Peter: Why do you have to spoil everything? We have fun, don't we? I taught you to fly and to fight. What more could there be?
Wendy: There is so much more.
Peter: What? What else is there?
Wendy: I don't know. I guess it becomes clearer when you grow up.
Peter: Well, I will not grow up. You cannot make me!
Dengan wajah serius, Peter menolak mentah-mentah ajakan Wendy
untuk hidup sebagai anak-anak biasa yang akan tumbuh besar suatu saat nanti.
Kalimat terakhir yang diucapkan Peter seperti dalam petikan dialog Peter Pan
(2003) di atas semakin mempertegas pendirian kokoh karakter Peter bahwa ia
tidak ingin tumbuh dewasa. Keinginan Peter tersebut bahkan dapat dikatakan
lebih dari sekedar pendirian, melainkan idealisme dan pemahaman yang mengakar
dalam diri bocah yang dikenal hidup di Neverland itu bahwa menjadi dewasa
adalah sebuah pilihan. Ketika melihat kenyataan bahwa dunia manusia dewasa
tidak seindah manisnya hidup sebagai anak-anak, Peter memilih hidup abadi
sebagai manusia hijau. Sebagai seseorang yang baru saja melewati fase transisi
dari remaja menjadi dewasa, saya juga percaya bahwa tidak ada satu orang pun
yang dapat memaksa orang lain untuk menjadi dewasa, karena sekali lagi: menjadi
dewasa adalah pilihan. Menjadi dewasa memang bukan sesuatu yang mudah
dilakukan, butuh proses agar diri kita benar-benar menjadi manusia dewasa
seutuhnya yang sadar akan tanggung jawab dan konsekuensi dalam setiap tindakan.
Bagi sebagian orang, proses pendewasaan terkadang menjadi suatu kenangan
tersendiri yang sulit dilupakan, apalagi jika kenangan itu adalah kenangan
hangat yang sedap jika diingat berulang kali, seperti yang dialami oleh Bryce
dan Juli dalam Flipped (2010).
Secara komersial Flipped merupakan film yang kurang
beruntung, sebab saat rilis perdana di Amerika Serikat publik tidak merespon
dengan baik. Pihak studio Warner Bros. bahkan terus menyusutkan jumlah bioskop
dan memindahkan lokasi penayangan untuk memasarkan film coming of age ini.
Namun, mandeknya pretasi Flipped secara ekonomi bukan berarti film ini sangat
buruk secara kualitas. Bagi sebagian orang (termasuk saya), Flipped adalah
sebuah cult, sebuah mutiara terbuang di tengah tumpukan film-film berdana besar
dengan teknologi efek khusus yang ternyata tidak selamanya bisa menjadi sebuah
film yang dapat dikenang.
Flipped menceritakan romansa muda dua bocah yang tinggal
berseberangan, Bryce Loski (Callan McAuliffe) dan Julianna “Juli” Baker
(Madeline Carroll). Well, sebenarnya mereka tidak hanya sekedar tinggal
berseberangan karena pada kenyataannya keluarga mereka juga memiliki
nilai-nilai berseberangan satu sama lain. Keluarga Loski adalah keluarga yang
mapan secara sosial dan ekonomi namun sayangnya sangat miskin dalam hal
kerendahan dan ketulusan hati. Di sisi lain, keluarga Baker adalah keluarga
sederhana yang penuh dengan kehangatan dan perjuangan hidup. Sejak pertama kali
bertemu dengan Juli, Bryce sudah merasa jengkel terhadap sikap sok dewasa dan
periang Juli. Meskipun sebenarnya Juli hanya menunjukkan sifat aslinya, namun
Bryce tetap tidak senang terhadapnya. Saat keluarga Loski baru pindah, Bryce
dan ayahnya Steven (James Edward) sudah saling mengerti untuk tidak dekat-dekat
dengan gadis kecil yang saat itu dengan semangat menggebu berusaha membantu
mengangkat barang-barang ke dalam rumah. Sementara itu, tidak peduli bagaimana
Bryce bersikap dingin dan apatis terhadapnya, Juli adalah seorang gadis yang pantang
menyerah. Di sekolah, sejak kelas dua SD Juli dikenal sebagai “istri” Bryce
berkat antusiasme dan obsesinya terhadap pemuda yang menurutnya memiliki
pandangan mata yang sangat menawan itu.
Tetapi, fase remaja merupakan hal yang tidak terhindarkan
dalam hidup setiap orang, termasuk Bryce dan Juli. Kini memasuki usia pubertas di
SMP, hidup dua remaja bertetangga itu tidak lagi sesederhana saat kelas dua SD.
Di tengah ketertarikan Juli kepada Bryce yang tampaknya tidak akan pernah berakhir,
timbul berbagai variabel baru dalam hidup mereka: lingkaran pertemanan dengan
segala persaingan di dalamnya, hubungan cinta yang kian berkembang semakin
rumit, dan tentu saja keluarga! Ya, keluarga tampaknya menjadi isu sensitif
dalam hubungan Bryce dan Juli karena dua keluarga mereka memang tidak akur,
kecuali bagi Chet (John Mahoney) – kakek Bryce yang bersahabat dengan Juli
karena ia menemukan kemiripan gadis cerdas itu dengan istrinya yang baru wafat.
Semua perubahan kehidupan remaja tersebut turut mengubah peta hubungan pribadi
Bryce dan Juli serta keluarga mereka. Pada fase inilah kisah dua remaja ini flipped. Berangkat dari filosofi yang
diperkenalkan ayahnya Richard (Aidan Quinn) dan Chet, Juli mulai mempertanyakan
perasaannya kepada Bryce. Bryce sendiri pada akhirnya mendapatkan dirinya
berada pada suatu persimpangan jalan, di mana ia harus memilih menjadi dewasa
dan berupaya mengejar ketertinggalannya selama ini, berusaha menggapai sesuatu
yang selama ini dianggapnya tidak berharga.
Dari segi cerita, naskah yang diadaptasi Rob Reiner (Stand
by Me, The Bucket List) dan Andrew Scheinman (Little Big League) dari novel
remaja karangan Wendelin Van Draanen ini hanya mengandalkan cerita sederhana
tentang cinta monyet dua remaja tanggung di awal era 1960-an. Ditambah lagi,
dengan label PG (Parental Guidance) otomatis penonton tidak akan menemukan
kata-kata kotor, kekerasan yang membangkitkan adrenalin, dan lelucon jorok yang
biasa mengocok perut secara eksplisit. Sepintas saya sempat berpikir, siapa
yang akan menonton film seperti ini mengingat derasnya arus film-film heroik
serta komedi kasar dan vulgar yang cenderung sukses di pasaran? Tetapi kemudian
saya sadar, justru di sinilah letak keunikan Flipped, sebuah film yang tidak
biasa.
Dalam Flipped, penonton disuguhkan dua karakter utama Bryce
dan Juli yang pada awalnya terlihat memiliki hubungan tidak seimbang. Di antara
keduanya, Juli digambarkan sebagai sosok yang lebih berani, agresif, tidak
ingin terlihat rapuh, dan dewasa. Tanpa malu-malu Juli mengejar dan menunjukkan
perasaannya pada Bryce sedari awal mereka berjumpa hingga beranjak remaja. Di
sisi lain, Bryce adalah seorang anak yang sangat hati-hati dalam mengungkapkan
perasaannya. Lihatlah bagaimana Bryce dengan susah payah berusaha setengah mati
menghindari Juli dengan berbagai cara. Selanjutnya cerita mengalir layaknya
nostalgia, di mana gadis yang dulu cerewet dan menyebalkan berubah menjadi
pujaan hati, pemuda yang sangat dikagumi ternyata tidak lain adalah seorang
brengsek yang tidak pantas mendapatkan cinta, serta bayangan bagaimana
seandainya kita tidak bertindak bodoh di masa lalu. Tampak seperti sebuah kisah
klasik yang lazim dialami oleh setiap orang bukan? Namun di balik kesederhanaan
ceritanya, Flipped menyimpan sebuah kekuatan besar yang mungkin akan dirasakan
oleh setiap penontonnya, yaitu bagaimana peristiwa-peristiwa yang diceritakan
mampu memanggil kembali kenangan masa lalu. Flipped mampu membawa penontonnya
merasakan kembali kelucuan, keindahan, dan kehangatan cinta pertama. Seirama
dengan tagline "you never forget your first love" yang diusung film berdurasi 90
menit ini, Flipped memang berhasil membuat penonton ingin kembali menjadi
“remaja ingusan” lagi.
Selain mampu membangkitkan kenangan cinta pertama pada
penonton, kekuatan naskah Flipped bagi saya juga terletak pada bagaimana Bryce
menemukan titik balik untuk memperbaiki hubungannya dengan Juli. Oh, bukan!
Titik itu akan lebih tepat disebut sebagai titik balik kehidupan Bryce, karena
selain berhasil memperbaiki hubungannya dengan Juli, Bryce juga mampu keluar
dari sempitnya cangkang di mana ia hidup selama ini. Cangkang tersebut telah
mengungkung cara berpikir Bryce menjadi sempit, selalu ragu dan rapuh dalam
mengekspresikan pendapat dan keinginannya. Cangkang tersebut tidak lain dan
tidak bukan adalah sifat sang ayah, Steven yang selalu membawanya ke arah yang
sesat. Ingatkah Anda pada bagaimana Steven dengan nyinyir menghina Richard yang
senang melukis pemandangan? Saat itu dari jendela rumahnya Steven berkata, ”Oh,
there he is! The bricklayer who thinks he’s a painter.” Dan masihkah Anda ingat
pada scene saat Steven menghina Daniel (Kevin Weisman), adik Richard yang
memiliki keterbelakangan dengan berkata, ”Either way, it’s not our fault that
their family has some chromosomal abnormality.” Masih dengan pelaku yang sama,
ingatlah kembali bagaimana Steven menghina Mark (Michael Bolten) dan Matt
(Shane Harper), dua kakak Juli yang memilih menunda kuliah demi mencari karier
di dunia musik. Saat itu, Steven berkata pada istrinya Patsy (Rebecca De
Mornay), “Don’t be so naive, Patsy. Do you know how expensive it is to record a
demo? They’re probably stealing hubcaps, for chrissake.”
Bagi saya, sangat menarik melihat bagaimana pada awalnya semua
pandangan Steven yang merendahkan keluarga Baker ditelan mentah-mentah oleh
Bryce. Putar kembali ingatan Anda ketika Steven menyuruh Bryce menyingkirkan
telur-telur pemberian Juli dari meja makan mereka. Bagi Bryce, daripada harus mengembalikan
dan berhadapan secara langsung dengan Juli seperti saran bodoh ayahnya, Bryce
memilih mematuhi perintah Steven dengan caranya sendiri: menutupi secara total
“kebobrokan sosial” keluarganya (baca: Steven) dengan membuang semua telur itu
sembunyi-sembunyi. Tidak ada white lie yang manis di dengar, permintaan maaf
dengan senyum tulus, apalagi kejujuran yang memang akan terasa getir. Tidak,
tidak ada satu pun di antara hal itu yang dilakukan Bryce karena ia lebih
memilih menutupi semuanya, S-E-M-U-A-N-Y-A. Pada akhirnya, hal itulah yang membuat
Juli berpendapat bahwa Bryce adalah seorang pengecut. Tetapi, benarkah
demikian?
Well, bersyukurlah Bryce karena masih ada sedikit kebaikan
tersisa pada keluarga Loski yang terwujud dalam bentuk si tua Chet. Kakek
kesepian itu memiliki kebijaksanaan dalam memandang segala hal. Chet memberikan
banyak petuah pada Bryce mulai dari kejujuran, kerendahan hati, dan yang tidak
kalah penting adalah bagaimana Chet memberikan pencerahan pada Bryce lewat
kata-katanya yang sangat manis. Ada dua pelajaran dari Chet yang sangat menyentuh
bagi saya, yaitu tentang kejujuran dan melihat sesuatu lebih dekat. Pada
pelajaran pertama, Chet mengungkapkan keresahan atas perlakuan Bryce pada Juli melalui
kata-kata yang sulit dilupakan. Dengan raut kecewa tergambar di wajahnya, Chet
bertutur, “Sometimes a little discomfort in the beginning, can save a lot of
pain down the road”. Pada pelajaran kedua, sambil memandang sisa batang pohon
sycamore kesayangan Juli yang telah ditebang Chet berkata pada Bryce, “She’s
quite a girl. Some of us get dipped in flat, some in satin, some in gloss. But
every once in a while you find someone who’s iridescent. And when you do, nothing will ever compare.” Semua
kebijaksanaan Chet itu memang merupakan panacea bagi jiwa Bryce yang
terkontaminasi kedengkian dari ayahnya. Ibarat anak ayam, Bryce akhirnya keluar
dari cangkang yang melingkupinya selama ini. If Juli knows how Bryce changes
this way, I’m sure she’d say, “A chicken is born!”
Penokohan yang unik juga menjadi kekuatan Flipped. Ide untuk
menampilkan karakter utama remaja yang berada dalam tahap pencarian jati diri
bisa jadi merupakan hal biasa yang diangkat menjadi film (in fact that’s the
main character ingredients for coming of age movies, right?), namun gagasan
untuk menampilkan bagaimana keluarga memiliki andil signifikan dalam
pembentukan karakter seseorang merupakan suatu hal yang membuat Flipped
bukanlah film omong kosong. Fakta bahwa
tidak ada keluarga yang sempurna dalam segala hal menjadi landasan yang bagus
untuk mengangkat kisah pencarian jati diri remaja dengan orang tua dengan
“cacat sosial” ke layar lebar. Keunikan penokohan Flipped juga terletak pada
karakter Chet yang merupakan sumber dari segala kebajikan dalam keluarga Loski,
bukan dari kepala keluarga inti mereka, Steven. Padahal sebelum keluarga Loski
pindah ke lingkungan tinggal Juli, Chet hanyalah seorang kakek yang tinggal
terpisah dari anak, menantu, dan cucunya. Hal itu berarti tanpa kehadiran Chet
keluarga Loski akan selamanya tertutup awan kelabu bernama kesombongan.
Mengenai dua karakter utama film ini, yaitu Bryce dan Juli,
keunikan penokohan mereka terletak pada perbedaan cara pandang keduanya
terhadap satu sama lain. Di paruh pertama film, Bryce digambarkan sebagai sosok
yang sedikit egois dengan hanya memikirkan bagaimana dirinya dapat lolos dari
jeratan Juli. Bryce tidak pernah sekalipun memenuhi permintaan Juli untuk
memanjat pohon sycamore dan menatap pemandangan indah dari dahannya, tidak
berada di samping Juli untuk membelanya saat pohon besar itu akan ditebang,
tidak pula mau mengenal Juli sedikit saja lebih dekat bahkan ketika ia pertama mengetahui bahwa gadis itu masuk
halaman depan sebuah koran. Dengan sudut pandang demikian, sangat tepat bila
karakter Bryce diperkenalkan hanya berdasarkan pemikiran-pemikirannya saja.
Di sisi lain, Juli digambarkan sebagai gadis periang yang
mendambakan ciuman pertamanya sejak usia sangat dini (terlalu dini?). Juli
yakin Bryce adalah pria yang dikirim Tuhan untuk ditakdirkan menjadi cinta
pertamanya, maka ia berusaha sekuat tenaga mendapatkan Bryce betapapun
dinginnya reaksi sang objek ciuman itu. Juli juga sangat perhatian pada
sesamanya, bahkan seolah ia merasa bertanggung jawab untuk memberikan kebaikan
pada orang-orang disekitarnya (coba ingat kembali mengapa Juli memberikan
telur-telur gratis pada keluarga Loski dan mengapa ia menganggap pohon sycamore
dekat rumahnya sangat berharga). Sistem kerja, berpikir, dan hidup Juli yang
penuh dengan impian, imajinasi, dan perasaan membuat karakter Juli sangat tepat
diperkenalkan melalui hal-hal kecil seperti hobi, perilaku unik, dan ide-ide
gilanya.
Keunikan penokohan Bryce dan Juli menimbulkan daya tarik
lain dari Flipped, yaitu format bercerita yang menggunakan sudut pandang dua
remaja tersebut secara bergantian. Uniknya, Flipped tidak patuh pada pakem
perfilman di mana biasanya sudut pandang pertama cenderung bersifat lebih bias
dari kenyataan dan disanggah dengan sudut pandang kedua yang umumnya lebih
mendekati kebenaran. Dalam Flipped, sudut pandang pertama diceritakan oleh
Bryce yang karena karakternya cenderung bersifat egois dan tidak memiliki
ilusi-ilusi tertentu menjadi lebih objektif dan realistis. Sedangkan sudut
pandang kedua yang berasal dari Juli justru penuh dengan berbagai warna emosi
dan angan-angan yang menjadikannya lebih subjektif.
Dari segi penyutradaan, Rob Reiner sangat pantas diberikan
acungan jempol atas karyanya ini. Seperti karya pentingnya yang terdahulu,
Stand By Me (1986), Reiner sekali lagi menunjukkan tajinya di area coming of age.
Sama-sama berlatar waktu di akhir 1950 hingga awal 1960-an, Reiner mengulang
sukses Stand By Me (secara kualitas) berkat kemampuannya memahami generasi era
tersebut. Peralihan dekade 1950 ke 1960 merupakan akhir dari generasi remaja
polos yang masih mematuhi nilai-nilai keluarga, sosial, dan agama dengan cukup
ketat. Memasuki akhir 1960 hingga seterusnya, kita tahu bahwa masyarakat
Amerika mengalami suatu transformasi sosial di berbagai aspek kehidupan yang
membentuk suatu identitas budaya baru. Di dunia politik muncul perdebatan
mengenai perang Vietnam, secara sosial muncul generasi baby boomers yang dengan
bebas mengekspresikan pendapat, gaya hidup, dan keinginan mereka secara luas,
dan secara religius agama tidak lagi dipandang sebagai suatu wadah efektif bagi
kehidupan pribadi dan sosial.
Karakter Bryce dan Juli sangat cocok dengan generasi polos
tersebut. Pribadi dua remaja itu digambarkan sangat dekat dengan keluarga
mereka masing-masing, tidak menentang perintah orang tua (bukan berarti tidak
ada perbedaan pendapat), dan jauh dari pornografi dan hal-hal berbau seks
(ingat ketika Bryce menganggap jijik tudingan kakaknya Lynetta (Cody Horn)
padanya tentang majalah Playboy?). Reiner tahu betul bahwa pada masa itu
semangat dan optimisme romantik sangat kental pada kehidupan masyarakat
Amerika, mulai dari platonic love hingga true romantic love. Satu hal lagi yang
menunjukkan Reiner adalah sutradara yang perhatian pada detail, yaitu susunan
musik latar yang dimainkan di sepanjang film diatur berdasarkan tahun rilisnya
(that’s a wow when I found out).
Di departemen akting, semua aktor dan aktris menunjukkan
penampilan prima. Dalam keluarga Loski, Callan McAuliffe berhasil menyuntikkan
pesona menawan di balik sifat awalnya yang penuh kegamangan dan kemudian menunjukkan
kesungguhan, ketulusan hati, serta introspeksi diri saat ia mulai flipped. James
Edward sebagai Steven juga mampu membuat karakternya terlihat super-brengsek
hingga membuat penonton mengerutkan kening, menyunggingkan senyum sinis, dan
berkata “what the hell he was saying?” Rebecca de Mornay dan Cody Horn yang
masing-masing berperan sebagai ibu dan kakak Bryce secara efektif berhasil
memainkan peran “katalis semu” dalam keluarga mereka, sebab meski keduanya
sama-sama memiliki perbedaan pendapat dengan Steven namun tidak satupun di
antara keduanya yang berhasil menggugah Bryce untuk mengubah pandangannya
terhadap keluarga Baker. Terakhir, tentu saja keluarga Loski tidak akan berarti
tanpa Chet yang diperankan dengan sangat baik oleh John Mahoney. Tanpa perlu
banyak penjelasan, petuah-petuah dari Chet yang saya sebutkan sebelumnya
disampaikan oleh Mahoney dengan rasa kasih sayang yang tergambar jelas. Meski
terkesan sangat kolot dan menggurui (hey, it’s 60s by the way) namun kata-kata
manis yang terkadang bermakna konotatif membuat setiap perkataan Chet tidak
terlalu pretensius.
Sementara itu, di keluarga Baker tentu saja Madeline Carroll
sebagai Juli menjadi bintang yang bersinar terang. Carroll mempu memancarkan
sifat-sifat kedewasaan pada gadis muda yang diperankannya. Carroll berhasil
membuat Juli sebagai seorang gadis yang sadar diri ketika ia menemukan bahwa
pemuda impiannya ternyata tidak sesempurna yang ia pikir. Gerak tubuh Carroll
sangat pas ketika mencerminkan Juli yang berusaha mematikan perasaannya kepada Bryce.
Ada satu scene favorit saya yang menggambarkan kecanggungan dan perasaan Juli
yang mulai berubah, yaitu ketika ia sedang menyiram rumput halaman rumahnya dan
Byce datang menghampiri. Saat itu, sambil memegang selang air Carroll dengan
agak canggung dan malas menanggapi permintaan maaf Bryce dan kemudian
menyatakan keherannya mengapa Bryce tidak berkata jujur padanya. Scene itu
kemudian ditutup dengan Juli memperlihatkan pandangan “just go away at once!” saat
menatap tanah membelakangi Bryce. Selain Juli, pemeran pendukung di keluarga
Baker yaitu Aidan Quinn Penelope Ann Miller yang masing-masing berperan sebagai Richard dan Trina, ayah dan ibu Juli mampu memperlihatkan gambaran keluarga Baker secara lebih
jelas, bahwa keluarga mereka bukanlah keluarga sederhana tetapi sempurna
seperti yang terlihat dari luar. Dalam sebuah scene emosional, yaitu
adegan di ruang makan keluarga Baker ketika Juli menyampaikan gagasannya untuk
memulai proyek pembenahan halaman rumah, Richard dan Trina beradu pendapat
dengan diiringi kesunyian anak-anaknya. Quinn dengan berapi-api sangat sukses
menciptakan emosi dan mimik tersinggung di wajah Richard saat Trina mengatakan
bahwa suaminya itu lebih memilih Daniel daripada anak-anaknya sendiri. Sebelum Richard
menggebrak meja yang membuat Juli berteriak, saya merinding mendengar sepasang
suami-istri yang terlihat sangat akur saling membentak satu sama lain. Well
done!
Simply put, bagi saya pribadi Flipped bagaikan menu spesial
dari restoran favorit yang akan membuat pengunjung ingin datang untuk kedua
kali, ketiga kali, dan seterusnya. Tidak banyak film dengan karakter utama
anak-anak dapat memberikan insights
yang begitu berharga yang tidak hanya ditujukan pada anak-anak saja, tetapi
juga orang dewasa yang terkadang sulit menerima pelajaran dari orang lain,
apalagi melalui film dengan karakter utama anak-anak. Bagi Anda yang memiliki
buah hati, Flipped merupakan film yang sangat tepat ditonton pada akhir pekan
bersama seluruh keluarga dan nikmatilah kehangatan yang sulit dilepaskan
seusainya. This is real good, 4.5 out of 5 stars. Ada yang punya komentar?
Watch this if you liked:
Watch this if you liked: