Saya selalu percaya bahwa setiap manusia dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan suci, polos, dan tak berdosa. Tantangan, rintangan, godaan, dan khilaf di sepanjang perjalanan hiduplah yang dapat membelokkan kesucian manusia dan menciptakan jenis manusia lain yang sama sekali berbeda, manusia “jahat”. Bagi saya, orang-orang jahat itu adalah manusia yang kehilangan jiwa mereka, tersesat dalam gemerlap dunia fana. Mereka melihat suatu realitas dari sudut pandang yang berbeda dari kebanyakan orang, sudut pandang tanpa jiwa dan hati nurani. Karena itulah bagi saya orang yang memiliki sifat jahat belum tentu dapat sepenuhnya dipesalahkan atas pebuatan mereka. Karakter penjahat seperti ini sangat dinamis dan dapat dieksplorasi lebih jauh lagi, sehingga banyak film thriller yang menciptakan karakter demikian, salah satunya dalam Collateral (2004).
Dalam Collateral, penulis naskah Stuart Beattie menciptakan karakter Vincent (Tom Cruise), seorang pembunuh bayaran yang menganggap pekerjaannya hanyalah pekerjaan biasa, sama seperti orang-orang lain yang bekerja untuk mencari nafkah. Ia tidak peduli siapa korbannya atau apa yang mereka lakukan hingga mereka menjadi target pembunuhan. Tanpa belas kasihan, ia hanya memikirkan bagaimana cara membunuh yang efisien dan efektif, menerima bayaran atas pekerjaannya, dan bersenang-senang setelahnya. Kali ini, ia dipekerjakan oleh Felix (Javier Bardem) seorang mafia narkotika yang menghadapi ancaman tuntutan kriminal. Pekerjaannya kali ini tidak bisa dianggap enteng, karena Vincent harus membunuh lima orang yang akan memberatkan Felix dalam satu malam saja. Semua target pembunuhan berada di Los Angeles, sebuah kota yang menurut Vincent sangat individualis.
Menuju lokasi target pertama, Vincent menumpang taksi yang dikemudikan oleh supir ramah dan komunikatif, Max (Jamie Foxx). Sebelum mengantarkan Vincent, Max mendapat seorang penumpang yang berprofesi sebagai jaksa penuntut dan akan bermalam di sebuah hotel untuk mempersiapkan tuntutan esok hari. Jaksa penuntut itu adalah Annie (Jada Pinkett Smith), yang ternyata memiliki kehidupan yang cukup padat sehingga dengan tulus Max menyarankan Annie untuk “berlibur”. Obrolan santai dengan Max yang baik hati membuat Annie tanpa segan memberikan kartu namanya pada Max. Setelahnya, barulah Max mengantarkan Vincent yang juga merasa betah berlama-lama menumpang taksi Max karena pengetahuannya yang luas seputar Los Angeles, keramahan, dan kebersihan taksinya. Akhirnya dengan iming-iming US$600, Max menerima tawaran Vincent untuk menyewa taksinya hingga ia selesai melakukan “perjalanan bisnis” di lima tempat berbeda di Los Angeles. Namun, malam itu ternyata bukanlah malam biasa bagi Max, supir taksi yang telah 12 tahun berada di belakang kemudi dengan impian membuka bisnis limusin, sebab karena kesalahan kecil, ia menjadi saksi dari “bisnis” Vincent ketika sesosok mayat terjun bebas dari sebuah apartemen tepat di atas taksinya.
Tercebur ke dalam lumpur hidup, Max menemukan dirinya terjebak di bawah todongan pistol Vincent, pembunuh maniak yang bisa melakukan apa saja jika Max berani melawan. Maka, dimulailah petualangan dua orang yang baru saja bertemu, sama sekali asing mengarungi gemerlap malam kota individualis Los Angeles. Namun, mengikuti cara bekerja waktu, pada setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Begitu juga petualangan Vincent dan Max yang harus berakhir dengan getir, menutup perjumpaan dua orang asing yang mengabiskan gelapnya malam bersama.
Collateral bukanlah film criminal thriller biasa. Ada banyak ide dan tema yang dieksplor disini, terutama dari segi kepribadian dua tokoh utama, Max dan Vincent. Tokoh Max, misalnya mencerminkan realitas bahwa impian dan cita-cita dapat tergerus oleh waktu dan pemikiran si empunya impian dan cita-cita tersebut. Max, seorang supir taksi yang selalu dengan bangga mengatakan bahwa menjadi supir taksi hanyalah pekerjaans ementara, sebagai uapayanya mengumpulkan modal untuk membuka bisnis limusin. Max tidak menyadari bahwa apa yang ia sebut sementara itu kini telah berjalan selama 12 tahun, dan ia tidak tahu apakah ia memiliki keberanian memulai usaha limusin itu suatu hari nanti. Dengan satu kalimat yang menyentak Vincent menyadarkan Max, “Someday my dream will come. One night you'll wake up and you'll discover it never happened. It's all turned around on you and it never will. Suddenly you are old, didn't happened and it never will, 'cause you were never going to do it anyway.” Sementara itu Vincent adalah orang yang memiliki masa kecil yang memprihatinkan. Berkali-kali berganti orang tua asuh dan kembali ke orang ayah kandung yang tidak memiliki hubungan baik dengannya membuat Vincent jauh dari sentuhan kasih sayang dan sentuhan manusiawi orang-orang di sekitarnya.
Menggunakan struktur cerita tiga babak, sutradara berbakat Michael Mann (The Insider, The Aviator) fokus menceritakan hubungan dua orang yang dipertemukan secara kebetulan dan melakukan “petualangan” bersama di belantara hutan beton Los Angeles dalam satu malam penuh, dari awal hingga akhir cerita tanpa selingan berarti. Sehingga meskipun berbagai plot umum criminal thriller ada di sini, tetapi Mann tidak ingin membuang-buang waktu terlalu banyak untuk melanjutkan plot tersebut. Misalnya ketika polisi mulai terlibat dalam aksi Vincent dan Max yang tidak hanya membunuh tetapi juga ugal-ugalan di jalan, Mann sedapat mungkin memainkan karakter Max menjadi tokoh yang tidak lagi pasrah dan ingin menyerahkan kasus itu ke polisi, melainkan ingin mencegah target pembunuhan terakhir Vincent dengan tangannya sendiri.
Sepanjang film, Mann menunjukkan kemampuannya dalam mengolah dan menjaga tensi dan intrik bahkan daalam adegan atau momen-momen yang paling tenang sekalipun. Misalnya dalam scene di mana Vincent memaksa Max menjaga keteraturan rutinitasnya dengan mengunjungi ibunya, Ida (Irma P. Hall). Max yang menerima perintah itu dengan berat hati ternyata memiliki keberanian ketika urusan pribadinya dengan sang ibu diusik oleh orang asing semacam Vincent dan membuat adegan itu manis sekaligus menegangkan. Penonton tidak pernah tahu apa yang Vincent mampu dan akan perbuat pada Max akibat keberaniannya itu.
Beberapa adegan umum yang ditemukan dalam Collateral tentu saja adalah pertemuan klasik antara polisi, tokoh protagonis yang berada di bawah ancaman, dan tokoh antagonis yang dapat berbaut apa saja. Dalam adegan di mana taksi Max diberhentikan oleh dua orang polisi patroli yang mencurigai kaca depannya yang pecah, Max berpura-pura tenang dan memeras otaknya untuk menciptakan cerita karanga yang masuk akal. Vincent yang bersiap-siap dengan pistol di genggaman tangannya, waspada jika dua polisi itu berbuat macam-macam juga melengkapi daftar adegan pasaran yang data ditemukan di sini. Lucunya, adegan ini ditutup dengan kebetulan (dan keberuntungan) yang selalu menghampiri Max malam itu di mana dua polisi itu menerima panggilan dinas lain yang lebih penting sehingga Max dan Vincent terbebas situasi yang mengancam.
Berlawanan dengan scene pasaran di atas, Mann memamerkan kepiawaiannya dalam menyuguhkan adegan sederhana namun menawan pada pembuka cerita. Pertemuan antara Annie dan Max dibawakan dengan sangat expert, natural, dan memesona hingga jika kita memotong adegan ini, kita bisa mendapatkan satu film pendek bagus dengan sedikit tambahan twist di akhirnya. Obrolan Annie dan Max yang berawal agak canggung berubah perlahan-lahan menjadi percakapan yang catchy, connected, dan intens. Tidak banyak criminal thriller yang dibuka dengan percakapan yang sama sekali bukan basa-basi sebagaimaana biasa ditemukan dalam film sejenis, melainkan percakapan yang penuh dengan makna kehidupan.
Dalam adegan pembuka tersebut, Jada Pinkett Smith menjadi primadona. Meskipun hanya tampil pada sepuluh menit awal dan akhir cerita, menunjukkan performa dinamitnya sebagai Annie yang di awal cerita saja sudah meninggalkan impresi mendalam. Sebagai seorang jaksa penuntut yang hebat, ternyata ia kiga memiliki kesamaan dengan orang lain: takut memulai sesuatu sebelum mencoba, namun sekali berusaha menyelesaikan pekerjaannya dengan sunguh-sungguh, semua berjalan lancar. Tokoh Annie dibawakan dengan elegan dan charming, hingga bertahan di kepala setiap penonton selama cerita berjalan.
Tom Cruise juga patut mendapat pujian karena ia hampir selalu mengambil peran-peran protagonis, sedangkan dalam Collateral, ia menjadi Vincent, si pembunuh bayaran yang tidak memiliki belas kasih, mementingkan kepentingan sendiri, dan menganggap pekerjaannya normal. Ia membawakan karakter tersebut tepat seperti itu tanpa tambahan sentimen apapun yang membuatnya tampak seperti sosok yang berani menantang apapun, termasuk melawan hukum. Semua itu ia lakukan karena jiwanya yang tersesat, jiwa dingin yang tumbuh dari masa kecil yang suram.
Peran yang cukup baru tidak hanya didalami Tom Cruise, tetapi juga Jamie Foxx, sebab sebelum Collateral, ia lebih dikenal sebagai actor yang berorientasi komedi, sehingga pemilihan Foxx untuk karakter Max banyak menimbulkan pertanyaan sebelumnya. Namun, setelah film berjalan selama lima menit, penonton dapat membuktikan bahwa Foxx tidak dapat dipandnag sebelah mata karena ia memiliki versatilitas yang mumpuni. Sebagai Max, Foxx mampu mencitakan obrolan yang dinamis dengan tokoh Annie, mampu menunjukkan ketakutan dan ketidakberdayaan di hadapan Vincent, mampu memendam kekecewaan ketika usaha kaburnya berkali-kali digagalkan, dan mampu mengumpulkan keberanian di akhir cerita. Semua itu menjadikan nominasi Oscar dalam kategori Best Actor in a Supproting Role pantas dialamatkan padanya.
Sementara itu, peran-peran minor lain seperti Mark Ruffalo, Peter Berg, dan Bruce McGill sebenarnya bisa dihilangkan tanpa menrusak keseluruhan alur film, karena karakter mereka tidak berkembang dan tidak memiliki pengaruh berarti pada jalan cerita Max dan Vincent. Dengan dihilangkannya peran-peran tersebut, durasi film dapat dihemat hingga 20 menit tanpa cacat apapun dari segi alur cerita.
Dari segi sinematografi, dua kru sinematografer Dion Beebe dan Paul Cameron menghasilkan pekerjaan apik dengan membuat nuansa biru dalam adegan-adegan di dalam taksi dan yang paling saya salutkan adalah mereka berani keluar jalur umum bermain dengan kegelapan yang sesungguhnya pada adegan-adegan akhir film. Padahal, biasanya banyak sineas yang memilih menggunakan kegelapan semu dengan meenyorot cahaya temaram ke wajah akor. Suasana gelap gulita itu pada akhirnya akan menambah tensi adegan tersebut. Tata kamera dalam Collateral juga menambah pengalaman menonton semakin menegangkan. Untuk adegan-adegan di luar ruangan, Mann memilih menggunakan kamera digital High Definition (HD) yang membuat adegan tersebut somehow looks like documentary dan menghasilkan suasana malam kota yang detail. Di beberapa adegan lain, Mann mengganti kamera digital biasa, dn di adegan lainnya ia menggunakan kamera 35mm.
Terakhir, struktur tiga babak yang dikembangkan dalam Collateral senarnya menarik diikuti dengan tensi yang mampu membuat penonton gelisah di kursinya, tetapi twiat yang dipersembahkan diakhir justru terkesan biasa dan menghancurkan pengembangan cerita di awal dan pertengahan film. Dengan pengembangan cerita yang baik, seharusnya Collateral sangat pantas mendapatkan penutup yang keluar dari jalur utama. By the way, it’s amazing to see, 3.5 out of 5 stars. Ada yang punya komentar?
Watch this if you liked:
The Brave One (2007)
Director: Neil Jordans
Stars: Jodie Foster, Terrence Howard, Naveen Andrews
Genre: Drama, Thriller
Runtime: 122 minutes
Dengan keberanian yang dipaksakan, Erica memutuskan turun tangan mencari keadilan. Tetapi bukan sembarang keadilan yang dicarinya. Erica bukan hanya ingin mencari keadilan untuk dirinya sendiri, ia ingin setiap orang di kotanya tercinta, The Big Apple, mendapat keadilan juga. Ia ingin tak ada lagi orang-orang bejat berkeliaran bebas di jalanan menggentayangi masyarakat...
Léon: The Professional (1994)
Director: Luc Besson
Stars: Jean Reno, Gary Oldman, Natalie Portman
Genre: Drama, Thriller
Runtime: 110 minutes