Saat saya berumur 8 tahun, saya menonton film Big (1988) dan terpikat pada akting Tom Hanks yang begitu luar biasa. Saya masih ingat di akhir cerita saya menangis karena Josh kembali menjadi bocah 13 tahun setelah pengalaman masa dewasanya yang tak terlupakan. Sampai beberapa hari kemudian, saya masih uring-uringan memikirkan, "kenapa sih kok akhir ceritanya harus seperti itu, kenapa Josh nggak jadi dewasa aja selama-lamanya?" Hahaha, memang lebay ya, tapi waktu itu saya memang masih kecil dan belum bisa menangkap hikmah bahwa suatu fase kehidupan itu tidak boleh dilewati. Seorang manusia dewasa tentu akan terbentuk berdasarkan pengalaman masa kecil dan remajanya. Lagi pula tentu di dunia ini tidak ada (atau belum ada ya? hehe) mesin yang dapat mengubah seorang bocah menjadi dewasa kan?
Beberapa tahun kemudian, tepatnya saat saya berumur 12 tahun, saya menonton film The Time Machine (2002), saat saya 16 tahun saya menyaksikan The Curious Case of Benjamin Button (2008), dan baru saja saya menonton The Time Traveler's Wife (2009). Tentu Anda sudah bisa menebak bukan, ke arah mana tulisan ini akan dibuat? Ya, semua film yang telah saya sebutkan tadi memang berhubungan dengan waktu, dan film-film seperti ini menurut saya selalu menjadi tema yang menarik, sebab seiring dengan perkembangan teknologi saat ini, bukan tidak mungkin manusia mengembangkan suatu alat yang dapat membuat kita memanipulasi waktu. Namun, tentu kehidupan di dunia ini akan semrawut, dan kita tidak bisa melupakan kuasa Tuhan dalam hal ini, sebab bagi yang percaya pada Tuhan, kita semua tahu bahwa Dialah yang mengatur segalanya. Kali ini, yang akan saya bahas adalah film The Time Traveler's Wife (maaf ya kalo muter-muter dulu di awal tulisan hehehe...).
Film arahan sutradara Robert Schwentke ini mengisahkan Henry DeTamble (Eric Bana) yang memiliki kelainan genetis dan otak dalam tubuhnya yang menyebabkan ia menjadi seorang petualang lintas waktu. Maksud petualang di sini ialah ia akan menghilang secara tiba-tiba dari suatu masa kehidupan yang sedang dijalani ke masa depan atau masa lalu, kemudian kembali ke masa sebelum ia menghilang (masa kini/sekarang/present time), dan ini tidak bisa dikendalikan oleh dirinya sendiri. Pada awalnya ia sempat mearasa terganggu dengan kelainannya ini, namun sebenarnya ada beberapa keuntungan yang dimiliki dari kelainan tersebut, yaitu ia bisa mengetahui kehidupan masa depan dan mengubah keadaan masa kini.
Dalam salah satu perjalanan waktunya, Henry menemui Clare Abshire (Rachel McAdams), gadis kecil yang di kemudian hari akan menjadi istrinya. Satu hal menarik yang saya temukan di film ini ada dalam satu adegan di mana Rachel mengatakan, "I never had a choice." Ia tahu pria yang telah ditentukan untuk menjadi suaminya adalah Henry, seorang perualang waktu yang kapanpun bisa meninggalkannya tanpa suatu perigatan apapun, dan meski ia tidak menyukai hal tersebut, ia tidak pernah memiliki pilihan, ia pasti akan menjadi istri Henry.
Satu hal yang tidak pernah Henry cari tahu dengan kemampuan perjalanan waktunya adalah tentang kematian dirinya sendiri. Ia tidak pernah berusaha untuk melihat bagaimana ia mati atau kapan ia akan mati. Baru setelah ia bertemu dengan anaknya Alba (Hailey McCann) yang memberi tahunya kapan ia akan meninggal. Hal ini membuatnya ketakutan dan bingung. Namun, pada akhirnya ia harus siap meninggalkan istri dan anaknya. Setelah ia meninggal, Henry di masa yang lalu masih bisa melakukan perjalanan ke masa yang akan datang (masa di mana Clare dan Alba hidup).
Satu hal yang tidak pernah Henry cari tahu dengan kemampuan perjalanan waktunya adalah tentang kematian dirinya sendiri. Ia tidak pernah berusaha untuk melihat bagaimana ia mati atau kapan ia akan mati. Baru setelah ia bertemu dengan anaknya Alba (Hailey McCann) yang memberi tahunya kapan ia akan meninggal. Hal ini membuatnya ketakutan dan bingung. Namun, pada akhirnya ia harus siap meninggalkan istri dan anaknya. Setelah ia meninggal, Henry di masa yang lalu masih bisa melakukan perjalanan ke masa yang akan datang (masa di mana Clare dan Alba hidup).
Di sepanjang film, ada beberapa hal yang dilakukan Henry di masa depan sehingga mengubah keadaan di masa yang sedang dijalani, dan di sini penonton harus jeli melihat perubahan yang ada, dan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Oh ya, sebagai informasi Brad Pitt (Babel, Twelve Monkeys) ikut ambil bagian di balik layar film ini sebagai eksekutif produser lho. Tak ketinggalan, ada satu tempat yang menjadi latar terfavorit bagi saya, yaitu padang rumput (meadow). God, I always love meadow! hahaha...
Dari film ini, saya menyadari bahwa memang ada tiga hal yang dapat dipetik sebagai hikmah. Pertama, jodoh (dan rezeki) manusia itu tidak bisa dielakkan. Tuhan telah mempersiapkannya untuk setiap manusia dengan jalannya masing-masing. Apa yang kita kira baik untuk diri sendiri, belum tentu bagi Tuhan, sebab ia Mahatahu. Kedua, kematian itu adalah suatu keniscayaan bagi setiap manusia. Ia adalah makhluk yang tidak abadi di dunia. Seberapa besarpun usaha kita menghindari kematian tidak akan pernah berhasil lepas dari ketentuan-Nya. Ketiga, bersyukur dengan apa yang telah diberikan dan digariskan Tuhan tanpa pernah berhenti berusaha. Ternyata memang jodoh, rezeki, dan kematian itu ada di tangan Tuhan ya.
Watch this if you liked:
The Curious Case of Benjamin Button (2008)
Director: David Fincher
Stars: Brad Pitt, Cate Blanchett, Tilda Swinton
Genre: Drama, Fantasy, Mystery
Runtime: 166 minutes
Director: Martin Brest
Stars: Brad Pitt, Anthony Hopkins, Claire Forlani
Genre: Drama, Fantasy, Mystery
Runtime: 178 minutes
Bill tak bisa berkata apa-apa ketika mengetahui bahwa suara-suara yang belakangan ini ia dengar adalah suara malaikat pencabut nyawa yang siap menjemputnya. Takut bukanlah kata yang cocok bagi Bill ketika bertemu dengan sang malaikat, ia malah bingung lantaran malaikat itu berwujud manusia, memberinya ekstra usia dengan alasan hidupnya yang inspiratif dan teladan, serta memintanya untuk menjadi pemandu bagi sang malaikat selama "liburannya" di bumi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar