Pada suatu dini hari tahun 1999, seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun terlihat sibuk menulis. Di tengah ruang temaram, pulpen di tangannya terus menari-nari. Jarum jam menunjukkan pukul dua pagi dan sesekali wanita tersebut menguap, menandakan tubuh yang mulai letih. Hanya detak jam dinding yang menemaninya bekerja. Di samping meja tempatnya menulis, tertidur seorang anak laki-laki. Udara malam itu cukup panas sehingga membuat si anak gelisah dalam tidurnya. Dalam pendar matanya, si anak melihat ibunya duduk dengan tekun sambil menulis. Empat jam kemudian, si anak dibangunkan untuk berangkat sekolah. Sang ibu membimbingnya ke kamar mandi, menyiapkan seragam untuknya, dan tidak lupa menghidangkan sarapan. Semua itu dilakukan sang ibu tanpa tidur sedetik pun malam sebelumnya. Tidak memedulikan rasa lelahnya, tak lama kemudian ia mengantar anaknya ke sekolah. Sesampainya di sekolah, si anak menemukan buku pelajaran usang yang penuh dengan tulisan tangan sang ibu di hampir seluruh halamannya yang berjumlah ratusan. Melihat bukunya berbeda dengan milik teman-temannya, ia merasa malu dan memilih ikut bergabung dengan teman satu mejanya yang sedang membuka buku pelajaran baru yang masih kaku dan bagus. Sepulang sekolah, ia membuang buku dengan tulisan tangan ibunya dan mengaku buku tersebut hanyut ke sungai di perjalanan pulang. Itulah sekelumit masa lalu saya yang sama sekali tidak dapat dibanggakan. Saya tidak pernah mengatakannya selama ini: saya merasa berdosa pada ibu. Kini saya mengungkapkan perasaan dengan hati yang benar-benar sesak. Damn! Saya baru saja merasa ditampar oleh sebuah film, Lady Bird (2017).
Lady Bird merupakan karya penyutradaraan solo pertama Greta Gerwig. Sebelumnya ia juga berpengalaman berbagi kursi sutradara dengan Joe Swanberg melalui Nights and Weekends (2008) serta pernah menjadi rekan penulis naskah di beberapa film seperti Frances Ha (2012) dan Mistress America (2015). Untuk debutnya ini, Gerwig memilih tema yang sudah sangat biasa diangkat ke layar lebar, yaitu kehidupan remaja. Namun jangan pernah mengira dengan tema yang cukup usang ini penonton akan dihadapkan pada film yang membosankan. Sebaliknya, dalam film ini Gerwig menunjukkan kejelian mata dan batinnya dalam mengobservasi kehidupan remaja biasa beserta seperangkat hubungannya dengan lingkungan sekitar. Penonton akan diseret mengikuti roller coaster kehidupan sehari-hari tokoh utamanya.
Perkenalkan Christine "Lady Bird" McPherson (Saoirse Ronan), siswi tahun terakhir sebuah sekolah SMA katolik di Sacramento. Lady Bird merupakan julukan yang ia ciptakan sendiri dan secara sukarela membubuhkannya sebagai nama tengah. Ia dibesarkan di keluarga yang dapat dikatakan cukup harmonis, meski diterpa kemelut ekonomi. Ayahnya Larry (Tracy Letts) adalah seorang pria paruh baya nan lemah lembut yang baru saja kehilangan pekerjaan. Sementara kakak angkatnya Miguel (Jordan Rodrigues) adalah lulusan Berkeley yang terpaksa bekerja di pasar swalayan lokal. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, sang ibu Marion (Laurie Metcalf) yang berwatak keras harus bekerja dua shift sebagai perawat di sebuah rumah sakit. Alasan ekonomi pulalah yang menumbuhkan niat Marion untuk mendaftarkan Lady Bird ke perguruan tinggi kota. Niat Marion itu mengganjal impian Lady Bird yang ingin pergi ke kota besar seperti New York, kota yang menurutnya "di mana kebudayaan berada". Lady Bird memang dengan sepenuh hati mendeklarasikan kebenciannya pada Sacramento. Padahal pada kenyataannya di kota inilah seluruh kehidupannya terpusat, termasuk detik-detik menjelang kelulusannya dari SMA. Pada masa itu, Lady Bird mulai mengumpulkan keberanian untuk mendobrak berbagai rintangan demi mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun ia tidak mengira bahwa jauh di lubuk hatinya yang terdalam, ia sadar bahwa berhasil mewujudkan cita-cita tidak akan berarti tanpa untaian doa restu dan cinta orang-orang di sekelilingnya.
Dengan tema yang sudah cukup berkarat, membicarakan Lady Bird sebaiknya tidak memberikan fokus pada jalan cerita, karena sejujurnya tidak ada kejutan (twist)
istimewa di sini. Lady Bird bukanlah jenis film yang melalui sinopsisnya dapat menarik penonton. Kata-kata dalam sinopsis terlalu basi sehingga tidak akan mujarab menggugah hati calon penonton, apalagi di zaman gempuran franchise besar seperti sekarang. Dengan dana tak terbatas, mereka dapat dengan mudah mengundang orang memelototi film yang miskin ide cerita. Begitu pula jika kita berpikir tentang sebuah konflik
tunggal yang digunakan sebagai momentum perubahan kehidupan seorang remaja seperti dalam
film coming of age lain, kita juga tidak akan mendapatkannya di film ini. Jualan utama Lady Bird sesungguhnya adalah pengalaman menonton keseharian seorang remaja dari jarak yang sangat dekat dan relevan. Tokoh-tokoh utama dalam Lady Bird bukanlah karangan dengan berbagai dekorasi perilaku dan pemikiran yang dibuat-buat. Mereka adalah hasil pengamatan mendalam seorang penulis naskah yang kemudian mengarahkannya menjadi sebuah film.
Pengamatan pertama Gerwig yang luar biasa orisinil ada pada hubungan antara ibu dan anak. Ia menciptakan karakter ibu dan anak dalam film ini dengan sangat jujur dan asli (genuine). Lady Bird dan Marion - yang seperti saya sebutkan di atas hidup dalam keluarga harmonis - memiliki kedekatan yang tidak dapat dijelaskan secara sederhana. Mereka memiliki banyak persamaan selera mulai dari karya sastra, gaun, hingga kegemaran melihat interior menawan. Namun itu bukan berarti mereka tidak pernah berbeda pendapat. Sebagai remaja, Lady Bird cenderung berbuat mengikuti kemauannya sendiri dan berharap semesta alam mendukungnya. Tapi harapan hanyalah harapan. Ketika orang terdekat dengannya, orang yang memiliki banyak persamaan selera dengannya, yang kebetulan adalah ibunya berseberangan pendapat, ia pun tidak ragu "menyerangnya" lewat serangkaian keluhan, dusta, dan kenakalan remaja. Sebagai penonton, kita menikmati dinamika hubungan Lady Bird dan Marion. Lebih dari itu, kita pun memahami memahami sudut pandang masing-masing tokoh.
Mari kita buat jajak pendapat sederhana: di masa remaja dulu apakah kita dapat dengan mudah menerima nasihat, kritik, atau omelan orang tua? Saya yakin mayoritas akan menjawab tidak. Itulah yang terasa dalam naskah yang ditulis Gerwig. Meski terlihat bodoh setengah mati, kita dapat memahami angan-angan Lady Bird, sehingga tidak akan kaget melihat tingkah lakunya atau perkataan yang meluncur dari mulutnya. Begitu pula dari sudut pandang Marion. Siapa orang tua di dunia ini yang tidak menginginkan yang terbaik untuk anaknya? Meski terkadang Marion terlihat sangat ingin memegang kendali kehidupan Lady Bird, kita tahu bahwa ia telah berkorban begitu banyak untuk anaknya itu dan menjadi wajar jika ia mengharapkan sedikit kepatuhan sebagai balasannya. Gerwig seperti telah memasang kamera dengan sudut pandang 360 derajat di mata penonton. Sehingga meskipun kedua tersebut berbuat atau mengatakan sesuatu yang menyakitkan, Gerwig seakan menahan penonton untuk terburu-buru mengambil kesimpulan. Kecerdasan naskah Lady Bird berpangkal dari pemahaman Gerwig bahwa ibu dan anak bisa saja beradu pendapat dengan sangat sengit dan saling menyakiti hati satu sama lain tetapi bukan karena mereka membenci. Reaksi mereka lebih disebabkan kebiasaan untuk saling jujur dan keinginan untuk memberikan yang terbaik satu sama lain, meskipun dalam kasus Lady Bird dan Marion sering kali kejujuran dan keinginan menolong itu seringkali tidak dapat dibedakan dengan amarah dan kritik yang menjatuhkan. Sebagai contoh, saya berani bertaruh tidak ada seorang pun ibu di dunia nyata yang sanggup menolak kata-kata dingin yang keluar dari mulut Marion dalam adegan di mana ia berdebat dengan Lady Bird yang baru saja diskors dari sekolah. Dalam adegan itu, penonton dapat dengan jelas merasakan rasa lelah, kesal, dan kebingungan seorang ibu bercampur aduk dan memuncak di saat bersamaan. Tidak pernah rasanya saya menemukan hubungan ibu dan anak yang dibuat begitu alami. Adegan itu pun menjadi adegan favorit saya di film ini.
Hasil pengamatan saksama Gerwig akan hubungan ibu dan anak tidak berhenti pada gambar di layar. Jauh di belakang layar, kita sebagai penonton tahu bahwa ada sesuatu yang harus dibenahi dari gaya komunikasi Lady Bird dan Marion. Lady Bird melalui serangkaian tindakan dan keputusannya yang dapat membuat penonton mengelus dada jelas butuh peran orang tua yang dapat menunjukkan hal-hal yang ada di depan mata tetapi tidak dilihatnya. Adegan di mana Suster Sarah Joan (Lois Smith) menemukan bahwa Lady Bird memendam cinta pada Sacramento karena ia memperhatikan (pay attention) kota itu sungguh menyentuh. Ada pula adegan lucu tapi mengena saat Lady Bird meniru perkataan kekasih Miguel, Shelly (Marielle Scott) bahwa ibunya memiliki hati yang besar. Di sisi lain Marion harus bekerja keras untuk belajar mengungkapkan keinginannya secara eksplisit pada putri kesayangannya. Di sepanjang durasi film, permasalahan ekonomi keluarga Lady Bird terpampang nyata. Itu pula yang berulang kali diungkapkan Marion dalam berbagai kesempatan adu mulutnya dengan Lady Bird. Namun, ia tidak pernah berani mengungkapkan bahwa lebih dari sekedar alasan ekonomi, ia belum sanggup menerima kenyataan bahwa membesarkan seorang anak berarti harus siap melepasnya terbang bebas. Dalam sebuah dialog bahkan Marion dengan lugas mengatakan "money isn't life report card" (meski sesaat kemudian tertunduk lemas mengakui bahwa suami tercintanya Larry jatuh pada kuadran orang yang tidak memiliki uang, tidak sukses, dan tidak bahagia). Marion memalingkan wajahnya dari kemungkinan bahwa ia sudah melihat the very best version dari putrinya dan menggunakan permasalahan ekonomi sebagai tameng pelindungnya. Ia tahu bahwa mengakui hal tersebut sama saja dengan mengakui seluruh keinginan putrinya untuk hidup mandiri di kota besar. Marion mengubur dalam-dalam air mata batinnya yang terluka itu dan baru terlihat merembes ke luar di adegan penutup film yang sangat mengguncang emosi. Semua itu menunjukkan betapa Gerwig telah "meniupkan roh" manusia nyata pada kedua tokoh utamanya.
Selain kejujuran dan keasliannya, naskah Gerwig juga unggul dalam hal pemahaman karakter. Gerwig sangat mengenal pola pikir remaja tanggung seperti Lady Bird yang labil dan cenderung dikendalikan nafsu liar sesaat. Berulang kali Gerwig memperlihatkan Lady Bird sebagai seseorang yang berani mengambil risiko hanya untuk menjatuhkannya di posisi bersalah yang kemudian segera ia perbaiki. Ambil contoh pada saat ia bersenang-senang tanpa batas dengan Kyle (Timothée Chalamet). Atau saat ia memilih berteman dengan Jenna (Odeya Rush) dan melupakan sahabat sejatinya Julie (Beanie Feldstein). Atau yang menurut saya paling menyakitkan, saat ia meminta Larry menghentikan mobilnya jauh sebelum sampai di sekolah. Semua itu dilalui Lady Bird bukan tanpa memetik hikmah. Di usianya yang begitu muda, ia telah tercabik-cabik dengan keputusannya sendiri namun berupaya sekuat tenaga menambal semua kesalahannya. Di sinilah titik menarik naskah Gerwig. Ia tidak hanya dengan cekatan merangkai "borok" Lady Bird tetapi juga menunjukkan bahwa seorang remaja dapat mencapai pencerahan dari dalam dirinya sendiri tanpa harus digurui. Gerwig memahami bahwa ceramah orang lain tidak banyak berguna bagi remaja yang senang mencoba berbagai hal baru. Motivasi terbesar seorang remaja untuk berubah menjadi lebih baik adalah pemahaman akan sebab-akibat dari tindakannya yang tidak hanya berpengaruh pada dirinya tetapi juga pada orang-orang di sekelilingnya. Dengan tutur cerita seperti ini, Gerwig secara perlahan menuntun penonton menikmati proses pendewasaan Lady Bird tanpa harus menyajikan satu momentum khusus seperti lazimnya drama coming of age lain. Hal ini menambah kehalusan naskah Gerwig sekaligus meluluskan pendapat orang banyak bahwa kita akan mendapati diri menjadi dewasa bahkan sebelum kita menyadarinya.
Dalam naskah Lady Bird, Gerwig juga sempat menyisipkan pandangannya tentang hubungan remaja dengan uang dan kekayaan. Kita semua setuju bahwa Lady Bird adalah seorang social climber amatir yang berdiri di depan garis keras. Di hampir setiap kesempatannya bersosialisasi, ia berupaya sekuat tenaga menolak fakta bahwa keluarganya hidup di atas tarikan gravitasi kesederhanaan yang begitu kuat. Ia tahu bahwa uang dan kekayaan dapat membawa kebebasan. Namun, yang tidak disadarinya adalah bahwa sedikit demi sedikit ia telah meniti tebing terjal citra sosial kelas menengah ke atas yang berbahaya. Pada tahap awal, Lady Bird bersama Julie senang membayangkan tinggal di rumah mewah yang mereka temui di sepanjang jalan menuju sekolah. Kemudian, mulai muncul sarkasme dalam pemikiran Lady Bird. Simak saja celotehannya pada Danny (Lucas Hedges) tentang tempat tinggalnya yang berada "at the wrong side of the tracks". Terakhir, dan merupakan versi yang lebih ekstrim dari perjuangannya menapaki tebing citra sosial dapat ditemukan dalam adegan menohok antara dirinya dan Jenna. Menariknya, Gerwig justru membumikan orang-orang yang secara nyata berada di golongan berkecukupan. Mulai dari Danny yang digambarkan sebagai anak sopan dari keluarga katolik Irlandia yang justru lebih mengeluhkan sulitnya mencari wanita untuk dijadikan pacar selain sepupunya, Kyle si serigala berbulu domba yang dengan naif mengatakan tidak ingin terlibat dalam kegiatan ekonomi meski jelas-jelas tinggal nyaman di rumah mewah, hingga Jenna yang tidak dapat memahami mengapa Lady Bird berdusta padanya. Gerwig menggunakan ironi dengan efektif dalam narasinya sehingga memperkuat kesan Lady Bird sebagai remaja yang ingin mewujudkan ilusinya dengan cara yang paling praktis. Ironi tersebut membuat penonton bercermin kembali sejauh mana upaya kita untuk mendapatkan kebebasan. Apakah melalui uang? Apakah semua perjuangan itu patut dilakukan? Bagi saya pribadi, ironi Gerwig berhasil membuat saya pilu karena terhujam dengan memori yang saya tulis di paragraf awal tulisan ini.
Satu hal yang menurut saya kurang dari narasi Lady Bird adalah motivasi sang remaja membenci tempatnya dibesarkan. Untuk ukuran sebuah isu yang muncul di sepanjang durasi film, kita tidak pernah diberikan kesempatan memahami isi kepala Lady Bird ketika membicarakan Sacramento. Hilangnya informasi seputar kebencian Lady Bird dalam naskah Gerwig juga berpengaruh pada gaya pemotongan adegan dalam film ini. Awalnya saya tidak menyadari bahwa Gerwig seperti menghindari pengembangan isu tersebut dan mengira bahwa ia tidak ingin fokus pada penyebab mengapa Lady Bird begitu ingin pergi dari Sacramento. Namun lama kelamaan Lady Bird sangat sering meninggalkan jejak kebenciannya di banyak adegan yang kemudian dipotong dengan tanggung ketika mulai menyentuh topik tersebut. Sebagai contoh di pembuka film, hanya diawali dengan sebaris kalimat abstrak "I wish I could live through something" ia meluapkan emosinya pada kota itu. Gerwig lebih memilih Lady Bird mereferensikan kota lain yang diimpikannya ketimbang menjelaskan faktor-faktor yang tidak disukainya dari Sacramento. Di lain kesempatan, ia juga mengatakan bahwa kota itu adalah "midwest of California". Tapi di sini pun tetap tidak ada penjelasan lebih lanjut. Begitu juga dalam adegan "pay attention" antara Lady Bird dan Suster Sarah Joan. Gerwig sebenarnya sempat dengan cerdas menggelitik pendirian Lady Bird melalui tokoh Jenna yang secara mengejutkan menguji sikap keras tokoh utama itu dengan mengatakan "isn't there a thing like think globally, act locally?". Namun, adegan tersebut seperti mati di tengah jalan karena sekali lagi Lady Bird tidak diberi ruang untuk menjelaskan dengan cara apapun mengapa ia benci Sacramento. Ditambah lagi, di sepanjang film penonton yang tidak begitu mengenal Sacramento justru akan mendapati kota itu indah dan terlihat damai. Mulai dari pemukiman warga elit yang terjajar rapi, jembatan dengan matahari terbenam eksotis, hingga orang-orangnya yang menawarkan kombinasi ramah sekaligus realistis (bahkan faktanya film ini tidak memiliki tokoh antagonis). Pada akhir film, kita tahu bahwa kebencian Lady Bird pada Sacramento justru menunjukkan hal sebaliknya, namun sebagai penonton kita berhak mendapatkan informasi yang cukup atas apa yang terjadi pada tokoh utama film ini hingga akhirnya ia memiliki pandangan yang begitu tak tergoyahkan.
Tetapi saya tidak akan membiarkan kekurangan tersebut membuat Lady Bird tampak kurang menarik. Gaya penyutradaraan Gerwig berhasil mengemas film ini hingga terlihat hampir tanpa cacat. Hal pertama yang patut diapresiasi dari karya Gerwig adalah pergantian adegan dengan ritme yang cepat. Penonton akan menyadari bahwa seringkali Gerwig dan editor Nick Houy menempatkan suara dialog sebelum mengganti adegan di layar. Gerwig seolah ingin menunjukkan bahwa kejadian demi kejadian berlalu dengan cepat bagi seorang remaja seperti Lady Bird. Dalam berbagai kejadian itu Lady Bird menumpahkan semua perasaannya, melakukan tindakan konyol, dan diperlakukan tidak sesuai dengan keinginannya. Namun itu semua dilaluinya tanpa disadari. Waktu berjalan dan kenangan yang tidak dapat diubah terus tercetak tatkala Lady Bird melakukan itu semua. Ia tidak banyak berkontemplasi dalam kehidupan sehari-harinya. Sampai akhirnya ia melihat akibat dari tindakannya pada diri dan orang-orang di sekelilingnya. Sampai ia membayangkan berada di posisi orang yang lebih tidak beruntung dibanding dirinya. Sampai ia merasa kehilangan sesuatu yang selama ini terima begitu saja tanpa melihat betapa berharganya yang ia miliki. Tidak hanya bagi Lady Bird, teknik Gerwig dan Houy itu juga berhasil menciptakan suasana akhir masa SMA yang serbacepat dan menyudutkan tokoh-tokoh remaja ke persimpangan jalan seperti halnya pada kehidupan nyata. Ada satu adegan favorit saya di mana Lady Bird dan Julie saling mengungkapkan rencana masa depan mereka setelah bersenang-senang di pesta dansa sekolah. Saya trenyuh mendengar rencana Julie. Kondisi Julie mengingatkan saya pada teman-teman SMA saya yang pada akhir masa sekolah saling berpisah jalan, dan sebagian dari mereka ada yang menempuh jalan yang saya tahu tidak akan mudah dilalui. Julie wets my eyes in this scene.
Permainan ritme yang cepat tidak hanya ada pada pergantian adegan, tetapi juga pada penyusuan sahut-menyahut dialog dalam film ini. Lady Bird dan Marion kerap beradu mulut dalam tensi yang tinggi dan perkataan yang bisa dibilang menyakitkan. Penyusunan dialog dalam tempo cepat di adegan-adegan adu mulut itu semakin menggambarkan hubungan mereka, yang seperti saya singgung di atas, terbiasa dengan kejujuran sehingga apa yang keluar dari mulut mereka terkadang tidak diproses terlebih dulu di otak.
Satu lagi kepiawaian Gerwig sebagai sutradara adalah kecermatannya dalam memperhatikan latar waktu. Sedari awal film ini dimulai, sang tokoh utama dalam dialognya jelas menginformasikan ia hidup di tahun 2002. Maka, serangkaian detail yang berhubungan dengan tahun 2002 pun bertaburan di sepanjang cerita. Mulai dari musik (the legit Dave Matthews Band's "Crash"), suasana pascakejadian terorisme 11 September, suasana sebelum invasi AS ke Irak, desain busana, hingga keseluruhan desain produksi memang sangat mencerminkan tahun tersebut. Masa-masa duka AS setelah terorisme dan tekad invasi ke Irak bahkan dijadikan bagian integral dari kuatnya pendirian Marion untuk mengekang Lady Bird pergi dari sisinya.
Dari jajaran pemain, hampir semuanya menunjukkan penampilan memukau. Ronan sebagai Lady Bird berhasil menarik perhatian penonton, baik dalam arti positif maupun negatif. Ia mampu memunculkan karakter remaja yang labil sekaligus mengibakan. Ronan dengan lincah memainkan ekspresi wajah serta intonasi yang menguatkan jati dirinya yang masih dihantui oleh kerapuhan, keraguan dan ketakutan ketika mencoba hal-hal baru bersama teman-temannya namun begitu berani, yakin, dan tidak ingin dikalahkan ketika berhadapan dengan anggota keluarganya sendiri. Para pemain pembantu juga menghadirkan penampilan yang tidak kalah bersinar. Feldstein sebagai Julie diam-diam ikut merebut hati penonton sebagaimana karakternya yang hampir sempurna namun tidak beruntung. Dengan jalan cerita tersendiri yang diberikan Gerwig untuk karakternya, Feldstein sukses menjelma sebagai representasi dari orang-orang yang cemerlang yang terpaksa harus dikalahkan uang. Ia sadar bahwa Julie tidak hadir hanya sebagai karakter yang menempel pada Lady Bird, sehingga aura kepolosan dan kesedihannya dapat memperkuat kehidupan remaja selain sang tokoh utama dan pada akhirnya menambah suasana genting menjelang berakhirnya masa SMA. Pemain pembantu lain seperti Lois, Chalamet, dan Rush juga berhasil memanfaatkan durasi tayang mereka dengan baik. Di sisi lain, saya sangat menyayangkan tidak optimalnya eksplorasi untuk karakter Larry. Gerwig membuat karakternya dapat dengan mudah dihilangkan karena Larry tidak memiliki peran yang cukup signifikan dalam menentukan kehidupan Lady Bird.
Namun, di antara semua pemain saya harus mengakui yang paling mengkilap adalah penampilan Metcalf. Tidak dapat diragukan lagi semua adegan yang ia lakoni sanggup menggetarkan hati penonton. Metcalf telah melesatkan karakter Marion dari seorang ibu rumah tangga biasa menjadi sosok orang tua dan sahabat yang luar biasa. Kita sebagai penonton dapat merasakan keaslian (authenticity) seorang ibu di dunia nyata lewat penampilan Metcalf baik pada saat ia tertawa bersama Lady Bird, beradu pendapat, berduka lara, marah, dan kecewa. Metcalf memperlihatkan akrobat gerak tubuh, intonasi, dan ekspresi wajah dengan sangat lentur dari adegan ke adegan. Semua itu dilakukannya tanpa membelokkan sedikit pun persepsi penonton bahwa ia sejatinya adalah ibu yang tentu saja sangat mencintai anaknya sepenuh hati, apapun yang dilakukannya. Satu adegan yang kentara menampilkan kemampuan Metcalf tersebut adalah pada saat Lady Bird mencoba gaun untuk pesta dansanya. Adegan itu berakhir dengan Lady Bird yang mempertanyakan perasaan sang ibu terhadap dirinya, dan dibalas oleh sang ibu hanya dengan tatapan yang sanggup mengalahkan dialog apapun.
Secara keseluruhan, Lady Bird merupakan film kecil yang dengan lembut sanggup menyalakan pelita dalam hati setiap anak untuk mengakui bahwa ibu adalah salah satu sosok yang paling penting dalam hidup. Dinamika hubungan ibu dan anak yang disajikan dalam film ini begitu nyata, dekat, dan relevan. Walau dengan latar waktu yang sangat spesifik, nyatanya film ini sukses mempersembahkan sebuah tema yang sangat universal dan tidak lekang oleh waktu. Jika kita menyaksikan film ini puluhan tahun yang akan datang, Lady Bird dan Marion akan tetap menggaungkan suara yang sama kuatnya seperti sekarang, because this is a timeless look at an adolescent life. It's superb. 4 out of 5 stars. Ada yang punya komentar?
Watch this if you liked:
Boyhood (2014)
Director: Richard Linklater
Stars: Ellar Coltrane, Patricia Arquette, Ethan Hawke
Genre: Drama
Runtime: 165 minutes
The Mirror Has Two Faces (1996)
Director: Barbra Streisand
Stars: Barbra Streisand, Jeff Bridges, Lauren Bacall
Genre: Comedy, Drama, Romance
Runtime: 126 minutes
Lady Bird merupakan karya penyutradaraan solo pertama Greta Gerwig. Sebelumnya ia juga berpengalaman berbagi kursi sutradara dengan Joe Swanberg melalui Nights and Weekends (2008) serta pernah menjadi rekan penulis naskah di beberapa film seperti Frances Ha (2012) dan Mistress America (2015). Untuk debutnya ini, Gerwig memilih tema yang sudah sangat biasa diangkat ke layar lebar, yaitu kehidupan remaja. Namun jangan pernah mengira dengan tema yang cukup usang ini penonton akan dihadapkan pada film yang membosankan. Sebaliknya, dalam film ini Gerwig menunjukkan kejelian mata dan batinnya dalam mengobservasi kehidupan remaja biasa beserta seperangkat hubungannya dengan lingkungan sekitar. Penonton akan diseret mengikuti roller coaster kehidupan sehari-hari tokoh utamanya.
Perkenalkan Christine "Lady Bird" McPherson (Saoirse Ronan), siswi tahun terakhir sebuah sekolah SMA katolik di Sacramento. Lady Bird merupakan julukan yang ia ciptakan sendiri dan secara sukarela membubuhkannya sebagai nama tengah. Ia dibesarkan di keluarga yang dapat dikatakan cukup harmonis, meski diterpa kemelut ekonomi. Ayahnya Larry (Tracy Letts) adalah seorang pria paruh baya nan lemah lembut yang baru saja kehilangan pekerjaan. Sementara kakak angkatnya Miguel (Jordan Rodrigues) adalah lulusan Berkeley yang terpaksa bekerja di pasar swalayan lokal. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, sang ibu Marion (Laurie Metcalf) yang berwatak keras harus bekerja dua shift sebagai perawat di sebuah rumah sakit. Alasan ekonomi pulalah yang menumbuhkan niat Marion untuk mendaftarkan Lady Bird ke perguruan tinggi kota. Niat Marion itu mengganjal impian Lady Bird yang ingin pergi ke kota besar seperti New York, kota yang menurutnya "di mana kebudayaan berada". Lady Bird memang dengan sepenuh hati mendeklarasikan kebenciannya pada Sacramento. Padahal pada kenyataannya di kota inilah seluruh kehidupannya terpusat, termasuk detik-detik menjelang kelulusannya dari SMA. Pada masa itu, Lady Bird mulai mengumpulkan keberanian untuk mendobrak berbagai rintangan demi mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun ia tidak mengira bahwa jauh di lubuk hatinya yang terdalam, ia sadar bahwa berhasil mewujudkan cita-cita tidak akan berarti tanpa untaian doa restu dan cinta orang-orang di sekelilingnya.
Pengamatan pertama Gerwig yang luar biasa orisinil ada pada hubungan antara ibu dan anak. Ia menciptakan karakter ibu dan anak dalam film ini dengan sangat jujur dan asli (genuine). Lady Bird dan Marion - yang seperti saya sebutkan di atas hidup dalam keluarga harmonis - memiliki kedekatan yang tidak dapat dijelaskan secara sederhana. Mereka memiliki banyak persamaan selera mulai dari karya sastra, gaun, hingga kegemaran melihat interior menawan. Namun itu bukan berarti mereka tidak pernah berbeda pendapat. Sebagai remaja, Lady Bird cenderung berbuat mengikuti kemauannya sendiri dan berharap semesta alam mendukungnya. Tapi harapan hanyalah harapan. Ketika orang terdekat dengannya, orang yang memiliki banyak persamaan selera dengannya, yang kebetulan adalah ibunya berseberangan pendapat, ia pun tidak ragu "menyerangnya" lewat serangkaian keluhan, dusta, dan kenakalan remaja. Sebagai penonton, kita menikmati dinamika hubungan Lady Bird dan Marion. Lebih dari itu, kita pun memahami memahami sudut pandang masing-masing tokoh.
Hasil pengamatan saksama Gerwig akan hubungan ibu dan anak tidak berhenti pada gambar di layar. Jauh di belakang layar, kita sebagai penonton tahu bahwa ada sesuatu yang harus dibenahi dari gaya komunikasi Lady Bird dan Marion. Lady Bird melalui serangkaian tindakan dan keputusannya yang dapat membuat penonton mengelus dada jelas butuh peran orang tua yang dapat menunjukkan hal-hal yang ada di depan mata tetapi tidak dilihatnya. Adegan di mana Suster Sarah Joan (Lois Smith) menemukan bahwa Lady Bird memendam cinta pada Sacramento karena ia memperhatikan (pay attention) kota itu sungguh menyentuh. Ada pula adegan lucu tapi mengena saat Lady Bird meniru perkataan kekasih Miguel, Shelly (Marielle Scott) bahwa ibunya memiliki hati yang besar. Di sisi lain Marion harus bekerja keras untuk belajar mengungkapkan keinginannya secara eksplisit pada putri kesayangannya. Di sepanjang durasi film, permasalahan ekonomi keluarga Lady Bird terpampang nyata. Itu pula yang berulang kali diungkapkan Marion dalam berbagai kesempatan adu mulutnya dengan Lady Bird. Namun, ia tidak pernah berani mengungkapkan bahwa lebih dari sekedar alasan ekonomi, ia belum sanggup menerima kenyataan bahwa membesarkan seorang anak berarti harus siap melepasnya terbang bebas. Dalam sebuah dialog bahkan Marion dengan lugas mengatakan "money isn't life report card" (meski sesaat kemudian tertunduk lemas mengakui bahwa suami tercintanya Larry jatuh pada kuadran orang yang tidak memiliki uang, tidak sukses, dan tidak bahagia). Marion memalingkan wajahnya dari kemungkinan bahwa ia sudah melihat the very best version dari putrinya dan menggunakan permasalahan ekonomi sebagai tameng pelindungnya. Ia tahu bahwa mengakui hal tersebut sama saja dengan mengakui seluruh keinginan putrinya untuk hidup mandiri di kota besar. Marion mengubur dalam-dalam air mata batinnya yang terluka itu dan baru terlihat merembes ke luar di adegan penutup film yang sangat mengguncang emosi. Semua itu menunjukkan betapa Gerwig telah "meniupkan roh" manusia nyata pada kedua tokoh utamanya.
Selain kejujuran dan keasliannya, naskah Gerwig juga unggul dalam hal pemahaman karakter. Gerwig sangat mengenal pola pikir remaja tanggung seperti Lady Bird yang labil dan cenderung dikendalikan nafsu liar sesaat. Berulang kali Gerwig memperlihatkan Lady Bird sebagai seseorang yang berani mengambil risiko hanya untuk menjatuhkannya di posisi bersalah yang kemudian segera ia perbaiki. Ambil contoh pada saat ia bersenang-senang tanpa batas dengan Kyle (Timothée Chalamet). Atau saat ia memilih berteman dengan Jenna (Odeya Rush) dan melupakan sahabat sejatinya Julie (Beanie Feldstein). Atau yang menurut saya paling menyakitkan, saat ia meminta Larry menghentikan mobilnya jauh sebelum sampai di sekolah. Semua itu dilalui Lady Bird bukan tanpa memetik hikmah. Di usianya yang begitu muda, ia telah tercabik-cabik dengan keputusannya sendiri namun berupaya sekuat tenaga menambal semua kesalahannya. Di sinilah titik menarik naskah Gerwig. Ia tidak hanya dengan cekatan merangkai "borok" Lady Bird tetapi juga menunjukkan bahwa seorang remaja dapat mencapai pencerahan dari dalam dirinya sendiri tanpa harus digurui. Gerwig memahami bahwa ceramah orang lain tidak banyak berguna bagi remaja yang senang mencoba berbagai hal baru. Motivasi terbesar seorang remaja untuk berubah menjadi lebih baik adalah pemahaman akan sebab-akibat dari tindakannya yang tidak hanya berpengaruh pada dirinya tetapi juga pada orang-orang di sekelilingnya. Dengan tutur cerita seperti ini, Gerwig secara perlahan menuntun penonton menikmati proses pendewasaan Lady Bird tanpa harus menyajikan satu momentum khusus seperti lazimnya drama coming of age lain. Hal ini menambah kehalusan naskah Gerwig sekaligus meluluskan pendapat orang banyak bahwa kita akan mendapati diri menjadi dewasa bahkan sebelum kita menyadarinya.
Dalam naskah Lady Bird, Gerwig juga sempat menyisipkan pandangannya tentang hubungan remaja dengan uang dan kekayaan. Kita semua setuju bahwa Lady Bird adalah seorang social climber amatir yang berdiri di depan garis keras. Di hampir setiap kesempatannya bersosialisasi, ia berupaya sekuat tenaga menolak fakta bahwa keluarganya hidup di atas tarikan gravitasi kesederhanaan yang begitu kuat. Ia tahu bahwa uang dan kekayaan dapat membawa kebebasan. Namun, yang tidak disadarinya adalah bahwa sedikit demi sedikit ia telah meniti tebing terjal citra sosial kelas menengah ke atas yang berbahaya. Pada tahap awal, Lady Bird bersama Julie senang membayangkan tinggal di rumah mewah yang mereka temui di sepanjang jalan menuju sekolah. Kemudian, mulai muncul sarkasme dalam pemikiran Lady Bird. Simak saja celotehannya pada Danny (Lucas Hedges) tentang tempat tinggalnya yang berada "at the wrong side of the tracks". Terakhir, dan merupakan versi yang lebih ekstrim dari perjuangannya menapaki tebing citra sosial dapat ditemukan dalam adegan menohok antara dirinya dan Jenna. Menariknya, Gerwig justru membumikan orang-orang yang secara nyata berada di golongan berkecukupan. Mulai dari Danny yang digambarkan sebagai anak sopan dari keluarga katolik Irlandia yang justru lebih mengeluhkan sulitnya mencari wanita untuk dijadikan pacar selain sepupunya, Kyle si serigala berbulu domba yang dengan naif mengatakan tidak ingin terlibat dalam kegiatan ekonomi meski jelas-jelas tinggal nyaman di rumah mewah, hingga Jenna yang tidak dapat memahami mengapa Lady Bird berdusta padanya. Gerwig menggunakan ironi dengan efektif dalam narasinya sehingga memperkuat kesan Lady Bird sebagai remaja yang ingin mewujudkan ilusinya dengan cara yang paling praktis. Ironi tersebut membuat penonton bercermin kembali sejauh mana upaya kita untuk mendapatkan kebebasan. Apakah melalui uang? Apakah semua perjuangan itu patut dilakukan? Bagi saya pribadi, ironi Gerwig berhasil membuat saya pilu karena terhujam dengan memori yang saya tulis di paragraf awal tulisan ini.
Satu hal yang menurut saya kurang dari narasi Lady Bird adalah motivasi sang remaja membenci tempatnya dibesarkan. Untuk ukuran sebuah isu yang muncul di sepanjang durasi film, kita tidak pernah diberikan kesempatan memahami isi kepala Lady Bird ketika membicarakan Sacramento. Hilangnya informasi seputar kebencian Lady Bird dalam naskah Gerwig juga berpengaruh pada gaya pemotongan adegan dalam film ini. Awalnya saya tidak menyadari bahwa Gerwig seperti menghindari pengembangan isu tersebut dan mengira bahwa ia tidak ingin fokus pada penyebab mengapa Lady Bird begitu ingin pergi dari Sacramento. Namun lama kelamaan Lady Bird sangat sering meninggalkan jejak kebenciannya di banyak adegan yang kemudian dipotong dengan tanggung ketika mulai menyentuh topik tersebut. Sebagai contoh di pembuka film, hanya diawali dengan sebaris kalimat abstrak "I wish I could live through something" ia meluapkan emosinya pada kota itu. Gerwig lebih memilih Lady Bird mereferensikan kota lain yang diimpikannya ketimbang menjelaskan faktor-faktor yang tidak disukainya dari Sacramento. Di lain kesempatan, ia juga mengatakan bahwa kota itu adalah "midwest of California". Tapi di sini pun tetap tidak ada penjelasan lebih lanjut. Begitu juga dalam adegan "pay attention" antara Lady Bird dan Suster Sarah Joan. Gerwig sebenarnya sempat dengan cerdas menggelitik pendirian Lady Bird melalui tokoh Jenna yang secara mengejutkan menguji sikap keras tokoh utama itu dengan mengatakan "isn't there a thing like think globally, act locally?". Namun, adegan tersebut seperti mati di tengah jalan karena sekali lagi Lady Bird tidak diberi ruang untuk menjelaskan dengan cara apapun mengapa ia benci Sacramento. Ditambah lagi, di sepanjang film penonton yang tidak begitu mengenal Sacramento justru akan mendapati kota itu indah dan terlihat damai. Mulai dari pemukiman warga elit yang terjajar rapi, jembatan dengan matahari terbenam eksotis, hingga orang-orangnya yang menawarkan kombinasi ramah sekaligus realistis (bahkan faktanya film ini tidak memiliki tokoh antagonis). Pada akhir film, kita tahu bahwa kebencian Lady Bird pada Sacramento justru menunjukkan hal sebaliknya, namun sebagai penonton kita berhak mendapatkan informasi yang cukup atas apa yang terjadi pada tokoh utama film ini hingga akhirnya ia memiliki pandangan yang begitu tak tergoyahkan.
Tetapi saya tidak akan membiarkan kekurangan tersebut membuat Lady Bird tampak kurang menarik. Gaya penyutradaraan Gerwig berhasil mengemas film ini hingga terlihat hampir tanpa cacat. Hal pertama yang patut diapresiasi dari karya Gerwig adalah pergantian adegan dengan ritme yang cepat. Penonton akan menyadari bahwa seringkali Gerwig dan editor Nick Houy menempatkan suara dialog sebelum mengganti adegan di layar. Gerwig seolah ingin menunjukkan bahwa kejadian demi kejadian berlalu dengan cepat bagi seorang remaja seperti Lady Bird. Dalam berbagai kejadian itu Lady Bird menumpahkan semua perasaannya, melakukan tindakan konyol, dan diperlakukan tidak sesuai dengan keinginannya. Namun itu semua dilaluinya tanpa disadari. Waktu berjalan dan kenangan yang tidak dapat diubah terus tercetak tatkala Lady Bird melakukan itu semua. Ia tidak banyak berkontemplasi dalam kehidupan sehari-harinya. Sampai akhirnya ia melihat akibat dari tindakannya pada diri dan orang-orang di sekelilingnya. Sampai ia membayangkan berada di posisi orang yang lebih tidak beruntung dibanding dirinya. Sampai ia merasa kehilangan sesuatu yang selama ini terima begitu saja tanpa melihat betapa berharganya yang ia miliki. Tidak hanya bagi Lady Bird, teknik Gerwig dan Houy itu juga berhasil menciptakan suasana akhir masa SMA yang serbacepat dan menyudutkan tokoh-tokoh remaja ke persimpangan jalan seperti halnya pada kehidupan nyata. Ada satu adegan favorit saya di mana Lady Bird dan Julie saling mengungkapkan rencana masa depan mereka setelah bersenang-senang di pesta dansa sekolah. Saya trenyuh mendengar rencana Julie. Kondisi Julie mengingatkan saya pada teman-teman SMA saya yang pada akhir masa sekolah saling berpisah jalan, dan sebagian dari mereka ada yang menempuh jalan yang saya tahu tidak akan mudah dilalui. Julie wets my eyes in this scene.
Permainan ritme yang cepat tidak hanya ada pada pergantian adegan, tetapi juga pada penyusuan sahut-menyahut dialog dalam film ini. Lady Bird dan Marion kerap beradu mulut dalam tensi yang tinggi dan perkataan yang bisa dibilang menyakitkan. Penyusunan dialog dalam tempo cepat di adegan-adegan adu mulut itu semakin menggambarkan hubungan mereka, yang seperti saya singgung di atas, terbiasa dengan kejujuran sehingga apa yang keluar dari mulut mereka terkadang tidak diproses terlebih dulu di otak.
Satu lagi kepiawaian Gerwig sebagai sutradara adalah kecermatannya dalam memperhatikan latar waktu. Sedari awal film ini dimulai, sang tokoh utama dalam dialognya jelas menginformasikan ia hidup di tahun 2002. Maka, serangkaian detail yang berhubungan dengan tahun 2002 pun bertaburan di sepanjang cerita. Mulai dari musik (the legit Dave Matthews Band's "Crash"), suasana pascakejadian terorisme 11 September, suasana sebelum invasi AS ke Irak, desain busana, hingga keseluruhan desain produksi memang sangat mencerminkan tahun tersebut. Masa-masa duka AS setelah terorisme dan tekad invasi ke Irak bahkan dijadikan bagian integral dari kuatnya pendirian Marion untuk mengekang Lady Bird pergi dari sisinya.
Dari jajaran pemain, hampir semuanya menunjukkan penampilan memukau. Ronan sebagai Lady Bird berhasil menarik perhatian penonton, baik dalam arti positif maupun negatif. Ia mampu memunculkan karakter remaja yang labil sekaligus mengibakan. Ronan dengan lincah memainkan ekspresi wajah serta intonasi yang menguatkan jati dirinya yang masih dihantui oleh kerapuhan, keraguan dan ketakutan ketika mencoba hal-hal baru bersama teman-temannya namun begitu berani, yakin, dan tidak ingin dikalahkan ketika berhadapan dengan anggota keluarganya sendiri. Para pemain pembantu juga menghadirkan penampilan yang tidak kalah bersinar. Feldstein sebagai Julie diam-diam ikut merebut hati penonton sebagaimana karakternya yang hampir sempurna namun tidak beruntung. Dengan jalan cerita tersendiri yang diberikan Gerwig untuk karakternya, Feldstein sukses menjelma sebagai representasi dari orang-orang yang cemerlang yang terpaksa harus dikalahkan uang. Ia sadar bahwa Julie tidak hadir hanya sebagai karakter yang menempel pada Lady Bird, sehingga aura kepolosan dan kesedihannya dapat memperkuat kehidupan remaja selain sang tokoh utama dan pada akhirnya menambah suasana genting menjelang berakhirnya masa SMA. Pemain pembantu lain seperti Lois, Chalamet, dan Rush juga berhasil memanfaatkan durasi tayang mereka dengan baik. Di sisi lain, saya sangat menyayangkan tidak optimalnya eksplorasi untuk karakter Larry. Gerwig membuat karakternya dapat dengan mudah dihilangkan karena Larry tidak memiliki peran yang cukup signifikan dalam menentukan kehidupan Lady Bird.
Namun, di antara semua pemain saya harus mengakui yang paling mengkilap adalah penampilan Metcalf. Tidak dapat diragukan lagi semua adegan yang ia lakoni sanggup menggetarkan hati penonton. Metcalf telah melesatkan karakter Marion dari seorang ibu rumah tangga biasa menjadi sosok orang tua dan sahabat yang luar biasa. Kita sebagai penonton dapat merasakan keaslian (authenticity) seorang ibu di dunia nyata lewat penampilan Metcalf baik pada saat ia tertawa bersama Lady Bird, beradu pendapat, berduka lara, marah, dan kecewa. Metcalf memperlihatkan akrobat gerak tubuh, intonasi, dan ekspresi wajah dengan sangat lentur dari adegan ke adegan. Semua itu dilakukannya tanpa membelokkan sedikit pun persepsi penonton bahwa ia sejatinya adalah ibu yang tentu saja sangat mencintai anaknya sepenuh hati, apapun yang dilakukannya. Satu adegan yang kentara menampilkan kemampuan Metcalf tersebut adalah pada saat Lady Bird mencoba gaun untuk pesta dansanya. Adegan itu berakhir dengan Lady Bird yang mempertanyakan perasaan sang ibu terhadap dirinya, dan dibalas oleh sang ibu hanya dengan tatapan yang sanggup mengalahkan dialog apapun.
Secara keseluruhan, Lady Bird merupakan film kecil yang dengan lembut sanggup menyalakan pelita dalam hati setiap anak untuk mengakui bahwa ibu adalah salah satu sosok yang paling penting dalam hidup. Dinamika hubungan ibu dan anak yang disajikan dalam film ini begitu nyata, dekat, dan relevan. Walau dengan latar waktu yang sangat spesifik, nyatanya film ini sukses mempersembahkan sebuah tema yang sangat universal dan tidak lekang oleh waktu. Jika kita menyaksikan film ini puluhan tahun yang akan datang, Lady Bird dan Marion akan tetap menggaungkan suara yang sama kuatnya seperti sekarang, because this is a timeless look at an adolescent life. It's superb. 4 out of 5 stars. Ada yang punya komentar?
Watch this if you liked:
Boyhood (2014)
Director: Richard Linklater
Stars: Ellar Coltrane, Patricia Arquette, Ethan Hawke
Genre: Drama
Runtime: 165 minutes
The Mirror Has Two Faces (1996)
Director: Barbra Streisand
Stars: Barbra Streisand, Jeff Bridges, Lauren Bacall
Genre: Comedy, Drama, Romance
Runtime: 126 minutes