Jumat, 27 Juli 2012

My Left Foot: String Up Your Life and Be Success!

"All of us who work in the world of film acting are still anxious when we're faced with real life drama, the drum rolls so to speak. There are no retakes tonight, there are no rehearsals to prepare that singular moment, when the envelope is opened. The name inside will certainly change one actor's life, as it changed mine last year. As a messenger, pure, and movie lover, I stand here tonight to tell you five nominees, the best news of all. You have moved me, moved The Academy, moved the people. Your performances took us somewhere we've never been, somewhere strange and familiar, and we are changed forever 'bout that glimpse, that moment, that intimacy, and that surrender all of the edge in celluloid." 
 
Kata-kata tersebut menjadi pengantar bagi Jodie Foster (The Accused, Silence of the Lambs) untuk mengumumkan nominasi sekaligus menasbihkan Daniel Day-Lewis sebagai best actor in a leading role dalam My Left Foot (1989) di ajang Academy Awards 1990. Malam itu menjadi malam indah bagi seluruh pemain dan kru My Left Foot, sebab selain mendapatkan oscar untuk kategori aktor terbaik, film ini juga memenangkan kategori aktris pembantu terbaik (best actress in a suporting role) untuk Brenda Fricker.

My Left Foot merupakan film drama biografi yang mengangkat kehidupan Christy Brown berdasarkan novel karangannya sendiri dengan judul yang sama. Bagi Anda yang belum tahu, Christy Brown adalah penulis, pelukis, dan pujangga Irlandia yang menjadi spesial sebab semua bakatnya itu ia kembangkan di tengah kondisi fisiknya yang terbatas akibat cerebral palsy yang dideritanya sejak lahir. Jujur, sebelum menonton film ini saya mengira film ini bercerita seputar penderitaan seseorang yang cacat dan kemudian menjadi sukses, sebuah premis yang telah cukup banyak dibuat dalam pita seluloid. Namun, perkiraan itu ternyata tidak sepenuhnya benar setelah saya selesai menonton. Film ini tidak menjual kepedihan orang cacat semata, namun lebih dari itu, film ini juga berbicara mengenai rasa haus akan cinta romantik dan perjuangan mendapatkan martabat sebagai manusia seutuhnya. Penonton seakan diajak untuk menyelami kehidupan manusia yang cacat secara fisik namun tak memiliki kekurangan apa pun dari segi mental, ia tetap manusia yang penuh perasaan, memiliki nafsu, dan ingin dihargai orang lain.

Christy Brown (Day-Lewis) dilahirkan dengan komplikasi masalah kesehatan yang menyebabkan disfungsi pada bagian tubuh kanannya. Keluarga Brown merupakan keluarga miskin yang memiliki cukup banyak anak. Paddy Brown (Ray McAnally), sang kepala keluarga hanyalah pekerja rendahan yang gemar mabuk dan agak tempramental. Ia mengabaikan kehadiran Christy pada awal kelahirannya karena malu memiliki anak cacat. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya ia juga memiliki kasih sayang pada Christy yang tak berani ia ungkapkan, bahkan hingga ia menemui ajalnya. Sebaliknya, Bridget (Fricket) istrinya, dengan sabar merawat dan membesarkan Christy, serta mendukung semua bakat dan minatnya, terutama melukis.

Seiring waktu berlalu, setiap manusia yang normal secara emosional dan psikologis tentu mengalami jatuh cinta atau sekadar nafsu birahi yang diakibatkan hormon-hormon pubertas. Hal itu pun juga dialami Christy. Namun, kondisi fisiknya yang berbeda membuat Christy senantiasa harus menanggung sakit hati akibat ditolak beberapa wanita. Kisah cinta Christy ini sendiri menjadi sebuah isu sensitif bagi ibunya yang terlalu menyayangi Christy, ia tak ingin anaknya menjadi bulan-bulanan para gadis tak tahu diri yang dapat membuat putranya terluka. Namun, tentu tak ada yang dapat menahan perasaan seseorang bukan? Penolakan demi penolakan para gadis terhadapnya membuat Christy berubah menjadi seperti ayahnya yang gemar minum-minuman keras. Ia tak dapat mengontrol emosinya. Ia kesal, marah, merasa dunia tak adil pada dirinya. Hanya kasih sayang, semangat, dan motivasi dari sang ibulah akhirnya Christy dapat bangkit dari keterpurukannya dan menuliskan riwayat hidupnya menjadi sebuah buku fenomenal dan membuatnya terkenal.

Film ini berhasil mengecoh saya dalam beberapa hal. Pertama, tak ada cerita mengenai penganiayaan (bullying) terhadap Christy yang berarti. Sebaliknya, anak-anak di lingkungan sekitar rumahnya kerap mengajak Christy bermain, bahkan ia tidak pernah dianggap sebagai anak bawang. Saat beranjak dewasa pun, Christy dihormati teman dan saudara-saudaranya. Kedua, Paddy sebagai ayah Christy ternyata memiliki semacam vulnerability tersendiri saat menghadapi Christy. Ia tidak pernah memukul, berteriak, atau menghina anak cacatnya. Sejatinya, ia berada posisi yang sukar. Ia menunjukkan ketidaksukaannya dengan cara "elegan": mengabaikan keberadaan Christy, sebuah hal yang sangat sulit dilakukan bagi seorang ayah. Terakhir, dalam film ini ternyata Christy bukanlah orang yang sempurna dalam segala hal. Terkadang ia tidak dapat menahan emosinya, egois, dan bahkan gemar mengucapkan kata-kata kotor.

Daniel Day-Lewis sangat sangat pantas mmenerima penghargaan atas performanya sebagai Christy. Saya tak dapat membayangkan betapa lama ia melatih kaki kirinya sampai dapat digunakan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Bagi saya sepertinya tak terkira rasa sakit yang harus dialaminya ketika ia menggunakan ibu jari dan telunjuk kaki kiri, punggung, dan (maaf) bokongnya untuk menjiwai keterbatasan fisik Christy. Pun dalam hal suara, Day-Lewis dengan meyakinkan membawakan karakter yang tidak dapat berbicara dengan jelas, hampir selalu menggumam, berdengung, serta bibir dan kepala yang tak bisa tegak. Salut juga saya sampaikan kepada Fricket. Sebagai ibu yang mecintai anaknya, bagaimanapun kondisinya, terlalu sayang hingga selalu cemas ketika putranya dekat dengan wanita. Ia takut anaknya yang sudah menderita harus mengetahui dan merasakan kejamnya dunia.

Secara keseluruhan, Jim Sheridan (In America, The Boxer) sebagai sutradara sukses membuat My Left Foot menjadi film yang tak biasa, tak membosankan, dan menggugah hati. Film ini sendiri berhasil menanamkan cakrawala baru bagi saya: bahwa setiap momen dalam kehidupan sesungguhnya akan merubah jalan hidup keseluruhan, hanya kemauan dan semangat pantang menyerah yang dapat merangakai momen-momen tersebut menjadi sebuah keberhasilan, seperti halnya hidup Christy Brown. It's 3.5 out of 5 stars for me. Ada yang punya komentar?


Watch this if you liked:

A Beautiful Mind (2001)

Director: Ron Howard
Stars: Russell Crowe, Ed Harris, Jennifer Connelly
Genre: Drama, Biography
Runtime: 135 minutes

The Aviator (2004)

Director: Martin Scorsese
Stars: Leonardo DiCaprio, Cate Blanchett, Kate Beckinsale
Genre: Drama, Biography
Runtime: 170 minutes

5 komentar:

  1. @Jack Blackburn thank you so much for your visit and comment. Have you seen this movie. What do you think? I'll be glad if you share to me.

    BalasHapus
  2. DDL keren bgt aktingnya disini...meyakinkan bgt pokoknya,gtu juga pemeran Christy waktu masih bocah....miris bgt liatnya pas adegan awal Christy kecil smpe ngesot2 dari lantai atas buat nolong ibunya yg pingsan..^^

    BalasHapus
  3. @Nugros C yup, DDL was amazing! Sayang ya, pemeran Christy waktu kecil itu skrg kurang begitu terdengar namanya di dunia film, padahal dia punya talenta di bidang akting. And yes, I was touched with the scene when little Christy helped his mom. Thank you so much for your visit and comment anyway :D

    You have a very nice blog too!

    BalasHapus
  4. iya tuh..tapi emang bukan american sih gan,jadi munkin emang ga berkarier di hollywood,

    DDL waktu menang Oscar juga nge-share awardnya sama si pemeran Christy kecil,classy!

    BalasHapus