Jumat, 03 Agustus 2012

The Time Machine: Learning the Hard Way

Hidup ini tidak selamanya indah, semua orang tahu itu. Kadang kita mendapatkan kebahagiaan, tetapi di waktu lain pasti kita pernah menghadapi masa-masa sulit. Sesekali kita membuat kesalahan, mengacaukan beberapa hal, tetapi terkadang kita juga bisa meraih suatu pencapaian. Terkadang jika mengingat hal-hal yang tidak kita sukai dan kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat, kita merindukan masa lalu, menyesalinya, atau bahkan jika bisa, kita akan memperbaiki semua hal yang tidak kita suka saat itu. Pertanyaannya, bila kita memang bisa memutar kembali waktu dapatkah kita merubah nasib, kehidupan, dan persitiwa yang telah ditakdirkan? Jawabannya, belum tentu. Seperti itulah pelajaran yang dapat diambil dari The Time Machine (2002).

Alexander Hartdegen (Guy Pearce) tidak bisa melupakan sedikit pun bagaimana suatu malam jahanam telah menghancurkan hidupnya, malam di mana ia menyaksikan sendiri kekasihnya tewas sesaat setelah ia melamarnya. Kenangan itu menjadi mimpi buruk bagi Alexander dan ia ingin mengubah semua itu, ia terlalu mencintai Emma (Sienna Guillory), kekasihnya yang tewas. Ia ingin hidup bersamanya, ia tak mau kehilangan Emma. Untuk itu, Alexander bekerja siang malam mengurung diri di ruang pribadinya membuat suatu eksperimen sains, menciptakan mesin waktu. Ia berharap dengan mesin waktu itu, ia bisa kembali ke masa lalu dan mengubah malam di mana Emma tewas.

Ternyata, harapan Alexander tidak menjadi kenyataan. Justru ia menyadari bahwa seberapa sering pun ia kembali ke masa lalu, ia bisa melihat bagaimana nasib yang sama akan terulang dengan berbagai cara berbeda. Kecewa dengan kegagalannya, ia pun pergi berkelana melintasi jembatan waktu ke masa depan untuk mencari tahu, mengapa manusia tidak bisa mengubah masa lalunya? Ternyata jauh dari apa yang dibayangkannya, dunia 800.000 tahun yang akan datang justru kembali primitif seperti masa purba dahulu, dan tanpa disadari, Alexander menjadi salah satu penyebab berakhirnya dunia seperti itu.

Pesatnya ilmu pengetahuan dan arus modernitas justru membawa dunia di masa depan ke ambang kehancuran. Eksperimen dan egoisme manusia menyebabkan bumi berevolusi dan muncul dua ras manusia berbeda, yaitu Eloi dan Morlock. Bangsa Eloi hidup seperti manusia biasa, hanya lebih primitif ketimbang masa lalunya. Sementara kaum Morlock merupakan manusia yang mengalami perubahan fisik dan bersifat kanibal, mereka memburu bangsa Eloi untuk dijadikan bahan makanan dan budak, bahkan alat reproduksi. Beruntung, ketika Alexander tiba pada masa ini, ia bertemu bangsa Eloi, bukan Morlock. Alexander yang datang dalam keadaan pingsan ditolong oleh Mara (Samantha Mumba).

Ketika suatu saat Mara diculik oleh kaum Morlock, Alexander berjuang mati-matian menyelamatkannya, dan ia pun bertemu Über-Morlock (Jeremy Iron), pemimpin kaum Morlock. Über-Morlock ternyata otak dari kaum Morlock, ia mengendalikan pikiran para pekerjanya. Über-Morlock juga dapat membaca masa lalu manusia, termasuk milik Alexander, dan di titik inilah Alexander sadar bahwa ambisinya terhadap pertanyaan bagaimana jika Emma masih hidup telah mendorongnya menciptakan mesin waktu yang justru berubah menjadi mesin penghancur dunia. Segala perubahan di dunia berawal dari ambisinya semata. Diterangi oleh kesadaran ini, Alexander pun berjuang menebus segala perbuatannya.
Kisah fiksi sains ini diangkat dari novel dengan judul yang sama karya HG Wells, yang merupakan kakek buyut dari sutradara film ini, Simon Wells (The Prince of Egypt, Balto) yang lebih terkenal menjadi arsitek film animasi. Sisi plus The Time Machine menurut saya ada pada sinematografinya. Donald McAlpine selaku sinematografer mampu menghadirkan dunia primitif khayalan di masa yang akan datang dengan menakjubkan. Warna keemasan matahari atau gelapnya gua terasa pas. Pengambilan dan penyusunan gambar menempatkan penonton pada sudut yang tepat, sehingga dapat memahami maksud visual dari cerita ini. Satu hal yang paling saya ingat dari film ini adalah rumah-rumah yang dibangun menempel pada tebing jurang, gambaran itu menurut saya sangat bagus dan menarik. Sementara dari segi peran, menurut saya penampilan baik dibawakan Jeremy Iron , sayangnya ia hanya tampil beberapa menit sebagai pemimpin kaum Morlock. Saya memberi film ini 2.5 dari 5 bintang. Ada yang punya komentar?


Watch this if you liked:

Timeline (2003)

Director: Richard Donner
Stars: Paul Walker, Gerard Butler, Billy Connolly
Genre: Sci-Fi, Adventure, Action
Runtime: 116 minutes



Director: Robert Schwentke
Stars: Eric Bana, Rachel McAdams, Ron Livingston
Genre: Drama, Fantasy, Romance
Runtime: 107 minutes

Henry DeTamble (Eric Bana) yang memiliki kelainan genetis dan otak dalam tubuhnya menyebabkan ia menjadi seorang petualang lintas waktu. Dalam salah satu perjalanan waktunya, Henry menemui Clare Abshire (Rachel McAdams), gadis kecil yang di kemudian hari akan menjadi istrinya...

2 komentar:

  1. -Kok cuman di kasih bintang 2,5 kan bagus tuh filmnya...???

    -emang dunia hancur karena alexander bukanya ada rambulan yang meledak....

    BalasHapus
  2. kenapa cumn film ini sajah yang ada? padahal masih banyk yang lebih baik dan bagus.

    BalasHapus