligus penulis naskah, Sean Penn (The Indian Runner, The Pledge). Film yang merupakan biography picture atau biopic ini merupakan visualisasi dari buku non-fiksi buah pena Jon Krakauer yang mengulas pengalaman hidup Christopher “Chris” McCandless. Siapakah Christopher McCandless? Ia adalah pemuda yang kisah hidupnya telah menyentuh banyak orang (terutama setelah Krakauer menuangkannya dalam buku) karena dengan segala keberanian dan ketangguhan dirinya, ia rela meninggalkan semua urusan duniawi untuk kemudian berkelana mengarungi kehidupan liar dan merasakan hidup bersama alam. McCandless dikenal sebagai pemuda cerdas yang idealis. Perjalanannya menapaki alam yang cadas dimotivasi oleh pandangan dan prinsip hidupnya yang membenci segala bentuk penindasan, kemunafikan, dan keserakahan. Sebagian besar pandangan hidupnya itu dipengaruhi oleh beberapa sastrawan dan filsuf besar seperrti Leo Tolstoy, David Thoreau, Nikolai Gogol, dan Jack London. Namun, apakah ia benar-benar pemuda idealis yang sempurna?
Sebagai penulis naskah, Sean Penn telah melakukan kerja luar
biasa karena di samping melaksanakan tugas-tugas pembuat film, Penn juga harus
menjadi seorang penyusun biografi. Berdasarkan sumber yang saya dapatkan, Penn
hampir mengikuti sepenuhnya buku karangan Krakauer. Bahkan, Penn dikatakan
telah berhasil menegaskan bagian-bagian penting buku tersebut, dan
mengesampingkan hal-hal yang tidak diperlukan. Oleh karena itu, pada dasarnya
saya tidak meragukan kemampuan Sean Penn dalam menulis naskah Into the Wild
meskipun saya tidak mengetahui seperti apa buku Krakauer yang menjadi sumber
cerita utama film ini. Apalagi, secara struktur film ini dibagi ke dalam
sejumlah bab yang sebenarnya telah menunjukkan betapa Penn ingin tetap dekat dan
asli sesuai dengan buku yang telah menjadi best seller tersebut.
Hanya saja, keputusan Penn untuk tetap mengikuti buku
Krakauer secara ketat tampaknya berdampak kurang baik pada durasi film yang
dapat membuat (maaf) bokong penonton panas di kursinya. Selama 148 menit
penonton disajikan keindahan sinematografi dan kisah yang menyentuh, namun juga
disisipi cukup banyak adegan pengulangan yang menurut saya membuang-buang
waktu. Sebut saja misalnya adegan yang berulang-ulang saat Chris duduk
termenung, berdiri dalam keheningan, memanjat bebatuan terjal, dan mencari
tumpangan. Sebenarnya dengan latar tempat, waktu, dan kejadian yang
berubah-ubah adegan perlu dibuat seefektif mungkin agar penonton dapat tetap mengikuti
dan mengingat semua latar dalam setiap adegan. Semua pengulangan itu
menunjukkan struktur cerita yang kurang efektif. Mengapa Penn tidak memotong
semua adegan itu dan menghasilkan film berdurasi sekitar 100 menit namun
terjamin tidak ada adegan yang diulang berkali-kali? Into the Wild semakin
memperkuat anggapan dan pertanyaan saya selama ini: apakah semua film biopic
harus dibuat dengan durasi yang begitu panjang?
Selain terganggu dengan durasi yang terlalu lama, saya juga
merasa tidak nyaman dengan pendekatan dan sudut pandang yang diambil Penn (dan
mungkin Krakauer) dalam mencitrakan pribadi Chris. Menurut saya, Penn terlalu
berani mengambil risiko untuk menampilkan sosok Chris sebagai pemuda idealis
yang selalu dapat diandalkan, disenangi setiap orang, meluncurkan kata-kata
yang penuh makna dari mulutnya, pahlawan yang membebaskan diri dari segala
kebobrokan manusia, dan bahkan lebih jauh lagi Penn terkesan mendorong pesona
Chris agar tampak seperti orang suci (saint). Dalam satu dialog Rainey bertanya
pada Chris, “You’re not Jesus, are you?” Tanpa mengecilkan atau bermaksud
menjelek-jelekan Christopher McCandless, bagi saya Chris adalah seorang pemuda
yang berani membuat suatu keputusan besar dalam hidupnya dan ia pun berani menanggung
segala konsekuensi atas keputusannya tersebut, tidak kurang dan tidak lebih.
Jujur saja, sebenarnya saya kurang simpatik kepada Chris. Ia
pergi meninggalkan keluarganya yang ia anggap tidak mampu membangun
keharmonisan rumah tangga. Namun, saya menganggap hal itu sebagai tindakan yang
sangat egois. Sebagai seorang anak yang selama ini diajarkan nilai-nilai moral,
saya selalu percaya bahwa seburuk apapun orang tua, tidak akan ada yang dapat
mengubah status mereka sebagai orang tua kita. Dalam kasus Chris, Walt dan
Billie bahkan sebenarnya memenuhi semua kebutuhan materi Chris dan Carine.
Meski sebagai orang tua Walt dan Billie kurang berhasil menunjukkan dan
menanamkan nilai-nilai kehidupan, namun tidak seharusnya Chris mencampakkan
keluarga yang saya amat yakin mencintainya sepenuh hati. Kasih sayang dua orang tua Chris terasa kentara di akhir film ketika Walt, Billie, dan Carine selangkah
demi selangkah menuju keputusasaan dalam mencari Chris. Tengok adegan ketika
Walt duduk tersimpuh di jalan layaknya anak kecil yang tersesat, menahan
kesedihan dan kehilangan putranya serta saat Billie pulang dari pasar, mengendarai
mobilnya, dan berusaha mati-matian meyakinkan dirinya bahwa Chris masih hidup
dan menjadi seorang petualang backpacker di luar sana. Walt dan Billie pun
akhirnya tenggelam dalam penyesalan. Melihat besarnya cinta kedua orangtua Chris pada dirinya, saya merasa kalimat yang diucapkan Jan pada Chris di malam yang mereka
habiskan di pantai sangatlah menohok. Saat itu, Jan berkata, “You look like a
loved kid. Be fair.” Begitu juga saat Chris ditanya oleh Ron mengenai di mana
keluarganya dan Chris menjawab bahwa ia tak lagi memiliki keluarga, ekspresi
Ron berubah seketika, ia diam sejenak dan kemudian berkata, “That’s a shame.”
Ya, saya sangat setuju bahwa mendengar seorang manusia yang tidak lagi mengakui
keluarganya adalah sebuah hal yang memalukan.
Bagi saya, tindakan Chris pergi menjauh sekaligus membuang
identitas dirinya sebagai bagian dari sebuah keluarga keluarga sangatlah tidak
adil, tidak menunjukan tingkat intelektual yang seharusnya mampu membimbing
Chris untuk dapat membuat keputusan yang jauh lebih baik, dan justru hal itu
menunjukan betapa lemahnya mental Chris. Melalui dua potong kalimat, Carine mengatakan
dalam narasinya, “It was inevitable that Chris would break away. And when he
did, he would do it with characteristic immoderation.” Dua kalimat itu sangat
tepat menggambarkan dua hal dalam hidup Chris: pertama, Chris sebenarnya tidak
kuat menghadapi permasalahan hidupnya hingga dirinya harus melakukan suatu
tindakan yang dapat menyelamatkan dirinya dari permasalahan itu: break away,
atau saya jauh lebih senang menyebutnya escape (melarikan diri), sebuah
tindakan praktis yang seringkali menjadi katup penyelamat bagi orang-orang
dengan mental yang tidak tahan banting. Kedua, ketika Chris melarikan diri, ia
melakukannya bukan dengan cara yang biasa-biasa saja, karena seperti yang telah
saya katakan sebelumnya, ia telah membuat keputusan besar, yang tidak hanya
bersifat dinamis atau drastis, melainkan lebih tepat jika disebut suatu
keputusan radikal yang sebenarnya dilandasi oleh sebuah dinamit yang dapat
meledak setiap waktu: amarah (anger). Menurut saya, sebenarnya motivasi
terbesar atas keputusan besarnya itu adalah amarah, sebuah emosi dan nafsu yang
dapat menyesatkan. Bagi saya, tidak ada keputusan yang lebih buruk dari
keputusan yang diambil atas dasar amarah. Meski pada akhirnya ia mendapatkan
pemahaman bahwa kebahagiaan hidup baru akan bermakna saat dinikmati dalam
kebersamaan, namun Chris terlanjur mengecewakan hati saya dan saya tidak mampu menaruh
simpati yang lebih besar lagi dari sekedar pemuda yang berani mengarungi
ganasnya alam liar. Sekali lagi, saya tidak bermaksud mengecilkan, menilai,
atau menjelek-jelekan Christopher McCandless.
Penn terlalu sibuk berusaha melakukan pencitraan terhadap
Chris hingga ia seakan-akan lupa bahwa Chris tidak pernah ingin membangun
hubungan yang terlalu intim dengan orang lain. Seperti yang Chris katakan pada
Ron, “But you’re wrong if you think that the joy of life comes principally from
human relationships. God’s placed it all around us. It’s in everything. It’s in
anything we can experience. People just need to change the way they look at
those things.” Sebaliknya, Penn justru selalu berusaha menampilkan sosok Chris
sebagai pemuda yang mudah berbaur dengan orang lain, hingga memberikan kesan paradoks
dalam diri Chris, karena meski ia berusaha sekuat tenaga menolak setiap tawaran
kasih sayang dan hubungan berkomitmen yang dating pada dirinya dan merindukan setengah
mati kehidupan sebatang kara (solitary life) di alam liar, Chris pada dasarnya
adalah makhluk dengan memiliki jiwa sosial yang besar. Lihatlah bagaimana Jan
dan Ron tidak mampu menahan emosi mereka ketika datang waktu perpisahan dengan
Chris.
Selain tidak nyaman dengan durasi, cara Penn
mempresentasikan kepribadian Chris, serta rasa kurang simpatik saya terhadap
Chris (nothing personal), saya juga mendeteksi adanya semangat machismo yang
berlebihan dalam visualisasi Into the Wild. Di sepanjang cerita, cobalah ingat
berapa kali adegan Chris yang sedang menikmati sejuknya air saat ia mandi atau
melakukan aktivitas lain seperti berenang. Di hampir semua adegan “basah”
tersebut, pengambilan gambar akan dilakukan dengan gerakan lambar (slow
motion), memperlihatkan Chris menyibak rambut gondrongnya (a la shampoo ads),
serta mempertontonkan tubuh Chris yang tidak mengenakan baju (topless). Saya
mempertanyakan apa maksud dibalik pengambilan semua adegan itu? Apakah Penn
berusaha menekankan penggambaran sosok Chris yang kharismatik, seorang pria
sejati? Saya rasa jika memang itu tujuannya, itu tidak perlu karena justru pengambilan
gambar seperti itu terasa seperti dipaksakan dan menjurus seperti iklan Marlboro
di Amerika tempo doeloe (masa kini di Indonesia). Satu hal lagi, saya juga
tidak terlalu nyaman ketika hampir di sepanjang film penonton tidak pernah
diberi kesempatan rehat sejenak dari riuhnya suara latar lagu-lagu Eddie
Vedder. Bukan hendak mengatakan bahwa suara Eddie jelek atau hal buruk lainnya,
saya hanya berpendapat bahwa terkadang dalam momen-momen dan adegan tertentu
suara serangga berdengung, cicitan burung, atau bahkan keheningan total lebih
cocok dibanding kocokan gitar yang menampilkan nuansa ramai di sepanjang
cerita.
Meskipun terdapat hal-hal yang saya kurang sukai atau tidak
nyaman di beberapa hal lainnya, namun tentu saja Into the Wild memiliki banyak
nilai positif. Pertama, deretan aktor yang sangat luar biasa. Selama penonton menapak
tilas perjalanan Chris, di sepanjang cerita bertaburan tokoh-tokoh yang
menyentuh yang diperankan dengan sangat apik. Mulai dari Keener yang berperan
sebagai Jan, wanita pengelana yang memiliki posisi yang sama seperti Billie, yaitu
ibu yang kehilangan anaknya karena ia memilih untuk mencari kebebasan di luar
sana. Melalui kesedihan yang tergambar jelas di wajahnya, Jan mengharapkan
Chris bersedia menetap bersamanya dan menjadi pengganti putra semata wayang
yang entah berada di mana. Menemani Jan adalah Rainey, peran yang dibawakan
oleh Dierker, aktor yang menjajal layar perak untuk pertama kalinya. Hebatnya,
untuk ukuran sebuah debut, Dierker telah memainkan peran Rainey dengan amat
baik. Sebagai pengelana paruh baya, Rainey tidak pernah mengharapkan apapun di
dunia ini selain kebahagiaan bersama orang yang amat dicintainya, Jan. Meski ia
menaruh harapan, namun Rainey tahu persis bahwa Jan belum dapat sepenuhnya
menerima cinta dari pria lain setelah kegagalan pernikahan yang ia kira menjadi
momen terindah dalam hidupnya. Rainey juga berperan sebagai sahabat sekaligus
figur ayah yang ideal bagi Chris.
Satu lagi yang tak kalah hebat tentu saja adalah Hal
Holbrook yang berperan sebagai Ron Franz (sebenarnya saya lebih suka
menyebutnya Mr. Fredericksen karena ia mirip dengan tokoh kakek dalam Up
(2009)), seorang veteran yang merindukan indahnya kehidupan berkeluarga setelah
istri dan anaknya tewas secara tragis saat ia bertugas di luar negeri.
Pertemuannya dengan Chris telah mengubah sedikit banyak hidupnya karena Chris
adalah seorang pemuda penuh semangat yang tak pernah menyerah dalam mengatasi
permasalahan hidup, sementara di usianya yang senja Ron telah pasrah dengan
kehidupannya yang penuh dengan kesendirian. Keinginan yang kuat untuk memiliki
keluarga dan teman hidup dalam diri Ron tergambar jelas ketika ia menyatakan
ingin mengadopsi Chris sebagai cucunya dalam adegan perpisahan antara dirinya
dengan Chris. Penonton dapat dengan mudah larut dalam keharuan Ron saat mata
rentanya berkaca-kaca.
Kemudian, tentu saja yang paling menonjol adalah Emile
Hirsch, si empunya peran Chris. Selama proses syuting, saya yakin Hirsch telah
menerima banyak tempaan, mulai dari membawa ransel penuh dengan perlengkapan
bertualang, membajak ladang gandum, berlatih mengarungi jeram sungai Colorado,
memotong hasil buruan, hingga tinggal di wilayah dingin. Penampilan Hirsch
semakin memukau ketika emosinya sebagai pemuda idealis meluap dalam suatu
bentuk kemarahan terpendam dan ia berhasil menunjukkannya melalui permainan
mimik, gaya bicara, dan gerakan pemuda yang energik sekaligus rapuh ketika ia
dihadapkan pada kebaikan dan kasih sayang orang lain. Bagi saya, Into the Wild adalah salah satu
dari sedikit film yang semua aktornya menunjukkan performa prima.
Di samping departemen akting, sinematografi tentu saja menjadi
hal yang diandalkan dalam film sejenis ini. Diperkaya dengan berbagai warna
seperti coklat, kunig tua, dan warna keemasan sinar matahari, Into the Wild
tampil memukau dan terkesan mewah sekaligus eksotis. Eksotika sinematografi
Into the Wild juga bukan hanya dari permainan warna, melainkan juga
penggambaran alam (landscape) yang begitu menakjubkan mulai dari jeram sungai
yang memacu adrenalin, pantai yang penuh dengan burung camar, hingga padang salju
dan pegunungan bersalju yang terkesan sangat angkuh dalam keluasan dan kedinginannya.
Sinematografer Eric Gautier harus mendapat acungan empol atas kerja kerasnya
ini.
Secara keseluruhan, saya ingin mengatakan bahwa Sean Penn
sebenarnya telah mencapai suatu tingkat kematangan dan kedalaman di film ini.
Penn telah melakukan tugas yang amat sulit sebagai sineas sekaligus penyusun
biografi, dan juga ia berhasil mengarahkan serta menggambarkan hasrat dan mimpi
yang beraneka ragam dari setiap karakter yang ada di sekeliling Chris dan
hebatnya lagi Penn melakukan itu semua tanpa merendahkan pandangan terhadap
karakter yang satu dengan karakter yang lain. Penn juga tidak memosisikan
karakter-karakter tersebut sebagai tokoh yang merasa dirinya benar atau salah,
semuanya kembali pada penilaian penonton. Akhirnya, saya menutup tulisan ini
dengan kesimpulan bahwa Into the Wild adalah sebuah film perjalanan (road picture)
yang memukau baik dari sisi penokohan maupun teknis, namun saya tidak merasa
karakter utama di sini yaitu Christopher McCandless ditampilkan secara netral.
All in all, it’s terrific but not extraordinary, 3.5 out of 5 stars. Sebenarnya,
saya pun masih bertanya dalam hati apakah penilaian saya ini disebabkan rasa
kurang simpatik saya, genre biopic yang bukan favorit saya, ataukah gabungan
keduanya? Entahlah. Bagaimana menurut Anda?
Watch this if you liked:
127 Hours (2010)
Director: Danny Boyle
Stars: James Franco, Kate Mara, Amber Tamblyn
Director: Danny Boyle
Stars: James Franco, Kate Mara, Amber Tamblyn
Genre: Adventure, Biography, Drama
Runtime: 94 minutes
The Motorcycle Diaries (2004)
Director: Walter Salles
Stars: Gael García Bernal, Rodrigo De la Serna, Mercedes Morán
The Motorcycle Diaries (2004)
Director: Walter Salles
Stars: Gael García Bernal, Rodrigo De la Serna, Mercedes Morán
Genre: Biography, Drama
Runtime: 126 minutes