Dunia dikejutkan dengan aksi berani koran mingguan News of the World (NOW) yang melakukan penyadapan telepon secara ilegal terhadap beberapa tokoh terkenal di Inggris. NOW yang merupakan salah satu media terbesar di Inggris kini harus mengakhiri kiprah pewartaannya selama 168 tahun dengan penutupan pada Minggu 10 Juli lalu. Penutupan ini diumumkan oleh James Murdoch, Direktur News Internasional, kelompok usaha milik Rupert Murdoch yang menerbitkan News of the World pada 7 Juli 2011. Pada edisi terakhirnya, NOW mengangkat tajuk Thank You and Goodbye (Terima Kasih dan Selamat Tinggal).
Sebenarnya, kasus yang menghenyakkan dunia media ini telah terjadi cukup lama, selama masa pemerintahan Perdana Menteri Tony Blair, antara 2 Mei 1997 hingga 27 Juni 2007. Korban penyadapan NOW antara lain Milly Dowler, gadis pelajar korban pembunuhan yang telepon selularnya diretas dan beberapa bagian pesan suaranya dihapus sehingga orangtuanya berpikir anak mereka masih hidup. Selain itu, koran ini juga diduga melakukan penyadapan telepon milik para korban bom London 2005. Sejauh ini, belum terungkap apa motivasi NOW melakukan peretasan ini yang dianggap sebagai tindakan keji oleh Tony Blair.
Perlindungan Privasi Warga
Apa yang terjadi pada News of the World membuat Amerika Serikat dan Australia siaga satu dalam mengantisipasi tindakan serupa yang dilakukan oleh sayap media Rupert Murdoch yang juga mendominasi dua negara tersebut. Bahkan Autralia, negara asal Rupert Murdoch kini tengah mengambil ancang-ancang untuk melindungi privasi warganya. Di negeri Kanguru ini, sebelumnya telah ada UU yang memberi jaminan privasi terhadap setiap warga negara, namun UU tersebut tidak mengakomodasi penuntutan terhadap pihak-pihak tertentu yang melanggar batas privasi warga tersebut, sehingga wacana pembuatan payung hukum baru tentang privasi warga sedang hangat-hangatnya di sana.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Secara konstitusional, Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Namun setelah saya mencari tahu lebih lanjut tentang UU yang mengatur hak privasi warga, saya tidak menemukannya. Selama ini, kebijakan pengaturan terhadap privasi dianggap tidak populer karena banyak institusi negasa seperti KPK dan Polri yang menggunakan penyadapan sebagai langkah memberantas korupasi yang diatur melalui peraturan internalnya. Padahal, sejatinya penyadapan itu harus dibuat dalam satu UU khusus, tidak bisa diatur hanya dengan peraturan internal. Selain itu, menurut saya sebenarnya meski hak privasi bukan kategori hak yang tak dapat dibatasi, namun pembatasan itu harus dilakukan oleh Undang-undang. Jadi bukan pada level Peraturan Pemerintah, atau peraturan lainnya di bawah Undang-undang.
Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi RI telah membuat keputusan mengenai intersepsi komunikasi yang dituangkan dalam putusan nomor 006/PUU-I/2003, putusan nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 dan putusan nomor 5/PUU-VIII/ 2010 tertanggal 24 Februari 2011. Dalam putusan tersebut, dikatakan bahwa negara dapat melakukan pembatasan terhardap pelaksanaan hak-hak privasi dengan menggunakan UU sebagaimana diatur dalam pasal 28; ayat 2 UUD 1945.
Pada dasarnya menurut saya tidak adanya satu UU yang secara khusus mengatur tata cara penyadapan justru akan mengancam privasi warga. Pertanyaan besarnya adalah seadainya kasus seperti NOW ini terjadi di Indoensia, apa payung hukum yang dapat digunakan warga?
Pelajaran Berharga bagi Bisnis Media
Selain memunculkan wacana perlindungan privasi, kasus NOW juga memberikan kita semua hikmah yang dapat dipetik, khususnya bagi bisnis media. Pertama, bisnis media dan informasi adalah bisnis kepercayaan. Sekali saja media mewartakan informasi yang kepercayaannya diragukan, maka media tersebut tak layak dipertahankan. Kedua, informasi yang baik adalah informasi yang isinya benar (telah diverifikasi terlebih dahulu) dan yang tak kalah penting, didapatkan dengan cara yang benar pula. Ini adalah tantangan berat bagi jurnalis, karena informasi mengenai hal-hal yang bersifat negatif baik biasanya akan ditutup-tutupi. Tetapi ini bukan berarti kita bisa seenaknya melanggar batas-batas privasi orang lain. Ketiga, ketika menjual informasi, kredibilitas penyedia informasi tersebut adalah segala-galanya. Maka tak ada kesempatan kedua bagi seorang jurnalis yang melakukan kesalahan.
Kini, biarlah Murdoch menelan pil pahit atas tindakan yang dilakukan salah satu jaringan bisnis medianya. Mungkin ia akan merenungkan bahwa ketika ia memulai bisnis ini medianya memfokuskan liputan pada seks, skandal, dan peristiwa yang terkait dengan kisah-kisah kemanusiaan, ia tersadar bahwa melalui skandal pulalah salah satu medianya terjeremabab ke lubang hitam.
Ada yang punya komentar?
Referensi: kompas.com, mediaindonesia.com.
Sumber gambar: http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2011/07/13/belajar-dari-kematian-news-of-the-world/