Selasa, 15 Oktober 2013

Gravity: Come to Mama Earth

Dalam kehidupan ada masa-masa di mana seseorang merasa sangat jenuh. Jenuh dengan segala rutinitas yang meski tidak disukai tetapi harus dijalani, jenuh dengan orang-orang yang selalu membuat sakit hati, jenuh dengan keramaian di lingkungan sekitar, jenuh dengan berbagai permasalahan hidup yang datang silih berganti, jenuh dengan segala keterbatasan dan pengotak-kotakan label tertentu. Intinya, hidup itu seperti roda berputar yang terkadang terlalu getir dan tak tertahankan. Butuh suatu cara khusus untuk menghilangkan kejenuhan dalam hidup dan mendapatkan kembali suntikan gairah. Saya pribadi punya cara yang selalu efektif mengatasi kejenuhan seperti itu, yaitu dengan mendongak ke langit malam dan termenung sejenak. Memandangi langit malam membuat saya merasakan kebebasan tanpa batas, seolah melayang mengarungi alam tak berujung, dan yang terpenting adalah saya merasa tidak ada satu orang pun yang dapat menghalangi kenikmatan suguhan megah dari Sang Pencipta ini. Cara tersebut selalu sukses membuat pikiran jernih dan hati jauh lebih tentram. Langit malam membawa saya kepada sesuatu daya tarik atau obsesi besar terhadap ruang luar angkasa. Bagi saya ada sesuatu daya pikat nan seksi jauh di atas sana. Akan menjadi suatu kebohongan bila saya mengatakan tidak pernah memiliki berbagai imajinasi hidup di luar angkasa dengan segala kebebasannya. Namun setelah menyaksikan Gravity (2013) saya tersadar bahwa meskipun bumi adalah tempat hidup manusia yang sering mendatangkan kekecewaan dan permasalahan pelik (sebagian besar karena interaksi antarsesama manusia) namun ia tetaplah satu-satunya rumah terbaik bagi manusia.

Gravity adalah proyek besar Alfonso Cuarón (Y Tu Mamá También, Children of Men) yang telah dikerjakan selama empat setengah tahun dengan proses produksi yang sangat menantang, terutama penggunaan teknologi CGI dan beragam efek khusus lainnya. Di proyek besarnya ini, Cuarón menduduki posisi sentral sebagai sutradara, penulis naskah bersama anaknya Jason Cuarón, salah satu produser, dan salah satu editor. Baik Cuarón maupun Gravity mendapat banyak pujian dari kritikus dan dianggap sebagai salah satu film terbaik tahun 2013. Bagi saya pribadi, Gravity memberikan pengalaman menonton yang tidak terlupakan mengingat betapa apiknya Cuarón mendandani tampilan dan suasana bencana di luar angkasa. Selain itu lebih dari sekedar visualisasi yang memanjakan mata, saya juga terpikat dengan film ketujuh Cuarón ini karena dengan cerita sederhana dan hemat pemeran Gravity mampu memberikan letupan semangat yang menular ke penonton ketika melihat perjuangan demi perjuangan yang digambarkan.

Gravity mengisahkan perjuangan dr. Ryan Stone (Sandra Bullock), seorang ahli teknik biomedis bersama Matt Kowalski (George Clooney) astronot dengan jam terbang tinggi untuk kembali pulang ke bumi setelah badai puing satelit Rusia yang hancur menghantam wilayah kerja mereka. Stone merupakan agen yang ditugaskan untuk memperbaiki kerusakan Teleskop Hubble dan ini merupakan misi luar angkasa pertamanya. Sementara itu, Kowalski adalah astronot kawakan yang tampaknya (karena tidak diceritakan secara lugas di film) hanya bertugas mengantar, memandu, dan membimbing Stone dalam menjalani misinya di lingkungan tanpa gravitasi dan tekanan udara tersebut. Bersama dengan mereka berdua, terdapat beberapa orang kru pesawat ulang alik. Misi luar angkasa ini berawal lancar meski kondisi kesehatan Stone menurun karena belum terbiasa dengan kondisi luar angkasa yang temperaturnya sangat fluktuatif. Setiap kru bersenda gurau melalui kanal komunikasi radio frekuensi dan berselancar dengan suka cita sementara Stone menyelesaikan pekerjaannya. Tidak lama kemudian, kabar buruk pun datang: misi dibatalkan karena pecahan-pecahan satelit Rusia melaju dengan kecepatan tinggi ke arah mereka. Di tengah hamparan jagad hitam yang tak berbatas, setiap orang harus berupaya menyelamatkan hidup mereka masing-masing, dan hanya yang terkuatlah yang mampu menaklukan ganasnya angkasa raya. Peristiwa ini pun menjadi pengalaman hidup Stone yang tak akan pernah ia lupakan.

Membahas Gravity menurut saya bukanlah perkara cerita, karena kekuatan film ini bukan berada di sana. Bagi Anda yang menyempatkan diri melihat cuplikan (trailer) film ini sebelum menonton di layar lebar pasti mampu menebak ke mana arah jalan ceritanya. Kisah perjuangan astronot dalam sebuah kecelakaan di luar angkasa yang akan menentukan hidup dan mati dirinya sendiri. Sebagaimana film-film bertema perjuangan (survival) lainnya, sebagian besar penonton sepertinya juga dapat dengan mudah menebak akhir cerita Gravity. Namun saya tidak ingin menyebut kesederhanaan cerita ini sebagai kelemahan Gravity. Saya lebih senang menganggapnya sebagai sarana yang memudahkan penonton untuk dapat dengan mudah menangkap keunggulan Gravity sesungguhnya.

Kekuatan Gravity yang pertama adalah sisi filosofis yang diusung film berdurasi 91 menit ini. Cuarón tampaknya berupaya menganalogikan perjuangan bertahan hidup menghadapi bencana besar dengan proses terciptanya makhluk paling sempurna di seluruh jagad raya, manusia. Dalam Gravity, Stone dikisahkan sebagai wanita yang tujuan hidupnya memudar semenjak kematian tragis anaknya. Bekerja, mengemudi, bekerja, mengemudi begitu seterusnya rutinitas hampa teknisi biomedis yang tinggal di Illinois tersebut. Kehidupan pribadi Stone kelam dan tidak memiliki arah yang jelas. Ia menjalani aktivitas kesehariannya tanpa gairah dan terus-menerus berkubang pada kesedihan yang tak menepi, meratapi kepergian sang anak.

Di sisi lain, misi luar angkasa pertama Stone yang akhirnya berujung tragis juga masih tidak jauh dari kematian, sesuatu yang membuat hidupnya hancur berantakan. Dalam misinya ini, ia harus berjuang mati-matian menyelamatkan diri dari gempuran badai puing satelit yang dapat terjadi sewaktu-waktu, berjuang mencari stasiun luar angkasa lain yang selamat dari bencana itu, dan berjuang kembali ke bumi. Semua perjuangannya itu dilakukan dalam bayang-bayang dua pilihan: hidup atau mati. Stone memilih untuk melawan semua rasa takut dan pesimis dalam dirinya dan menolak untuk mati sendirian tanpa seorang pun menyaksikannya. Maka, tersusunlah adegan demi adegan perjuangan Stone. Ia mencari alat komunikasi, mencoba menghubungi stasiun luar angkasa lain, serta mempelajari buku manual seperti layaknya astronot amatiran. Dalam setiap tindakannya, Stone berusaha mengatasi setiap aral melintang yang seolah mencoba menghalanginya untuk pulang ke bumi, karena ia masih ingin hidup, ia tidak ingin kematian membuatnya sengsara lagi, dan ia tahu bahwa meski dihadapkan pada kematian masih ada kehidupan yang harus dijalani. Pada akhirnya, melalui misi luar angkasa pertamanya ini Stone memperoleh pelajaran bahwa manusia memiliki kekuatan luar biasa untuk melejitkan potensi dirinya bila manusia itu memiliki kemauan, bahwa hidup harus memliki tujuan, bahwa kehidupan dan kematian adalah dua hal yang saling terhubung satu sama lain karena keduanya seperti dua sisi mata uang. Setiap saat di dunia ada peristiwa kematian dan ada pula kelahiran baru yang seolah menghapus jejak kelam kematian itu. Singkat kata, Stone telah menemukan makna dan tujuan kehidupan. Dalam Gravity, semua sisi interior hati, jiwa, perasaan, dan pikiran Stone tersebut disajikan sangat memukau melalui gerak tubuh, ekspresi wajah, dan air mata.

Cuarón menyisipkan beberapa adegan yang menggambarkan filosofi jiwa Stone mengenai kelahiran sebagai simbol kehidupan baru sekaligus antitesis dari kematian yang menyedihkan. Adegan-adegan tersebut antara lain saat tali penghubung antara Kowalski dan Stone terputus dan memisahkan mereka untuk kedua kalinya. Saat itu, Stone memelas pada Kowalski agar tidak memutuskan tali penghubung tersebut karena ia merasa tidak mampu berjuang sendirian. Namun, sebagai astronot kawakan Kowalski tahu betul bahwa tali penghubung tersebut terlalu lemah untuk menyelamatkan mereka berdua sehingga salah satu di antara mereka harus berkorban. Sesaat setelah tali penghubung terputus, Kowalsi berkata pada Stone, ”You're going to have to learn to let go”. Adegan tersebut seolah menggambarkan terputusnya tali pusat yang menghubungkan ibu dengan bayinya yang baru dilahirkan. Kelahiran tersebut adalah lawan dari peristiwa pahit perginya Kowalski di jagad tanpa batas, sebuah lambang kematian. Selanjutnya, adegan yang paling lugas menganalogikan rangkaian cerita dalam Gravity dengan proses penciptaan manusia yaitu saat Stone melayang berputar pada posisi bergelung sesaat setelah ia masuk ke International Space Station (ISS) yang membuatnya seperti berada dalam rahim seorang ibu. Jalan cerita yang mengisahkan Stone sebagai korban selamat satu-satunya dari bencana juga dapat dianalogikan sebagai satu sel sperma yang akan menjadi “pemenang” dalam perlombaan berenang tercepat untuk sampai ke indung telur. Dalam Gravity, Cuarón mengganti perlombaan berenang itu dengan perjuangan Stone yang melayang-layang di ruang hampa udara menuju indung telur yang tentunya adalah bumi. Setelah sampai di bumi, Stone pun harus belajar berjalan di atas tanah yang dipengaruhi gaya gravitasi layaknya seorang bayi belajar menapakkan kaki mungilnya. Bumi adalah ibu bagi manusia, dan perjuangan Stone dalam Gravity seolah menceritakan panggilan seorang ibu untuk pulang ke pangkuannya. Come to Mama Earth!

Melalui analogi perjuangan Stone sebagai proses penciptaan manusia, Cuarón secara tidak langsung tampaknya juga ingin membawa nilai-nilai religius dalam Gravity. Tokoh Stone yang diceritakan sebagai pribadi yang jauh dari Tuhan secara perlahan bertransfromasi menjadi seseorang yang beriman dan percaya campur tangan Tuhan dalam kehidupan jagad raya ini. Dalam sebuah adegan emosional, Stone mengaku bahwa tidak ada orang yang mengajarinya bagaimana cara berdoa, padahal sepertinya ia tahu persis bahwa dalam hidupnya ada saat-saat di mana ia seperti dijungkirbalikkan menuju penderitaan dan membutuhkan tempat mengadu. Pada adegan berikutnya di saat-saat terakhir akan menuju bumi, Stone “menitipkan salam” kasih sayangnya kepada Kowalski yang menemui anaknya di alam baka. Ia meluncurkan kalimat-kalimat penuh harapan layaknya seorang religius yang percaya kehidupan hari akhir serta mengucapkan rasa terima kasih secara tulus atas kesempatan untuk tetap hidup. Terima kasih tersebut tidak jelas ditujukan kepada siapa, tetapi sangat jelas tercium aroma ketuhanan di dalamnya meski tidak sekalipun Stone memuji atau menyebut Tuhan di film ini.

Tampilan luar angkasa yang menakjubkan menunjang kekuatan filosofis Gravity. Cuarón dan sinematografer Emmanuel Lubezki bekerja keras membuat tiruan visualisasi karya agung Tuhan dan hasilnya sangat memuaskan. Pemandangan bumi dari luar angkasa begitu menawan dengan kilauan cahaya keemasan matahari. Eksterior dan interior satelit dan stasiun luar angkasa juga dirancang sangat apik. Ketegangan penonton akan meningkat setiap kali Stone melayang dan berusaha menggapai apapun untuk berpegangan. Pengambilan gambar melalui kaca helm Stone yang dilakukan Cuarón juga merupakan cara cerdas agar penonton merasakan sudut pandangnya. Salah satu adegan favorit saya adalah ketika Stone berupaya melepaskan tali-temali parasut yang kusut di saat badai puing kembali menerjang. Stone dengan wajah takut mengeluarkan erangan-erangan ketika tepat di depannya sebuah kepingan sayap ISS yang terlepas hancur menabrak kapsul ISS yang ia tumpangi.

Cuarón masih mengaplikasikan teknik khasnya dalam mengambil gambar dalam satu shoot yang panjang tanpa ada pemotongan sama sekali. Sekitar lima belas menit pertama Gravity penonton akan mengikuti bagaimana Stone berupaya memperbaiki sistem pengiriman data Teleskop Hubble hanya dalam satu pengambilan gambar yang panjang. Adegan lima belas menit pertama itu cukup kompleks karena Cuarón tidak hanya menggambarkan Stone saja, tetapi juga Kowalski yang sedang berselancar bebas menggunakan suatu kendaraan khusus serta bagaimana benda-benda terbang melayang di sekitar mereka berdua. Bahkan adegan saat pecahan-pecahan satelit Rusia pertama kali menerjang Stone dan Kowalski juga dibuat masih menyambung dari adegan saat Stone memperbaiki Teleskop Hubble. Teknik pengambilan gambar tanpa pemotongan seperti itu membuat kesan realistis lebih terasa, penonton akan merasa seperti benar-benar berada di luar angkasa, berada di samping Stone dan melihatnya yang sedang kurang enak badan memperbaiki Teleskop Hubble. Tentu saja pengambilan gambar seperti itu memiliki kesulitan tingkat tinggi, dan Cuarón pantas diberikan acungan jempol.

George Clooney dan Sandra Bullock sama-sama memberikan penampilan sangat baik di film ini. Sebagai Kowalski, pada awal-awal film Clooney yang berperan sebagai tokoh pendukung memilik rasa humor yang sedikit agak berlebihan dan kurang pas untuk ukuran seorang astronot yang notabene memiliki pekerjaan yang menuntut banyak konsentrasi dan fokus tinggi. Namun selera humor yang tidak pada tempatnya itu bukan berarti Kowalski tidak memiliki wibawa dan profesionalitas. Saat Stone terlempar jauh dari Teleskop Hubble, Kowalski memberikan panduan dengan tegas dan serius apa yang harus dilakukannya. Saat mereka berdua mengetahui bahwa hanya merekalah yang tersisa dari misi luar angkasa tersebut, Kowalski menjadi pemimpin yang baik dalam menentukan bagaimana cara mereka kembali ke bumi, bahkan pengorbanannya adalah ciri seorang pemimpin sejati. Semua karakter Kowalski tersebut digambarkan Clooney dengan baik. Sebagai tokoh komik yang memiliki selera humor tinggi, Clooney sebagai Kowalski mampu memanfaatkan pesonanya dan meluncurkan celetukan-celetukan di tengah dialog serius.

Namun tentu saja, tanpa perlu disangkal Gravity sepenuhnya adalah milik Sandra Bullock. Peraih piala Oscar tahun 2010 itu memberikan penampilan brilian di sini. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya bila peran Stone digantikan oleh aktris lain (meski tidak menutup kemungkinan hasilnya sama bagus atau bahkan lebih bagus). Pada dua pertiga film, Bullock memancarkan ekspresi ketakutan, rasa pesimis, dan putus asa yang sangat kental. Penonton akan melihat tokoh Stone berulang kali melayang tak berdaya melawan gravitasi nol dan mengeluarkan erangan-erangan lemah. Dari balik kaca helmnya, penonton juga merasakan hembusan nafas memburu Stone yang mengandung rasa takut di dalamnya. Satu adegan paling diingat dari kondisi lemah Stone ini adalah saat ia menitikkan air mata yang kemudian melayang bebas. Adegan itu sangat emosional dan menimbulkan simpati. Namun, pada sepertiga akhir film, Bullock mampu menunjukkan proses metamorfosis Stone menjadi sosok yang lebih tegar, cerdas, dan determined. Adegan “menitipkan salam” sebagaimana disebutkan di atas dilakukan Bullock dengan sangat menyentuh. Bullock mengeluarkan suara serak namun ia tetap berupaya teriak di tengah turbulensi yang ia alami. Tidak hanya pada tingkat emosional dan psikologis, fisik Bullock juga tampak mumpuni memerankan peran astronot yang melayang bebas, membentur benda-benda, berpegangan erat pada sesuatu, mengatasi kebakaran di dalam stasiun luar angkasa, dan sempat tenggelam secara tiba-tiba tanpa persiapan mengambil nafas terlebih dahulu. Semua adegan itu dilakukan Bullock dengan tubuh prima. Akankah Bullock mendapatkan nominasi Oscar untuk penampilannya di sini? Well, saya sendiri sangat berharap jawabannya “ya”, karena sejauh ini (bulan Oktober 2013) menurut pandangan saya penampilan Bullock adalah salah satu yang terbaik.

Secara keseluruhan, bagi saya Gravity bukanlah film yang hanya menceritakan kerasnya perjuangan seorang astronot wanita yang diterjang bencana. Lebih dari itu, Gravity menawarkan tokoh dengan karakter yang dapat ditemukan dalam kehidupan nyata, tokoh yang menemukan kembali harapan hidup setelah mendapatkan suntikan semangat dari masalah yang dihadapinya. Dipersenjatai dengan visualisasi memukau dan bobot filosofi yang berisi membuat saya merasa bahwa menonton Gravity adalah sebuah kehormatan untuk mencicipi sedikit kejeniusan Alfonso Cuarón atas adaptasinya terhadap ciptaan agung Tuhan. 5 stars out of 5. Ada yang punya komentar?



Watch this if you liked:

2001: A Space Odyssesy (1968)

Director: Stanley Kubrick
Stars: Keir Dullea, Gary Lockwood, William Sylvester
Genre: Adventure, Msytery, Sci-Fi
Runtime: 160 minutes











Marooned (1969)

Director: John Sturges
Stars: Gregory Peck, Richard Crenna, David Janssen
Genre: Adventure, Drama, Sci-Fi
Runtime: 134 minutes


Tidak ada komentar:

Posting Komentar