Kamis, 07 Februari 2013

Tootsie: When Troublemaker Faces Love

Anda tentu pernah mendengar perkataan “we are not the first but we are the best” bukan? Meski terdengar agak usang, tampaknya kalimat yang sering dijadikan slogan atau jargon oleh kelompok atau orang itu tetap akan terdengar di telinga kita karena setiap orang di muka bumi ini ingin menjadi the best – yang terbaik. Menjadi yang terbaik dalam karir, ekonomi, pendidikan, asmara, bahkan yang sedikit sentimental, menjadi yang terbaik dalam kehidupan diri sendiri merupakan contoh kecil dari apa yang mungkin bisa kita sebut a dream to be the best. Lalu mengapa setiap orang ingin menjadi yang terbaik? Sederhana saja, karena menjadi yang terbaik berarti tidak ada orang lain yang mampu melebihi atau bahkan sekedar menyamakan apa yang telah dicapai oleh si terbaik. Ketika posisi seseorang sudah sedemikian tidak terkejar, maka akan timbul pengakuan (acknowledgement), sesuatu yang memiliki efek psiklogis cukup luar biasa, karena dari pengakuan itu akan mendatangkan kebanggaan. Di sisi lain, menjadi yang terbaik juga berarti harus mempertahankan apa yang telah diraih, sehingga terkadang orang yang dikenal sebagai yang terbaik sulit menerima, bahkan mengkritik hal-hal yang dianggap di bawah standar. Padahal bisa jadi hal-hal tersebut bukannya buruk sama sekali, hanya saja si terbaik itu terlalu idealis dan memasang standar yang terlalu sempurna untuk ukuran dunia yang tidak pernah sempurna ini. Akhirnya, orang lain yang bisa melihat peluang dari hal-hal tersebut yang kemudian berhasil memanfaatkan kesempatan untuk menjadi yang pertama – the first, meski bukan yang terbaik. Memang membutuhkan usaha ekstra untuk bisa menjadi yang terbaik sekaligus yang pertama, tetapi itu tidak mustahil dilakukan, setidaknya dalam Tootsie (1982).

Tootsie menceritakan satu momen dalam kehidupan Michael Dorsey (Dustin Hoffman), seorang aktor yang telah menganggur selama 20 tahun. Tidak ada satu pun drama panggung, opera sabun televisi, apalagi layar lebar menerimanya menjadi salah satu aktor dalam jajaran pemainnya. Bermacam-macam alasan pernah ia telan, mulai dari wajah yang tidak sesuai, tinggi badan yang tidak cocok, atau bukan orang yang tepat. Tetapi sebenarnya hal-hal itu bukan alasan utama mengapa ia belum juga berhasil mendapat pekerjaan tetap. Michael adalah seorang aktor mumpuni yang tahu benar bagaiamana cara berakting yang baik dan benar. Ia bisa mengatasi hal-hal sepele seperti itu. Faktor utama dalam kehidupan Michael yang selalu mendatangkan masalah baginya adalah idealisme. Michael bukan sembarang aktor. Ia pernah dipuji oleh New York Critics atas penampilannya. Ia memegang teguh logika berakting, menerapkannya, dan menjaga idealismenya itu di manapun. Karena itulah, Michael tidak pernah mau menerima arahan dari sutradara yang ia anggap tidak atau cara berakting. Bagi Michael, lebih baik tidak mendapatkan pekerjaan daripada harus mencederai keindahan dan kesempurnaan seni peran yang sangat ia cintai. Tetapi bukan Michael Dorsey namanya jika ia menyerah. Dengan tekad bulat, ia berani menembus batas yang mungkin tidak setiap orang mau melakukannya. Ia rela menjelma menjadi seorang wanita bernama Dorothy Michaels demi mendapatkan peran dalam salah satu opera sabun paling bergengsi di televisi. Awalnya, ia merasa semua berjalan lancar dan sesuai keinginannya. Tetapi ternyata berakting di kehidupan nyata tidak semudah berakting di atas panggung, karena ia menemukan banyak masalah, terutama bila ia harus bersandiwara di depan Julie (Jessica Lange), wanita yang ia cintai.

Sekilas, Tootsie tampak seperti komedi romantis biasa. Penonton akan dengan mudah mendapatkan pengocok perut dalam berbagai adegan di sepanjang film berdurasi 116 menit ini. Mulai dari dialog-dialog “penuh urat” antara Michael dengan agennya George (Sydney Pollack), perilaku Dorothy “Tootsie” Michaels yang kaku dan sangat aneh, adegan “pemerkosaan” Dorothy, dan lain-lain. Tetapi jika ditilik lebih jauh, Tootsie memiliki kedalaman cerita yang lebih dari kata biasa. Tootsie mengangkat kisah bagaimana seorang seseorang menghabiskan 20 tahun masa hidupnya hanya untuk menanti datangnya suatu keberuntungan. Saya sebut keberuntungan karena sebenarnya Michael sudah memiliki modal lebih dari cukup untuk sukses. Ia bukan hanya sekedar aktor berbakat, tetapi lebih dari itu, ia mendedikasikan hidupnya untuk berakting. Berulang kali Michael mengatakan, “I’m a character actor” yang menegaskan bahwa ia sama sekali tidak bisa meninggalkan seni peran dari kehidupannya, bahkan kehidupan nyata. Michael membawa mimpi besar, hasrat, dan harapannya sebagai aktor ke dalam kehidupan nyata. Ia mengisi harinya dengan mengajar kelas akting untuk teman-temannya, memotivasi mereka untuk menjadi aktor-aktor terbaik. Ia adalah tempat semua orang bertanya bagaimana cara berakting. Tetapi sayangnya Michael yang dari luar tampak seperti the man with the answer terlalu naïf untuk memahami bagaimana roda bisnis di dunia hiburan berputar. Dengan keras kepala, ia selalu memaksakan logika akting yang ia mengerti dalam setiap audisi yang ia ikuti. Padahal sebagian besar pelaku bisnis hiburan hanya ingin mengerek lembaran dolar dan popularitas tanpa memberi banyak perhatian pada bagaimana berakting yang baik. Kontradiksi ini membuat karakter Michael menarik bagi saya. Di satu sisi ia mengakui dan diakui sebagai yang terbaik, tetapi di sisi lain pengakuan tersebutlah yang menjadikannya pengangguran tiada akhir. Begitu pun dalam hal percintaan, Michael bisa disebut sebagai orang yang munafik. Ia mempermainkan perasaan Sandy, tetapi ia tidak terima Julie diperlakukan demikian oleh Ron (Dabney Coleman). Hal ini semakin mempertegas bahwa Michael might  be the best actor but it’s plain as day that he’s a looser when it comes to romance

Saya juga sangat menyukai bagaimana Tootsie menyindir cara kerja industri hiburan. Dalam Tootsie, penonton bisa melihat bagaimana perjuangan calon-calon aktor yang berpindah dari satu audisi ke audisi lain hanya untuk menerima penolakan yang terkadang tidak masuk akal dan sulit dimengerti. Penonton juga bisa mengetahui bahwa untuk menjadi seorang aktor, hanya sekedar bakat dan kemampuan saja tidak cukup. Perlu attitude yang tepat untuk menghadapi kerasnya dunia hiburan. Dalam Tootsie, adegan di mana Dorothy mengomel pada Ron yang langsung menolak tanpa menguji kemampuannya merupakan satu bukti bahwa dibutuhkan keberanian untuk sedikit “memberontak” dan tidak patah semangat menghadapi penolakan. Tindakan Dorothy yang selalu mengubah naskah saat pengambilan gambar juga menunjukkan hal yang sama, bahwa menjadi penurut tidak selamanya baik.

Sydney Pollack (Out of Africa, Three Days of the Condor) sebagai sutradara memahami karakter Michael yang suka membangkang, maka dengan cerdas ia membuat hampir seluruh percakapan Michael dengan setiap orang (kecuali Julie) menjadi rumit, selalu membuat kepala tegang, dan selalu dengan akhir yang lucu. Hal ini akan sering kita temukan dalam adegan-adegan antara Michael dengan George. Pollack juga berhasil membuat setiap kemunculan karakter Sandy suatu kesedihan yang tak terungkap terlepas dari kelucuan yang selalu ia timbulkan. Sandy adalah wanita yang tidak pernah dianggap serius oleh Michael, oleh dunia hiburan, dan oleh dunia, dan Pollack mencampur dua kutub sifa Sandy ini (menyedihkan dan lucu) dalam satu adegan impresif saat Michael mengatakan bahwa ia mencintai orang lain. Setiap penotnon (terutama wanita) pasti akan merasa sedih dan mengasihani Sandy, tetapi rasa sedih itu sangat subtle sampai-sampai bisa tertutup oleh kekocakan yang ditimbulkan dari kata-kata yang diucapkan Sandy saat itu. Semua itu menimbulkan ironi yang sangat berkesan.

Di samping keunggulannya yang mampu menciptakan karakter Michael yang menarik, naskah yang ditulis Larry Gelbart dkk. ini bagi saya juga memiliki kekurangan. Salah satunya adalah tidak adanya plot yang menjelaskan bagaimana Michael sampai pada keputusan untuk menjadi seorang wanita dan mengikuti audisi. Baik, Michael memang membutuhkan uang untuk mendanai drama Jeff, tetapi mengapa yang muncul adalah ide menjadi seorang wanita? Mengapa dalam waktu penganggurannya yang begitu lama tidak pernah terpikirkan hal itu sebelumya? Bagi saya pergerakan cerita dari keputus-asaan Michael yang berlanjut pada keputusannya menjadi Dorothy tidak dibuat dengan smooth, terlalu tiba-tiba dan menimbulkan pertanyaan yang mengganggu di kepala penonton.

Dari segi penampilan para aktornya, Dustin Hoffman berhasil memerankan Michael dan Dorothy dengan baik. Penonton akan segera paham bahwa Michael pria idealis keras kepala yang berbicara dengannya saja sudah bisamembuat orang membencinya. Hoffman berhasil mengeluarkan citra troublemaker dalam karakter Michael. Di sisi lain, kesan kocak sangat menempel pada Dorothy. Banyak detil-detil peran Hoffman sebagai Dorothy yang akan menimbulkan tawa, seperti saat ia membetulkan posisi celana dalamnya (dengan penampilan gambar dari belakang), saat ia tersandung jatuh memakai high heels, atau saat ia mengeluarkan suara asli Michael saat memanggil taksi. Lange juga menguasai perannya sebagai wanita kesepian yang memiliki masalah dengan percintaan. Dari luar, kesan santai dan ringan menjadi pembawaan utama Julie, padahal ia merasa sangat bermasalah dengan kehidupan pribadinya.Selain itu yang juga tak kalah menarik dari penampilan Lange di sini adalah saat karakter Julie berada pada posisi sulit di mana ia menyangka Dorothy seorang lesbian padahal ia menemukan rasa persahabatan dengannya. Lange dengan cerdas membawa Julie meenjauh dari Dorothy. Saya sangat suka adegan di mana Julie terbata-bata dengan kata-kata yang pendek ketika ia harus berhadapan dengan Dorothy saat menerima hadiah untuk putrinya. Dengan mata yang tidak berani menatap Dorothy dan mempermainkan posisi berdiriya, Julie menutup pintu, meninggalkan kesan geregetan bagi penonton karena Julie salah paham. 

Secara keseluruhan, Tootsie merupakan film yang menghibur. Lagu It Might Be You dari Stephen Bishop juga menjadi teman asyik di awal dan penghujung film hingga membuat saya betah berlama-lama menyimak kredit akhir. 3.5 out of 5 stars for me. Ada yang punya komentar?



Watch this if you liked:
Sideways (2004)

Director: Alexander Payne
Stars: Paul Giamatti, Thomas Haden Church, Virginia Madsen
Genre: Comedy, Drama, Romance
Runtime: 126 minutes

Garden State (2004)

Director: Zach Braff
Stars: Zach Braff, Natalie Portman, Peter Sarsgaard
Genre: Comedy, Drama, Romance
Runtime: 102 minutes












3 komentar:

  1. Film ini memang menarik gan, mungkin sebagian orang akan berpikir skeptis, ah film jadul. Hmm tapi film ini keren. Menurut saya banyak film film jadul yang lebih 'bagus' daripada film film sekarang yang mungkin lebih banyak menonjolkan visual efect, Kalo menurut saya 4/5 deh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo

      Saya setuju, terkadang film minimalis justru memiliki kemampuan untuk menggerakkan hati penonton. Tetapi tentu saja itu akan bergantung pada kualitas naskahnya serta kepiawaian sutradara, tim teknis, dan tentu aktornya. Tidak sedikit film berdana besar dengan segudang efek visual nyatanya memang menggugah dan bahkan menjadi pionir dalam teknologi dan industri perfilman. Sekali lagi, bagi saya semuanya akan bergantung pada kualitas produksinya.

      Hapus
  2. Seperti halnya Hoffman berperang sbg Dorsey atau Dorothy. Maka anda lebih senang mendengar It Might Be You versi popular Stephen Bishop, atau njlimetnya Patti Austin?
    https://www.youtube.com/watch?v=T5eo7xsNvew

    BalasHapus